Share

8. Ada yang Aneh

Di Dukuh Gelap ….

Suara binatang malam bersahutan, seakan-akan membicarakan pertemuan dua orang di tepi telaga.

Ada lelaki dan perempuan sedang berhadapan di sana. Wajah mereka tak tampak, sebab tertutup gelapnya malam. Derak ranting yang telah menjadi arang terdengar saat si perempuan melangkah maju.

Lelaki itu dalam posisi duduk bersila itu matanya terpejam, tapi bibirnya berucap.

“Bagus! Aku sekarang bisa bersamanya, hahahaaa. Kau sudah jalankan perintah dengan baik. Pulanglah, apa yang kujanjikan sudah menunggumu di rumah.” Suara berat dan serak itu mengakhiri pertemuan mereka.

Perempuan berperawakan sedang itu berbalik, dalam gelap melangkah cepat menyusuri jalan setapak. Daster lebarnya mengepak tertiup angin malam, mengiringi kibasan rambut yang terurai sepinggang. Ia tampak beberapa kali mengusap air mata.

“Maaf, Ni … aku terpaksa,” lirihnya sambil terisak. Di pikirannya, ada penyesalan telah merelakan teman sendiri untuk dijadikan sebagai korban lelaki itu. Ia tahu setelah ini Nilam tak akan bisa lepas lagi.

***

Nilam telah sampai di Jakarta. Walaupun tertidur lama, hampir sepanjang perjalanan tadi, tak membuat gadis berkaos pink itu terlihat lemas. Wajahnya justru tampak semringah saat memberhentikan angkutan kota yang ditumpangi.

“Kiri, Bang,” ucapnya.

Semburat lembayung indah terlihat menyambut mentari yang di ufuk Barat, seakan turut menyambut kedatangan Nilam. Di terminak bus tadi ia berpisah dengan Juju, naik angkot jurusan berbeda, pulang ke rumah masing-masing.

Gadis berkuncir satu itu bergegas menuju rumah luas ber-cat hijau tosca.

Pagar besi hitam setinggi tiga meter didorongnya, setelah memutar kode pada gembok yang sudah ia hapal di luar kepala.

“Babee,” sapa Nilam pada saat matanya menangkap seorang lelaki berperut buncit, tengah berada di depan dua sangkar burung piaraan.

Siulan lelaki paruh baya itu terhenti. Menurunkan kaca mata tebalnya ke batang hidung, memicing menatap Nilam saksama.

“Eh, Nilam?” katanya setelah menyadari gadis itu sangat dikenal.

“Iya, Be. Baru aja nyampe.” Nilam mengangguk kecil sembari tersenyum.

“Buru-buru amat ninggalin Mak, Lu? Bukannye dimari bilang cuti seminggu?” Suara besar milik lelaki berkulit gelap itu keluar, matanya belum lepas dari sosok Nilam.

Secara penampilan, pakaian yang dipakai gadis penghuni kos-nya selama tiga tahun ini sama seperti biasa--sederhana, tapi cantik. Hanya … Babe merasa ada sesuatu lain berbeda. Mata Babe makin menyipit memandangi Nilam.

“Ng, iya, Be.” Nilam memainkan anak rambutnya, kemudian garuk-garuk kepala yang tak gatal. Ia bingung akan menjawab apa. Mau dijelaskan semua terlalu panjang lebar, sekarang ia hanya ingin cepat bertemu kasur tercinta yang dirindukan.

“Nilam masuk dulu, ya, Be. Capek, nih.” Tangannya mengipas-ngias wajah yang mengkilap berkeringat, efek tadi berdesakan di dalam angkutan.

“Iye, istirahat, gih! Eh, si Juki langsung pulang?”

“Iya, Be. Tadi langsung misah di terminal. Mari, Be,” pamit Nilam gegas ke belakang.

“Iye.”

Babe akan kembali menimang burung hijau kekuningan berparuh pink itu, ia tersentak mundur beberapa langkah. Ada sekelebat bayangan gelap melesat lewat—mengikuti langkah Nilam.

Tatapan Babe masih melongo ke arah punggung gadis berambut coklat itu, sampai menghilang tertutup tembok belakang rumah.

‘Ada yang aneh …,’ pikirnya keras.

Babe kembali terkejut saat merasakan sesuatu menarik telinganya cukup keras. Lelaki berwajah khas Betawi ini bergerak ke arah seseorang bermata lebar berdiri di sampingnya.

“Liat ape? Liat ape?!” Wanita bertubuh tinggi besar melotot penuh amarah.

