Share

8. Ada yang Aneh

Author: Li Na
last update Huling Na-update: 2021-08-30 20:10:36

Di Dukuh Gelap ….

Suara binatang malam bersahutan, seakan-akan membicarakan pertemuan dua orang di tepi telaga.

Ada lelaki dan perempuan sedang berhadapan di sana. Wajah mereka tak tampak, sebab tertutup gelapnya malam. Derak ranting yang telah menjadi arang terdengar saat si perempuan melangkah maju.

Lelaki itu dalam posisi duduk bersila itu matanya terpejam, tapi bibirnya berucap.

“Bagus! Aku sekarang bisa bersamanya, hahahaaa. Kau sudah jalankan perintah dengan baik. Pulanglah, apa yang kujanjikan sudah menunggumu di rumah.” Suara berat dan serak itu mengakhiri pertemuan mereka.

Perempuan berperawakan sedang itu berbalik, dalam gelap melangkah cepat menyusuri jalan setapak. Daster lebarnya mengepak tertiup angin malam, mengiringi kibasan rambut yang terurai sepinggang. Ia tampak beberapa kali mengusap air mata.

“Maaf, Ni … aku terpaksa,” lirihnya sambil terisak. Di pikirannya, ada penyesalan telah merelakan teman sendiri untuk dijadikan sebagai korban lelaki itu. Ia tahu setelah ini Nilam tak akan bisa lepas lagi.

***

Nilam telah sampai di Jakarta. Walaupun tertidur lama, hampir sepanjang perjalanan tadi, tak membuat gadis berkaos pink itu terlihat lemas. Wajahnya justru tampak semringah saat memberhentikan angkutan kota yang ditumpangi.

“Kiri, Bang,” ucapnya.

Semburat lembayung indah terlihat menyambut mentari yang di ufuk Barat, seakan turut menyambut kedatangan Nilam. Di terminak bus tadi ia berpisah dengan Juju, naik angkot jurusan berbeda, pulang ke rumah masing-masing.

Gadis berkuncir satu itu bergegas menuju rumah luas ber-cat hijau tosca.

Pagar besi hitam setinggi tiga meter didorongnya, setelah memutar kode pada gembok yang sudah ia hapal di luar kepala.

“Babee,” sapa Nilam pada saat matanya menangkap seorang lelaki berperut buncit, tengah berada di depan dua sangkar burung piaraan.

Siulan lelaki paruh baya itu terhenti. Menurunkan kaca mata tebalnya ke batang hidung, memicing menatap Nilam saksama.

“Eh, Nilam?” katanya setelah menyadari gadis itu sangat dikenal.

“Iya, Be. Baru aja nyampe.” Nilam mengangguk kecil sembari tersenyum.

“Buru-buru amat ninggalin Mak, Lu? Bukannye dimari bilang cuti seminggu?” Suara besar milik lelaki berkulit gelap itu keluar, matanya belum lepas dari sosok Nilam.

Secara penampilan, pakaian yang dipakai gadis penghuni kos-nya selama tiga tahun ini sama seperti biasa--sederhana, tapi cantik. Hanya … Babe merasa ada sesuatu lain berbeda. Mata Babe makin menyipit memandangi Nilam.

“Ng, iya, Be.” Nilam memainkan anak rambutnya, kemudian garuk-garuk kepala yang tak gatal. Ia bingung akan menjawab apa. Mau dijelaskan semua terlalu panjang lebar, sekarang ia hanya ingin cepat bertemu kasur tercinta yang dirindukan.

“Nilam masuk dulu, ya, Be. Capek, nih.” Tangannya mengipas-ngias wajah yang mengkilap berkeringat, efek tadi berdesakan di dalam angkutan.

“Iye, istirahat, gih! Eh, si Juki langsung pulang?”

“Iya, Be. Tadi langsung misah di terminal. Mari, Be,” pamit Nilam gegas ke belakang.

“Iye.”

Babe akan kembali menimang burung hijau kekuningan berparuh pink itu, ia tersentak mundur beberapa langkah. Ada sekelebat bayangan gelap melesat lewat—mengikuti langkah Nilam.

Tatapan Babe masih melongo ke arah punggung gadis berambut coklat itu, sampai menghilang tertutup tembok belakang rumah.

