SEORANG PENYANYI DANGDUT TERPAKSA MENGISI ACARA DI HAJATAN PERNIKAHAN KEKASIHNYA 4
Celine bangun di pagi hari. Duduk dengan kepala pusing dan mata yang berat. Gadis berambut panjang itu memeluk boneka. Mengurai semua kekacauan semalam.
Dion. Lelaki yang memakai kaus cokelat khas seragam polisi itu tiba-tiba naik ke panggung. Menarik seorang pemuda yang berjoget bersama Celine. Dion men i n j u pemuda itu dengan sangat keras.
Riuhlah penonton. Banyak yang tidak terima. Teman si pemuda yang ada sedang berjoget di panggung juga meng h a j a r Dion. Dion menepis mudah. Ti n j u itu mendarat pada pemuda yang lain. Lalu semakin banyak orang yang ribut di atas panggung itu.
Celine dan para biduan mundur. Para perempuan banyak yang teriak. Di bawah panggung juga mulai ricuh. Celine turun lewat belakang panggung. Maman menyuruhnya untuk pulang.
Tidak tahu bagaimana nasib Dion malam tadi. Yang jelas perbuatannya sangat berani. Celine mengacak rambut. Me r e m a s boneka. “Diooon!”
Wanita gemuk berusia 45 tahun menghampiri Celine. Duduk di ujung dipan dengan gerak perlahan. Tini—ibunya Celine—memiliki riwayat penyakit jantung sejak 2 tahun lalu. Sekarang masih rutin berobat ke dokter spesialis sebulan sekali. Kondisi Tini sebetulnya lumayan agak baikkan. Namun sebulan yang lalu mendadak drop karena kejutan di acara lamaran.
“Semalam ada apa? Mamah dengar ada selentingan gak enak dari tetangga.”
Celine menjelaskan apa adanya. Dia bicara seakan tidak masalah Dion menikah dengan orang lain. Dia menutupi semua luka hanya karena takut Tini menjadi sedih.
“Kata Mamah juga kalian itu gak akan berjodoh. Sulit kalau keluarga sudah tidak setuju. Menikah bukan hanya menyatukan dua orang. Tapi dua keluarga.”
“Dionnya juga ke sini terus, Mah. Bukan semata-mata salah Celine.”
“Syukur lah sekarang dia sudah menikah. Enggak ada alesan lagi buat ke sini kan.”
Celine mengangguk padahal hatinya tak ikhlas.
“Hari ini kuliah enggak?” Tini kembali bertanya.
Celine terdiam sejenak. Berpikir. Dua tahun yang lalu dia memutuskan kuliah bukan karena ingin menuntut ilmu. Hanya supaya dihargai keluarganya Dion kalau berpendidikan. Sekan sudah berbeda ceritanya. Celine tidak tahu mau kuliah untuk apa.
“Enggak.” Celine akhirnya menggeleng.
“Ya sudah, istirahat saja.” Tini beranjak meninggalkan Celine.
Siang sedikit, gadis berkulit putih bening itu membereskan rumahnya. Nyapu ngepel sambil nyanyi dangdut dengan suara yang cukup keras. “Terpaksa aku pergi jauh darimu. Tak tahan rasanya terus begini. Kau goreskan sejuta luka di dada. Tanpa kau hiraukan perasaanku. Hoo, hoo, hoo … Diooon!” Celine menjerit di ujung lagunya. “Nyebelin pisan sia teh.” Gadis itu histeris sendiri.
Beres semua pekerjaan rumah, Celine menghubungi Lusi. Penasaran juga dia akan apa yang terjadi semalam. Takut ada buntut panjang dari aksi pe m u k u lan itu. Bisa saja berimbas pada pangkatnya. Dan bagaimana pula hubungannya dengan Shifa, apa keluarga Pak Kades masih menerima Dion?
“Enggak tahu, Cel. Semalam Dion sama beberapa petugas langsung diamankan petugas.”
