Matahari belum terlalu tinggi, tapi lapangan sudah terasa panas di bawah sepatunya. Fiora berdiri di barisan, tangannya bertumpu di pinggang, napasnya mulai berat meski pemanasan baru berlangsung beberapa menit. Keringat mengalir pelan dari pelipisnya, membasahi garis rahang, membuat helaian rambut menempel di kulit.
Ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Kepalanya sedikit pening, seperti berputar perlahan. Dunia terasa bergeser setengah langkah lebih cepat dari biasanya, membuat Fiora harus berdiri diam agar tidak kehilangan keseimbangan. Tapi yang paling mengganggu bukanlah pusing itu, melainkan panas yang muncul dari dalam tubuhnya sendiri. Panas itu menyebar dari dada, lalu mengendap di perut, membuat seluruh tubuhnya terasa tidak familiar, karena ini memang pertama kalinya Fiora mengalami ini. Napasnya tersengal, padahal dia belum berlari. Bahkan tidak sedang bergerak cepat. Jantungnya berdetak lebih keras dari biasanya, menciptakan ritme tak teratur yang membuatnya semakin gelisah. Sebenarnya, sudah dua hari ini indra penciumannya menjadi lebih tajam. Fiora bisa mencium bau keringat teman disebelahnya, aroma tajam rumput yang baru dipotong di halaman sekolah, bahkan wangi samar dari seseorang yang berdiri cukup jauh di depannya. Wanginya manis, namun entah kenapa membuat perutnya bergejolak tanpa sebab yang jelas. Semuanya terlalu jelas, terlalu kuat, hingga menyebabkan mual. “Fi, tidak seperti biasanya kau pakai parfum,” suara Talia terdengar dari samping, ringan seperti biasa, tapi ada nada penasaran di baliknya. Fiora menoleh cepat. “Apa?” “Seperti vanila tapi juga seperti wangi bunga. Mawar, mungkin? Tapi lebih lembut. Tidak terlalu menyengat, kok. Tenang saja." Fiora mengerutkan alis, lalu dengan hati-hati mengendus kerah bajunya. Tidak ada apa pun yang aneh. Hanya bau keringat yang samar, bercampur sisa sabun dari mandi pagi tadi, sabun biasa yang sudah ia pakai bertahun-tahun. "Aku tidak mencium bau apapun." Sebelum Talia sempat menjawab, peluit guru olahraga terdengar lagi, lebih tajam. Siswa-siswa mulai berpencar, beberapa sudah mengambil bola, sebagian lagi membentuk tim. Fiora mencoba tidak memikirkannya. Mencoba fokus pada permainan dan mengabaikan desiran aneh yang masih terasa dalam tubuhnya. Tapi semakin banyak ia bergerak, semakin cepat pula tenaganya terkuras. Nafasnya memburu lebih cepat dari biasanya, keringatnya mengucur deras, membasahi pelipis dan tengkuknya hingga seragam olahraga yang dipakainya terasa lengket dan tak nyaman. Dan kemudian, rasa nyeri itu datang. Tumpul di perut bagian bawah, seperti ditusuk pelan dari dalam, lalu menghilang sebelum sempat benar-benar menyakitkan. Yang lebih mengganggu adalah pandangan beberapa anak laki-laki. Terutama mereka yang berjenis Alpha. Mereka mulai melirik ke arahnya. Satu per satu. Tidak semua terang-terangan, tapi cukup jelas bagi Fiora yang sedang sangat sensitif terhadap sekelilingnya. Bukan tatapan biasa. Bukan karena rambutnya yang lepek atau seragam olahraga yang kusut. Ada sesuatu dalam pandangan mereka, seperti penciuman mereka menangkap hal yang bahkan tak bisa ia rasakan sendiri. “Pertandingan selesai!” seru pelatih dari pinggir lapangan. Fiora nyaris mendesah lega mendengarnya. Ia langsung berjalan ke pinggir lapangan, mengambil botol air