Di Dukuh Gelap ….
Suara binatang malam bersahutan, seakan-akan membicarakan pertemuan dua orang di tepi telaga.
Ada lelaki dan perempuan sedang berhadapan di sana. Wajah mereka tak tampak, sebab tertutup gelapnya malam. Derak ranting yang telah menjadi arang terdengar saat si perempuan melangkah maju.
Lelaki itu dalam posisi duduk bersila itu matanya terpejam, tapi bibirnya berucap.
“Bagus! Aku sekarang bisa bersamanya, hahahaaa. Kau sudah jalankan perintah dengan baik. Pulanglah, apa yang kujanjikan sudah menunggumu di rumah.” Suara berat dan serak itu mengakhiri pertemuan mereka.
Perempuan berperawakan sedang itu berbalik, dalam gelap melangkah cepat menyusuri jalan setapak. Daster lebarnya mengepak tertiup angin malam, mengiringi kibasan rambut yang terurai sepinggang. Ia tampak beberapa kali mengusap air mata.
“Maaf, Ni … aku terpaksa,” lirihnya sambil terisak. Di pikirannya, ada penyesalan telah merelakan teman sendiri untuk dijadikan sebagai korban lelaki itu. Ia tahu setelah ini Nilam tak akan bisa lepas lagi.
***
Nilam telah sampai di Jakarta. Walaupun tertidur lama, hampir sepanjang perjalanan tadi, tak membuat gadis berkaos pink itu terlihat lemas. Wajahnya justru tampak semringah saat memberhentikan angkutan kota yang ditumpangi.
“Kiri, Bang,” ucapnya.
Semburat lembayung indah terlihat menyambut mentari yang di ufuk Barat, seakan turut menyambut kedatangan Nilam. Di terminak bus tadi ia berpisah dengan Juju, naik angkot jurusan berbeda, pulang ke rumah masing-masing.
Gadis berkuncir satu itu bergegas menuju rumah luas ber-cat hijau tosca.
Pagar besi hitam setinggi tiga meter didorongnya, setelah memutar kode pada gembok yang sudah ia hapal di luar kepala.
“Babee,” sapa Nilam pada saat matanya menangkap seorang lelaki berperut buncit, tengah berada di depan dua sangkar burung piaraan.
Siulan lelaki paruh baya itu terhenti. Menurunkan kaca mata tebalnya ke batang hidung, memicing menatap Nilam saksama.
“Eh, Nilam?” katanya setelah menyadari gadis itu sangat dikenal.
“Iya, Be. Baru aja nyampe.” Nilam mengangguk kecil sembari tersenyum.
“Buru-buru amat ninggalin Mak, Lu? Bukannye dimari bilang cuti seminggu?” Suara besar milik lelaki berkulit gelap itu keluar, matanya belum lepas dari sosok Nilam.
Secara penampilan, pakaian yang dipakai gadis penghuni kos-nya selama tiga tahun ini sama seperti biasa--sederhana, tapi cantik. Hanya … Babe merasa ada sesuatu lain berbeda. Mata Babe makin menyipit memandangi Nilam.
“Ng, iya, Be.” Nilam memainkan anak rambutnya, kemudian garuk-garuk kepala yang tak gatal. Ia bingung akan menjawab apa. Mau dijelaskan semua terlalu panjang lebar, sekarang ia hanya ingin cepat bertemu kasur tercinta yang dirindukan.
“Nilam masuk dulu, ya, Be. Capek, nih.” Tangannya mengipas-ngias wajah yang mengkilap berkeringat, efek tadi berdesakan di dalam angkutan.
“Iye, istirahat, gih! Eh, si Juki langsung pulang?”
“Iya, Be. Tadi langsung misah di terminal. Mari, Be,” pamit Nilam gegas ke belakang.
“Iye.”
Babe akan kembali menimang burung hijau kekuningan berparuh pink itu, ia tersentak mundur beberapa langkah. Ada sekelebat bayangan gelap melesat lewat—mengikuti langkah Nilam.
Tatapan Babe masih melongo ke arah punggung gadis berambut coklat itu, sampai menghilang tertutup tembok belakang rumah.
‘Ada yang aneh …,’ pikirnya keras.
Babe kembali terkejut saat merasakan sesuatu menarik telinganya cukup keras. Lelaki berwajah khas Betawi ini bergerak ke arah seseorang bermata lebar berdiri di sampingnya.
