“Ni … lo kenapa?” Juju bertanya dari tempatnya yang masih terpaku.
Mata Nilam menatap kosong, tanpa kedip.
Supri dan Mardin mendekat perlahan, pandangan mereka tak lepas dari Nilam. Takut kalau tiba-tiba gadis itu mengamuk mereka bersiap menangkapnya. Ini hutan, kalau sampai Nilam kabur ke dalam hutan bisa jadi ia akan hilang tanpa jejak.
Namun, perkiraan mereka berdua salah. detik berikutnya tubuh Nilam melemas layu, lalu jatuh berbaring di tanah. Segera tiga pemuda itu mendekat. Setelah memeriksa kondisi Nilam yang seperti orang tidur, mereka berniat membawa gadis itu kembali ke rumah.
“Coba nyalakan lagi motornya,” kata Juju pada Mardin. Segera pemuda itu lakukan, diikuti Supri. Ajaib sekali tekan starter langsung menyala.
Juju segera mengangkat tubuh Nilam ke motor Mardin. Mereka akan bonceng bertiga karena ia harus menjaga tubuh Nilam. Supri mengambil ransel Nilam dan membawa ke motornya.
“Apa kita bawa keluar kampung saja, biar Nilam ke rumah sakit?” usul Juju sambil menyentuh dahi gadis itu. Dingin seperti es.
Selesai ucapan Juju, belum juga dijawab dua pemuda itu motor seketika mati. Sekejap mulut tiga orang itu tertutup rapat. Menahan takut yang menyergap.
“Sudah balik aja lagi ke rumah Mak Lumpit,” seru Supri seakan sengaja perbesar suaranya. Seolah-olah paham Juju dan Mardin diam.
Motor kembali dinyalakan dengan mudah, membawa mereka kembali berbalik ke dukuh.
Juju yang terbiasa di kota, jadi percaya kalau mistis itu memang ada dan sekarang sedang dirasakannya. Dalam hati ia panjatkan doa-doa, semoga ia dan Nilam mendapat jalan bisa keluar dari kampung ini.
***
Di bilik sederhana berdinding papan coklat tua, gadis itu masih tertidur dalam balutan tiga lapis selimut. Erangan halus sesekali keluar dari bibirnya.
Tak jauh di depannya wanita tua duduk di bangku kayu. Matanya masih terbuka awas, seakan tak ingin anaknya itu lepas dari pandangan.
Pikirannya mencoba menerka, ‘apa Nilam sudah jadi sasaran Ki Arya atau … ia hanya sakit karena kelelahan?’
Sejak Supri dan temannya menggotong gadis itu turun dari motor tadi, tubuh Nilam makin lemah. Kekhawatiran Mak Lumpit menjadi-jadi, melihat gadis itu terus tertidur. Namun, ia juga bingung harus apa. Nilam sepertinya ditahan kekuatan lain sampai tak bisa keluar dari kampung.
Sekarang hanya menunggu, sampai gadis itu terbangun sendiri.
Juju di luar pun berpikir keras akan kejadian yang menimpa mereka tadi. Saat Mak berniat akan kembali membawa Nilam keluar kampung, hujan deras dan petir kembali menghalangi. Pemuda berwajah bersih itu masih bertafakur di atas sajadah, selepas salat Isya tadi.
Menurutnya, kampung Nilam ini memang terasa gelap, sepi dan terkesan angker. Warganya masih amat tradisional, dan penganut kepercayaan pada tradisi leluhur yang amat kuat. Meski agama mereka tercatat di kartu tanda penduduk, tapi tak pernah mengerjakan kewajiban agama. Sama seperti Nilam yang ia kenal.
Selama mereka di Jakarta, Nilam memang tak pernah ia lihat ibadah. Juju merasa itu membuat jiwa Nilam lemah dan mudah dirasuki makhluk lain. Ia merasa khawatir pada teman dekatnya itu.
Di kamar ….
