Share

5. Motor dan Semangkuk Baso

Amin sudah rapi dengan baju batik berlengan panjang dan celana panjang bahan berwarna coklat susu. Satu-satunya pakaian bagus yang ia punya, karena ia malas ke pasar untuk membeli pakaian. Alhasil, jika ada acara seperti ini, dia bingung sendiri akan memakai baju yang mana. Rambut ia sisir rapi dengan mengoleskan minyak rambut, agar klimis dan ketombenya tidak kelihatan.

Satu dua tetangga yang lewat di depan rumah Pak RW memperhatikan Amin dengan kebingungan. Mau undangan ke rumah siapa? Sudah rapi begini.

Tuk

Tuk

"Assalamualaikum, Dek Jihan," panggilnya di depan pintu dengan jantung yang berdetak cepat. Tak ada tanda-tanda sahutan dari dalam rumah, bahkan Amin sedikit berjinjit untuk melihat ke belakang rumah, namun karena gelap, jadi tidak terlalu kelihatan.

Tuk

Tuk

"Assalamualaikum, Jihan," panggilnya lagi. Kali ini suaranya agak keras. Berharap segera dibukakan pintu, karena orang mulai ramai memperhatikannya.

Klek

"Wa'alaykumussalam. Eh, Nak Amin. Mari masuk." Bu Sofia istri Pak RW yang membukakan pintu untuk Amin, lalu mempersilakan Amin untuk duduk di ruang tamu.

"Ada perlu apa udah rapi gini?" tanya Bu Sofia yang memperhatikan Amin tanpa berkedip dari ujung kaki sampai ujung rambut. Mati-matian ia menahan tawa, saat kaus kaki yang dipakai Amin bolong bagian jempolnya. Bukan hanya di satu sisi, tetapi di jempol kanan dan kiri.

"Mmm ... Anu, Bu."

"Pak RW belum pulang, masih ada acara di rumah Pak Lurah. Nanti saja balik lagi ke sini ya," ujar Bu Sofia sambil tersenyum. Amin melongo, kenapa dengan Pak RW? Ia tak mengerti arah pembicaraan Bu RW.

"Begini, Bu. Saya bukan mau makan baso dengan Pak RW, tetapi mau makan baso dengan Dek Jihan," terang Amin sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal. 

"Oh, mau makan baso, saya kirain mau undangan ke mana, udah pakai batik gini." Bu Sofia tergelak sendiri, saat menyadari kekeliruannya.

"Jihan ada, lagi teleponan di kamarnya, sebentar Ibu panggilkan ya." Bu Sofia berdiri dari duduknya, lalu masuk ke dalam. karena batas antara ruang tamu dan ruangan dalam rumah dipakaikan krei dari bahan kain, sehingga Amin tak dapat melihat dengan jelas kondisi di dalam ruang tengah Pak RW. Ia memilih sabar menunggu sambil menahan debaran di dadanya. Peluh yang bercucuran, membuatnya mengambil sapu tangan di saku celananya, lalu mengelapnya dengan cepat. 

"Eh Bang Amin udah sampai. Ayo, kita langsung pergi," ajak Jihan dengan garis bibir tertarik ke atas. Dengan riang gembira Jihan lebih dulu memakai sandal lalu membuka pintu pagar. Ia tidak menunggu Amin, yang kelabakan memakai sepatu bertali miliknya. Jihan sudah berjalan sendiri sampai di depan Gang Mawar, sedangkan Amin, masih sibuk memakai sepatu yang menurutnya tak berpihak padanya malam ini.

"Jihan, tunggu!" teriak Amin saat Jihan memberhentikan angkutan umum. Amin berlari sekencang-kencangnya agar dapat menyusul Jihan. Wanita itu sudah duduk di depan, tepatnya di samping sopir angkutan umum. Di dalam sana sudah ada ibu-ibu bertubuh kurus juga duduk di samping sopir, sehingga ia mengalah untuk duduk di belakang saja. 