“Kagak Munah, itu—“

“Itu ape?! Sejak kapan liatin Nilam begitu? Ingat, Be, die itu pantas jadi anak. Anak!” Ulangnya sekeras mungkin seakan-akan menembus telinga suaminya.

Babe mengusap wajah, memasang raut kesal. Istrinya ini kalau bicara terlalu cepat dan keras begini, selalu muncul hujan kecil dari mulutnya, menyiprat keluar.

“Iye, tau! Sape juga. Itu tadi ada-“ Ucapan Babe terputus saat wanita itu memelintir daging lengannya dengan jari. Ia mengaduh seraya mundur selangkah, mengusap bekas cubitan Maemunah.

“Awas, kalau Babe genit! Gua akan keluarin semua ntu anak cewek, biar ganti jadi kost-an laki aje!” kata Maemunah berakhir dengan hentakan kaki masuk ke rumah.

“Eh, Maemunah. Jangan sembarang nuduh lu jadi bini, kagak baek!” Babe berkacak pinggang, kesal.

Setelah ditinggal Maemunah masuk, mulut Babe hampir akan bersiul lagi, tapi urung. Menurut lelaki pecinta burung ini, siulan itu akan dirasakan tak nyaman oleh piaraan kalau dilakukan dengan rasa tak senang.

Karena, sekarang hatinya sedang kesal dicurigai Maemunah. Menurut Babe, biar ia dibilang suami jelek, tapi kesetiaan itu utama yang dijaganya sejak dulu. Dua puluh lima tahun menikahi Maemunah, tak pernah terbersit mau mencari istri baru. Walaupun tubuh wanita yang dulunya langsing sekarang tak berbentuk lagi. Dan, Babe paling tak suka di curigai.

Belum lagi … hawa angin dingin serasa berdesir sampai masuk ke dalam dadanya, membuat Babe merasa tak enak.

Ia mengusap-usap dada, sambil berucap istighfar. Sebelum masuk rumah, kembali matanya menyapu ke sekitar halaman.

“Aneh, kenape berasa kaya ada orang, ye?” Ia bergumam lagi pada diri sendiri, kemudian menggaruk dahi.

Setelah yakin tak ada siapa pun, Babe cepat-cepat masuk sambil mengusap tengkuk. Ia merasa bulu halusnya semua berdiri.

Sementara itu, Nilam melangkah ringan menuju bangunan bertuliskan Kost Putri. Letaknya menghadap tembok pembatas halaman belakang rumah Babe.

Bangunan itu ber-cat kuning, dengan empat pintu. Masing-masing ruang berukuran lima kali enam, tambah dua meter dapur dan jemuran pribadi. Selasar antar kamar dihalangi tembok setinggi dada.

Luas tanah milik Babe dan Nyak—panggilan mereka untuk Maemunah—ini cukup untuk dua rumah ukuran besar. Halaman yang tersisa juga masih cukup luas.

Yang Nilam tahu dari Juju, teman sekaligus keponakan Maemunah. Wanita bersuara cempreng itu dulunya adalah anak seorang tuan tanah yang disegani di Kampung Betawi.

Orang tuanya tak pernah tertarik menjual tanah-tanah yang mereka miliki, meski ditawar dengan harga tinggi. Karena itu sekarang Maemunah dan dua saudaranya bisa berjaya hidup dari usaha rumah kontrakan di ibu kota ini.

Selain di sini, ada tiga kontrakan lain milik keluarga yang dikenal selalu ramai itu—semua penghuninya suka berbicara dengan suara keras, mengalahkan satu toa masjid. Apalagi kalau saudara lain datang berkumpul di sana, mungkin pasar saja akan kalah dengan ramainya.

Empat perempuan yang tinggal di kost ini semua sudah bekerja. Biasanya mereka akan berkumpul menjelang matahari tenggelam, atau kalau jalanan macet bisa saat gelap baru tiba di kamar masing-masing.

Baru pergi beberapa hari, Nilam sudah merindu suasana. Hubungan bersama teman-temannya di sini sudah seperti keluarga.

Nilam menempati pintu nomor dua dari Barat. Ia melepas sepatu saat akan naik ke selasar berkeramik hijau. Gadis itu merogoh kantung depan ransel, menarik kunci bergantungan Hello Kitty berpita biru.

Saat mendorong pintu, indera penciumannya mendengkus bau busuk dan amis. Seperti bau saluran pembuangan pencucian yang pernah tersumbat dulu, di dapur resto tempatnya bekerja. Udara yang pengap membuat Nilam menahan napas.