Mak masih memandangi Nilam, berharap anaknya cepat bangun dan tak terjadi sesuatu pada Nilam. Risiko akan hilang, seperti yang lain bisa saja dialami Nilam jika lelaki tua itu sudah pengaruhi pikirannya. Sedikit saja Nilam memikirkan nama itu, mungkin saja pengaruh kuat Ki Arya merasuk tubuhnya.
Momok menakutkan akan semua ini awalnya terkuak saat Mala dan Sinta menghilang. Gadis ketujuh dan kedelapan, yang lenyap tanpa jejak--setelah enam orang hilang di bulan-bulan sebelumnya.
Mak teringat, dua gadis itu baru pulang setelah kelulusan SMA mereka di kota, terjadinya tiga bulan lalu. Sebelum menghilang, seorang warga melihat lelaki berpakaian serba hitam berbicara dengan mereka di jalan. Kedua gadis itu lenyap saat malam. Barang bawaan, tas dan sepatu—yang memungkinkan mereka pergi sendiri, ternyata masih tetap ada di tempatnya.
Kecurigaan warga, kalau Ki Arya lah lelaki berpakaian hitam itu. Tak ada yang lain. Beberapa saudara korban berusaha mengintai pondok lelaki itu, untuk mencari keberadaan mereka, tapi tak pernah berhasil. Gadis-gadis itu tak pernah lagi terlihat. Karena sangat ingin menemukan putrinya, bapak Maya nekad hingga dini hari menunggu di semak tak jauh dari rumah tepi telaga--tempat tinggal Ki Arya.
Namun, lelaki bertubuh kecil itu harus lari tunggang-langgang kembali ke rumah. Katanya, ia melihat suatu kejadian aneh pada Ki Arya. Si lelaki tua yang selalu berpakaian serba hitam itu tengah mengamalkan ilmu penghilang raga.
Ia melihat sendiri, Ki Arya berdiri di tepi telaga dalam terpaan cahaya bulan, tubuh itu seketika membayang, tembus pandang, kemudian melayang. Dari mulutnya terucap kalimat menggema ….
‘Menanti perawan kesembilan, kekuatan ini sempurnaaaa ….’ Kemudian tawanya berderai.
Siapa pun akan takut menyaksikannya.
Berita itu ia sebar ke penduduk. Keluarga korban dan beberapa warga sempat melakukan perlawanan, berkerumun ke rumah lelaki yang hidup sendiri itu, hendak menanyakan keberadaan para gadis.
Namun, hujan petir dan guntur menyambut mereka, sebelum Ki Arya keluar dari rumahnya.
Semua percaya kalau itu sebab kekuatan Ki Arya. Setelah itu, banyak warga memilih aman dan keluar dari kampung ini. Terutama yang memiliki anak gadis di rumahnya. Seorang warga yang pernah kembali, memberi peringatan untuk tak menyebut-nyebut nama atau apa pun tentang lelaki itu. Menurut penerawangan ‘guru’ yang ia temui di kampung lain, hal itu akan mengundang bahaya untuk gadis perawan yang ada di rumah.
Kalimat itu yang selalu menggema di kepala Mak. Ia pernah menitipkan surat untuk dikirim pada Nilam supaya tak pulang. Namun, sepertinya tak sampai, buktinya gadis yang kini terbaring di ranjang itu malah datang.
Semua telah terjadi, ia hanya bisa berharap anaknya ini dilindungi. Doa itu selalu menggema di hati Mak.
Memang, agama nenek moyang yang dianut keluarga Mak turun-temurun, tetapi hatinya sangat percaya akan ada Tuhan, yang disebutnya Gusti—bisa menolongnya, lebih dari kekuatan manusia.
Lamunan Mak terputus saat di pintu depan rumah riuh suara orang dan pintu yang digedor.
Ia tergopoh-gopoh sambil perbaiki ikatan jariknya yang longgar.
“Mak, Mak Lumpit!” panggil dari beberapa orang lelaki dan perempuan, seakan tak sabar dibukakan. Juju terbangun, lalu keluar dari bilik sebelah. Ia sebenarnya baru tertidur karena kelelahan.
