Share

Bab 4. Muncul antagonis?

Author: Lemonia
last update Last Updated: 2025-03-25 07:16:39

“Seperti yang kita semua tahu, dalam masyarakat kita, ada tiga sekunder gender utama yaitu Alpha, Beta, dan Omega. Setiap sekunder memiliki karakteristik biologis yang berbeda, terutama dalam hal interaksi sosial dan hubungan pasangan,” ucap Pak Dwi sambil memandang seisi kelas.

Semua siswa terlihat kompak mengangguk, meskipun beberapa diantaranya sebenarnya masih bingung.

Mengerti kebingungan siswanya, Pak Dwi melanjutkan penjelasannya. "Dari zaman dulu hingga sekarang, hubungan antara individu dari jenis kelamin sekunder yang berbeda telah menjadi topik yang menarik. Beberapa orang memiliki aturan ketat tentang perkawinan, sementara yang lainnya lebih fleksibel. Namun, yang pasti, jalinan hubungan tidak hanya sekadar tentang cinta atau ketertarikan, tetapi juga tentang kompatibilitas biologis."

"Hari ini, kita akan membahas tentang ikatan perkawinan dalam sistem ABO. Bagaimana ikatan ini terbentuk? Apa saja konsekuensinya, baik secara biologis maupun sosial? Dan apakah semua pasangan benar-benar membutuhkan ikatan ini untuk hidup bahagia?"

"Baik, mari kita mulai dengan dasar-dasarnya. Ada yang bisa menjelaskan perbedaan mendasar antara ikatan Alpha-Omega dan pasangan lainnya?"

Pelajaran berlangsung dengan lancar. Setelah selesai menjelaskan, Pak Dwi meminta para siswa untuk duduk berkelompok seperti pertemuan kemarin. Total ada delapan kelompok, masing-masing berisi empat siswa.

Fiora bangkit dari bangkunya dan pindah duduk bersama teman sekelompoknya yang kebetulan berada tepat di depan tempat dimana Reksa duduk.

Reksa menyeringai kecil ketika Fiora duduk di depannya. Awalnya, ia hanya mengetuk-ngetukkan kakinya ke belakang kursi yang Fiora duduki, membuat kursi itu sedikit bergetar. Fiora tetap tenang, memilih untuk tidak bereaksi.

Melihat respons Fiora yang begitu acuh, Reksa mulai kehilangan kesabaran. Ia merobek selembar kertas dari buku catatannya, meremasnya menjadi bola kecil, lalu melemparkannya ke arah Fiora. Bola kertas itu mendarat di atas meja yang digunakan Fiora dengan pelan, nyaris tak terdengar.

Hal itu membuat teman kelompoknya ikut menaruh atensi padanya. Terpaksa Fiora berhenti menulis, menatap bola kertas di depannya tanpa emosi. Ia mengambilnya, lalu meletakkannya di pojok meja agar tidak mengganggu. Fiora berencana untuk membuangnya nanti setelah kelas berakhir. Fiora masih tidak ingin menoleh ke belakang, bahkan kucing pun akan pergi jika dicueki.

Tapi Reksa bukan kucing, dia kembali meremas selembar kertas, lalu melemparkannya ke arah Fiora. Bola kertas itu mengenai sisi bahu Fiora sebelum jatuh menggelinding ke meja, sampai bersisihan dengan bola kertas pertama. Fiora menghela napas panjang, mencoba menahan diri untuk tetap tenang. Dia akhirnya menoleh ke belakang.

Fiora mendapati Reksa menyender santai di kursinya dengan senyum lebar, mungkin senang karena berhasil membuatnya menyerah dengan pendiriannya. Dia menunjuk bola kertas tadi menggunakan dagunya, sebelum memberi isyarat. "Buka," ujarnya pelan, tapi cukup jelas untuk didengar Fiora.

Dengan ragu, Fiora mengambil bola kertas itu dan membukanya perlahan. Tulisannya rapi, untuk ukuran bocah nakal sepertinya.

'Tidak perlu membeli roti, aku ingin makan di kantin hari ini.'

Fiora mendongak, menatap Reksa yang menampilkan ekspresi datar. Ia tidak langsung berkata apa-apa, hanya mengamati bagaimana anak itu tampak puas dengan perintahnya.

"Apa susahnya bicara?" tanya Fiora lirih, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Namun, Reksa hanya mengangkat bahu, senyumnya masih terpasang. "Lebih seru begini," jawabnya dengan nada main-main. Fiora mendesah kecil.

Fiora meremas kembali kertas itu dan meletakkannya di sudut mejanya, lalu kembali menghadap ke depan tanpa berkata apa-apa lagi.

