Malam itu suasana rumah diramaikan suara obrolan antar lelaki di luar, sementara di dalam kamar Mak dan ibu-ibu lain bercerita tentang padi yang sudah mulai menguning. Sebagian jagung juga beberapa sudah panen dan diantar ke pasar di kecamatan.
Mak duduk di sisi dipan sambil mengusap-usap dahi Nilam. Sejak tadi, gadis itu tertidur dan masih menggigil begini, Mak tak tega membangunkan. Namun tak lama perlahan Nilam membuka mata. Wanita yang selalu memakai kebaya kutu baru dan jarik ini segera mendekatkan wajahnya.
“Nilam?”
“Lapar, Mak …,” kata Nilam lemah. Matanya sudah terbuka penuh, menyapu pandang ke langit-langit. Kemudian memandang heran ke arah ibu-ibu yang mengerumuni tempat tidurnya.
Semua bergantian menanyakan kondisinya. Nilam menjawab kalau ia kedinginan dan lapar.
Mak yang tadi ke dapur, kembali dengan cepat. Nasi dan goreng ikan yang sudah dingin di dalam piring kaca di tangan kanannya.
Dilap sekilas tangannya ke jarik. Mak mengepal nasi dengan daging ikan sungai itu, lalu suapkan ke mulut Nilam, setelah gadis itu tadi dibantu ibu-ibu duduk dengan posisi setengah berbaring.
“Lagi, Mak,” kata Nilam setelah isi piring habis.
“Nambah?” tanya Mak diangguki Nilam pelan.
Ia terlihat masih sangat kelaparan, piring kedua tandas masih meminta tambah lagi.
“Nilam?”
Mak tertegun sejenak melihat wajah gadisnya ini. Desas-desus para ibu mulai terdengar membuat jantung Mak berdegup tak karuan.
Jangan-jangan, Nilam? Pikiran buruk itu segera ditepis Mak Lumpit.
“Nilam masih lapar, Mak,” desah Nilam lagi, membuat Mak kembali ke dapur untuk ketiga kalinya.
Isi piring terakhir ini hanya seperempat dari yang sebelumnya. “Nasinya habis,” ujar Mak saat gadis itu mau bertanya.
Pada suapan terakhir bibir Nilam melengkung ke atas, membentuk senyum lebar, tapi tatapannya kosong.
Nilam, si pemilik kantung mata yang terlihat cembung, kalau sedang tersenyum. Wajah persis si aktris Korea, sang idola—seperti teman-teman di kota katakan tentangnya.
“Nilam kangen kayak anak-anak lagi, biar dimanja sama Mak,” ceracaunya lirih.
Dada wanita tua itu berdesir nyeri, bercampur takut kehilangan membisiki hatinya. Sekejap saja Mak dibuat menangis.
“Mak selalu sayang dan mau manjakan kamu, biarpun Nilam sudah besar. Mak selalu sayang …,” lirih Mak di sela isak.
“Nilam takut, nggak bisa bertemu Mak lagi ….”
Nilam bicara sambil terlihat kembali mengantuk, matanya redup setengah terbuka.
Mak makin tergugu, piring segera disimpan ke meja, lekas memeluk putrinya ini sambil melarang Nilam bicara lagi. Beberapa ibu di kamar itu ikut tertegun dan sebagian lain berurai air mata.
“Istirahat dulu, Mak tau kamu capek. Maafkan Mak memaksa Nilam cepat pergi tadi ….” Mak mengusap-usap rambut panjang Nilam.
“Iya, Nilam. Besok pagi kami antar kamu keluar kampung. Jangan takut, ya,” kata seorang ibu di dekatnya.
Nilam memandang satu persatu wajah ibu-ibu tetangga yang sangat dikenal itu. Mereka terlihat amat menghawatirkannya.