Begitu Mak membuka pintu tampak puluhan orang dewasa berkerumun, dua obor menyala dipegang sebagai penerang.
“Gimana keadaan Nilam, Mak,” tanya salah seorang bapak begitu melihat Mak.
“Masih tidur. Ini ada apa, Pak Guruh?” tanya Mak yang masih tampak keheranan.
“Biarkan kami masuk dulu, Mak,” jawab lelaki tua berbadan gemuk yang dipanggil Pak Guruh.
“Iya, ayo silakan masuk.”
Rumah tak begitu luas itu kini ramai. Setelah menjelaskan maksud kedatangan mereka, enam wanita yang ikut tadi langsung menemani Mak menjaga Nilam di kamar. Sepuluh laki-laki berjaga di dalam rumah. Supri dengan tiga orang lelaki yang datang belakangan dengan sepeda motor, memilih berjaga di luar, berpenerang obor yang terpasang di sisi pintu. Juju keluar ikut bergabung dengan mereka.
“Kalau Supri ndak bilang, bisa-bisa kami cuma dengar kabar Nilam sudah hilang, Mak. Ini bahaya!” kata Pak Guruh berapi-api, diiyakan warga lain.
Seorang wanita memakai daster motif bulat keluar dari kamar. “Ini cirinya sama kayak Rini sebelum hilang. Tidur, tapi badannya dingin!” katanya bergidik menyampaikan pada para lelaki di luar.
Mendengar itu napas Mak serasa sesak. Dulu Rini yang pertama hilang, dan yang bicara tadi kakak perempuannya.
“Lalu kita harus gimana?”
“Jaga! Jangan sampai Nilam sendiri.”
“Iya, besok pagi kita antar Nilam keluar kampung, biar dirawat di rumah saudaraku.” Pak Guruh memberi saran dan semua pun segera menyetujui.
Wajah Nilam pucat pasi. Pemuda yang ia kenal sopan, bagaimana bisa berubah bagai singa yang siap menerkam? Gigi Kusdi saling beradu ketat, mata merah tak lepas memandangnya dengan rona amarah sengit. Belum lagi dari tubuh pemuda itu menggeliat, menerjang siapa pun yang mengganggu. Walau sia-sia saja, karena puluhan santri dengan kekuatan cengkaraman juga dzikir mampu mengendalikan geraknya. Tubuh pemuda itu tertawan, hingga akhirnya tergolek lemah kehabisan tenanga. Sekarang ia sudah dibawa ke ruang kesehatan milik pondok ini. Nilam bersyukur kejadian barusan saat ia di pondok, sehingga ada banyak yang membantunya. Andai Kusdi menyerangnya di rumah, maka ia tak tahu apa yang akan terjadi dengan diri dan keluarganya. Ternyata semua masih berkaitan dengan kalimat yang menjadi momok untuknya dulu ‘Tumbal Kesembilan’. Kata-kata dari mulut Kusdi itu tadi mengingatkannya pada kejadian sepulang dari Dukuh Gelap. Sungguh tak disangka dirinya masih dijadikan target tumbal. “Mau minum lagi
Semuanya jadi menatap ke pintu.“Eh, Pak Malvin?” gumam Nilam dengan mata sedikit membesar. Ia kaget melihat di sana ada lelaki yang pernah mampir ke laundrynya bersama Hwa beberapa bulan lalu.“Assalamu’alaikum…”“Wa’alaikummussalam ….”“Oom Apiin!” Ali menghampiri lelaki itu. Ali dan Malvin memang akrab sejak bertemu pertama di acara pernikahan Hwa, saat itu Nilam memang datang membawanya.“Sama siapa, Pak?” Nilam bertanya setelah persilakan tamunya duduk. Sebenarnya ia menahan tanya, dari mana lelaki itu tahu alamat rumahnya, sebab Hwa saja tak tahu.“Sendiri, Nilam, saya mampir sebentar cuma mau kasih ini buat Ali.” Sekotak besar biru yang dibawa Malvin tadi disodorkan pada Ali, dan langsung mendapat ucapan terima kasih dari anak itu. “Ini hadiah ulang tahun Ali minggu lalu. Tak apa ‘kan om terlambat kasih, kebetulan saya baru ingat.”Ali yang tadi kurang segar mendadak tersenyum lebar, berterima kasih lagi setelah melihat isi kado itu. Ia dan Mischa yang bantu membukakan hadiahny
