Share

7. Kembali Ke Kota

Warga bahu-membahu memukul api dengan ranting pohon basah. Mereka berusaha mematikan titik api yang makin mendekati jalan. Takut mengenai salah satu rumah penduduk lain yang tak jauh dari sini. Penuh perjuangan mereka lakukan sambil meminta pertolongan Tuhan. Beberapa sudah sesak napas dan memilih mundur, menjauh.

Seketika mentari yang tadi muncul kembali bersembunyi, tertutup awan gelap. Makin lama makin pekat menggantung di wajah langit. Semua berseru memohon hujan sambil menjauh dari titik api.

Kepasrahan tampak dari wajah-wajah lelah, hanya mampu memandang lemah pada jilatan api makin menjalar dari kejauhan.

Rintik mulai terasa menetes mengenai tubuh mereka. Puluhan lelaki itu menatap langit, menerima guyuran air jatuh semakin lebat. Semuanya bisa menarik senyum lebar penuh kelegaan, kemudian tawa mulai keluar dari seorang disambut yang lain. Berderai menyamai suara hujan yang makin menjadi.

Para lelaki, tua-muda menari bahagia di bawah nikmat kesejukan hati dan raga mereka kini. Berharap tak ada ketakutan. Tak ada teror lagi yang membisiki.

***

Tiga hari sudah, Nilam tinggal di Kampung Koneng—desa tetangga. Dalam masa pemulihan Mak dibantu Siti, yang merupakan adik bungsu Pak Guruh itu telaten merawatnya.

Wajah gadis itu mulai terlihat merona. Ia meyakinkan Mak akan siap pulang esok hari ke kota.

“Kasihan Juju jadi ikutan lama temanin Nilam, Mak.”

“Iya, Mak kasian juga lihatnya ikut khawatir sama kamu.”

“Mak, beneran nggak mau tinggal ikut Nilam?” Gadis berbibir penuh, yang suka memakai lip balm merah bata ini kembali merayu ibunya.

Sejak kemarin ia meminta Mak ikut dan tinggal bersamanya. Menikmati masa tua di kota dengan gaji yang dirasa cukup untuk hidup mereka berdua.

“Mak, suka pusing lihat orang ramai. Enak di kampung. Kalau Mak sudah sepuh baru kamu ambil, ya,” kata Mak Lumpit sambil mencubit pelan pipi Nilam.

Apa mau dikata, gadis itu tidak bisa memaksa, yang penting Mak senang. Ia bersandar manja di bahu ibunya. ketegangan selama di kampung tiga hari lalu membuatnya sedikit syok.

Ternyata di kampung tercinta, masih ada orang yang bernafsu memiliki kekuatan mistis sampai mau mengorbankan orang lain. Ia kembali bergidik. Seandainya bukan sebab pertolongan warga, mungkin sekarang hanya akan tertinggal nama Nilam Kumalasari.

Dalam senyum, ia membayangkan kehebohan teman-teman di kost dan kumpulan Korean Lovers kalang-kabut tanpa kehadirannya. Ia termasuk penceria suasana kalau mereka tengah berkumpul.

Apalagi di Gi Wa, restoran K-Food tempatnya bekerja, ada seseorang berahang kokoh yang menarik perhatian.

Pemilik wajah dingin itu bisa membuat Nilam tersenyum sendiri. Rupanya mirip aktor drama Korea. Cuek dan kadang semaunya sendiri, mengesalkan tapi tak menampik Nilam jadi suka saat berhadapan dengannya.

“Kenapa senyum sendiri?” Bu Siti menegur Nilam yang duduk melamun, selepas makan siang tadi ia duduk sendiri di teras rumah.

“Eh, Bu Siti.” Nilam tersipu malu.

Wanita empat puluhan itu mengambil duduk tak jauh dari Nilam, mengajaknya ngobrol_berbagi cerita tentang suasana ibu kota. Sementara Mak sedang di belakang, sedangkan Juju tertidur di ruang tengah, depan televisi tabung. TV-nya tak menyala, sebab aliran listrik belum pula masuk. Hanya warga mampu yang membeli mesin Genset untuk penerangan di malam hari. Mereka juga bisa menikmati siaran hiburan di TV yang tertangkap sinyal parabola.

Sedang asyik berbincang, sebuah motor berhenti di depan jalan.

“Suci?” Nilam menyambut temannya yang turun dari boncengan.

Suci memeluknya, lalu bersalaman dengan Bu Siti yang menemani mereka sebentar, kemudian masuk.

“Kok bisa sampai sini?” tanya Nilam penasaran.