dan meneguknya dengan cepat. Tapi bahkan air dingin tak benar-benar menurunkan panas dari dalam tubuhnya. Langkahnya terasa berat saat ia menuju ruang ganti lebih dulu dari yang lain. Saat kaus olahraga dilepas, Fiora bisa merasakan hembusan angin dari ventilasi menyentuh kulitnya yang basah oleh keringat. Meski hanya sesaat, sensasi dingin itu meredakan panas dalam tubuhnya sedikit. Ia bersandar ke loker, tubuhnya setengah limbung, dan memejamkan mata. Keningnya mengerut. ‘Aku harus ke UKS.’ Ada sesuatu yang salah. Keringatnya beraroma. Ia bisa menciumnya sekarang. Lembut, manis, samar seperti bunga mawar yang mekar. Seperti omega. Napasnya tercekat. Tubuhnya menegang. ‘Tidak. Tidak mungkin.’ Ia membuka mata perlahan, jantungnya berdetak kencang dan berantakan. 'Tidak.. aku beta!' “Fiora?” Suara itu membelah pikirannya yang kalut. Fiora menoleh pelan, matanya buram, baru menyadari bahwa Beberapa teman sekelasnya sudah masuk ke ruang ganti. Talia mendekat, menepuk bahunya pelan. Alisnya mengernyit. “Kau sangat pucat. Kau sakit?” Fiora ingin menjawab, tapi tenggorokannya kering. Matanya berair, tubuhnya mulai menggigil. Lututnya seperti tak kuat menopang beban. “Aku... aku harus ke UKS,” ucapnya akhirnya, suaranya serak dan nyaris tak terdengar. Ia buru-buru meraih seragam sekolah dan mengenakannya dengan tangan gemetar, tak peduli lagi apakah bajunya terpasang rapi atau tidak. "Aku akan mengantarmu," ujar Talia, masih mengenakan baju olahraganya. Ia menyusul Fiora dengan langkah cepat, namun baru beberapa langkah keluar ruang ganti, Talia berhenti dan menatapnya. Hidungnya sedikit mengernyit. “Fi, baumu semakin pekat.” Fiora hanya bisa menunduk. Napasnya tak teratur, dada naik-turun terlalu cepat, dan kulitnya meremang seolah suhu ruangan mendadak berubah. Perut bagian bawahnya kembali berdenyut pelan tapi menyiksa. “Tapi aku beta, Talia.” suaranya nyaris putus asa. “Aku sudah jadi beta sejak umur tujuh tahun! Hasilnya jelas.” Talia menelan ludah, menatapnya dalam diam sesaat. “Aku rasa, sudah tidak lagi.” *** Mereka sampai di UKS, tetapi ruangan itu kosong. Tak ada satu pun petugas yang berjaga. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, dan aroma disinfektan yang menusuk hidung. Fiora langsung menuju salah satu ranjang di pojok ruangan dan membaringkan tubuhnya yang gemetar. Kasurnya dingin, tapi itu tak cukup untuk meredakan panas yang membakar dari dalam. Panas di tubuhnya sudah tak bisa dikendalikan lagi. Keringat membasahi pelipis, dan matanya basah oleh rasa campur aduk yang tak ia pahami. Talia menutup pintu UKS dengan cepat, lalu segera bergegas membuka lemari satu per satu. Tangannya ikut gemetar, entah karena panik atau ikut terpengaruh aroma feromon Fiora yang semakin memenuhi ruangan. Matanya menyapu rak-rak kecil yang tertata seadanya, mencari Satu-satunya obat yang mungkin bisa meredakan sakitnya Fiora. “Sial…” gumamnya. “Di mana suppressant-nya?!” Lemari ketiga dibuka dengan kasar, lalu ditutup kembali dengan suara bantingan. “UKS macam apa ini?! Tidak ada petugas, tidak ada persediaan?" Fiora hanya bisa meringkuk, menahan diri untuk tidak mengerang. Panasnya sudah sampai ke tengkuk, tepat di tempat kelenjarnya berada. Aroma tubuhnya makin pekat, dan ia tahu, siapa pun yang berjenis Alpha dan cukup dekat pasti akan