“Liat ape? Liat ape?!” Wanita bertubuh tinggi besar melotot penuh amarah.
“Kagak Munah, itu—“
“Itu ape?! Sejak kapan liatin Nilam begitu? Ingat, Be, die itu pantas jadi anak. Anak!” Ulangnya sekeras mungkin seakan-akan menembus telinga suaminya.
Babe mengusap wajah, memasang raut kesal. Istrinya ini kalau bicara terlalu cepat dan keras begini, selalu muncul hujan kecil dari mulutnya, menyiprat keluar.
“Iye, tau! Sape juga. Itu tadi ada-“ Ucapan Babe terputus saat wanita itu memelintir daging lengannya dengan jari. Ia mengaduh seraya mundur selangkah, mengusap bekas cubitan Maemunah.
“Awas, kalau Babe genit! Gua akan keluarin semua ntu anak cewek, biar ganti jadi kost-an laki aje!” kata Maemunah berakhir dengan hentakan kaki masuk ke rumah.
“Eh, Maemunah. Jangan sembarang nuduh lu jadi bini, kagak baek!” Babe berkacak pinggang, kesal.
Setelah ditinggal Maemunah masuk, mulut Babe hampir akan bersiul lagi, tapi urung. Menurut lelaki pecinta burung ini, siulan itu akan dirasakan tak nyaman oleh piaraan kalau dilakukan dengan rasa tak senang.
Karena, sekarang hatinya sedang kesal dicurigai Maemunah. Menurut Babe, biar ia dibilang suami jelek, tapi kesetiaan itu utama yang dijaganya sejak dulu. Dua puluh lima tahun menikahi Maemunah, tak pernah terbersit mau mencari istri baru. Walaupun tubuh wanita yang dulunya langsing sekarang tak berbentuk lagi. Dan, Babe paling tak suka di curigai.
Belum lagi … hawa angin dingin serasa berdesir sampai masuk ke dalam dadanya, membuat Babe merasa tak enak.
Ia mengusap-usap dada, sambil berucap istighfar. Sebelum masuk rumah, kembali matanya menyapu ke sekitar halaman.
“Aneh, kenape berasa kaya ada orang, ye?” Ia bergumam lagi pada diri sendiri, kemudian menggaruk dahi.
Setelah yakin tak ada siapa pun, Babe cepat-cepat masuk sambil mengusap tengkuk. Ia merasa bulu halusnya semua berdiri.
Sementara itu, Nilam melangkah ringan menuju bangunan bertuliskan Kost Putri. Letaknya menghadap tembok pembatas halaman belakang rumah Babe.
Bangunan itu ber-cat kuning, dengan empat pintu. Masing-masing ruang berukuran lima kali enam, tambah dua meter dapur dan jemuran pribadi. Selasar antar kamar dihalangi tembok setinggi dada.
Luas tanah milik Babe dan Nyak—panggilan mereka untuk Maemunah—ini cukup untuk dua rumah ukuran besar. Halaman yang tersisa juga masih cukup luas.
Yang Nilam tahu dari Juju, teman sekaligus keponakan Maemunah. Wanita bersuara cempreng itu dulunya adalah anak seorang tuan tanah yang disegani di Kampung Betawi.
Orang tuanya tak pernah tertarik menjual tanah-tanah yang mereka miliki, meski ditawar dengan harga tinggi. Karena itu sekarang Maemunah dan dua saudaranya bisa berjaya hidup dari usaha rumah kontrakan di ibu kota ini.
Selain di sini, ada tiga kontrakan lain milik keluarga yang dikenal selalu ramai itu—semua penghuninya suka berbicara dengan suara keras, mengalahkan satu toa masjid. Apalagi kalau saudara lain datang berkumpul di sana, mungkin pasar saja akan kalah dengan ramainya.
Empat perempuan yang tinggal di kost ini semua sudah bekerja. Biasanya mereka akan berkumpul menjelang matahari tenggelam, atau kalau jalanan macet bisa saat gelap baru tiba di kamar masing-masing.
Baru pergi beberapa hari, Nilam sudah merindu suasana. Hubungan bersama teman-temannya di sini sudah seperti keluarga.
Nilam menempati pintu nomor dua dari Barat. Ia melepas sepatu saat akan naik ke selasar berkeramik hijau. Gadis itu merogoh kantung depan ransel, menarik kunci bergantungan Hello Kitty berpita biru.