“Aku senang kamu bisa keluar kampung …” Suci menunduk, lalu kembali berkata, “senang juga kamu bisa selamat dari Ki Arya, Ni.”

Nilam tersenyum seraya menyentuh tangan temannya itu.

“Makasih perhatianmu, Ci. Sampai capek-capek ke sini.

Suci terdiam sebentar, merogoh kantung celana panjang kain yang dipakai. Sebuah kalung etnik, batu oval kecil berselang-seling warna coklat tua dan muda, dengan bandul batu bulat hitam cukup besar.

“Ini untukmu, Ni. Kenang-kenangan, takutnya kita ndak ketemu lagi. Makanya aku sempatkan ke sini.” Wajah Suci berubah sendu saat mengakhiri kalimatnya.

Nilam menerima barang itu sambil mengucapkan terima kasih. Lalu ia melepas jam tangan di pergelangan kirinya. Arloji mini berbingkai pink itu ditangkupkan di telapak Suci.

Sedikit terkejut Suci memandangnya sejenak.

“Ambil aja ntuk kenang-kenangan kita,” kata Nilam sembari mengangguk kecil, ia memaksa Suci menerimanya.

Tak sampai sepuluh menit perempuan muda berambut sepinggang itu kemudian pamit pulang.

“Loh, kok, buru-buru. Nyari ojeknya dulu, Ci.” Nilam mencoba menahan Suci yang sudah turun dari teras.

“Enggak apa. Ojeknya nunggu di sana, kok,” balas Suci menunjuk ujung jalan. Ia setengah berteriak karena sudah melangkah jauh.

Nilam menatap punggungnya sampai tak terlihat, tertutup sebuah pohon mangga punya tetangga Bu Siti.

***

Hari perpisahan Mak dan Nilam pun tiba. Mereka berpelukan sambil menangis, cukup lama, sampai dua tukang ojek itu terlihat kesal menunggu.

Nilam dan Juju naik ojek sekitar dua puluh menit dari Kampung Koneng menuju sebuah terminal di kabupaten. Mereka akan naik bis kembali ke ibu kota.

Seandainya bisa memilih, Nilam ingin selalu bersama wanita yang begitu menghangatkan hatinya itu. Hanya, ia lebih merasa memiliki tujuan hidup di kota_memacu jiwanya bersaing untuk hidup lebih baik lagi. Walaupun Mak tak sependapat dengannya.

Bus PO ber-AC membawa semilir dingin dari lubang pendingin menerpa wajah Nilam. Gadis itu duduk di dekat kaca.

“Capek, Ni? Tidur aja sini,” tawar Juju sambil menepuk bahu sendiri.

“Masih mau lihat-lihat. Juju tidur aja kalau ngantuk,” jawab Nilam sembari melempar pandang keluar jendela.

“Bawa istirahat, lo jangan banyak pikiran.”

Nilam mengangguk kecil, sembari menoleh pada Juju yang bersandar pada kursi akan segera tidur. Wajah pemuda yang amat akrab dengannya itu terlihat lelah. Nilam tahu Juju kurang istirahat sejak beberapa hari lalu.

Juju yang tengah memejamkan mata memang merasa tubuhnya remuk. Mungkin pengaruh lelah badan dan syok. Baru sekarang pemuda ini mengalami kejadian mistis sebegitu mengerikan.

Ia terlahir asli Betawi, bernama asli Juki Ardiyasa. Nilam, teman-teman, dan anak-anak Korean Lover’lah yang terbiasa memanggilnya Juju. Kata mereka wajahnya bukan Betawi, tapi persis aktor Korea, Kim Bum. Ia sampai dibilang titisan pemain drama Boys Before Flowers itu.

Juju pemuda yang cukup kuat menjalankan perintah agama. Selama ini di lingkungannya tak pernah ada gangguan aneh seperti di kampung Nilam.

Mungkin benar kata Engkong dulu, pikir Juju sambil menutup mata.

Di mana kakeknya itu selalu mengingatkan mereka tak meninggalkan ibadah, agar tak diganggu jin yang wujudnya tak terlihat, atau terkena sihir orang yang memakai kekuatan set*n untuk kepentingan diri sendiri.

Kalau iman lemah akan mudah dimasuki kekuatan itu. Pantas saja, pikir Juju lagi. Selama ini Nilam tak pernah terlihat ibadah wajib. Perempuan cantik yang sudah lama berteman dekat dengannya itu tak pernah mengubris saat ia pernah bertanya dan menyarankan ibadah.

