“Gina.”
Semua mata langsung menoleh. Reksa berdiri tidak jauh dari sana, tangannya dimasukkan ke saku celana, ekspresinya datar tapi cukup untuk membuat siapa pun merasa terancam. “Kenapa kau ada di sini?” tanyanya dengan nada santai, meski ada sedikit sindiran yang jelas tersembunyi di balik kata-katanya. Siswa kelas tiga seharusnya tidak berada di Koridor wilayah kelas dua, apalagi tanpa alasan yang jelas. Gina tersenyum lebar, langkah cerianya tidak menunjukkan sedikit pun rasa takut. Seakan tak menyadari bahaya yang mengintai, ia mendekat pada Reksa dengan semangat yang tak terhitung. “Reksa! Aku mencarimu kemana-mana!” Reksa mengangkat alis, Pandangannya tetap dingin, "mencariku?" suaranya terdengar datar, nyaris tak berintonasi. "Untuk apa?" Gina berhenti tepat di depannya, mencoba menampilkan senyum manis yang mungkin efektif bagi orang lain, tapi jelas tidak bagi Reksa. “Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Kita kan belum bertemu hari ini,” ucapnya dengan nada lembut. Reksa mendengus pelan, matanya menyipit dengan tajam. “Berhenti melakukan itu. Apakah aku tidak cukup keras saat menolakmu?” Suara tawa yang tertahan terdengar. Hampir semua orang yang mendengar pernyataan itu menahan tawanya, beberapa di antaranya menunduk agar tidak ketahuan. Ekspresi Gina berubah drastis. Wajahnya menegang, rahangnya mengatup erat. Seketika, senyumnya pudar, tergantikan kilatan emosi yang berusaha ia redam. "Apakah itu karena cewek ini?" tanyanya, menunjuk ke arah Fiora, “yang orang bilang sebagai pesuruhmu?” Reksa mengerutkan kening, matanya semakin gelap. Aroma pinus dan citrus yang pedas perlahan memenuhi udara, meresap ke dalam setiap tarikan napas orang-orang di sekitarnya. Feromon seorang alpha yang sedang tidak senang. Dia melangkah maju, mengikis jarak antara dirinya dan Gina hingga hanya tersisa beberapa jengkal. “Dengar,” ucapnya, suaranya lebih rendah namun jauh lebih berbahaya dari sebelumnya. “Aku muak dengan dramamu. Jika kau masih belum paham setelah semua ini, aku akan mengatakannya.” Reksa berhenti sejenak, membiarkan ketegangan menggantung di udara. Beberapa siswa yang menonton dari jauh menelan ludah, merasa ada sesuatu yang menekan di dada mereka, naluri mereka memberi tahu bahwa mereka harus berhati-hati. “Jangan sentuh dia. Jangan ganggu dia. Jika kau tahu apa yang terbaik untukmu, dengarkan baik-baik peringatanku.” Dada Gina naik turun, tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Feromon Reksa menekan instingnya sebagai Omega, membuat tubuhnya secara naluriah ingin menyerah, meskipun amarahnya bergejolak. Bibirnya bergetar, matanya menyala penuh kebencian, tetapi ia tahu ia tak bisa melawan dominasi seorang Alpha dalam keadaan seperti ini. Di bawah tatapan tajam Reksa dan perhatian semua orang yang tertuju padanya, Gina tidak punya pilihan selain mundur. Dengan gerakan penuh gengsi, ia membalikkan badan dan berjalan pergi, diikuti teman-temannya yang tampak lebih takut daripada dirinya. Setelah mereka pergi, Reksa berniat kembali ke kelas. Tatapannya sempat bertemu dengan mata Fiora, hanya sesaat sebelum ia memutus kontak dan berjalan melewatinya begitu saja, meninggalkan Fiora dalam kebingungan atas sikap heroiknya. Talia melihat ke arah Fiora, matanya penuh keheranan, seolah mencari jawaban di balik kejadian itu. "Reksa... membelamu?" tanyanya, nada suaranya setengah tidak percaya, setengah tertawa. "Apakah ini berarti dunia sedang berputar terbalik sekarang?" Talia masih tampak bingung, tidak bisa memercayai kenyataan yang baru saja terjadi. Di hadapannya, Fiora