Aku tidak mengerti mengapa Teo memintaku ikut ke Bali. Penjelasannya pun terasa tak masuk akal. Tapi, Teo bersikeras menyampaikan aku harus ikut."Tapi aku sedang hamil. Apa tidak masalah naik pesawat?""Kita konsul dulu sama Dokter Adara. Atau kamu WA tanya.""Tapi kenapa mendadak sekali? Kenapa harus lusa?""Ini penting, Ra. Sangat penting. Nanti aku jelaskan saat kita udah berangkat."Teo mulai menyiapkan koperku. Dia membuka lemari dan berusaha memilih baju-baju yang akan aku kenakan. Rasanya aneh sekali."Nah, itu sudah datang orangnya," kata Teo setelah mendengar seruan dari Mbak Dewi. "Biar tunggu di bawah, Mbak!" jawab Teo."Kamu manggil siapa emangnya?""Ayo kita turun dulu," ajak Teo seraya menarik tanganku. Aku pun pasrah karena aku sendiri tidak mengerti detail yang akan disampaikan Teo. Aku hanya berusaha percaya. Itu yang bisa kulakukan. Sesampainya di ruang tamu aku jelas terkejut melihat siapa yang duduk di sofa."Dokter," ucapku."Saya jadwalkan cek di rumah sekalian
Ini pertama kalinya aku ke Bali bersama Teo. Meski Teo memiliki resto di sana dan kerap bolak balik Jakarta Bali aku tidak pernah ikut. Sebenarnya aku sedikit berat meninggalkan Akila dan Ibu tapi karena ibu mengizinkan dan tetap akan di Jakarta sampai aku pulang, akhirnya aku pun berangkat."Deg degan?" tanya Teo saat pesawat yang kami tumpangi mulai mengudara."Sedikit," jawabku sambil melirik ke arah jendela di mana aku bisa melihat ke bawah dan memang cukup menakutkan."Santai saja. Nanti juga nyaman kok," balas Teo sambil mengeratkan genggamannya. "Adek aman, kan?""Aman."Dan benar sekali perjalanan Jakarta Bali ini tidak terasa. Aku juga tidak tidur seperti saat melakukan perjalanan darat. Mungkin karena ini pertama kali jadi tidak nyaman untuk tidur di pesawat.Sesampainya di bandara kami disambut oleh manajer dari resto milik Teo. Memang selain datang untuk menghadiri undangan Bu Hanania, Teo berencana melakukan cekhing ke resto juga."Selamat siang, Pak dan Ibu. Selamat data
Riuh tepuk tangan itu menjadi awal proses akuisisi BaRlie oleh Aditama Group. Tanpa negosiasi yang alot dan terjadi seperti cuma-cuma. Teo yang nampak kebingungan hanya bisa mengikuti arahan Pak Rama saat diminta maju ke depan mendampingi Bu Hana.“Ini pemilik sebenarnya Aditama Group. Pewaris tunggal Almarhum Pak Aditama. Meski dulu, Aditama Group dibangun bersama papa saya, nyatanya dialah yang menikmati hasilnya sampai hari ini. Awalnya saya malas dan ragu melepaskan semua ini bahkan saya ada niat jahat ingin merebutnya dari anak kecil ini. Tapi, ada satu orang yang membuat saya takjub sampai-sampai menghilangkan rasa benci saya pada keluarga Aditama. Dia adalah Amira, istri dari Pak Teo ini yang sekaligus adik saya saat kami bekerja di sebuah lembaga bimbingan belajar. Kegigihannya membuat saya tak sampai hati melukai orang-orang terdekatnya. Pak Teo, anda harus berterima kasih pada istri anda,” ujar Bu Hana pada Teo di atas panggung di depan semua orang. “Baik, Bu.”“Sekarang sud
Pagi ini aku terbangun seperti biasa. Setelah semalam memadu kasih dengan suami tercinta. Sampai hampir jam dua belas malam kami baru selesai. Dan kami tertidur pulas setelahnya. Seperti biasa aku yang pertama menggeliat saat mentari mulai memasuki kisi-kisi jendela kamar. Seperti pagi-pagi sebelumnya setelah kami menghabiskan malam, pasti aku kesiangan. Buru-buru aku turun dari ranjang, membiarkan suamiku tetap tertidur lelap.Langkahku sangat ringan. Tubuh ini juga terasa bugar. Sebelum menuju kamar mandi kusempatkan mengintip putri kami yang juga masih terlelap di kamar sebelah. Biasanya ia akan ikut bangun saat aku mencium pipinya. Namun, kuurungkan niatku pagi ini. Tubuhku masih bau. Pukul setengah enam pagi rumah masih sepi. Belum ada aktivitas kesibukan seperti biasa. Dengan cepat aku menyambar handuk dan membersihkan diri di kamar mandi.Guyuran air selalu membuatku merasa tenang. Dari pagi ini aku akan memulai aktivitas bekerja setelah beberapa hari melakukan WFH. Wangi sabun