Mata Amin tak hentinya memperhatikan Jihan di depan sana, yang sepertinya sedang memainkan ponselnya sambil tersenyum. Amin pun ikut tersenyum, mimpi apa dia bisa jalan berdua dengan Jihan, walau duduk berjauhan seperti ini. Jihan mungkin masih malu berdekatan dengannya, maka dari itu memilih duduk di depan. Tak apa, cinta ada karena terbiasa. Ia yakin, suatu saat Jihan akan mencintainya, seperti ia mencintai Jihan.

"Kiri, Bang," ucap Jihan pada sopir angkutan umum. Mobil pun menepi. Jihan turun dengan cuek, lalu berjalan masuk lebih dulu ke dalam warung baso yang terkenal enak dan mahal di sana. Meninggalkan Amin yang sibuk mengeluarkan uang dari saku celananya untuk membayar ongkos.

Kakinya melangkah lebar menyusul Jihan yang sudah siap memesan makanan. Amin memilih duduk di samping Jihan, agar keduanya bisa dekat dan Amin merasakan sensasi duduk di dekat anak perawan.

"Bang Amin duduk di depan saja, biar kita bisa saling pandang. Kalau di samping gini, miring dong lihatnya. Nanti leher Bang Amin sakit, gak bisa balik lagi gimana hayo? Miring terus begini." Jihan mempraktekkan leher miring yang kaku pada Amin, membuat Amin menelan saliva. Ia menjadi takut. Ada benarnya juga perkataan Jihan. Lekas ia berdiri, lalu pindah posisi, duduk di depan Jihan.

"Mbak, mau pesan!" panggil Jihan dengan suara sedikit ia keraskan pada pelayan yang sedang mencatat pesanan di meja depan mereka.

"Sebentar, ya," sahut pelayan yang kembali fokus pada tamu yang lebih dahulu memesan menu. Setelah selesai mencatat, ia pun pergi ke meja kasir untuk dibuatkan bill pesanan yang akan di tempel di lorong noted menu. Pelayan dapur baru akan membuatkan pesanan setelah struk kecil menu, ada dalam keranjang kecil. Setelah itu, pelayan menuju meja tempat Jihan dan Amin berada.

"Mau pesan apa, Mbak, Mas?" tanya pelayan sambil bersiap dengan pulpen dan kertas menu.

"Baso rudal mercon spesial dua yang satu level pedas enam, satu lagi level pedas dua. Minumnya jus alpukat dan satu lagi teh tawar hangat. Baso mercon urat dibungkus lima ya, jus jeruk lima, dan krupuk kulit sepuluh bungkus, dimasukkan dalam makanan yang dibungkus," pesan Jihan tanpa memperhatikan wajah Amin yang seketika memucat.

"Banyak sekali pesanannya, Dek? Emang kuat menghabiskannnya?" tanya Amin yang kebingungan. Memikirkan baso rudal mercon aja udah bikin kepala dan perutnya sakit, ditambah lagi pesanan baso dan minuman yang harus dibungkus.

"Buat teman-teman saya di rumah, Bang. Kenapa? Keberatan?" raut wajah Jihan berubah masam, ia baru saja hendak berdiri akan membatalkan pesanannya, namun ditahan oleh Amin.

"Jangan dibatalkan, Abang gak papa kok," ujar Amin dengan memberikan senyum sangat manis pada Jihan, senyuman yang mampu membuat Jihan ingin muntah saat ini juga.

"Makasih Bang Aminku, baik banget deh."

Jihan kembali duduk manis, sambil memainkan ponselnya. Tak ia hiraukan Amin yang kini setia memandang wajah Jihan yang sangat cantik.

"Duh, gak ada pulsa lagi. Papa nelpon jadi gak bisa," gerutu Jihan sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

"Kenapa? pulsa Jihan habis?" 

"Iya, Bang. Ck, mana Papa telpon lagi." Jihan berpura-pura merengut,membuat Amin pun iba. Lekas Amin mengeluarkan dompetnya, lalu mengambil satu lembar uang lima puluh ribu kemudian ia ulurkan pada Jihan.