‘Ada yang aneh …,’ pikirnya keras.

Babe kembali terkejut saat merasakan sesuatu menarik telinganya cukup keras. Lelaki berwajah khas Betawi ini bergerak ke arah seseorang bermata lebar berdiri di sampingnya.

“Liat ape? Liat ape?!” Wanita bertubuh tinggi besar melotot penuh amarah.

“Kagak Munah, itu—“

“Itu ape?! Sejak kapan liatin Nilam begitu? Ingat, Be, die itu pantas jadi anak. Anak!” Ulangnya sekeras mungkin seakan-akan menembus telinga suaminya.

Babe mengusap wajah, memasang raut kesal. Istrinya ini kalau bicara terlalu cepat dan keras begini, selalu muncul hujan kecil dari mulutnya, menyiprat keluar.

“Iye, tau! Sape juga. Itu tadi ada-“ Ucapan Babe terputus saat wanita itu memelintir daging lengannya dengan jari. Ia mengaduh seraya mundur selangkah, mengusap bekas cubitan Maemunah.

“Awas, kalau Babe genit! Gua akan keluarin semua ntu anak cewek, biar ganti jadi kost-an laki aje!” kata Maemunah berakhir dengan hentakan kaki masuk ke rumah.

“Eh, Maemunah. Jangan sembarang nuduh lu jadi bini, kagak baek!” Babe berkacak pinggang, kesal.

Setelah ditinggal Maemunah masuk, mulut Babe hampir akan bersiul lagi, tapi urung. Menurut lelaki pecinta burung ini, siulan itu akan dirasakan tak nyaman oleh piaraan kalau dilakukan dengan rasa tak senang.

Karena, sekarang hatinya sedang kesal dicurigai Maemunah. Menurut Babe, biar ia dibilang suami jelek, tapi kesetiaan itu utama yang dijaganya sejak dulu. Dua puluh lima tahun menikahi Maemunah, tak pernah terbersit mau mencari istri baru. Walaupun tubuh wanita yang dulunya langsing sekarang tak berbentuk lagi. Dan, Babe paling tak suka di curigai.

Belum lagi … hawa angin dingin serasa berdesir sampai masuk ke dalam dadanya, membuat Babe merasa tak enak.

Ia mengusap-usap dada, sambil berucap istighfar. Sebelum masuk rumah, kembali matanya menyapu ke sekitar halaman.

“Aneh, kenape berasa kaya ada orang, ye?” Ia bergumam lagi pada diri sendiri, kemudian menggaruk dahi.

Setelah yakin tak ada siapa pun, Babe cepat-cepat masuk sambil mengusap tengkuk. Ia merasa bulu halusnya semua berdiri.

Sementara itu, Nilam melangkah ringan menuju bangunan bertuliskan Kost Putri. Letaknya menghadap tembok pembatas halaman belakang rumah Babe.

Bangunan itu ber-cat kuning, dengan empat pintu. Masing-masing ruang berukuran lima kali enam, tambah dua meter dapur dan jemuran pribadi. Selasar antar kamar dihalangi tembok setinggi dada.

Luas tanah milik Babe dan Nyak—panggilan mereka untuk Maemunah—ini cukup untuk dua rumah ukuran besar. Halaman yang tersisa juga masih cukup luas.

Yang Nilam tahu dari Juju, teman sekaligus keponakan Maemunah. Wanita bersuara cempreng itu dulunya adalah anak seorang tuan tanah yang disegani di Kampung Betawi.

Orang tuanya tak pernah tertarik menjual tanah-tanah yang mereka miliki, meski ditawar dengan harga tinggi. Karena itu sekarang Maemunah dan dua saudaranya bisa berjaya hidup dari usaha rumah kontrakan di ibu kota ini.

Selain di sini, ada tiga kontrakan lain milik keluarga yang dikenal selalu ramai itu—semua penghuninya suka berbicara dengan suara keras, mengalahkan satu toa masjid. Apalagi kalau saudara lain datang berkumpul di sana, mungkin pasar saja akan kalah dengan ramainya.

Empat perempuan yang tinggal di kost ini semua sudah bekerja. Biasanya mereka akan berkumpul menjelang matahari tenggelam, atau kalau jalanan macet bisa saat gelap baru tiba di kamar masing-masing.