“Di bawa ke polsek?”
“Aku enggak tahu, Cel. Yang jelas menjauh dari panggung. Acara juga Cuma sampe jam sebelas. Dibubarkan polisi. Udah gak aman.”
“Syukur deh.” Ada gunanya juga Celine hadir di hajatannya Pak Kades. Acaranya ambyar meski di akhir.
“Kacau si Dion mah. Kalian gimana sih ceritanya bisa kayak gini?” Obrolan itu berbuntut menjadi curhatan yang panjang. Celine meluapkan semua kekesalannya dengan bercerita pada Lusi.
“Celine! Celine!” Suara teriakan bernada tak sopan terdengar dari luar rumah. Celine cukup kaget di buatnya. Dia segera memutus telepon dan beranjak ke halaman.
Di depan rumahnya ada Pak Hansip. Berdiri memakai seragam hijau, membawa tongkat hitam dan bertolak pinggang. Di belakang pria berkulit hitam itu ada tiga orang bermimik serius. Membawa berkas dan pakaian rapi. Mereka adalah Shifa, kepala desa Jatitilu, dan seorang petugas desa. Pasti ada yang serius sampai muka-muka orang penting itu ada di gubuk Celine.
“Kenapa Pak Hansip?”
“Pak kuwu ada perlu. Ari sia (kamu) semalam bikin keributan?” tanya Pak Hansip dengan sangat tidak sopan.
“Siapa ih? Aku mah Cuma nyanyi.”
“Sudah jangan di sini bicaranya. Di dalam saja,” seru Pak Maulana (staf desa).
Celine mempersiapkan masuk. Ibunya bergabung. Pata tamu duduk di sofa. Mimik wajah Shifa sangat jijik sekali menginjakkan kaki di rumah itu. Wajar, rumah Celine jelek. Catnya pudar dan banyak coretan kapur barus. Beberapa lapisan tembok bahkan mengelupas. Bagian atap langit banyak bulat-bulat usang karena bocor.
Celine tidak heran dengan ekspresi itu. Maklum saja rumah Celine bukan rumah hasil k o r u p si dana desa.
“Gini Celine. Kamu semalam jadi sumber keributan di hajatannya Pak Kades.” Pak Maulana mulai bicara.
“Kok, aku sih Pak? Kan Dion yang semalam n o n jok orang.”
“Iya tapi kamu sabab-musababnya.”
“Celine cuma nyanyi. Gak ada urusan sama A Dion.”
“Dion tidak akan naik ke panggung dan m u ku l orang kalau kamu tidak cari masalah. Kamu yang keganjenan.” Kali ini Pak Kades yang bicara.
“Keganjenan gimana atuh Bapak? Dari mulai acara juga aku mah fokus nyanyi.”
“Sore-sore kamu ngobrol di kebun singkong belakang rumah Pak Dudi. Pasti kan kamu yang cari-cari kesempatan. Ada saksinya warga yang lihat. Cuma sayang gak difoto aja.” Shifa ikut bicara menyerang.
Celine sendirian didakwa empat orang. “Kalau itu Dion yang narik aku. Cari kesempatan buat bicara. Hubungan aku sama Dion belum bener-bener selesai. Dion dan aku masih sama-sama cinta. Harusnya kamu tahu itu. Kalian malah undang saya jadi biduan. Bukan salah saya kalau Dion malah susah move on. Harusnya kejadian seperti itu bisa kalian prediksi dari jauh-jauh hari.”
“Eh pede sekali kamu. Dion sekarang sudah jadi suami saya.”
“Ah sabodo teuing. (Ah bodo amat)”
“Eh, kurang a j ar nih, Yah.” Shifa mengadu pada bapaknya.
“Celine, apa yang kamu lakukan itu ada hukumnya. Ada undang-udangnya. Kamu bisa dihukum kalau masih ganggu-ganggu suami Shifa,” serang Pak Kuwu. “Saya tidak akan diam kalau besok-besok kamu cari gara-gara. Saya tuntut kamu ke pihak yang berwajib.”