tetap diam, hanya bisa merasakan getaran aneh yang menggantung di jantungnya. *** “Perhatian semuanya,” suara wali kelas menggema, membuat suasana kelas langsung hening. “Kita kedatangan siswa baru hari ini. Maaf atas keterlambatannya, Nabila harus menyelesaikan beberapa administrasi terlebih dahulu.” Nabila sudah berdiri di samping wali kelas, tubuhnya tegap dengan ekspresi tenang. Rambut hitam lurusnya jatuh sampai pinggang, dan ada senyum tipis yang menghiasi wajahnya. “Halo, aku Nabila,” ucapnya dengan suara tenang. “Senang bisa bergabung di kelas ini. Mohon bantuannya.” Bisik-bisik kecil mulai terdengar dari belah bibir para siswa di kelas. "Seorang omega?" “Cantik, ya.” “Dia terlihat ramah.” “Tapi entah kenapa, tatapannya agak sulit ditebak.” "Aku tidak suka, dia terlihat lebih cantik dariku." "Inilah saatnya untuk melepas masa lajangku!" "Apakah kau tidak terlalu percaya diri?" Wali kelas tidak memedulikan gumaman para siswa dan segera menunjuk bangku kosong di dekat Fiora. “Nabila, kau bisa duduk di sana.” Tanpa banyak bicara, Nabila mengangguk dan melangkah menuju tempat duduknya, masih dengan senyum tipis di wajahnya. Setelah Nabila duduk, beberapa pasang mata masih melirik ke arahnya dengan berbagai ekspresi seperti penasaran, kagum, atau bahkan iri. Namun, gadis itu tampak tidak terganggu. Ia hanya merapikan seragamnya dan menatap lurus ke depan, seakan tidak peduli dengan suasana di sekelilingnya. Fiora, yang duduk tepat di sebelahnya, melirik sekilas. Tidak ada yang aneh dari Nabila, selain aura tenangnya yang terasa sedikit berbeda dari siswa baru pada umumnya. Namun, semakin lama ia duduk di dekatnya, semakin ia menyadari sesuatu—aroma vanila yang samar, lembut, dan manis... terlalu manis. Baunya tidak menyengat atau menarik perhatian, tapi juga tidak sepenuhnya bisa diabaikan. Fiora tidak terlalu memikirkannya, menganggapnya hanya bagian dari kepribadian tenang yang ditunjukkan Nabila sejak awal. “Hai,” Fiora akhirnya menyapa pelan. Nabila menoleh dan tersenyum kecil. “Hai juga.” Tidak ada kelanjutan setelah itu, tetapi Fiora merasa Nabila bukan orang yang sulit didekati. Wali kelas duduk di meja guru, membuka daftar hadir. Ia menghela napas panjang, menekan pelipisnya sejenak untuk meredakan sakit kepala yang mulai menyerang. Seharusnya ini bukan waktunya untuk memberi wejangan, tetapi ia harus melakukannya sebelum memulai pelajaran. Matanya menyusuri ruangan, lalu berhenti pada satu orang yang sudah terlalu sering menjadi topik pembicaraan di ruang guru. Dengan nada penuh keluhan, ia menyebut nama itu. “Reksa.” Reksa yang duduk santai di bangkunya hanya mengangkat kepala sedikit, menanggapi dengan sedikit malas. “Ya?” Wali kelas menatapnya tajam. “Berapa kali aku harus menasihatimu untuk berhenti membolos? Aku sudah mendapat teguran dari guru BK gara-gara ulahmu.” Tidak ada yang berani berbicara. Semua mata tertuju pada Reksa, menunggu reaksinya. Namun, seperti biasa, Reksa hanya mengangkat bahu dengan sikap acuh tak acuh. “Aku tidak akan mengulanginya lagi, Pak.” Jawaban itu terdengar datar, tidak ada kesan menyesal, dan semua orang tahu kalau itu hanya omong kosong. Wali kelas mendesah pelan, tampak menahan diri untuk tidak mengomel lebih panjang. Ia sudah terlalu sering menghadapi hal seperti ini. Di antara para siswa yang memperhatikan, ada Nabila yang melihat Reksa tanpa berkedip. Dia baru pertama kali melihat langsung sosok seperti Reksa. Dadanya terasa aneh, Seolah ada sesuatu yang bergetar pelan di dalamnya. Dia tidak tahu kenapa, tetapi matanya sulit lepas dari sosok