“Tadi Nilam mimpi, ada bayangan yang mau membawa Nilam ke tempat yang dingiiin sekali, Mak. Hampir aja Nilam ikut, tapi Nilam nggak kuat dingin. Rasanya badan mau beku … jadi es,” katanya lirih dengan mata kembali terpejam.
Mak terus menangis.
“Tidaaak, jangaan. Nilam tidak boleh pergiiii,” ratap Mak membuat hening suasana.
Suara bapak-bapak di luar pun ikut terhenti, hanya bisik-bisik ingin tahu apa yang terjadi di dalam kamar.
“Sabar, Mak. Kita akan bantu. Mak Lumpit jangan terlalu sedih begini, nanti malah sakit juga,” ucap seorang ibu berbadan kurus mengelus punggung Mak.
Nilam menggapai tangan Mak, tapi belum sempat di genggamnya, sebab ia kembali menggigil.
Mereka membaringkan Nilam kembali. Gadis itu kemudian meringkuk, memeluk badan di balik selimut.
Kokok ayam terdengar, menandakan sebentar lagi pagi. Namun, hawa dingin mendadak masuk melingkupi rumah Mak Lumpit. Semua yang ada di sana mengeluh dingin. Empat pemuda di luar, termasuk Juju merasa tak tahan memilih masuk ke rumah.
Supri menutup dan mengancing pintu, mereka ikut bergabung dengan puluhan orang lain yang semua mulai memeluk badan, menggosok telapak tangan, ada juga yang duduk di lantai memeluk kaki—bersandar pada dinding.
Dua orang wanita ke dapur memasak air panas, membuat teh dan kopi panas dalam dua wadah ceret besar.
Sementara di kamar, Nilam makin gelisah. Tubuhnya meringkuk, bergerak tak tenang, meski sudah dibungkus empat lapis selimut tebal.
Melihat itu seorang ibu bergegas keluar kamar.
“Supri, pinjam semua selimut dari rumah terdekat! Nilam menggigil lagi,” perintahnya pada Supri yang terlihat gemetar memegang gelas kopi panasnya.
“Sebentar!” Seorang bapak menyela, ia bangkit berdiri dari kursi, masuk ke kamar setelah permisi dengan Mak. Pak Guruh mengikuti di belakangnya.
Supri urung berdiri, ia dengan lima teman yang di luar tadi kini sama-sama meringkuk di pojokan.
Di dalam kamar negosiasi mereka dengan Mak dilakukan. Nilam harus cepat ditolong, tanpa menunda waktu lagi.
“Ndak bisa menunggu lama, Mak. Kita bawa sekarang saja Nilam. Biar diantar rombongan. Nanti boncengan bertiga sama Mbak Asih di belakang, biar Nilam ndak jatuh,” jelas Pak Guruh sambil sesekali mengatur napas.
Wanita bernama Mbak Asih mengiyakan cepat. Ia yang memakai baju dan celana tidur panjang, mengatakan siap ikut berangkat sekarang.
Hawa dingin makin menjadi. Semua wajah di kamar terlihat menegang menanti persetujuan Mak.
Wanita kurus ini sempat terdiam sesaat, kemudian berkata, “Iya, iya terserah saja. Pokoknya Mak mau Nilam selamat!”
***
Di depan telaga kecil berair keruh, seorang lelaki kurus duduk berlipat kaki. Badan tegap dan matanya terpejam. Tubuh itu tak terlihat jelas, sebab pakaian yang dikenakannya serba hitam, menyatu dalam gelap malam tanpa cahaya bulan.
Satu jam sudah ia terdiam di sana. Mata besarnya kemudian membuka.
“Sangat tepat! Gadis itu … akan jadi pamungkas tercantik,” desahnya kemudian terkekeh, mengeluarkan suara serak tertahan. Seketika tubuhnya membayang transparan, lalu tak terlihat ditelan gelap.
***
Setelah Mak Lumpit setuju mereka membawa Nilam malam itu juga. Ibu-ibu membantunya merapikan tubuh Nilam yang menggigil untuk segera diangkat.