Baru pergi beberapa hari, Nilam sudah merindu suasana. Hubungan bersama teman-temannya di sini sudah seperti keluarga.

Nilam menempati pintu nomor dua dari Barat. Ia melepas sepatu saat akan naik ke selasar berkeramik hijau. Gadis itu merogoh kantung depan ransel, menarik kunci bergantungan Hello Kitty berpita biru.

Saat mendorong pintu, indera penciumannya mendengkus bau busuk dan amis. Seperti bau saluran pembuangan pencucian yang pernah tersumbat dulu, di dapur resto tempatnya bekerja. Udara yang pengap membuat Nilam menahan napas.

Cepat-cepat ia dorong lebar daun pintu, jendela depan dan dapur pun dibuka menganga. Udara sejuk yang masuk cukup melonggarkan rongga pernapasan Nilam.

Merasa malas membuka pintu belakang untuk mengecek asal bau, Nilam memilih masuk kamar. Di ruang tiga kali empat bercat pink itu, ia segera menjatuhkan tubuh di kasur. Kasur busa ini tempat ternyaman baginya melepas penat.

Tangannya menggapai kipas angin duduk di meja, menekan tombol angka satu.

“Ah, leganya ….”

Ia terlentang, menjejakkan dua tapak kakinya di dinding, menatap langit-langit. Ini kebiasaan yang ia lakukan biasanya setiap pulang bekerja—posisi ternyaman menghilangkan lelah kaki. Dan, itu cukup manjur.

Teringat sesuatu, Nilam mengambil ponsel yang sudah ia aktifkan tadi di bis.

“Pak Min, tolong. Ini ada bau busuk di kamarku.” Kalimat singkat ia tuju pada tukang taman dan bagian perbaikan di rumah Babe ini. Biasanya apa saja keluhan penghuni kos akan cepat ditangani.

“Neng Nilam, bapak ijin masuk, ya?”

Tak menunggu lama, suara khas lelaki lima puluhan tahun itu muncul di pintu. Itulah kenapa Nilam sangat puas dengan pelayanan di sini, sedikit ada keluhan akan cepat ditangani. Selain nyaman, masalah keamanan penghuni juga utama oleh Babe.

Harga sewa masih di bawah tempat lain yang sebagus ini. Nilam merasa beruntung memiliki teman sebaik Juju. Pemuda yang sudah membantunya bisa tinggal di sini, pun mengeluarkan ia dari masa sulit saat-saat awal merantau.

“Iya, masuk aja, Pak Min,” jawab Nilam tanpa merubah posisi.

Lelaki tinggi kurus itu gayanya sedikit gemulai, tapi ia sudah memiliki empat orang anak di kampung. Pak Min sangat akrab dengan semua penghuni kost, sebab orangnya lucu dan terkadang mengundang keusilan mereka.

“ASTAGFIRULLAHALADZHIM!!”

Suara keras berasal dari Pak Min membuat Nilam terduduk. Tadinya ia bermaksud akan menghubungi seorang teman, suara ‘tut’ pertama sudah terdengar, segera Nilam tekan tombol merah di layar ponselnya.

“Ada apa, Pak Min?”

Setiba di dapur Nilam melihat lelaki tua itu pasi, matanya tertuju pada satu titik. Kalimat istighfar terucap lirih berulang dari mulutnya.

“Pak Min?” Nilam menyodok lengan lelaki yang masih terpaku itu dengan telunjuk. Pak Min sontak menoleh.

“I-itu, Neng. Ada orang terasa memegang kuat tangan bapak. Tadi teh bapak mau benerin itu yang copot. Tangannya sedingin es, Neng,” katanya cepat dengan logat Sunda kental, sambil menunjuk saluran air di sisi bawah tembok luar.

Sambungan pipa itu menyambung antar kamar, sebagai pembuangan air mandi dan cuci.

Nilam ikut melihat, sepertinya pada bagian sambungan sedikit terlepas. Beberapa air sampai meluber ke lantai tanpa keramik di tempat jemurannya. Mengeluarkan bau tak sedap.