merasakannya juga. Dan itu menakutkan. Talia berbalik, menelan panik yang mulai memenuhi tenggorokannya. "Tunggu disini, aku akan meminta Suppressant dari omega yang paling dekat dari sini dan memanggil petugas untuk memeriksamu. Aku akan kembali secepatnya." Fiora hanya mengangguk. Pintu UKS terbuka dan tertutup lagi dalam waktu singkat. Talia menghilang di balik pintu tersebut. Untuk beberapa detik, UKS sunyi. Hanya deru napas Fiora yang terdengar, tercekat dan tersengal. Tubuhnya mulai berkeringat lebih deras. Bahkan seprai di bawahnya sudah lembap. Lalu, dari luar, terdengar suara. “Hei, apa kau mencium sesuatu?”Meski hasil pemeriksaan menyatakan tidak ada kecacatan maupun kekurangan perawatan, pihak sekolah tetap menjatuhkan hukuman skors kepada Fiora atas tersebarnya foto-foto di forum sekolah.Di sisi lain, Sarah akhirnya mengambil keputusan besar. Ia menggugat cerai Dito. Kejadian di depan rumah tempo hari hanya mempercepat langkah yang sebenarnya sudah lama ia persiapkan. Bahkan sebelum semua ini terjadi, Sarah telah menyiapkan rumah sewa untuk dirinya dan Fiora.Namun sebelum proses itu rampung, Fiora tinggal bersama Reksa selama seminggu penuh. Hari-hari itu memberinya jeda, ruang untuk bernapas, sebelum ia akhirnya dijemput oleh ibunya.Hari pertama Fiora kembali ke sekolah bertepatan dengan berakhirnya efek penandaan sementara. Begitu efek itu habis, ia serasa diterpa badai feromon, aroma orang-orang di sekitarnya menyesakan, jauh lebih kuat daripada sebelumnya. Rupanya penandaan itu selama ini menjadi semacam penghalang, mengurangi intensitas aroma yang sampai padanya. Tanpa itu, ia
Udara di ruang pemeriksaan rumah sakit tercium samar antiseptik. Fiora duduk di kursi yang disediakan, jari-jarinya meremas ujung roknya. Reksa berdiri di samping, diam namun waspada, tatapannya tak lepas dari dokter yang sedang membacakan hasil akhir pemeriksaan.“Seluruh hasilnya normal,” kata dokter itu akhirnya. “Tidak ada tanda kerusakan atau risiko yang membahayakan.”Fiora mengembuskan napas yang sedari tadi ia tahan.Namun, wajah salah satu petugas dari Pusat Pembinaan Dinamika Sekunder yang ikut menyaksikan pemeriksaan itu terlihat masam. “Sayang sekali, kami pikir akan ada alasan kuat untuk membawamu ke pusat pembinaan.”Nada suaranya kasar, menyiratkan kekecewaan yang tak seharusnya diucapkan di tempat seperti ini. Reksa langsung menegang, matanya menyipit.“Kenapa Anda berminat sekali membawa seorang omega ke sana? Untuk merawat mereka? Kalian baik sekali.”Senyum yang dia berikan terlihat manis di permukaan, tapi dingin di ujungnya.Petugas di seberangnya sempat terdiam s
Pagi itu, Reksa berdiri di depan gerbang rumah Fiora, menunggu pemilik rumah keluar. Alpha tersebut hanya berharap Fiora mau memaafkan dan mendengarkan penjelasannya. Mereka bahkan belum sempat menikmati satu kencan pun sebagai pasangan resmi, kenapa takdir begitu kejam padanya? Senyum tipis muncul di wajah Reksa saat melihat Fiora keluar, rapi dengan seragam sekolahnya.“Selamat pagi,” sapanya.Fiora membalas senyum, disertai dengusan kecil. “Pagi. Ada apa dengan kantung matamu? Kau lupa tidur semalam?”"Setelah kejadian kemarin bagaimana aku bisa tidur?" Reksa mengusap tengkuknya. “Aku bisa,” jawab Fiora ringan, meski tatapannya tetap terfokus ke kantong mata Reksa."Kau... " Reksa berkata dengan ragu-ragu. "Kau sudah tidak marah padaku?""Tidak. Aku tidak marah. Baiklah sedikit." Fiora mengoreksi setelah melihat tatapan menuduh Reksa. "Itu karena kau masih menyimpan fotoku. Kenapa tidak menghapusnya?"Reksa menarik napas, menunduk seolah mencari kata yang tepat. “Kau terlihat bag