Saat mendorong pintu, indera penciumannya mendengkus bau busuk dan amis. Seperti bau saluran pembuangan pencucian yang pernah tersumbat dulu, di dapur resto tempatnya bekerja. Udara yang pengap membuat Nilam menahan napas.
Cepat-cepat ia dorong lebar daun pintu, jendela depan dan dapur pun dibuka menganga. Udara sejuk yang masuk cukup melonggarkan rongga pernapasan Nilam.
Merasa malas membuka pintu belakang untuk mengecek asal bau, Nilam memilih masuk kamar. Di ruang tiga kali empat bercat pink itu, ia segera menjatuhkan tubuh di kasur. Kasur busa ini tempat ternyaman baginya melepas penat.
Tangannya menggapai kipas angin duduk di meja, menekan tombol angka satu.
“Ah, leganya ….”
Ia terlentang, menjejakkan dua tapak kakinya di dinding, menatap langit-langit. Ini kebiasaan yang ia lakukan biasanya setiap pulang bekerja—posisi ternyaman menghilangkan lelah kaki. Dan, itu cukup manjur.
Teringat sesuatu, Nilam mengambil ponsel yang sudah ia aktifkan tadi di bis.
“Pak Min, tolong. Ini ada bau busuk di kamarku.” Kalimat singkat ia tuju pada tukang taman dan bagian perbaikan di rumah Babe ini. Biasanya apa saja keluhan penghuni kos akan cepat ditangani.
“Neng Nilam, bapak ijin masuk, ya?”
Tak menunggu lama, suara khas lelaki lima puluhan tahun itu muncul di pintu. Itulah kenapa Nilam sangat puas dengan pelayanan di sini, sedikit ada keluhan akan cepat ditangani. Selain nyaman, masalah keamanan penghuni juga utama oleh Babe.
Harga sewa masih di bawah tempat lain yang sebagus ini. Nilam merasa beruntung memiliki teman sebaik Juju. Pemuda yang sudah membantunya bisa tinggal di sini, pun mengeluarkan ia dari masa sulit saat-saat awal merantau.
“Iya, masuk aja, Pak Min,” jawab Nilam tanpa merubah posisi.
Lelaki tinggi kurus itu gayanya sedikit gemulai, tapi ia sudah memiliki empat orang anak di kampung. Pak Min sangat akrab dengan semua penghuni kost, sebab orangnya lucu dan terkadang mengundang keusilan mereka.
“ASTAGFIRULLAHALADZHIM!!”
Suara keras berasal dari Pak Min membuat Nilam terduduk. Tadinya ia bermaksud akan menghubungi seorang teman, suara ‘tut’ pertama sudah terdengar, segera Nilam tekan tombol merah di layar ponselnya.
“Ada apa, Pak Min?”
Setiba di dapur Nilam melihat lelaki tua itu pasi, matanya tertuju pada satu titik. Kalimat istighfar terucap lirih berulang dari mulutnya.
“Pak Min?” Nilam menyodok lengan lelaki yang masih terpaku itu dengan telunjuk. Pak Min sontak menoleh.
“I-itu, Neng. Ada orang terasa memegang kuat tangan bapak. Tadi teh bapak mau benerin itu yang copot. Tangannya sedingin es, Neng,” katanya cepat dengan logat Sunda kental, sambil menunjuk saluran air di sisi bawah tembok luar.
Sambungan pipa itu menyambung antar kamar, sebagai pembuangan air mandi dan cuci.
Nilam ikut melihat, sepertinya pada bagian sambungan sedikit terlepas. Beberapa air sampai meluber ke lantai tanpa keramik di tempat jemurannya. Mengeluarkan bau tak sedap.
“Tangan siapa, Pak Min? Nggak ada orang di sini,” goda Nilam berpura melihat ke sana-sini.
Kemudian keusilannya tiba-tiba muncul. Ia bermaksud menakuti lelaki ceking yang terlihat ragu-ragu berjalan kembali mendekati pipa.
Nilam keluarkan tawa menyerupai suara hantu di film yang pernah ditonton. Menurutnya terdengar cempreng dan lucu. Namun, di pendengaran Pak Min suara itu seperti tawa lengking menggema di dalam gua.
“WWUUAAAAA!”