“Tangan siapa, Pak Min? Nggak ada orang di sini,” goda Nilam berpura melihat ke sana-sini.

Kemudian keusilannya tiba-tiba muncul. Ia bermaksud menakuti lelaki ceking yang terlihat ragu-ragu berjalan kembali mendekati pipa.

Nilam keluarkan tawa menyerupai suara hantu di film yang pernah ditonton. Menurutnya terdengar cempreng dan lucu. Namun, di pendengaran Pak Min suara itu seperti tawa lengking menggema di dalam gua.

“WWUUAAAAA!”

Pak Min berlari keluar, tanpa menengok kembali ke belakang. Sandal jepit hijaunya di paving tak sempat terpasang, sebelahnya malah teronggok tiga meter jauhnya, akibat tertendang kaki lelaki itu.

Nilam tertawa puas sambil memegang perut. Matanya berair, akibat terlalu geli melihat lelaki tua itu terbirit seolah melihat Jin seram.

Tak ia sadari, Pak Min amat ketakutan sampai ngompol di celana.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    61. Akhir

    Wajah Nilam pucat pasi. Pemuda yang ia kenal sopan, bagaimana bisa berubah bagai singa yang siap menerkam? Gigi Kusdi saling beradu ketat, mata merah tak lepas memandangnya dengan rona amarah sengit. Belum lagi dari tubuh pemuda itu menggeliat, menerjang siapa pun yang mengganggu. Walau sia-sia saja, karena puluhan santri dengan kekuatan cengkaraman juga dzikir mampu mengendalikan geraknya. Tubuh pemuda itu tertawan, hingga akhirnya tergolek lemah kehabisan tenanga. Sekarang ia sudah dibawa ke ruang kesehatan milik pondok ini. Nilam bersyukur kejadian barusan saat ia di pondok, sehingga ada banyak yang membantunya. Andai Kusdi menyerangnya di rumah, maka ia tak tahu apa yang akan terjadi dengan diri dan keluarganya. Ternyata semua masih berkaitan dengan kalimat yang menjadi momok untuknya dulu ‘Tumbal Kesembilan’. Kata-kata dari mulut Kusdi itu tadi mengingatkannya pada kejadian sepulang dari Dukuh Gelap. Sungguh tak disangka dirinya masih dijadikan target tumbal. “Mau minum lagi

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    60. Mengamankan Keluarga Kecil Nilam

    Semuanya jadi menatap ke pintu.“Eh, Pak Malvin?” gumam Nilam dengan mata sedikit membesar. Ia kaget melihat di sana ada lelaki yang pernah mampir ke laundrynya bersama Hwa beberapa bulan lalu.“Assalamu’alaikum…”“Wa’alaikummussalam ….”“Oom Apiin!” Ali menghampiri lelaki itu. Ali dan Malvin memang akrab sejak bertemu pertama di acara pernikahan Hwa, saat itu Nilam memang datang membawanya.“Sama siapa, Pak?” Nilam bertanya setelah persilakan tamunya duduk. Sebenarnya ia menahan tanya, dari mana lelaki itu tahu alamat rumahnya, sebab Hwa saja tak tahu.“Sendiri, Nilam, saya mampir sebentar cuma mau kasih ini buat Ali.” Sekotak besar biru yang dibawa Malvin tadi disodorkan pada Ali, dan langsung mendapat ucapan terima kasih dari anak itu. “Ini hadiah ulang tahun Ali minggu lalu. Tak apa ‘kan om terlambat kasih, kebetulan saya baru ingat.”Ali yang tadi kurang segar mendadak tersenyum lebar, berterima kasih lagi setelah melihat isi kado itu. Ia dan Mischa yang bantu membukakan hadiahny

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    59. Sosok Pembebas Bayang Gelap