Mbak Asih menarik karet dari kuncirnya, untuk dipakai mengikat rambut Nilam yang berantakan. Saat rambut panjang itu diangkat matanya membulat sempurna melihat sebuah tanda, muncul persis di tengah tengkuk Nilam.
“Mak, lihat!”
Semua mendekat, melihat pada bagian yang ditunjuknya. Di sana tertulis angka 9 timbul, seperti hidup … berwarna hitam.
Mereka saling tatap dalam raut kalut.
“Cepat, cepat, cepat!”
Mak pasrah saat melihat tubuh Nilam digotong dua bapak-bapak keluar kamar. Ibu-ibu menyingkir memberi jalan. Mbak Asih memberikan ransel Nilam pada Juju, agar nanti dibawakan.
Sudah itu tak ada tangis di mata Mak, tapi jantungnya bertalu. Seolah berlomba dengan degupan jantung milik semua warga yang berkumpul di rumahnya itu.
“Buka pintunya, siapkan motor!” Pak Guruh yang ikut menggotong Nilam memerintah.
“Semua yang punya motor bawa ke sini, biar mengiringi.” Lagi, Pak Guruh yang paling bisa menenangkan diri itu menginstruksi dengan setengah berteriak.
Mendengar itu mereka yang tadi terlihat melemah, kini serentak berdiri. Dua pemuda desa bergegas membuka pintu.
Daun pintu pun terbuka lebar, tampak di luar masih gelap. Seketika hawa dingin sontak berembus masuk, bak kipas angin berdaya besar mendorong mereka kembali ke dalam hingga hampir jatuh. Lalu muncul sebuah bayangan hitam tampak berjalan mendekat.
Wajah Nilam pucat pasi. Pemuda yang ia kenal sopan, bagaimana bisa berubah bagai singa yang siap menerkam? Gigi Kusdi saling beradu ketat, mata merah tak lepas memandangnya dengan rona amarah sengit. Belum lagi dari tubuh pemuda itu menggeliat, menerjang siapa pun yang mengganggu. Walau sia-sia saja, karena puluhan santri dengan kekuatan cengkaraman juga dzikir mampu mengendalikan geraknya. Tubuh pemuda itu tertawan, hingga akhirnya tergolek lemah kehabisan tenanga. Sekarang ia sudah dibawa ke ruang kesehatan milik pondok ini. Nilam bersyukur kejadian barusan saat ia di pondok, sehingga ada banyak yang membantunya. Andai Kusdi menyerangnya di rumah, maka ia tak tahu apa yang akan terjadi dengan diri dan keluarganya. Ternyata semua masih berkaitan dengan kalimat yang menjadi momok untuknya dulu ‘Tumbal Kesembilan’. Kata-kata dari mulut Kusdi itu tadi mengingatkannya pada kejadian sepulang dari Dukuh Gelap. Sungguh tak disangka dirinya masih dijadikan target tumbal. “Mau minum lagi
Semuanya jadi menatap ke pintu.“Eh, Pak Malvin?” gumam Nilam dengan mata sedikit membesar. Ia kaget melihat di sana ada lelaki yang pernah mampir ke laundrynya bersama Hwa beberapa bulan lalu.“Assalamu’alaikum…”“Wa’alaikummussalam ….”“Oom Apiin!” Ali menghampiri lelaki itu. Ali dan Malvin memang akrab sejak bertemu pertama di acara pernikahan Hwa, saat itu Nilam memang datang membawanya.“Sama siapa, Pak?” Nilam bertanya setelah persilakan tamunya duduk. Sebenarnya ia menahan tanya, dari mana lelaki itu tahu alamat rumahnya, sebab Hwa saja tak tahu.“Sendiri, Nilam, saya mampir sebentar cuma mau kasih ini buat Ali.” Sekotak besar biru yang dibawa Malvin tadi disodorkan pada Ali, dan langsung mendapat ucapan terima kasih dari anak itu. “Ini hadiah ulang tahun Ali minggu lalu. Tak apa ‘kan om terlambat kasih, kebetulan saya baru ingat.”Ali yang tadi kurang segar mendadak tersenyum lebar, berterima kasih lagi setelah melihat isi kado itu. Ia dan Mischa yang bantu membukakan hadiahny