Pak Min berlari keluar, tanpa menengok kembali ke belakang. Sandal jepit hijaunya di paving tak sempat terpasang, sebelahnya malah teronggok tiga meter jauhnya, akibat tertendang kaki lelaki itu.
Nilam tertawa puas sambil memegang perut. Matanya berair, akibat terlalu geli melihat lelaki tua itu terbirit seolah melihat Jin seram.
Tak ia sadari, Pak Min amat ketakutan sampai ngompol di celana.
Dari rumah besar di depan terdengar suara tawa keras dari Babe dan Nyak, menertawakan Pak Min.“Bersihkan sendiri tuh ompol. Udeh tua juga sampe ngucur begitu,” kata Babe terkekeh, sambil menunjuk tetesan air memanjang dari luar hingga ke garasi.Di pojokan Pak Min membungkuk, menutupi celana yang basah. Lutut dan badannya gemetar hebat.Wajahnya pasi tanpa warna, kecamuk rasa bercampur di kepala lelaki paruh baya itu. Rasa malu tertutupi oleh takut luar biasa. Sosok bayangan hitam ia lihat tadi melingkupi tubuh Nilam. Belum lagi suara tawanya ... Iih! Pak Min menggidik sambil memeluk badan.Jantungnya bertalu berusaha menenangkan diri. Dua majikan yang ada di ruang itu tak menyadari apa yang ia rasa. Mereka malah terus tergelak lucu, lalu meninggalkannya ke belakang.Pak min kembali terlo
Tetes demi tetes darah mengalir dari hidung Nilam membasahi sprei. Bau amis menyengat merebak memenuhi kamar. Tubuh yang belum bisa bergerak membuat Nilam pasrahmemejamkan mata kuat. Merasakan pemilik napas dingin yang tak terlihat itu seakan menghisap darah dari tubuhnya. Semakin banyak keluar Nilam merasa lemah. Sampai kemudian tubuhnya terasa melayang, saat mencoba buka mata pandangannya menggelap. Detik kemudian, wajah Nilam tertelungkup di tempat, basah terkena genangan darah di kasurnya. *** Di Dusun Gelap, seorang lelaki tua duduk tampak duduk bersila, dalam kegelapan. Tiba-tiba ia tersentak mundur. Seketika itu juga mulutnya meringis dengan tangan mengusap dada. “Sial! Apa yang dimiliki anak itu sampai sulit kudapatkan?!” Penuh amarah ia mengamuk, memukul tanah dan menendang rerumputan.
Di ruang khusus karyawan, para gadis dan pemuda menyiapkan diri akan bekerja sebelum restoran buka. Seragam yang mereka kenakan hari ini paduan warna pink dan putih, perempuan mengenakan Dress Vintage dengan rok berenda mekar di atas lutut. Dilengkapi stoking dan sepatu balet. Hampir semua berambut panjang berwarna mencolok. Coklat kemerahan seperti rambut Nilam, blonde, sampai ghosted hair yang keputihan seperti uban. Tampilan sempurna itu ditunjang dengan mata berbinar dan senyum tak lepas dari bibir, salah satu standar pelayanan mereka. Selain menikmati hidangan istimewa, para pelanggan pun terhibur melihat para Waiter dan Waitress lalu-lalang seperti Putri dan Pangeran dari negeri Dongeng. Bisa sejenak melepas penat mereka yang ingin bersantai. Nilam memasang kontak lensa coklat muda. Rambut panjangnya bagian sisi dijepit ke tenga
Lelaki tua itu terpental sambil memekik kesakitan. Punggungnya menubruk pohon besar, lalu tersungkur di atas akarnya. Erangan kesakitannya terdengar oleh Nilam, tapi ia tak bisa melihat kondisi orang itu.Detik selanjutnya tubuh Nilam kembali melayang, melesat cepat menampati pada raga kaku di atas kasur. Tubuhnya sempat bergerak lemah, lalu kembali tenang dalam lelap.Di tempat lain, seorang lelaki muda duduk di atas hamparan sajadah. Jari kanannya bergerak pelan bertasbih dengan suara kecil, hanya terdengar di telinganya sendiri. Setelah selesai ia memanjatkan doa dengan sepenuh hati.Sepulang dari kampung Nilam, Juju rutin terbangun tengah malam, mengambil wudu dan salat sunah. Peristiwa yang dialami Nilam amat lekat dalam benak. Kekhawatiran yang menguatkan imannya. Menyadari tidak ada tempat meminta pertolongan selain pada Sang Pemilik Kehidupan itu sendiri.