Tini memegang lengan Celine takut-takut. Shifa menaikkan dagunya. Menantang songong.
“Sekarang saya datang ke sini mau meminta ganti rugi atas kericuhan semalam. Kerusakan dekorasi, kerusakan panggung, kerusakan acara. Totalnya 30 juta.”
Celine ternganga. Tini ikut kaget.
“Kenapa jadi saya, Pak Kades. Bukan saya. Kalau minta ganti rugi sama menantunya bapak. Kok jadi saya.”
“Semua penyebabnya kamu. Hajatan saya rusak. Saya tidak mau tahu. Kamu harus ganti 30 juta!”
Bersambung ….
Seiring dengan menyelesaikan kontrak yang sudah terlanjut ditanda tangan, Celine membangun rumah sebagaimana yang dijanjikan. Gubuk yang catnya mengelupas itu berubah jadi istana. Hunian paling mewah di desa Jatitilu.Tiga bulan setelah lamaran itu, Celine dan Yash melangkah ke jenjang pernikahan. Foto-foto prewedding mereka dibagikan di laman medsos. Mengisi akun-akun gosip. Tag line yang menjadi trending adalah ‘gadis yang dulu ditolak keluarga polisi kini dinikahi keluarga gubernur.’Lingkup penggemar kontes dangdut biasanya ada di orang itu-itu saja. Tidak menjangkau masyarakat seluruh lapisan. Namun, ketika tag line itu naik. Semua pemberitaan di layar kaca dan seluruh media sosial adalah Celine. Perjalanan hidupnya mulai diulik. Maka pernikahan itu membuat Celine lebih terkenal lagi.Hari pernikahan tiba. Dilakukan dengan mengikuti adat sunda yang hikmat. Siraman, seserahan, lalu akad yang dilaksanakan di masjid agung Bandung. Semua proses itu
Di bawah langit Bandung, cincin cantik itu masuk ke jari manis Celine. Membuat hati menjadi kembang kempis. Setelah tersemat, Yash kembali berdiri. Menatap Celine dengan kelegaan.Kalimat Yash tadi cukup membuat Celine mengerti untuk tidak memandang Yash dari latar belakang keluarganya. Yash dengan pilihan hidupnya terlihat amat keren di mata Celine.“Memangnya Bapak yakin kalau orang tua bapak bisa menerima aku?”“Kamu tidak dengar apa yang mereka katakan tadi? Sebenarnya, selain butuh istri, saya juga butuh guru vokal untuk Ibu karena suaranya yang...” Yash meringis. “Fals di semua bagian.”Celine tersenyum menunjukkan gigi-giginya. “Terus yang minta ketemuan di Belle Vue siapa?”“Ada yang ngajak ketemuan di sana?” Pria itu berekspresi seakan tak mengerti.“Bapak ternyata nyebelin.”Yash tersenyum kecil. Lalu menggenggam tangan Celine. Menuntun gadis itu ke tempat lain.“Katanya gak bisa romantis. Ini bisa.”“Iya. Hasi
“Huh, cape sekali.” Celine duduk di samping Yash. Mengatur napas.Yash membuka mata. Memperbaiki duduknya. Kaget mendapati gadis yang dia inginkan sudah ada di sebelahnya.“Kenapa mendadak ngajak ketemuan, Pak? Kenapa bilang tidak akan ketemu lagi?”Yash tersenyum bahagia sekaligus bangga. Rasanya ingin memeluk dan menciumi gadisnya. Di kening, di hidung, di bibir, dan di semua tempat. Sayangnya belum halal. Jadi hanya bisa menatap Celine dengan haru. Yash pikir Celine wanita yang bisa dibeli oleh uang dan jabatan, nyatanya bukan. Gadis jelita itu lebih memilih menghampiri dia yang seorang dosen dari pada anak gubernur.“Kenapa kamu mau ke sini?”“Dih. Kan bapak yang ngajak. Pake ngancem tidak akan ketemu lagi.” Celine lirik kana-kiri. Beberapa orang di sana sedang mengamati wajahnya. Sepertinya mulai menyadari kalau dia adalah artis KD.“Bapak... di sini banyak orang.” Gadis itu merengek. Takut dikerumuni masa atau direkam diam-diam, lalu d
