"Gimana Amira? Apa Bos kamu saja yang menggantikan kamu untuk dipecat?" Dengan keangkuhannya Raline kembali bertanya. Sengaja memberi pilihan sulit agar aku berkata iya untuk pemecatan ini. "Bu, anda tidak bisa seperti itu. Pabrik ini punya prosedur dalam mengurus karyawan. Mau ini anak perusahaan milik Ibu, tetap saja menyalahi aturan, Bu." "Kamu kok ribet amat, Teo. Tinggal pilih siapa yang mau dipecat. Oh, apa dua-duanya sekalian? Iya?" Mata Raline mengarah pada Bos Teo. Lalu dengan cepat menatapku lagi."Bagaimana, Amira? Mau ngorbanin orang lain demi kamu?" tanyanya penuh penekanan.Diam. Tak ada jawab dari mulutku. "Emang ya, gak tahu diri. Gak pantas hidup, kamu!" ucapnya dengan kasar. Jujur aku tak sanggup menghadapi hal semacam ini. Jujur aku tak mampu memilah mana keputusan yang baik. Namun, melihat Bos Teo yang meski kadang garang, aku tak bisa mengorbankannya. Memang salahku juga nasib buruk yang kuterima harus seperti ini. "Saya saja. Saya saja yang dipecat. Bos Teo
Dadaku berdenyut pedih. Mengingat pakaian mereka yang teronggok di lantai kamar itu. Juga kerlingan manja Mas Baja untuk sang putri konglomerat. Bahkan, kami belum pernah melakukannya di sana. Satu malam pun, aku belum pernah menginap di rumah itu. Namun, perempuan dengan mulut bar-bar, yang katanya Bos Besar bisa dengan nyaman bersama Mas Baja mengembangkan layar cinta. Apa jangan-jangan semua ada hubungannya dengan ibu mertua? Apa beliau yang mengaturnya? Kuhela napas sejenak untuk menghalau sesak. Jika dipikirkan lebih dalam memang tampak ada keterkaitan. Terlebih di momen itu tidak ada ibu dan juga Akila. Apa mungkin pertemuan keluarga besar baru dilakukan? Membahas hubungan mereka yang akan berlanjut ke pernikahan? “Kamu baik-baik saja, Amira?” Bos Teo sudah berada di belakangku. Dari derup langkahnya aku bisa tahu.“Baik, Pak. Saya baik-baik saja,” jawabku. Meski rasanya kepala mau pecah juga tubuh kian terasa lemah.“Apa perlu saya antar keluar?”“Tidak, Pak. Tidak usah. Say
Bertahan dalam sebuah hubungan yang sudah tidak sehat hanya akan membuatku semakin tersesat. Namun, memutuskan mengakhiri sebuah ikatan pernikahan tentu akan meninggalkan konsekuensi tersendiri. Karena melepas sesuatu tak akan semudah saat menerimanya.Jika ditanya apa aku baik-baik saja? Jawabannya jelas tidak. Keadaan ini memaksaku untuk kuat menopang beban berat seorang diri. Dulu ... aku menerima Mas Baja dengan tangan terbuka. Menyambutnya yang secara nyata memberi cinta. Tepat saat aku nyaris terjatuh dalam sebuah jurang. Apa jadinya jika malaikat penyelamatmu sendiri berbalik arah melukai? Tentu sakit itu tak terperi.Bukan, bukan hanya soal cinta saja yang menjadi persoalan. Pernikahan kami sudah membuahkan hasil. Sudah menghadirkan satu malaikat kecil. Mahika Akila Baja- nama yang dipilihkan Mas Baja untuk putri kami. Mahika dalam bahasa sansekerta adalah bentuk lain dari bumi. Sedang Akila kebahagiaan juga kehormatan. Putri kami adalah tempat yang memberi kebahagiaan untuk pe
Getar ponsel membangunkanku. Mengembalikan kembali kesadaran. Buru-buru aku meraihnya. “Ya. Gimana, Mar?” tanyaku sembari duduk.Amira! Kamu lupa kalau nitipin Ibu ke Mas Arhab? Udah jam berapa ini? Suara Martia terdengar panik. Kulihat sebentar layar ponsel untuk mengecek penanda waktu. Sudah pukul empat sore dan aku terlelap selama itu. Mati, aku!“Aku benar-benar lupa, Mar. Aduh gimana ini?”Lah, payah kamu, Mir. Mas Arhab WA aku nanyain kira-kira kamu balik jam berapa?“Iya. Tadi pagi aku bilang bakal balik siang. Tapi ini udah jam empat, Mar. Aku gak mungkin berani buat balik,” terangku. Empat jam waktu perjalanan dan menjelang malam terlalu berbahaya.Ya udah, WA dulu gih, apa gimana. Bilang kamu gak bisa balik. Nanti biar aku yang jagain ibu kamu. Dengan baik hati Martia menawari.“Gak ngrepotin, Mar?”Dah gak apa-apa, Mir.“Serius?”Iya. Dah sana kabarin Mas Arhab dulu. Kasihan dia jadi tahanan kamu.“Kabarin? Pakai apa?” tanyaku polos.Ya pakai WA, lah. Dia kan gak punya n