Mata gelap pekat dari pemuda bertubuh kurus yang terus menatap satu titik itu menggambarkan sebuah ambisi. Flashback on. Mundur pada kejadian setahun sebelumnya …. Sebuah kampung yang bertetanggaan dengan Dukuh Gelap, tengah terjadi keriuhan di salah satu rumah warga. Mereka berkumpul dengan wajah-wajah emosi meneriakkan serapah, wujud kemarahan pada satu orang warga mereka. Telah 30-an orang berkumpul hingga datang seseorang yang mengaku melihat kejadian tadi, ia pun mengarahkan puluhan orang memegang obor itu menuju sudut kampung. Mengarah pada satu rumah tua kosong. Mereka percepat langkah melihat ada titik cahaya dari dalam menandakan benar ada orang di sana. Sementara itu … di dalam bilik rumah kayu tersebut tampak lelaki muda berkulit gelap tengah siap menggagahi seorang gadis yang dalam keadaan tak sadarkan diri. Gadis berkulit putih mulus yang dikenal sebagai kembang desa telah ia bebaskan dari pakaian penutup. Menatap semua yang tampak di depan mata seperti singa kelaparan
“Aneh …,” gumam Nilam sambil menoleh pada Ali dalam gendongan.“Ali nggak apa-apa, Nak?” Makin merasa aneh ia melihat Ali yang biasa ceria tiba-tiba pendiam. Tanpa disadarinya itu terjadi sejak tadi, saat ia bicara dengan Kusdi.Anak itu berkedip sayu membuat Nilam mengira Ali sedang mengantuk.“Nanti tidurnya, jam segini tanggung. Ali belum makan ‘kan?”Nilam bicara sambil menyeret langkah ke belakang. Ia yang dalam keadaan agak linglung memanggil mama mertuanya.Namun, tidak ada jawaban. Ali yang semakin berat membuat tangan Nilam pegal, ia pun mendudukkan anak itu di kursi makan.“Ali makan dulu. Maafin mama ya sampe lengah gini.” Diusapnya wajah Ali dengan tangan basah. Namun tetap saja wajah itu tampak loyo.Masuk makanan tiga suap setelahnya Ali menolak.“Baik kalau sudah nggak mau. Minum dulu.”Usai itu ia menggamit Ali akan ke kamar. Saat ka
Tiga tahun berlalu …. “Ali!” Perempuan berhijab kuning gading keluar pintu rumah, celingukan ke arah sekitar halaman. Baru mengembuskan napas lega melihat orang yang dicari ada di sana. “Eh, anak mama lagi ngapain?” Perempuan itu tak lain adalah Nilam, ia mendekati anak lelaki yang sedang berjongkok menatap sudut selokan pembuangan air. Tadi, Ali--putranya yang sudah berusia tepat tiga tahun minggu lalu itu tiba-tiba hilang dari pandangan. Padahal sebelumnya Nilam masih melihat anak itu bermain di ruang berbatas dengan dapur. Tak bisa dirinya lengah sedikit pun, Ali bisa tiba-tiba begini. “A-da Olang!” kata bocah berbibir merah itu terbata menunjuk pojokan. “Orang?” Sempat terhenyak tapi kemudian segera menggeleng, Nilam mengangkat tubuh mungil itu, untuk digendong di pinggangnya. “Nggak ada orang, Sayang. Ayo, kita main di dalam. Kalau di sini mama nggak lihat Ali main.” Nilam mengecup gemas si pipi gembil. Saat Ali kembali menoleh ke belakang dari balik pundaknya, perempuan ya