***

Fiora akhirnya bisa bernapas lega. Setidaknya, untuk saat ini, ia tidak perlu berurusan langsung dengan Reksa. Perintah singkat tadi, meskipun mengganggu, memberinya ruang untuk menikmati waktu makan siang tanpa tekanan.

Di kantin, Fiora duduk bersama Talia di sudut ruangan, memilih meja yang cukup tenang. Suasana kantin siang itu ramai seperti biasa, dengan suara obrolan siswa yang bersahut-sahutan. Fiora mencoba menikmati semangkuk soto hangat yang baru saja diantarkan, menyampingkan fakta bahwa Reksa juga ada di tempat yang sama, meskipun duduk cukup jauh darinya bersama teman-temannya.

Talia, yang duduk di seberang Fiora, memecah keheningan dengan suara ringan. "Akhirnya, kau bisa makan dengan santai, ya?"

Fiora mengangguk kecil sambil mengaduk sotonya, mencium aroma kuah kaldu yang harum. Ia menyendok satu suapan, menyeruput kuahnya perlahan. "Iya. Aku cuma berharap dia tidak tiba-tiba datang untuk cari masalah."

Talia tertawa kecil sambil menirukan Fiora, menyeruput kuah soto yang mengepul. "Dia selalu punya cara, sih. Tapi, aku masih tidak mengerti. Dia tiba-tiba memberimu tisu basah buat bersihin coretan di meja itu, padahal itu ulahnya sendiri. Bukannya aneh, ya? Yah meski fakta bahwa dia menganggumu yang 'seorang beta biasa' sudah cukup aneh."

Fiora hanya tersenyum sambil menambahkan sedikit jeruk nipis ke dalam mangkuknya. Rasa segar dari jeruk itu bercampur sempurna dengan kuah sotonya. "Itu membuktikan kalau dia masih punya hati nurani."

Talia menyipitkan mata, seperti tidak yakin. "Hati nurani? Reksa? Aku sih lebih percaya kalau itu cuma bagian dari akalnya buat tetap kelihatan keren di mata orang."

Fiora hanya tersenyum tipis, lalu memandang sekitar kantin dengan hati-hati. Ia memastikan jarak antara dirinya dan Reksa tetap aman. Di meja sana, Reksa terlihat menikmati mendengarkan celotehan Dion dan Andi, tampak tidak peduli pada kehadirannya.

***

Fiora dan Talia melangkah keluar dari kantin, meninggalkan hiruk-pikuk suara siswa yang masih sibuk menikmati makan siang. Udara di lorong terasa lebih sejuk, menyegarkan setelah panas dan sesaknya kantin.

Talia menghela napas panjang. "Duh, pelajaran selanjutnya fisika, ya? Itu pelajaran yang paling susah untuk dicerna."

Fiora tersenyum tipis. "Kau hanya perlu sedikit menghafal rumus dan memahaminya."

"Itu mudah diucapkan namun sulit dilakukan."

Fiora mengangguk pelan, senyumannya berubah sedikit lelah. "Benar, aku juga berpikir begitu."

Namun, langkah mereka mendadak terhenti ketika tiga siswi muncul di depan mereka, menghadang di tengah lorong. Gina berdiri di tengah, auranya khas seorang Omega yang sadar akan daya tariknya. Rambutnya tergerai sempurna seperti sengaja ditata hanya untuk momen seperti ini. Aroma manis yang samar melayang di udara, memberi kesan lembut, tapi juga menekan.

Senyum penuh kesombongan terukir di wajahnya, dengan dagu terangkat seperti seorang ratu yang hendak memerintah bawahannya.

"Fiora, kan? Seorang beta?" sapanya dengan nada manis yang terdengar palsu, penuh pendangan merendahkan. Gina memainkan ujung rambutnya dengan jari. "Aku dengar kau sekarang lumayan dekat dengan Reksa."

Fiora menatap Gina dengan tenang, meskipun jantungnya sedikit berdebar. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini akan berlanjut. "Tidak," jawabnya singkat.

Gina menaikkan alisnya, berpura-pura terkejut dengan jawaban Fiora. "Oh, begitu? Tapi semua orang bilang kau selalu berada di dekatnya. Bukankah itu sedikit... mencurigakan? Meski kau seorang beta." Kalimat terakhirnya terdengar jelas mengejek.

Salah satu temannya yang berdiri di sebelah kiri maju sedikit untuk membisikkan sesuatu pada Gina, nadanya berbisik namun sengaja dibuat agar cukup terdengar. "Ya ampun, jadi dia hanya pesuruhnya? Kalau begitu, kenapa aku harus khawatir?" ucapnya dengan senyum mengejek yang membuat Talia mengepalkan tangan.