Cepat-cepat ia dorong lebar daun pintu, jendela depan dan dapur pun dibuka menganga. Udara sejuk yang masuk cukup melonggarkan rongga pernapasan Nilam.

Merasa malas membuka pintu belakang untuk mengecek asal bau, Nilam memilih masuk kamar. Di ruang tiga kali empat bercat pink itu, ia segera menjatuhkan tubuh di kasur. Kasur busa ini tempat ternyaman baginya melepas penat.

Tangannya menggapai kipas angin duduk di meja, menekan tombol angka satu.

“Ah, leganya ….”

Ia terlentang, menjejakkan dua tapak kakinya di dinding, menatap langit-langit. Ini kebiasaan yang ia lakukan biasanya setiap pulang bekerja—posisi ternyaman menghilangkan lelah kaki. Dan, itu cukup manjur.

Teringat sesuatu, Nilam mengambil ponsel yang sudah ia aktifkan tadi di bis.

“Pak Min, tolong. Ini ada bau busuk di kamarku.” Kalimat singkat ia tuju pada tukang taman dan bagian perbaikan di rumah Babe ini. Biasanya apa saja keluhan penghuni kos akan cepat ditangani.

“Neng Nilam, bapak ijin masuk, ya?”

Tak menunggu lama, suara khas lelaki lima puluhan tahun itu muncul di pintu. Itulah kenapa Nilam sangat puas dengan pelayanan di sini, sedikit ada keluhan akan cepat ditangani. Selain nyaman, masalah keamanan penghuni juga utama oleh Babe.

Harga sewa masih di bawah tempat lain yang sebagus ini. Nilam merasa beruntung memiliki teman sebaik Juju. Pemuda yang sudah membantunya bisa tinggal di sini, pun mengeluarkan ia dari masa sulit saat-saat awal merantau.

“Iya, masuk aja, Pak Min,” jawab Nilam tanpa merubah posisi.

Lelaki tinggi kurus itu gayanya sedikit gemulai, tapi ia sudah memiliki empat orang anak di kampung. Pak Min sangat akrab dengan semua penghuni kost, sebab orangnya lucu dan terkadang mengundang keusilan mereka.

“ASTAGFIRULLAHALADZHIM!!”

Suara keras berasal dari Pak Min membuat Nilam terduduk. Tadinya ia bermaksud akan menghubungi seorang teman, suara ‘tut’ pertama sudah terdengar, segera Nilam tekan tombol merah di layar ponselnya.

“Ada apa, Pak Min?”

Setiba di dapur Nilam melihat lelaki tua itu pasi, matanya tertuju pada satu titik. Kalimat istighfar terucap lirih berulang dari mulutnya.

“Pak Min?” Nilam menyodok lengan lelaki yang masih terpaku itu dengan telunjuk. Pak Min sontak menoleh.

“I-itu, Neng. Ada orang terasa memegang kuat tangan bapak. Tadi teh bapak mau benerin itu yang copot. Tangannya sedingin es, Neng,” katanya cepat dengan logat Sunda kental, sambil menunjuk saluran air di sisi bawah tembok luar.

Sambungan pipa itu menyambung antar kamar, sebagai pembuangan air mandi dan cuci.

Nilam ikut melihat, sepertinya pada bagian sambungan sedikit terlepas. Beberapa air sampai meluber ke lantai tanpa keramik di tempat jemurannya. Mengeluarkan bau tak sedap.

“Tangan siapa, Pak Min? Nggak ada orang di sini,” goda Nilam berpura melihat ke sana-sini.

Kemudian keusilannya tiba-tiba muncul. Ia bermaksud menakuti lelaki ceking yang terlihat ragu-ragu berjalan kembali mendekati pipa.

Nilam keluarkan tawa menyerupai suara hantu di film yang pernah ditonton. Menurutnya terdengar cempreng dan lucu. Namun, di pendengaran Pak Min suara itu seperti tawa lengking menggema di dalam gua.

“WWUUAAAAA!”

Pak Min berlari keluar, tanpa menengok kembali ke belakang. Sandal jepit hijaunya di paving tak sempat terpasang, sebelahnya malah teronggok tiga meter jauhnya, akibat tertendang kaki lelaki itu.

Nilam tertawa puas sambil memegang perut. Matanya berair, akibat terlalu geli melihat lelaki tua itu terbirit seolah melihat Jin seram.

Tak ia sadari, Pak Min amat ketakutan sampai ngompol di celana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status