“Kalau kita nikah gue akan jaga loe.” Baru kali ini Nilam melihat Juju sangat serius, ia sampai menahan diri untuk tak tertawa. “Besok aja kita omongin. Ini jam berapa?” Nilam menarik pergelangan Juju melihat jam tangan. “Ya ampun jam sebelas, Ju, Babe—“ “Ni, serius. Kita harus nikah secepatnya.” Hening tercipta, Juju menahan dua bahu Nilam untuk saling bertatapan dalam jarak dekat, terhenti saat gadis itu membuang pandang ke sekitar, dua orang dewasa sampai berhenti melihat arah mereka. Cepat Nilam melepaskan tangan Juju. “Diliatin orang, tuh,” katanya kikuk. Merasa tak nyaman jadi tontonan Juju mengajaknya pulang, naik taksi tanpa argo yang mangkal depan gedung rumah sakit. Selama perjalanan keduanya hening, hanyut dalam pikiran masing-masing. Juju yang berusaha meredam perasaannya bercampur ke
Kenapa dengan gadis itu?Ada apa dengan Nilam?Benak Hwa terus bertanya sambil sesekali melihat spion belakang da suasana depan padat belum bisa membuat mobilnya bergerak.Juju yang tadi melaju lebih dulu di depan sana terlihat kembali berlari ke sini, menyelip di antara padatnya roda dua dan empat yang berhenti.“Di depan ada kecelakaan. Biar Nilam ikut motor aja,” saran Juju pada Hwa setelah kaca mobil diturunkan.“Tidak bisa, Ju, lihat dia menggigil,” jawab Bon Hwa. Rahangnya menegang, menekan klakson berkali-kali. Usahanya sia-sia.“Darah lagi?!” Leli kaget menyadari cairan merah yang tadi cuma menetes kini mengucur keluar dari hidung Nilam.Buru-buru ia lagi menyambar tisu, mengus
Hari hampir siang, setengan sebelas Juju sudah berangkat dari rumah. Sebelum bekerja ia akan ke kos Nilam dulu, gadis itu memang sudah mendapat izin tak masuk hari ini, oleh Hwa. Juju hanya ingin memastikan kondisinya saja.Ponsel Nilam dihubungi tidak aktif sedari pagi, itu membuatnya khawatir.Tanpa mampir ke rumah Babe, pemuda itu gegas mengayunkan langkah ke kos belakang. Nilam pasti sendiri, teman kos lain sudah berangkat kerja, Juju hanya merasa atas kejadian mengerikan tadi malam tak seharusnya Nilam ditinggal sendiri.Melihat pintu tertutup rapat degup jantung Juju berdetak cepat, ada perasaan tak enak menghinggapi melihat ruang yang ditempati Nilam itu. Terasa suram.“Nilam!” panggilnya sambil mengetuk pintu.Tak ada jawaban.Diulang lagi. Tetap hening.Jangan-jangan … gadis itu kambuh lagi? pikirnya segera ke samping, menggedor jendela kaca bagian kamar.Juju terpaksa menginjak tanaman di b
Brukk! Pintu terdorong keras, Juju langsung melangkah ke kamar Nilam. Terdorong perasaan tidak enak ia tadi kembali ke sini. Segera terlihat olehnya Suci duduk di samping Nilam, menepuk pelan pipi gadis itu. Juju mendekat melihat Nilam tegak di tempatnya dengan mata membulat, lalu memegang perut terbungkuk seperti menahan mual. “Loe kenapa, Ni?” Juju mendorong Suci yang tergeragap bingung melihat keadaan Nilam, agar menjauh. “Hoekk!” Nilam terbungkuk menekan perut yang terasa bergelombang, ada sesuatu bergerak naik ke dada. Juju membuka plastik yang diambil dari meja dipasang ke pangkuan Nilam. Dengan sabar menepuk-nepuk punggung, sembari memijit ringan bahunya berharap mual Nilam berkurang. “Kalau ada apa-apa sama Nilam elo harus tanggungjawab!” ancam Juju pada Suci, yang ia tahu ada di belakangnya. Suci memang berdiri di sudut, merapat pada dinding. Pisau kecil yang sempat disembunyikan di dalam baju tadi kembali diambil, tub