Mas Baja tak membuka obrolan tambahan. Ia masih ayik dengan gawainya. Aku yang merasa diabaikan pun menghentikan aktivitas memasak. Kumatikan kompor dua tungku itu lalu beranjak ke kamar depan. Putri kami sudah bangun. Ia asyik dengan mainannya."Ibu kenapa? Sedih?" tanyanya saat melihat setetes air lolos dari mataku. Aku pun menggeleng. "Jangan sedih, Bu. Sini Akila peluk," ucapnya dengan merentangkan kedua tangan. Aku pun tak sanggup menahan rasa sedih itu. Dengan cepat kuhamburkan tubuh pada peluknya."Doain Ibu, Kak. Doain Ibu bisa dapat kerja di desa." Tangan Akila mengusap punggungku lembut.Selesai berpelukan dengan Akila, aku menyeka air mata. Tak bisa kubayangkan jika tak ada dia di rumah ini. Sudah pasti hari-hari akan terasa sangat menyesakkan. Gawai yang tadi teronggok di salah satu sisi ranjang Akila kulihat kembali. Dengan cepat menyentuh benda pipih itu saat aplikasi pesan menampilkan adanya pesan baru.[Maksudnya apa, Nduk? Kenapa tiap ada masalah Ibu selalu dibawa-baw
Setelah sekian lama menghilang. Apakah aku sama saja membuka akses komunikasi untuknya?***Sama seperti gadis-gadis desa pada umumnya. Setelah lulus SMA harapanku hanyalah menikah dengan laki-laki pilihanku atau keluarga. Aku yang sadar betul dengan ekonomi keluarga tidak akan memaksakan diri untuk melanjutkan kuliah. Meski sekuat tenaga orang tuaku mengupayakannya. Masih segar diingatan saat ia yang kucinta justru mematahkan satu-satunya harapan itu."Nduk, jangan lupa kuenya dibawa kalau kamu mau mampir ke rumah Arhab." Sebuah keresek hitam Ibu siapkan. "Gak mungkin mampir lah, Bu. Kan ini acaranya gak di masjid.""Ya putar arah, Amira. Dari tempat tema kamu terus belok ke kanan kamu ambil jalan turunan. Lurus terus nyampe kan ke rumah Arhab." Ibu terus memaksaku. Meski aku tahu tidak mungkin kami akan bertemu di sana. Entah sejak kapan semua berawal. Saat kami bertemu di salah satu pernikahan temanku, yang juga suadaranya aku mulai terbiasa dengan suara lembutnya. Mas Arhab kad
“Amira! Apa yang kamu lakukan!” Mas Baja berjalan maju ke arahku. Ia kembali ke ruang televisi. “Kamu tahu ini satu-satunya barang yang masih bisa dijual bukan? Kenapa malah kamu jatuhkan?!” Mata Mas Baja terarah pada televisi tabung itu. Dulu kami punya yang lebih baik. Berbentuk layar pipih.“Maaf, ma-af, Mas.” Aku benar-benar kehilangan akal. Kata-kata Mas Baja tentang perempuan murahan membuatku muak.Pintu kamar Akila berderit. Gadis itu pasti penasaran apa yang terjadi. Meski takut, ia memunculkan diri.“Kenapa rusak, Bu?” tanya Akila melihat televisi itu.“Ibu gak sengaja, Nak. Gak sengaja ngejatuhinnya.”“Kamu cepat siap-siap, Akila. Kita ke rumah nenek saja. Ibu kamu memang payah.” Mas Baja menarik tangan Akila. “Mas, jangan begitu, Mas. Makanya kamu dengar dulu penjelasanku. Tidak langsung pergi. Aku juga tahu kamu akan ke tempat perempuan itu, bukan?” Sudah beberapa bulan ini aku mencurigai Mas Baja. Ia seperti melakukan kebohongan besar di belakangku.“Hah? Perempuan? Kam
Mobil silver itu benar-benar pergi. Pintu rumah masih terbuka begitu juga dengan pintu gerbang di ujung halaman. Mas Baja seakan sengaja tidak menutupnya. Ia pergi tanpa perlu menengok ke belakang, seperti yang biasa ia lakukan. Perlahan aku bangkit dari posisi duduk. Mengayunkan langkah ke arah daun pintu lalu menutupnya. Ucapan Mas Baja mengusik kembali ruang hening yang selama ini begitu nyaman untuk kusinggahi. Foto dalam kolom komentar itu seolah menunjukkan orang yang sudah lama pergi ingin kembali menyapa dengan cara yang berbeda. Seketika aku bergidik ngeri membayangkannya. Seperti daun pintu ini. Meski tertutup rapat aku tak menguncinya. Apakah hatiku memang tidak pernah benar-benar terkunci untuk seseorang di masa itu? Segera kutepis semua pikiran aneh. “Kamu tidak boleh goyah, Amira. Setelah ini bersikaplah seperti biasa. Seolah tidak ada masalah dengan Mas Baja. Ya. Kamu hanya perlu melakukan seperti itu.” Kulanjutkan kembali niat untuk berangkat kerja. Sudah sangat ter