“Yash... Yash... kemari!”Suara langkah kaki terdengar dari lorong. Lalu muncul lah pria berkaki jenjang. Memakai baju hitam-hitam. Rambut plontos. Mukanya garang.Celine pikir Pak Yashona Panca Sila yang dipanggil. Ternyata bukan.Buat apa cowok itu dipanggil? Aduh, jangan-jangan anak Pak Gubernur naksir. Terus mau dijodohkan. Jangan sampai!Selama pria itu mendekat, Celine bergumam terus dalam hati.Pria itu menghampiri Pak Gubernur. Lalu membisikan sesuatu.“His! Ada-ada saja anak itu.” Reaksi Pak Gubernur begitu menerima bisikkan.Pak Gubernur kembali melihat Celine. “Celine, putra saya menunggu kamu di Belle Vue.” Pria itu menyebutkan nama restoran mewah yang terletak di salah satu hotel bintang lima.“Untuk apa ya, Pak?”“Dia ingin berbicara secara private denganmu.”“Em... tapi...”Belum sempat Celine menyetujui, Pak Gub
Seperti rencana. Hari itu Celine manggung di kecamatan Cijati. Disaksikan ribuan warga. Lapangan dekat kantor kecamatan itu dipenuhi penonton. Maman, Lusi, Diana dan semua kru D’Star mengungkapkan kebanggaannya. Celine kembali mengambil motornya dari Lusi. Menambahkan uangnya sebagai ganti rugi. Lalu dia berikan motor itu pada anaknya Rina.“Aku salut sama kamu Celine. Kamu bisa lebih kaya dari sugar baby.” Lusi menutup pipi sendiri. Yang dimaksud sugar baby itu dirinya sendiri maksudnya.Di atas panggung itu, Celine dan Diana tertawa menyaksikan ekspresi Lusi.“Semua orang juga bisa. Tinggal seberapa niatnya saja.”Sorenya Celine bertolak ke Bandung untuk menghadiri undangan dari Pak Gubernur. Celine dan empat kontestan lain yang mewakili Jawa Barat diminta untuk mengisi konser di alun-alun kota.Waktu isya Celine dan Chacha sudah berada di hotel yang disediakan oleh Pak Gubernur. Mandi dan istirahat di sana. Kemudian
Celine yang sekarang bukan lagi ikan kecil di wadah yang kecil. Dia menjadi ikan besar di lautan. Masalah-masalah yang dulu terasa berat, kini ringan saja. Tak ayal serupa mendaki gunung. Mulanya kaki melangkah amat sulit. Namun setelah terbiasa, semua menjadi ringan.Perjuangan dua tahu ini membuat hatinya menjadi lapang. Mungkin sudah saatnya berbicara dengan orang tua sendiri. Bukankah hubungan yang paling utama harus diperbaiki itu dengan keluarga sendiri?Dani memasuki rumah dengan langkah tergesa. Dia celingukan. Pura-pura tidak tahu apa-apa. Terlalu sungkan menyapa dua anak gadisnya.“Ada apa?” tanyanya. Lantas duduk di karpet.Celine menatap ayahnya yang berjarak dua meter. “Hampir dua tahun aku pergi dari rumah ini. Apa Bapak tidak merindukanku?”Polos sekali yang dikatakan Celine. Layaknya seorang anak perempuan yang menginginkan dirindukan ayahnya. Dani tak menyangka kalimat itu yang keluar dari bibir Celine. Dia