Hidup Nilam flat seperti biasa saja menanggapi agama yang tertulis di KTP-nya, mungkin karena kebiasaan semenjak kecil dan lingkungan. Juju sudah melihat Mak Lumpit dan orang sekitar seperti tak punya aturan agama. Hidup hanya berdasarkan kepercayaan leluhur turun temurun. Agama resmi tercatat di tanda penduduk mungkin sebagai formalitas saja.

Namun, Juju bersyukur Nilam selamat keluar kampung. Pemuda berwajah bersih itu berharap bisa kembali menggiring Nilam jadi lebih baik setelah kembali ke Jakarta. Ia merasa bertanggung jawab atas diri gadis itu.

Juju pun terlelap, hanyut bersama ribuan pikiran di benaknya. Sementara Nilam masih menikmati panorama sejauh mata memandang. Sampai lama-lama mata bolanya meredup, ngantuk.

Saat yang sama, tak sengaja ia melihat kepala bayi mengintipnya dari atas bangku depan. Bayi tanpa rambut itu menatapnnya tajam. Sempat menegang sejenak, Nilam segera mengalih pandang, melihat Juju yang menganga terlelap. Tanpa pikir panjang Nilam ikut meraih jaket, menutupi muka agar tertidur juga.

Sekilas ia mendengar suara seorang ibu di depannya menimang si anak agar tenang.

Hawa sejuk itu lama-lama membuat Nilam mengantuk, hingga makin tak tertahan. Beberapa kali kepalanya terkulai ke samping. Ia terbangun, kembali menegakkan kepala, kemudian tertidur lagi. Sampai terdiam lelap pada pundak Juju. Kepala mereka saling bersentuhan.

Semakin lelap, bibir Nilam makin terbuka. Dengkuran halus mencelos dari pita suaranya, sedikit bergetar.

Nilam amat lelap dan merasa terbang ke alam mimpi. Ada sebuah tangan dingin memegang jemarinya, mengajak ia ke suatu tempat. Nilam merasa sangat tertarik ikut, tapi sisi lain jiwanya memberontak.

Terasa sekali tangan dingin itu merambat hingga ke pinggulnya, saat orang asing itu menariknya ke pelukan. Tubuh Nilam mulai menggigil. Ia merasa tubuhnya melayang, baru disadari kalau mereka menari di udara. Terbang.

Detik kemudian Nilam tersentak bangun! Ia menangkup wajah, mengusapnya beberapa kali. Menghilangkan kecamuk sebab mimpi itu hampir sama dengan mimpinya saat di kampung.

Nilam perbaiki posisi, menyandarkan kepala di sandaran kursi busa empuk itu, memejamkan mata sambil mengatur napas yang berdetak cepat. Sejenak ia tertegun, merasa ada sesuatu menyentuh pipinya.

Rambut dan embusan napas dingin terasa hanya beberapa senti di pipi kanannya. Rasanya seperti di tempeli bibir seorang … berkumis?!

“WHUUAAAAA!!”

Nilam sontak membuka mata sambil berteriak. Ia terloncat berdiri di kursi, kepalanya berdenyut sebab terantuk keras pada atap bus.

Semua penumpang kaget mendengar teriakan dan ulah Nilam. Mata Juju yang merah lagsung terbuka, cepat melihat arah Nilam. Pun dengan bayi di kursi depan, mulut basah itu berhenti menyusu ibunya.

Lalu tangisan kuat dari bayi itu keluar seketika, sambil meronta menunjuk ke arah belakang, arah Nilam.

Suasana di dalam bus menjadi riuh, semua berdiri dari tempat duduk hendak melihat apa yang terjadi.

“Turun,” perintah Juju mendesis sambil menarik tangan Nilam.

Gadis itu kembali duduk dengan raut bersalah. Namun, tangis bayi perempuan di depan makin menyayat, melihat ke arahnya dari sela punggung kursi, makin sulit ditenangkan oleh ibunya.

Liur bertali mengalir dari mulut bayi yang terus menganga lebar. Wajahnya merah, tubuh bayi itu bermandi peluh. Ibunya dan beberapa orang ikut panik bantu menenangkan.

Seseorang bapak mendekat, meminta Nilam berpindah tempat. Semua bisa melihat kalau anak itu ketakutan melihatnya.

Setelah saling pandang dengan Juju, dan pemuda itu mengangguk kecil tanda mendukung Nilam berpindah ke belakang.

Nilam melangkah terasa melambat, melihat pandangan aneh dari semua mata tertuju padanya. Ia jadi merasa sangat gugup, mencoba menenangkan diri dengan meremas bandul kalung pemberian Suci yang menjuntai hingga ke dadanya itu.

Apa ada yang aneh? Kenapa mereka menatapku begitu ...? benak Nilam penuh tanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status