Share

5. Ditandai Sebagai Tumbal

Malam itu suasana rumah diramaikan suara obrolan antar lelaki di luar, sementara di dalam kamar Mak dan ibu-ibu lain bercerita tentang padi yang sudah mulai menguning. Sebagian jagung juga beberapa sudah panen dan diantar ke pasar di kecamatan.

Mak duduk di sisi dipan sambil mengusap-usap dahi Nilam. Sejak tadi, gadis itu tertidur dan masih menggigil begini, Mak tak tega membangunkan. Namun tak lama perlahan Nilam membuka mata. Wanita yang selalu memakai kebaya kutu baru dan jarik ini segera mendekatkan wajahnya.

“Nilam?”

“Lapar, Mak …,” kata Nilam lemah. Matanya sudah terbuka penuh, menyapu pandang ke langit-langit. Kemudian memandang heran ke arah ibu-ibu yang mengerumuni tempat tidurnya.

Semua bergantian menanyakan kondisinya. Nilam menjawab kalau ia kedinginan dan lapar.

Mak yang tadi ke dapur, kembali dengan cepat. Nasi dan goreng ikan yang sudah dingin di dalam piring kaca di tangan kanannya.

Dilap sekilas tangannya ke jarik. Mak mengepal nasi dengan daging ikan sungai itu, lalu suapkan ke mulut Nilam, setelah gadis itu tadi dibantu ibu-ibu duduk dengan posisi setengah berbaring.

“Lagi, Mak,” kata Nilam setelah isi piring habis.

“Nambah?” tanya Mak diangguki Nilam pelan.

Ia terlihat masih sangat kelaparan, piring kedua tandas masih meminta tambah lagi.

“Nilam?”

Mak tertegun sejenak melihat wajah gadisnya ini. Desas-desus para ibu mulai terdengar membuat jantung Mak berdegup tak karuan.

Jangan-jangan, Nilam? Pikiran buruk itu segera ditepis Mak Lumpit.

“Nilam masih lapar, Mak,” desah Nilam lagi, membuat Mak kembali ke dapur untuk ketiga kalinya.

Isi piring terakhir ini hanya seperempat dari yang sebelumnya. “Nasinya habis,” ujar Mak saat gadis itu mau bertanya.

Pada suapan terakhir bibir Nilam melengkung ke atas, membentuk senyum lebar, tapi tatapannya kosong.

Nilam, si pemilik kantung mata yang terlihat cembung, kalau sedang tersenyum. Wajah persis si aktris Korea, sang idola—seperti teman-teman di kota katakan tentangnya.

“Nilam kangen kayak anak-anak lagi, biar dimanja sama Mak,” ceracaunya lirih.

Dada wanita tua itu berdesir nyeri, bercampur takut kehilangan membisiki hatinya. Sekejap saja Mak dibuat menangis.

“Mak selalu sayang dan mau manjakan kamu, biarpun Nilam sudah besar. Mak selalu sayang …,” lirih Mak di sela isak.

“Nilam takut, nggak bisa bertemu Mak lagi ….”

Nilam bicara sambil terlihat kembali mengantuk, matanya redup setengah terbuka.

Mak makin tergugu, piring segera disimpan ke meja, lekas memeluk putrinya ini sambil melarang Nilam bicara lagi. Beberapa ibu di kamar itu ikut tertegun dan sebagian lain berurai air mata.

“Istirahat dulu, Mak tau kamu capek. Maafkan Mak memaksa Nilam cepat pergi tadi ….” Mak mengusap-usap rambut panjang Nilam.

“Iya, Nilam. Besok pagi kami antar kamu keluar kampung. Jangan takut, ya,” kata seorang ibu di dekatnya.

Nilam memandang satu persatu wajah ibu-ibu tetangga yang sangat dikenal itu. Mereka terlihat amat menghawatirkannya.

“Tadi Nilam mimpi, ada bayangan yang mau membawa Nilam ke tempat yang dingiiin sekali, Mak. Hampir aja Nilam ikut, tapi Nilam nggak kuat dingin. Rasanya badan mau beku … jadi es,” katanya lirih dengan mata kembali terpejam.

Mak terus menangis.

“Tidaaak, jangaan. Nilam tidak boleh pergiiii,” ratap Mak membuat hening suasana.

Suara bapak-bapak di luar pun ikut terhenti, hanya bisik-bisik ingin tahu apa yang terjadi di dalam kamar.

“Sabar, Mak. Kita akan bantu. Mak Lumpit jangan terlalu sedih begini, nanti malah sakit juga,” ucap seorang ibu berbadan kurus mengelus punggung Mak.

Nilam menggapai tangan Mak, tapi belum sempat di genggamnya, sebab ia kembali menggigil.