itu. Rahang tegas, sorot mata tajam, dan ekspresi datarnya seolah menciptakan aura dingin yang sulit ditembus. Ditambah lagi, caranya merespons wali kelas dengan tenang, tanpa sedikit pun kepanikan. Semuanya membuatnya terlihat begitu keren. Tanpa sadar, senyum tipis muncul di bibirnya. Untuk pertama kalinya, Nabila menyadari bahwa dia baru saja jatuh cinta pada pandangan pertama. “Nabila, kau baik-baik saja?” Sebuah suara memecah lamunannya. Fiora, yang duduk di sebelahnya, menatapnya dengan dahi berkerut. “Wajahmu merah, apakah kau demam?” Nabila tersentak. Ia baru sadar kalau pipinya memang terasa panas. “A-ah, tidak! Aku hanya... kepanasan,” ujarnya buru-buru. Ia mengibas-ngibaskan tangannya, berusaha menyembunyikan kegugupannya, tetapi gerakannya terlalu cepat, nyaris kikuk. Fiora menatapnya sekilas sebelum mengerutkan kening. 'Feromonnya semakin menyengat?' gumamnya dalam hati, merasa ada sesuatu yang janggal. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Sementara itu, di tempat duduknya, Reksa sempat melirik ke arah mereka sebentar sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela, seolah tidak tertarik. Namun, benarkah begitu?Meski hasil pemeriksaan menyatakan tidak ada kecacatan maupun kekurangan perawatan, pihak sekolah tetap menjatuhkan hukuman skors kepada Fiora atas tersebarnya foto-foto di forum sekolah.Di sisi lain, Sarah akhirnya mengambil keputusan besar. Ia menggugat cerai Dito. Kejadian di depan rumah tempo hari hanya mempercepat langkah yang sebenarnya sudah lama ia persiapkan. Bahkan sebelum semua ini terjadi, Sarah telah menyiapkan rumah sewa untuk dirinya dan Fiora.Namun sebelum proses itu rampung, Fiora tinggal bersama Reksa selama seminggu penuh. Hari-hari itu memberinya jeda, ruang untuk bernapas, sebelum ia akhirnya dijemput oleh ibunya.Hari pertama Fiora kembali ke sekolah bertepatan dengan berakhirnya efek penandaan sementara. Begitu efek itu habis, ia serasa diterpa badai feromon, aroma orang-orang di sekitarnya menyesakan, jauh lebih kuat daripada sebelumnya. Rupanya penandaan itu selama ini menjadi semacam penghalang, mengurangi intensitas aroma yang sampai padanya. Tanpa itu, ia
Udara di ruang pemeriksaan rumah sakit tercium samar antiseptik. Fiora duduk di kursi yang disediakan, jari-jarinya meremas ujung roknya. Reksa berdiri di samping, diam namun waspada, tatapannya tak lepas dari dokter yang sedang membacakan hasil akhir pemeriksaan.“Seluruh hasilnya normal,” kata dokter itu akhirnya. “Tidak ada tanda kerusakan atau risiko yang membahayakan.”Fiora mengembuskan napas yang sedari tadi ia tahan.Namun, wajah salah satu petugas dari Pusat Pembinaan Dinamika Sekunder yang ikut menyaksikan pemeriksaan itu terlihat masam. “Sayang sekali, kami pikir akan ada alasan kuat untuk membawamu ke pusat pembinaan.”Nada suaranya kasar, menyiratkan kekecewaan yang tak seharusnya diucapkan di tempat seperti ini. Reksa langsung menegang, matanya menyipit.“Kenapa Anda berminat sekali membawa seorang omega ke sana? Untuk merawat mereka? Kalian baik sekali.”Senyum yang dia berikan terlihat manis di permukaan, tapi dingin di ujungnya.Petugas di seberangnya sempat terdiam s