Manusia memang bisa berencana. Namun, hasil dari setiap rencana itu tetap hak prerogratif dari Sang Pemilik Semesta. Menikah, tinggal di kota dengan segala akses kemudahan dan memiliki buah hati adalah rencana awalku sebagai seorang perempuan. Terbersit pun tidak dalam benakku, jika dalam kurun waktu itu aku akan menempuh jalan cerita yang berbeda. Aku tahu kepergian Mas Baja bersama wanita itu sudah digariskan. Aku juga paham jika tiada satu hal pun yang luput dari campur tangan Tuhan. Namun, hatiku tetap tak mampu menerima dengan lapang kejadian yang silih berganti datang bak godam yang memukul keras kepala. Memaksa pusat kendali kesadaran itu berpikir terus menerus untuk mencari jalan terbaik. Menjadi lemah serta pasrah atau melawan untuk menang. Katanya hidup adalah pilihan. Aku belum yakin akan memilih yang mana.Tumpukan baju itu kupungut satu per satu. Sebuah koper berukuran sedang di lemari terpaksa kukeluarkan. Tak ada lagi yang perlu ditangisi juga sesali. Semua berakhir
Teka teki kehidupan setiap manusia tidak pernah bisa terjawab dengan cara sederhana. Segalanya tampak rumit dan selalu menuntut usaha lebih dalam hal penyelesaian. Meski masih menjadi rahasia, aku tetap percaya jika jawaban dari teka teki hidup yang kujalani ini sebenarnya ada. Hanya butuh waktu terbaik untuk sampai pada masa itu.Yang hidup harus tetap hidup. Yang mati tetap akan ada di hati. Apapun yang akan terjadi nanti hidup tetap harus di jalani.Setelah semalam merenung, kuputuskan mengambil beberapa langkah ke belakang serta menyingkir dari kebisiangan yang ada. Saat mendengarkan ulang rekaman suara Akila yang terdengar gembira dengan tante cantik itu di sisinya, aku pun mantap untuk fokus pada kesembuhan ibu terlebih dahulu. Karena membagi konsentrasi dalam situasi seperti ini rentan menimbulkan ketidaksatabilan diri. Aku tetap harus menjaga marwah hidup yang telah kutempuh. Sebagai bentuk penghargaan atas perjalanan panjang yang melelahkan. Koper berukuran sedang yang s
"Ibu! Ibu udah sadar?" tanyaku saat melepas pelukan dari tubuhnya. Ibu mengangguk lemah. Sontak aku mengukir senyum diiringi dengan air mata yang keluar tiba-tiba. "Alhamdulillah, Bu, Alhamdulillah." Kupandangi wajah ibu yang masih tampak sayu."Amira panggil dokter dulu ya, Bu," ujarku ingin segera melaporkan kondisi ibu. Ibu menggeleng. Beliau justru memintaku untuk tetap duduk di sisi ranjang miliknya. Aku pun mengurungkan niat. "Sini aja. Temenin Ibu," ucapnya masih dengan napas yang tersengal. Kesadaran ibu bak oase yang menyegarkan dahaga. Setelah beberapa hari menanti, separuh hatiku terasa lega. Setidaknya ada harapan untuk kesembuhan total ibu dalam perawatan ini. "Iya, Bu. Iya." Aku kembali duduk di kursi. Memegang tangannya serta mengusapkan pada wajah. Alhamdulillah."Akila. Akila mana?" tanya Ibu setelah menyapukan pandangan ke arah lain.Deg!Akila? Harus kujawab apa pertanyaan itu? Jantungku seakan diremas. Tak menyangka ibu justru merindukan cucunya. Aku pun mem
Tak butuh waktu lama untuk menemukan kerudung pesanan ibu. Setelah memastikan kualitas serta harganya sesuai dengan uang yang kubawa, aku kembali ke rumah sakit. Ibu sedang duduk dengan tubuhnya tersandar pada tempat tidur khusus pasien itu. Selang oksigen di hidungnya juga sudah tidak terpasang. Sepertinya perawat datang dan membantu ibu melakukannya. "Ini Amira dah bawa kerudungnya, Bu," ujarku seraya melangkah ke sisi tempat tidur ibu.Ibu hanya mengangguk. Tatapannya masih saja kosong. Seperti orang yang benar-benar menantikan sesuatu. "Warna tosca, Bu. Ibu suka, 'kan?" Kurentangkan jilbab model bergo itu. Berharap ibu bisa menerima dengan senang. "Makasih, Mir." Aku tersenyum puas. "Amira pakaikan, ya, Bu?" Ibu pun mengangguk. Segera kupakaikan kerudung itu. Ibu tampak sangat cantik. "Ibu udah makan?" tanyaku saat ekor mata menangkap makanan khas rumah sakit di meja. Pasti perawat membawakannya. Kali ini ibu menggeleng."Mau Amira suapi, Bu?" tanyaku seraya menjangkah pirin