Mata gelap pekat dari pemuda bertubuh kurus yang terus menatap satu titik itu menggambarkan sebuah ambisi. Flashback on. Mundur pada kejadian setahun sebelumnya …. Sebuah kampung yang bertetanggaan dengan Dukuh Gelap, tengah terjadi keriuhan di salah satu rumah warga. Mereka berkumpul dengan wajah-wajah emosi meneriakkan serapah, wujud kemarahan pada satu orang warga mereka. Telah 30-an orang berkumpul hingga datang seseorang yang mengaku melihat kejadian tadi, ia pun mengarahkan puluhan orang memegang obor itu menuju sudut kampung. Mengarah pada satu rumah tua kosong. Mereka percepat langkah melihat ada titik cahaya dari dalam menandakan benar ada orang di sana. Sementara itu … di dalam bilik rumah kayu tersebut tampak lelaki muda berkulit gelap tengah siap menggagahi seorang gadis yang dalam keadaan tak sadarkan diri. Gadis berkulit putih mulus yang dikenal sebagai kembang desa telah ia bebaskan dari pakaian penutup. Menatap semua yang tampak di depan mata seperti singa kelaparan
“Aneh …,” gumam Nilam sambil menoleh pada Ali dalam gendongan.“Ali nggak apa-apa, Nak?” Makin merasa aneh ia melihat Ali yang biasa ceria tiba-tiba pendiam. Tanpa disadarinya itu terjadi sejak tadi, saat ia bicara dengan Kusdi.Anak itu berkedip sayu membuat Nilam mengira Ali sedang mengantuk.“Nanti tidurnya, jam segini tanggung. Ali belum makan ‘kan?”Nilam bicara sambil menyeret langkah ke belakang. Ia yang dalam keadaan agak linglung memanggil mama mertuanya.Namun, tidak ada jawaban. Ali yang semakin berat membuat tangan Nilam pegal, ia pun mendudukkan anak itu di kursi makan.“Ali makan dulu. Maafin mama ya sampe lengah gini.” Diusapnya wajah Ali dengan tangan basah. Namun tetap saja wajah itu tampak loyo.Masuk makanan tiga suap setelahnya Ali menolak.“Baik kalau sudah nggak mau. Minum dulu.”Usai itu ia menggamit Ali akan ke kamar. Saat ka
Tiga tahun berlalu …. “Ali!” Perempuan berhijab kuning gading keluar pintu rumah, celingukan ke arah sekitar halaman. Baru mengembuskan napas lega melihat orang yang dicari ada di sana. “Eh, anak mama lagi ngapain?” Perempuan itu tak lain adalah Nilam, ia mendekati anak lelaki yang sedang berjongkok menatap sudut selokan pembuangan air. Tadi, Ali--putranya yang sudah berusia tepat tiga tahun minggu lalu itu tiba-tiba hilang dari pandangan. Padahal sebelumnya Nilam masih melihat anak itu bermain di ruang berbatas dengan dapur. Tak bisa dirinya lengah sedikit pun, Ali bisa tiba-tiba begini. “A-da Olang!” kata bocah berbibir merah itu terbata menunjuk pojokan. “Orang?” Sempat terhenyak tapi kemudian segera menggeleng, Nilam mengangkat tubuh mungil itu, untuk digendong di pinggangnya. “Nggak ada orang, Sayang. Ayo, kita main di dalam. Kalau di sini mama nggak lihat Ali main.” Nilam mengecup gemas si pipi gembil. Saat Ali kembali menoleh ke belakang dari balik pundaknya, perempuan ya