Fiora menarik napas panjang, berusaha menjaga ketenangannya. Dia tahu, meladeni mereka hanya akan membuat semuanya semakin buruk. "Kalau kalian sudah selesai, permisi, aku ada kelas untuk dihadiri."

Namun, Gina menahan lengannya, senyumnya semakin melebar. "Ah, jangan terlalu terburu-buru, Fiora. Aku hanya ingin tahu, bagaimana rasanya menjadi seorang pesuruh?"

Talia, yang sedari tadi diam, akhirnya membuka suara, nadanya tajam. "Dan apa urusanmu soal itu? Jika kau tidak punya hal lain yang lebih penting, sebaiknya kau berhenti buang-buang waktu kami."

Gina mendelik, terlihat terganggu oleh keberanian Talia. Namun, dia tidak berkata apa-apa lagi, hanya menatap Fiora lagi. "Ingat, kau hanya pesuruh, jangan terlalu bangga."

Sebelum Talia sempat membela temannya lagi, suara dingin memotong suasana tegang itu.

“Gina.”

Semua mata langsung menoleh. Reksa berdiri tidak jauh dari sana, tangannya dimasukkan ke saku celana, ekspresinya datar tapi cukup untuk membuat siapa pun merasa terancam.

“Ngapain kau di sini?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ditandai oleh Bajingan yang Membuliku   Bab 52. Ya, aku milikmu.

    Meski hasil pemeriksaan menyatakan tidak ada kecacatan maupun kekurangan perawatan, pihak sekolah tetap menjatuhkan hukuman skors kepada Fiora atas tersebarnya foto-foto di forum sekolah.Di sisi lain, Sarah akhirnya mengambil keputusan besar. Ia menggugat cerai Dito. Kejadian di depan rumah tempo hari hanya mempercepat langkah yang sebenarnya sudah lama ia persiapkan. Bahkan sebelum semua ini terjadi, Sarah telah menyiapkan rumah sewa untuk dirinya dan Fiora.Namun sebelum proses itu rampung, Fiora tinggal bersama Reksa selama seminggu penuh. Hari-hari itu memberinya jeda, ruang untuk bernapas, sebelum ia akhirnya dijemput oleh ibunya.Hari pertama Fiora kembali ke sekolah bertepatan dengan berakhirnya efek penandaan sementara. Begitu efek itu habis, ia serasa diterpa badai feromon, aroma orang-orang di sekitarnya menyesakan, jauh lebih kuat daripada sebelumnya. Rupanya penandaan itu selama ini menjadi semacam penghalang, mengurangi intensitas aroma yang sampai padanya. Tanpa itu, ia

  • Ditandai oleh Bajingan yang Membuliku   Bab 51. Ayah!

    Udara di ruang pemeriksaan rumah sakit tercium samar antiseptik. Fiora duduk di kursi yang disediakan, jari-jarinya meremas ujung roknya. Reksa berdiri di samping, diam namun waspada, tatapannya tak lepas dari dokter yang sedang membacakan hasil akhir pemeriksaan.“Seluruh hasilnya normal,” kata dokter itu akhirnya. “Tidak ada tanda kerusakan atau risiko yang membahayakan.”Fiora mengembuskan napas yang sedari tadi ia tahan.Namun, wajah salah satu petugas dari Pusat Pembinaan Dinamika Sekunder yang ikut menyaksikan pemeriksaan itu terlihat masam. “Sayang sekali, kami pikir akan ada alasan kuat untuk membawamu ke pusat pembinaan.”Nada suaranya kasar, menyiratkan kekecewaan yang tak seharusnya diucapkan di tempat seperti ini. Reksa langsung menegang, matanya menyipit.“Kenapa Anda berminat sekali membawa seorang omega ke sana? Untuk merawat mereka? Kalian baik sekali.”Senyum yang dia berikan terlihat manis di permukaan, tapi dingin di ujungnya.Petugas di seberangnya sempat terdiam s

  • Ditandai oleh Bajingan yang Membuliku   Bab 50. Pemeriksaan

    Pagi itu, Reksa berdiri di depan gerbang rumah Fiora, menunggu pemilik rumah keluar. Alpha tersebut hanya berharap Fiora mau memaafkan dan mendengarkan penjelasannya. Mereka bahkan belum sempat menikmati satu kencan pun sebagai pasangan resmi, kenapa takdir begitu kejam padanya? Senyum tipis muncul di wajah Reksa saat melihat Fiora keluar, rapi dengan seragam sekolahnya.“Selamat pagi,” sapanya.Fiora membalas senyum, disertai dengusan kecil. “Pagi. Ada apa dengan kantung matamu? Kau lupa tidur semalam?”"Setelah kejadian kemarin bagaimana aku bisa tidur?" Reksa mengusap tengkuknya. “Aku bisa,” jawab Fiora ringan, meski tatapannya tetap terfokus ke kantong mata Reksa."Kau... " Reksa berkata dengan ragu-ragu. "Kau sudah tidak marah padaku?""Tidak. Aku tidak marah. Baiklah sedikit." Fiora mengoreksi setelah melihat tatapan menuduh Reksa. "Itu karena kau masih menyimpan fotoku. Kenapa tidak menghapusnya?"Reksa menarik napas, menunduk seolah mencari kata yang tepat. “Kau terlihat bag