"Beli pulsa dulu gih, Abang tunggu di sini," ucap Amin dengan begitu dewasanya. Tanpa basa-basi lagi, Jihan menyambar duit di tangan Amin, lalu berlari keluar restoran baso untuk mencari pulsa. Amin hanya menghela nafas panjang, lalu menggelengkan kepalanya,"aku harus bekerja lebih keras lagi, agar bisa mendapatkan Jihan untuk menjadi istriku," gumamnya optimis penuh keyakinan.

Jihan kembali, tepat dengan hidangan pesanan yang sudah tertata rapi di atas meja. Jihan memperhatikan kuah merah di dalam mangkuk, ia menyodorkan pada Amin, sedangkan dirinya memilih mangkuk dengan kuah tak terlalu merah. Amin yang tak paham, tentu saja bersorak gembira, saat Jihan memberikan mangkuk baso lengkap dengan mengambilkan sendok untuknya. Perutnya yang lapar, jadi semakin meronta minta diisi, karena terlalu bersemangat.

Tanpa basa-basi, Jihan mulai menikmati basonya yang sangat enak. Begitu juga dengan Amin. Satu per satu masuk ke dalam mulutnya, hingga lidah rasa terbakar, namun ia tahan. Kuah bakso yang super pedas menurutnya. Hanya karena Jihanlah ia mencoba menahan kuat rasa pedas, hingga bercucuran air mata. Bahkan ia sudah menambah dua gelas teh hangat, agar rasa terbakar lidah dan perutnya sedikit berkurang.

Mangkuk baso Jihan sudah habis, sedangkan Amin belum juga tandas barang setengah mangkuk. Sangat pelahan Amin memasukkan kuah setan ke dalam mulutnya.

"Mbak, minta tagihannya!" pinta Jihan dengan suara keras, pada pelayan yang sedang berdiri di dekat kasir, menunggu pesanan. Lekas pelayan itu menghampiri meja Jihan dan Amin, lalu menyerahkan struk pemesanan.

"Makasih, Mbak."

Beep

Beep

[Hallo, Pa. Iya ini mau pulang. Apa, papa udah di depan? I-iya, Jihan udah selesai. Bentar Jihan ke depan]

""Bang, Jihan duluan ya, sudah dijemput Papa. Makasih untuk traktirannya. Impas ya, Bang. Motor Abang dengan makan bersama saya." Jihan segera berlari keluar restoran sambil membawa aneka bungkusan di tangannya. Amin masih terbengong tak percaya, apalagi kini nominal total tagihan melebihi isi dompetnya.

"Bisa bayar gak?" 

"Gak cukup duit saya, Mbak," jawab Amin dengan wajah pucat.

"Kalau pacaram sama anak perawan, kudu modal banyak Bang, Makan lima ratus ribu aja masa gak bisa bayar. Dah, sana masuk! Cuci piring!" titah pelayan warung dengan kesal, karena Amin tak mampu membayar tagihan makan lima ratus dua puluh ribu. Amin hanya mampu membayar empat ratus ribu rupiah, sesuai uang yang ada di dompetnya.

Jihan sedang tertawa-tawa bersama seorang lelaki dengan motor gedenya. Amin yang baru pulang dari restoran baso menoleh ke asal suara renyah tawa milik Jihan. 

"Susahnya mau dapetin anak perawan. Belum juga jadi istri, kita udah sakit perut, jadi tukang cuci piring, dan isi dompet terkuras," ujar Amin memelas, sambil meremas perutnya yang perih karena makan terlalu pedas.

****

~Bersambung~


Komen (4)
goodnovel comment avatar
Murni Aty
suatu saat si jihan kena karma lho.. sok2an mentang cantik dan banyak yg suka..
goodnovel comment avatar
Saffa Almeera
jihann tinggal tunggu karma ntar loh diporotin sm lakik
goodnovel comment avatar
TISYAMAN
Jahaaaatttt Jihan! Kampret manfaatin Amin, bener kata si janda
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status