Tiba di tempat yang disebutkan petugas kepolisian Nilam, ibu mertua, dan saudara Juju melihat di lokasi kejadian mobil Juju menghilang sudah ramai kerumunan orang. Hardtop kuning yang pernah sampai di Dusun Gelap itu ada di bahu jalan, dan sedang dipasang garis polisi."Ini baru terlihat, ada yang laporan langsung kita hubungi keluarga," jelas petugas yang sudah mengenal keluarga Juju itu."A-ape di dalam ade anak enyak, Pak?""Iya, ada, Bu. Keluarga harap kuat, karena ini kejadian kita sudah tau lama jadi kondisi korban tidak bisa ditolong."Obrolan terputus saat sirene mendekat. "Itu ambulans. Keluarga diperbolehkan melihat dari jauh dulu. Kita langsung ke rumah sakit." Setelah menyebutkan nama rumah sakit yang dituju petugas bersuara tegas itu meninggalkan mereka.Nurmi dan Nilam saling berpegangan
Mereka pun janjian bertemu besok pagi. Nilam ingin memastikan kalau itu benar-benar sosok nyata sahabatnya. Nilam kembali merosotkan badan berbaring. Menyambungkan kejadian Juju dan kembalinya Dara, membuat kepalanya tak bisa menemukan jawaban pasti bagaimana itu bisa terjadi. Ia pun mengalihkan pikiran dengan memandangi sisi sebelah tempat tidur, tempat biasa Juju tidur. Menghidu dalam udara di ruang 4x5 meter ini yang masih meninggalkan aroma tubuh suami. Nilam masih ingin di sini sampai tiga hari besok, baru kembali ke pondok. Kamar sepi tanpa seseorang yang biasa di sebelahnya ini memang terasa berbeda, tapi ia sudah berjanji akan mengikhlaskan. Demi senyum yang diinginkan suaminya di mana pun sekarang berada. Suami juga manusia, ia hanya titipan sementara untuk bersama, karena suatu saat akan pergi juga pada pemilik yan
Dian memeluk Nilam yang memejamkan mata kuat. Mendorong bulir air mata kembali jatuh. Perasaannya makin tak enak. Ada suara tangisan di bawah sana. Tak lama muncul Tri dengan wajah tegang dan mulut sedikit membuka. Matanya berkaca-kaca menatap wanita yang tampak lemah itu sebelum memeluk erat. Tubuh Nilam mendadak kaku. Benarkah ini ...? Jika benar beri aku kekuatan .... Tri menahan isak, begitu juga Dian merangkul kedua sahabatnya dengan linangan air mata tanpa suara. Nilam mematung, merasa ini seperti mimpi untuknya. Sentuhan terakhir Juju masih terasa nyata, seperti baru saja terjadi. Ia tak yakin bisa kuat jika dipaksa menerima kenyataan kehilangan cintanya. Setelah merasa cukup tenang Nilam digamit dua sahabatnya turun. Beranikan diri ia mem
Di luar hujan belum jua reda. Nilam pun memperpanjang doa selepas ibadah Ashar. Hujan adalah kesempatannya bermohon ampun sampai berlinang air mata, tanpa ada yang mendengar suara yang sengaja ia keluarkan melawan deru hujan menerpa atap. Rindu pada ibu, rindu pada bapak yang sejak kecil menghadap-Nya, juga rindu pada teman-teman entah kenapa hadir semua di hatinya saat ini. Nilam juga merindukan pada suami yang akan mendekapnya erat saat hujan begini. Semua rasa itu tumpahkan tuntas dalam doa terbaik untuk semua orang tercinta, sampai kepalanya terasa ringan bersamaan dengan berhentinya hujan. Refleks ia mengusap tengkuk hati-hati. Merasakan ceruk yang waktu itu teraba dalam tidak ada. Kulitnya terasa rata kembali seperti semula. “Alhamdulillah … terima kasih ya Rabbku,” sujud syukur ia menempelkan kembali dahi ke sajadah.