Share

6. Rintangan Keluar Dusun

Semua orang yang ada di sana seketika mematung.

Dalam hening, hanya erangan Nilam yang terdengar lemah.

Mengiringi langkah lelaki berpakaian serba hitam bergerak masuk. Warga mengenalnya sebagai Ki Arya yang tinggal menyendiri di ujung dusun. Ia mendekati Nilam yang menggigil.

Kepala gadis itu terkulai lemah, dalam posisi setengah duduk di gotongan dua lelaki berwajah pasi.

“Aku dengar anakmu sakit, Mak Lumpit. Kenapa kau tidak memanggilku?” Suara serak dan berat itu bertanya.

Pengaruh suaranya seakan-akan menghentikan napas semua yang mendengar. Terlebih Mak Lumpit yang raganya terasa sudah melayang.

Tangan kurus Mak bergetar, berusaha kuat dengan mengepal jemari tangan. Melaki berwajah dingin itu kini berdiri sekitar dua meter dengan Nilam, anak gadis yang sangat ia cintai.

Kepalan tangan Mak Lumpit semakin kuat. Dadanya menyesak berusaha menarik napas panjang. Tak tahan melihat Ki Arya makin mendekati Nilam, wanita tua ini tiba-tiba merasa dapat kekuatan besar. Tubuh lelaki berpakaian hitam ditubruknya sekuat tenaga.

Keduanya jatuh ke depan mengenai salah pemuda yang bertubuh cukup besar.

Seakan-akan tersentak kesadaran, semuanya kembali bergerak cepat. Si pemuda refleks menahan tubuh Ki Arya dibantu Juju dan dua orang bapak di sampingnya.

Mak bangkit, jadi tak terkendali, rambut panjang lelaki kurus itu dijambak penuh amarah. Beberapa helai rambut panjang menggimbal itu tercerabut, menempel di tangan Mak Lumpit.

“Kamu juga manusia! Berani ganggu anakku, tau rasa!!”

Para lelaki dan wanita menjadi berani ikut menghakimi lelaki yang berusaha memberontak itu. Suara berat dari mulut ki Arya keluar seperti auman hewan bertaring saat terganggu.

Tubuh Ki Arya terdorong ke sana-sini. Hujan pukulan cukup melumpuhkan tulang berlapis sedikit daging itu.

“Ayo cepat bawa Nilam!”

Pak Guruh mengingatkan Supri yang ikut memegang tangan Ki Arya, tadi ia tadi mau melayangkan tinju, hanya belum berani. Nyali Supri kalah dengan rasa takut, kalau-kalau Ki Arya akan membalas dendam suatu hari.

Mendengar seruan Pak Guruh, Supri melepaskan tangan kanan lelaki itu. Ia berlari keluar bersiap akan menahan keseimbangan motor, saat Nilam didudukkan ke boncengannya.

Tubuh terkulai lemah Nilam segera diapit oleh Mbak Asih yang naik ke boncengan, sambil menahan tubuh Nilam dari belakang.

Juju dan yang lainnya ikut keluar, mulai sibuk mengatur siapa saja yang ikut berangkat, mengiringi motor Supri.

Sementara di dalam, tujuh orang yang menangani Ki Arya mulai lengah. Selepasnya tangan Supri dan Juju tadi, tinggal satu lelaki yang memeganginya kuat. Mendapat kesempatan, lelaki tua itu menendang keras ke arah belakang.

“AAWWWW! AWW!!” Pemuda itu berteriak kencang.

Semua mata mengarah padanya, heran—mereka mengira-ngira sesuatu apa terjadi padanya. Seorang bapak yang muncul membawa tali dari belakang, bermaksud akan mengikat Ki Arya urung mendekat.

Pegangan si pemuda makin melemah, tubuhnya melorot dengan wajah memerah, mata pun terlihat membelalak, kesakitan. Tak lama badannya tersungkur dengan dua telapak tangan menangkup sela paha.

“Ughh! Sakiiit.” Ia merintih. Yang lain mau membantunya bangun, tapi ia menolak karena belum mampu berdiri.

Kesibukan mereka dimanfaatkan lelaki berpakaian hitam untuk mengambil langkah cepat, gesit menyelip, melewati mereka bak embusan angin. Yang di luar berusaha menangkap, tapi terlepas.

“Dia lari. Cepat kejar!!” Tiga orang serempak berteriak.

Bak dipimpin akan maju berperang mereka sontak berlari, mengejar. Dua orang kembali mengambil obor di sisi pintu. Bayangan lelaki itu tampak ke Barat kampung, arah ke rumah Ki Arya.

“Biarkan mereka mengurusnya, kalian cepat berangkat! Aku akan menyusul,” perintah Pak Guruh.

Enam orang lainnya menaiki tiga motor, mengiringi Supri yang membonceng Nilam dan Mbak Asih dari belakang.

Pagi makin dingin, terpaan angin serasa menembus tulang.

Belum separuh jalan Mbak Asih gemetar hebat, Ia memeluk tubuh Nilam—berpegang erat pada jaket Supri, sesekali posisi gadis itu oleng dan berat ke samping membuatnya kewalahan. Sementara Nilam masih seakan tertidur tak sadarkan diri, hanya erangan kecil dari bibirnya.