Pagi itu, Reksa berdiri di depan gerbang rumah Fiora, menunggu pemilik rumah keluar. Alpha tersebut hanya berharap Fiora mau memaafkan dan mendengarkan penjelasannya. Mereka bahkan belum sempat menikmati satu kencan pun sebagai pasangan resmi, kenapa takdir begitu kejam padanya? Senyum tipis muncul di wajah Reksa saat melihat Fiora keluar, rapi dengan seragam sekolahnya.“Selamat pagi,” sapanya.Fiora membalas senyum, disertai dengusan kecil. “Pagi. Ada apa dengan kantung matamu? Kau lupa tidur semalam?”"Setelah kejadian kemarin bagaimana aku bisa tidur?" Reksa mengusap tengkuknya. “Aku bisa,” jawab Fiora ringan, meski tatapannya tetap terfokus ke kantong mata Reksa."Kau... " Reksa berkata dengan ragu-ragu. "Kau sudah tidak marah padaku?""Tidak. Aku tidak marah. Baiklah sedikit." Fiora mengoreksi setelah melihat tatapan menuduh Reksa. "Itu karena kau masih menyimpan fotoku. Kenapa tidak menghapusnya?"Reksa menarik napas, menunduk seolah mencari kata yang tepat. “Kau terlihat bag
Reksa memarkirkan motornya tepat di depan pagar besi yang catnya mulai mengelupas. Lampu teras rumah itu memancarkan cahaya pucat, sekadar cukup untuk menyingkap bayangan seorang pria berpostur tegap di ambang pintu.Fiora turun dari motor dengan pelan, menghindari melakukan tindakan yang menarik perhatiannya. Pria itu Dito, ayahnya, menatap sekilas. Tak ada sapaan, maupun senyuman. Hanya tatapan singkat yang terasa dingin sebelum ia memutar badan dan mendorong pintu. Dentumannya memecah kesunyian malam.Reksa mengerjap, kaget. “Ayahmu masih marah?”Fiora menghela napas pendek. “Tidak. Memang seperti itu. Sekarang… suka membanting barang yang disentuhnya.”Reksa menatap pintu yang tertutup. “Kedengarannya sehat sekali.”Fiora diam.“Serius,” katanya lagi, “kau bisa saja keluar dari rumah ini.”“Aku tidak bisa.”“Bisa.” Reksa menatapnya lebih lama. “Cari tempat lain. Tinggal di rumah sewa. Atau di tempatku.”Fiora menarik napas. “Tidak semudah itu.”"Kenapa?""Aku tidak bisa meninggal
Fiora merasa panik, matanya bergerak gelisah mencari tanda-tanda kemarahan pada Reksa. Ia tak bisa menahan cemasnya, khawatir Reksa akan langsung meledak terhadap provokasi yang dilakukan Cakra. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Reksa hanya tersenyum tipis, wajahnya tetap tenang meski matanya terlihat tajam. Dia menarik napas sejenak sebelum menjawab, intonasinya rendah namun jelas. “Kalau begitu aku berterima kasih padamu.”Fiora terkejut mendengar reaksi Reksa yang jauh lebih sabar dan terkendali dari yang ia duga. Ia menatap Reksa, agak bingung, namun merasa lega.Cakra, di sisi lain, tampak tidak puas. Senyum nakalnya sedikit memudar, digantikan ekspresi yang lebih datar. “Tsk. Kalian benar-benar membosankan.” Dengan satu lambaian tangan, Cakra mundur.Baru saat itu Fiora menyadari keberadaan kerumunan di sekitar mereka. Para siswa yang tadinya menunggu tontonan drama picisan gratis di sekolah mulai bubar, kecewa karena pertunjukan yang dinanti tak kunjung terjadi."Fiora, ki
Bayangan itu bergerak, melangkah pelan keluar dari kegelapan. Di bawah lampu jalan yang remang, wajahnya mulai terlihat. Rahang tegas, mata menatap tajam, tapi senyum kecil menghias wajah yang familiar.“Cakra,” gumam Fiora, suara tercekat keluar dari bibirnya.Cakra, mendekat perlahan, seperti pemburu yang tahu mangsanya tak bisa kabur. “Lama tidak bertemu, Fiora.”Fiora mundur selangkah. “Apa… apa yang kau lakukan di sini? Kau mengikutiku?”Cakra menyeringai, bahunya terangkat sedikit seakan Meledek. “Mengikutimu? Serius, kau pikir aku punya waktu untuk itu?” Dia menatap Fiora dari ujung kepala hingga ujung kaki, bibirnya masih melengkung, tersenyum nakal. “Tapi ya, harus kuakui, ekspresimu tadi cukup menghibur.”Fiora mendengus kesal, memutar bola matanya. Ia mencoba berjalan melewati Cakra, tetapi lengannya dihentikan dengan lembut.“Di mana wingman-mu itu? Jarang sekali aku melihatmu sendirian,” ujar Cakra, nadanya setengah bercanda.“Biarkan aku pergi, Cakra,” jawab Fiora datar.