    Mata gelap pekat dari pemuda bertubuh kurus yang terus menatap satu titik itu menggambarkan sebuah ambisi. Flashback on. Mundur pada kejadian setahun sebelumnya …. Sebuah kampung yang bertetanggaan dengan Dukuh Gelap, tengah terjadi keriuhan di salah satu rumah warga. Mereka berkumpul dengan wajah-wajah emosi meneriakkan serapah, wujud kemarahan pada satu orang warga mereka. Telah 30-an orang berkumpul hingga datang seseorang yang mengaku melihat kejadian tadi, ia pun mengarahkan puluhan orang memegang obor itu menuju sudut kampung. Mengarah pada satu rumah tua kosong. Mereka percepat langkah melihat ada titik cahaya dari dalam menandakan benar ada orang di sana. Sementara itu … di dalam bilik rumah kayu tersebut tampak lelaki muda berkulit gelap tengah siap menggagahi seorang gadis yang dalam keadaan tak sadarkan diri. Gadis berkulit putih mulus yang dikenal sebagai kembang desa telah ia bebaskan dari pakaian penutup. Menatap semua yang tampak di depan mata seperti singa kelaparan

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    58. Ada Apa?

    “Aneh …,” gumam Nilam sambil menoleh pada Ali dalam gendongan.“Ali nggak apa-apa, Nak?” Makin merasa aneh ia melihat Ali yang biasa ceria tiba-tiba pendiam. Tanpa disadarinya itu terjadi sejak tadi, saat ia bicara dengan Kusdi.Anak itu berkedip sayu membuat Nilam mengira Ali sedang mengantuk.“Nanti tidurnya, jam segini tanggung. Ali belum makan ‘kan?”Nilam bicara sambil menyeret langkah ke belakang. Ia yang dalam keadaan agak linglung memanggil mama mertuanya.Namun, tidak ada jawaban. Ali yang semakin berat membuat tangan Nilam pegal, ia pun mendudukkan anak itu di kursi makan.“Ali makan dulu. Maafin mama ya sampe lengah gini.” Diusapnya wajah Ali dengan tangan basah. Namun tetap saja wajah itu tampak loyo.Masuk makanan tiga suap setelahnya Ali menolak.“Baik kalau sudah nggak mau. Minum dulu.”Usai itu ia menggamit Ali akan ke kamar. Saat ka

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    58. Ada yang Aneh

    Tiga tahun berlalu …. “Ali!” Perempuan berhijab kuning gading keluar pintu rumah, celingukan ke arah sekitar halaman. Baru mengembuskan napas lega melihat orang yang dicari ada di sana. “Eh, anak mama lagi ngapain?” Perempuan itu tak lain adalah Nilam, ia mendekati anak lelaki yang sedang berjongkok menatap sudut selokan pembuangan air. Tadi, Ali--putranya yang sudah berusia tepat tiga tahun minggu lalu itu tiba-tiba hilang dari pandangan. Padahal sebelumnya Nilam masih melihat anak itu bermain di ruang berbatas dengan dapur. Tak bisa dirinya lengah sedikit pun, Ali bisa tiba-tiba begini. “A-da Olang!” kata bocah berbibir merah itu terbata menunjuk pojokan. “Orang?” Sempat terhenyak tapi kemudian segera menggeleng, Nilam mengangkat tubuh mungil itu, untuk digendong di pinggangnya. “Nggak ada orang, Sayang. Ayo, kita main di dalam. Kalau di sini mama nggak lihat Ali main.” Nilam mengecup gemas si pipi gembil. Saat Ali kembali menoleh ke belakang dari balik pundaknya, perempuan ya

  • Ditandai Sebagai Tumbal Saat Pulang Kampung    57. Juju Junior

    Tiba di tempat yang disebutkan petugas kepolisian Nilam, ibu mertua, dan saudara Juju melihat di lokasi kejadian mobil Juju menghilang sudah ramai kerumunan orang. Hardtop kuning yang pernah sampai di Dusun Gelap itu ada di bahu jalan, dan sedang dipasang garis polisi."Ini baru terlihat, ada yang laporan langsung kita hubungi keluarga," jelas petugas yang sudah mengenal keluarga Juju itu."A-ape di dalam ade anak enyak, Pak?""Iya, ada, Bu. Keluarga harap kuat, karena ini kejadian kita sudah tau lama jadi kondisi korban tidak bisa ditolong."Obrolan terputus saat sirene mendekat. "Itu ambulans. Keluarga diperbolehkan melihat dari jauh dulu. Kita langsung ke rumah sakit." Setelah menyebutkan nama rumah sakit yang dituju petugas bersuara tegas itu meninggalkan mereka.Nurmi dan Nilam saling berpegangan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status