Di salah satu motor, Mak Lumpit diboncengi seorang bapak berperawakan kecil dan kurus, sesekali mengangkat dagu, melewati pundak pengemudi demi melihat kondisi Nilam di depan.

Mak memilih ikut agar bisa melihat Nilam dengan mata kepala sendiri, sampai keluar kampung dengan selamat.

Juju di boncengan Mardin, menggendong ransel miliknya dan memeluk ransel Nilam. Tak lama mereka dikagetkan oleh sebuah motor bersuara memekak, muncul dari belakang.

Pengemudinya adalah Pak Guruh yang menarik gerobak kayu. Tadi ia sempatkan ke kandang, mengambil gerobak yang biasa dipakai untuk mencari rumput. Ia memberi kode agar Supri berhenti.

Mbak Asih memukul pundak Supri yang terlihat melamun. Pemuda itu menoleh ke belakang sebelum menepi.

“Syukurlah Pak Guruh. Asih sebenarnya sudah ndak kuat. Tubuh Nilam makin berat disangga,” keluh Mbak Asih dengan napas ngos-ngosan, tangannya masih menahan tubuh Nilam.

Pak Guruh dan yang lain turun dari motor. Mereka membantu menahan tubuh Nilam saat perempuan berbaju tidur warna kuning itu turun, ia terlihat langsung meregangkan tangan dan badan yang kebas.

Cahaya dari lampu sepeda motor yang menyala membantu penerangan, sebab matahari belum juga muncul.

Tubuh Nilam diangkat ke dalam gerobak yang telah dialasi dua kain sarung, Mak minta ikut duduk di dalam bersama Nilam. Wanita itu tak henti memandang wajah anaknya itu. Tangan kasar miliknya menggenggam erat jemari gadis putih yang dingin.

Mak Lumpit merapatkan jaket kulit tebal yang dipinjamkan Juju, sebelum mereka kembali berangkat tadi. Cukup membantu badannya merasa hangat.

Perjalanan yang ditempuh sekitar 45 menit lagi itu terasa seolah melewati satu hari. Mak tak sabar ingin waktu cepat terlewat. Wajah dan tubuh wanita yang terlihat tua dari usianya ini sudah lelah, tapi hatinya yang lebih nyeri. Mak Lumpit berharap kondisi Nilam akan lebih baik setelah melewati perbatasan nanti.

***

Di Dusun Gelap ….

Warga yang riuh berlari ke sisi Barat semakin bertambah. Warga lain ikut terbangun mendengar jeritan ibu-ibu yang memanggil warga meminta tolong. Sekitar tiga puluhan orang dewasa ikut mengejar bayangan hitam yang tadi sempat terlihat, tapi sekarang menghilang.

Mereka mengepung area antara telaga dan rumah Ki Arya. Meyakini lelaki itu pasti masih di sekitar sini. Tadi ia cukup terluka terkena pukulan mereka, pasti akan kepayahan berlari jauh.

Satu jam pencarian dalam kepungan itu hasilnya nihil. Mereka kembali bertemu di titik tengah tanpa menemukan siapa pun.

Sinar mentari mulai mengintip di ufuk Timur, membantu penglihatan mereka menyapu ke segala arah.

“Pasti sudah kabur.”

“Iya, mana berani dia ke sini lagi. Apalagi tau semua orang sekarang berani melawannya!”

“Pasti, itu. Cuma aku puas sudah nonjok tiga kali. Manusia biasa juga rupanya dia, kelihatannya tadi pukulanku cukup sakit kena pipinya!” Lelaki pemegang obor berkata sambil tertawa lebar.

Ia hendak mematikan obor, sebab merasa hari cukup terang.

“Jangan dimatikan!” Seorang bapak menghentikannya.

“Kenapa?”

“Ki Arya jangan sampai kembali lagi ke sini!” katanya seraya mengambil alih obor terbuat dari batang bambu besar itu.

“Bakaaar!!” teriaknya pada semua, sambil mengacungkan obor tinggi-tinggi.

Seakan dipandu, semua meneriakkan kata BAKAR, tak berhenti sampai rumah bertiang tinggi itu dilalap api. Nyala yang makin membesar mulai melahap seluruh bangunan.

Semua bergerak mundur. Panas si jago merah itu serasa dekat dengan tubuh mereka. Hawa dingin tadi pun lenyap. Semua mata menyaksikan atap dan badan bangunan rubuh, merata dengan tanah. Sebagian percikannya membakar rumput tinggi di sekitar.

Sempat lena dalam kegembiraan, takjub melihat kobaran serasa turut meruntuhkan ketakutan mereka selama ini, sampai-sampai warga tak menyadari api mulai merambati rumput hingga puluhan meter di sekitar.

“Cepat, padamkan!”

“Ayo, padamkan!”

“Ya, Gusti. Jangan sampai kampung ini ikut terbakar.” Lelaki yang lebih tua menggumamkan doa.

Api terlihat merambat cepat, rumput yang masih basah terkena embun pagi segera berubah menjadi abu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status