Tiba di tempat yang disebutkan petugas kepolisian Nilam, ibu mertua, dan saudara Juju melihat di lokasi kejadian mobil Juju menghilang sudah ramai kerumunan orang. Hardtop kuning yang pernah sampai di Dusun Gelap itu ada di bahu jalan, dan sedang dipasang garis polisi."Ini baru terlihat, ada yang laporan langsung kita hubungi keluarga," jelas petugas yang sudah mengenal keluarga Juju itu."A-ape di dalam ade anak enyak, Pak?""Iya, ada, Bu. Keluarga harap kuat, karena ini kejadian kita sudah tau lama jadi kondisi korban tidak bisa ditolong."Obrolan terputus saat sirene mendekat. "Itu ambulans. Keluarga diperbolehkan melihat dari jauh dulu. Kita langsung ke rumah sakit." Setelah menyebutkan nama rumah sakit yang dituju petugas bersuara tegas itu meninggalkan mereka.Nurmi dan Nilam saling berpegangan
Mereka pun janjian bertemu besok pagi. Nilam ingin memastikan kalau itu benar-benar sosok nyata sahabatnya. Nilam kembali merosotkan badan berbaring. Menyambungkan kejadian Juju dan kembalinya Dara, membuat kepalanya tak bisa menemukan jawaban pasti bagaimana itu bisa terjadi. Ia pun mengalihkan pikiran dengan memandangi sisi sebelah tempat tidur, tempat biasa Juju tidur. Menghidu dalam udara di ruang 4x5 meter ini yang masih meninggalkan aroma tubuh suami. Nilam masih ingin di sini sampai tiga hari besok, baru kembali ke pondok. Kamar sepi tanpa seseorang yang biasa di sebelahnya ini memang terasa berbeda, tapi ia sudah berjanji akan mengikhlaskan. Demi senyum yang diinginkan suaminya di mana pun sekarang berada. Suami juga manusia, ia hanya titipan sementara untuk bersama, karena suatu saat akan pergi juga pada pemilik yan
Dian memeluk Nilam yang memejamkan mata kuat. Mendorong bulir air mata kembali jatuh. Perasaannya makin tak enak. Ada suara tangisan di bawah sana. Tak lama muncul Tri dengan wajah tegang dan mulut sedikit membuka. Matanya berkaca-kaca menatap wanita yang tampak lemah itu sebelum memeluk erat. Tubuh Nilam mendadak kaku. Benarkah ini ...? Jika benar beri aku kekuatan .... Tri menahan isak, begitu juga Dian merangkul kedua sahabatnya dengan linangan air mata tanpa suara. Nilam mematung, merasa ini seperti mimpi untuknya. Sentuhan terakhir Juju masih terasa nyata, seperti baru saja terjadi. Ia tak yakin bisa kuat jika dipaksa menerima kenyataan kehilangan cintanya. Setelah merasa cukup tenang Nilam digamit dua sahabatnya turun. Beranikan diri ia mem
Di luar hujan belum jua reda. Nilam pun memperpanjang doa selepas ibadah Ashar. Hujan adalah kesempatannya bermohon ampun sampai berlinang air mata, tanpa ada yang mendengar suara yang sengaja ia keluarkan melawan deru hujan menerpa atap. Rindu pada ibu, rindu pada bapak yang sejak kecil menghadap-Nya, juga rindu pada teman-teman entah kenapa hadir semua di hatinya saat ini. Nilam juga merindukan pada suami yang akan mendekapnya erat saat hujan begini. Semua rasa itu tumpahkan tuntas dalam doa terbaik untuk semua orang tercinta, sampai kepalanya terasa ringan bersamaan dengan berhentinya hujan. Refleks ia mengusap tengkuk hati-hati. Merasakan ceruk yang waktu itu teraba dalam tidak ada. Kulitnya terasa rata kembali seperti semula. “Alhamdulillah … terima kasih ya Rabbku,” sujud syukur ia menempelkan kembali dahi ke sajadah.