Mereka membaringkan Nilam kembali. Gadis itu kemudian meringkuk, memeluk badan di balik selimut.

Kokok ayam terdengar, menandakan sebentar lagi pagi. Namun, hawa dingin mendadak masuk melingkupi rumah Mak Lumpit. Semua yang ada di sana mengeluh dingin. Empat pemuda di luar, termasuk Juju merasa tak tahan memilih masuk ke rumah.

Supri menutup dan mengancing pintu, mereka ikut bergabung dengan puluhan orang lain yang semua mulai memeluk badan, menggosok telapak tangan, ada juga yang duduk di lantai memeluk kaki—bersandar pada dinding.

Dua orang wanita ke dapur memasak air panas, membuat teh dan kopi panas dalam dua wadah ceret besar.

Sementara di kamar, Nilam makin gelisah. Tubuhnya meringkuk, bergerak tak tenang, meski sudah dibungkus empat lapis selimut tebal.

Melihat itu seorang ibu bergegas keluar kamar.

“Supri, pinjam semua selimut dari rumah terdekat! Nilam menggigil lagi,” perintahnya pada Supri yang terlihat gemetar memegang gelas kopi panasnya.

“Sebentar!” Seorang bapak menyela, ia bangkit berdiri dari kursi, masuk ke kamar setelah permisi dengan Mak. Pak Guruh mengikuti di belakangnya.

Supri urung berdiri, ia dengan lima teman yang di luar tadi kini sama-sama meringkuk di pojokan.

Di dalam kamar negosiasi mereka dengan Mak dilakukan. Nilam harus cepat ditolong, tanpa menunda waktu lagi.

“Ndak bisa menunggu lama, Mak. Kita bawa sekarang saja Nilam. Biar diantar rombongan. Nanti boncengan bertiga sama Mbak Asih di belakang, biar Nilam ndak jatuh,” jelas Pak Guruh sambil sesekali mengatur napas.

Wanita bernama Mbak Asih mengiyakan cepat. Ia yang memakai baju dan celana tidur panjang, mengatakan siap ikut berangkat sekarang.

Hawa dingin makin menjadi. Semua wajah di kamar terlihat menegang menanti persetujuan Mak.

Wanita kurus ini sempat terdiam sesaat, kemudian berkata, “Iya, iya terserah saja. Pokoknya Mak mau Nilam selamat!”

***

Di depan telaga kecil berair keruh, seorang lelaki kurus duduk berlipat kaki. Badan tegap dan matanya terpejam. Tubuh itu tak terlihat jelas, sebab pakaian yang dikenakannya serba hitam, menyatu dalam gelap malam tanpa cahaya bulan.

Satu jam sudah ia terdiam di sana. Mata besarnya kemudian membuka.

“Sangat tepat! Gadis itu … akan jadi pamungkas tercantik,” desahnya kemudian terkekeh, mengeluarkan suara serak tertahan. Seketika tubuhnya membayang transparan, lalu tak terlihat ditelan gelap.

***

Setelah Mak Lumpit setuju mereka membawa Nilam malam itu juga. Ibu-ibu membantunya merapikan tubuh Nilam yang menggigil untuk segera diangkat.

Mbak Asih menarik karet dari kuncirnya, untuk dipakai mengikat rambut Nilam yang berantakan. Saat rambut panjang itu diangkat matanya membulat sempurna melihat sebuah tanda, muncul persis di tengah tengkuk Nilam.

“Mak, lihat!”

Semua mendekat, melihat pada bagian yang ditunjuknya. Di sana tertulis angka 9 timbul, seperti hidup … berwarna hitam.

Mereka saling tatap dalam raut kalut.

“Cepat, cepat, cepat!”

Mak pasrah saat melihat tubuh Nilam digotong dua bapak-bapak keluar kamar. Ibu-ibu menyingkir memberi jalan. Mbak Asih memberikan ransel Nilam pada Juju, agar nanti dibawakan.

Sudah itu tak ada tangis di mata Mak, tapi jantungnya bertalu. Seolah berlomba dengan degupan jantung milik semua warga yang berkumpul di rumahnya itu.

“Buka pintunya, siapkan motor!” Pak Guruh yang ikut menggotong Nilam memerintah.

“Semua yang punya motor bawa ke sini, biar mengiringi.” Lagi, Pak Guruh yang paling bisa menenangkan diri itu menginstruksi dengan setengah berteriak.

Mendengar itu mereka yang tadi terlihat melemah, kini serentak berdiri. Dua pemuda desa bergegas membuka pintu.

Daun pintu pun terbuka lebar, tampak di luar masih gelap. Seketika hawa dingin sontak berembus masuk, bak kipas angin berdaya besar mendorong mereka kembali ke dalam hingga hampir jatuh. Lalu muncul sebuah bayangan hitam tampak berjalan mendekat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status