Reksa memarkirkan motornya tepat di depan pagar besi yang catnya mulai mengelupas. Lampu teras rumah itu memancarkan cahaya pucat, sekadar cukup untuk menyingkap bayangan seorang pria berpostur tegap di ambang pintu.Fiora turun dari motor dengan pelan, menghindari melakukan tindakan yang menarik perhatiannya. Pria itu Dito, ayahnya, menatap sekilas. Tak ada sapaan, maupun senyuman. Hanya tatapan singkat yang terasa dingin sebelum ia memutar badan dan mendorong pintu. Dentumannya memecah kesunyian malam.Reksa mengerjap, kaget. “Ayahmu masih marah?”Fiora menghela napas pendek. “Tidak. Memang seperti itu. Sekarang… suka membanting barang yang disentuhnya.”Reksa menatap pintu yang tertutup. “Kedengarannya sehat sekali.”Fiora diam.“Serius,” katanya lagi, “kau bisa saja keluar dari rumah ini.”“Aku tidak bisa.”“Bisa.” Reksa menatapnya lebih lama. “Cari tempat lain. Tinggal di rumah sewa. Atau di tempatku.”Fiora menarik napas. “Tidak semudah itu.”"Kenapa?""Aku tidak bisa meninggal
Fiora merasa panik, matanya bergerak gelisah mencari tanda-tanda kemarahan pada Reksa. Ia tak bisa menahan cemasnya, khawatir Reksa akan langsung meledak terhadap provokasi yang dilakukan Cakra. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Reksa hanya tersenyum tipis, wajahnya tetap tenang meski matanya terlihat tajam. Dia menarik napas sejenak sebelum menjawab, intonasinya rendah namun jelas. “Kalau begitu aku berterima kasih padamu.”Fiora terkejut mendengar reaksi Reksa yang jauh lebih sabar dan terkendali dari yang ia duga. Ia menatap Reksa, agak bingung, namun merasa lega.Cakra, di sisi lain, tampak tidak puas. Senyum nakalnya sedikit memudar, digantikan ekspresi yang lebih datar. “Tsk. Kalian benar-benar membosankan.” Dengan satu lambaian tangan, Cakra mundur.Baru saat itu Fiora menyadari keberadaan kerumunan di sekitar mereka. Para siswa yang tadinya menunggu tontonan drama picisan gratis di sekolah mulai bubar, kecewa karena pertunjukan yang dinanti tak kunjung terjadi."Fiora, ki
Bayangan itu bergerak, melangkah pelan keluar dari kegelapan. Di bawah lampu jalan yang remang, wajahnya mulai terlihat. Rahang tegas, mata menatap tajam, tapi senyum kecil menghias wajah yang familiar.“Cakra,” gumam Fiora, suara tercekat keluar dari bibirnya.Cakra, mendekat perlahan, seperti pemburu yang tahu mangsanya tak bisa kabur. “Lama tidak bertemu, Fiora.”Fiora mundur selangkah. “Apa… apa yang kau lakukan di sini? Kau mengikutiku?”Cakra menyeringai, bahunya terangkat sedikit seakan Meledek. “Mengikutimu? Serius, kau pikir aku punya waktu untuk itu?” Dia menatap Fiora dari ujung kepala hingga ujung kaki, bibirnya masih melengkung, tersenyum nakal. “Tapi ya, harus kuakui, ekspresimu tadi cukup menghibur.”Fiora mendengus kesal, memutar bola matanya. Ia mencoba berjalan melewati Cakra, tetapi lengannya dihentikan dengan lembut.“Di mana wingman-mu itu? Jarang sekali aku melihatmu sendirian,” ujar Cakra, nadanya setengah bercanda.“Biarkan aku pergi, Cakra,” jawab Fiora datar.