  • Ditandai oleh Bajingan yang Membuliku   Bab 49. Forum sekolah

    Reksa memarkirkan motornya tepat di depan pagar besi yang catnya mulai mengelupas. Lampu teras rumah itu memancarkan cahaya pucat, sekadar cukup untuk menyingkap bayangan seorang pria berpostur tegap di ambang pintu.Fiora turun dari motor dengan pelan, menghindari melakukan tindakan yang menarik perhatiannya. Pria itu Dito, ayahnya, menatap sekilas. Tak ada sapaan, maupun senyuman. Hanya tatapan singkat yang terasa dingin sebelum ia memutar badan dan mendorong pintu. Dentumannya memecah kesunyian malam.Reksa mengerjap, kaget. “Ayahmu masih marah?”Fiora menghela napas pendek. “Tidak. Memang seperti itu. Sekarang… suka membanting barang yang disentuhnya.”Reksa menatap pintu yang tertutup. “Kedengarannya sehat sekali.”Fiora diam.“Serius,” katanya lagi, “kau bisa saja keluar dari rumah ini.”“Aku tidak bisa.”“Bisa.” Reksa menatapnya lebih lama. “Cari tempat lain. Tinggal di rumah sewa. Atau di tempatku.”Fiora menarik napas. “Tidak semudah itu.”"Kenapa?""Aku tidak bisa meninggal

  • Ditandai oleh Bajingan yang Membuliku   Bab 48. Aku cemburu

    Fiora merasa panik, matanya bergerak gelisah mencari tanda-tanda kemarahan pada Reksa. Ia tak bisa menahan cemasnya, khawatir Reksa akan langsung meledak terhadap provokasi yang dilakukan Cakra. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Reksa hanya tersenyum tipis, wajahnya tetap tenang meski matanya terlihat tajam. Dia menarik napas sejenak sebelum menjawab, intonasinya rendah namun jelas. “Kalau begitu aku berterima kasih padamu.”Fiora terkejut mendengar reaksi Reksa yang jauh lebih sabar dan terkendali dari yang ia duga. Ia menatap Reksa, agak bingung, namun merasa lega.Cakra, di sisi lain, tampak tidak puas. Senyum nakalnya sedikit memudar, digantikan ekspresi yang lebih datar. “Tsk. Kalian benar-benar membosankan.” Dengan satu lambaian tangan, Cakra mundur.Baru saat itu Fiora menyadari keberadaan kerumunan di sekitar mereka. Para siswa yang tadinya menunggu tontonan drama picisan gratis di sekolah mulai bubar, kecewa karena pertunjukan yang dinanti tak kunjung terjadi."Fiora, ki

  • Ditandai oleh Bajingan yang Membuliku   Bab 47. Tiba-tiba jadi pacar

    Bayangan itu bergerak, melangkah pelan keluar dari kegelapan. Di bawah lampu jalan yang remang, wajahnya mulai terlihat. Rahang tegas, mata menatap tajam, tapi senyum kecil menghias wajah yang familiar.“Cakra,” gumam Fiora, suara tercekat keluar dari bibirnya.Cakra, mendekat perlahan, seperti pemburu yang tahu mangsanya tak bisa kabur. “Lama tidak bertemu, Fiora.”Fiora mundur selangkah. “Apa… apa yang kau lakukan di sini? Kau mengikutiku?”Cakra menyeringai, bahunya terangkat sedikit seakan Meledek. “Mengikutimu? Serius, kau pikir aku punya waktu untuk itu?” Dia menatap Fiora dari ujung kepala hingga ujung kaki, bibirnya masih melengkung, tersenyum nakal. “Tapi ya, harus kuakui, ekspresimu tadi cukup menghibur.”Fiora mendengus kesal, memutar bola matanya. Ia mencoba berjalan melewati Cakra, tetapi lengannya dihentikan dengan lembut.“Di mana wingman-mu itu? Jarang sekali aku melihatmu sendirian,” ujar Cakra, nadanya setengah bercanda.“Biarkan aku pergi, Cakra,” jawab Fiora datar.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status