Share

6. Suara Apa Dong?

Amin berbaring di kasur single miliknya, sambil menumpahkan satu botol minyak kayu putih di atas perutnya, hingga pusarnya kebanjiran. Sungguh keadaan perutnya sungguh melilit, hingga ia harus bolak-balik ke kamar mandi. Obat diare pun sudah dia minum, tetapi belum ada perubahan. Hingga pukul satu malam ia masih saja terus-terusan ke kamar mandi.

"Ya Allah, sakitnya," lirih Amin sambil mencoba turun dari ranjang. Dengan tenaga seadanya, Amin keluar rumah dan berjalan terseok-seok, menuju klinik dua puluh empat jam yang letaknya persis di sebrang Gang Mawar.

"Kenapa lu, Min?" tegur Pak Somad, hansip gang yang berjaga malam ini.

"Diare, Pak. Sakit banget," jawab Amin sambil meringis menahan perih.

"Oh, kasian. Ya udah sono cepetan ke klinik depan! Sebelum lu ce****it lagi, he he he ...." Pak Domad tergelak.

"Makasih, Pak. Saya ke depan dulu." Amin hanya bisa ikut memaksakan senyum pada Pak Somad, kemudian dengan langkah tertatih ia berjalan menuju klinik.

Setelah diperiksa oleh dokter jaga, untuk sementara Amin didiagnosa mengalami radang usus, karena makan yang terlalu pedas. Amin diberikan banyak obat oleh dokter. Namun, yang lebih menyedihkan baginya adalah, ia lupa membawa uang untuk membayar dokter juga untuk menebus resep. Padahal ia sudah tak tahan dengan rasa sakit perut yang begitu melilit.

"Perut saya sakit banget, Mbak. Boleh gak saya minum obat dulu di sini? Terus saya baru pulang ambil uang," lirih Amin dengan wajah pucat pada petugas apotek.

"Silakan ambil uang dulu ya, Mas. Rumahnya di gang depan'kan? Setelah bayar baru boleh diminum obatnya," terang petugas apoteker sambil mengulas senyum.

"Jadi, saya balik dulu nih, Mbak? Trus baru ke sini lagi?" Amin menampilkan mimik wajah penuh penderitaan yang hakiki. Berharap petugas apotek mengasihaninya, tetapi tak ada respon sama sekali, petugas itu malah membawa masuk obat Amin ke dalam. Meninggalkan Amin yang tergugu dan memilih berjalan keluar klinik dengan lemah.

"Pasien aneh, masa ke dokter gak bawa duit. Mana mau minum obatnya duluan lagi. Wajahnya gak usah dibikin melas, Mas. Emang udah melasin. Ck, " gumam penjaga apotek dengan memutar bola mata malasnya. Sedikit ia berjinjit, ingin memastikan Amin benar berjalan masuk ke dalam Gang Mawar. Benar saja, Amin berjalan kepayahan dengan merapatkan kakinya. Sungguh mulas yang luar biasa kembali ia rasakan. 

Amin tak tahan, akhirnya berlari masuk ke dalam rumah dan langsung masuk ke dalam kamar mandi dengan tergopoh. Ia bahkan lupa melepas sandal jepitnya. Puas menunaikan hajatnya, Amin kembali bersih-bersih, mengganti celana dan bajunya. Tak lupa, kembali ia menumpahkan minyak kayu putih di atas perutnya, hingga terasa begitu hangat. 

Amin membuka laci lemari, lalu mengambil uang simpanannya yang ia selipkan di dalam sebuah buku catatan pengeluaran. Matanya sayu saat menatap list pengeluaran hari ini, belum ditambah biaya ke dokter. Amin hanya mampu menghela nafas berat, lalu mengambil tiga lembar uang di sana untuk membayar dokter, sekaligus menebus obatnya.

Amin kembali berjalan dengan sedikit tertatih, sampailah ia di depan pintu klinik, tetapi pintu itu terkunci. Amin memilih memencet bel yang ada di tembok. Ia mencet sampai dua kali. Namun, pintu juga tidak terbuka. Sedangkan ada yang mendesak lagi di bawah sana.

Teeet

Teet

"Mbak, bukaa!" teriak Amin dari luar, dengan tubuh membungkuk sambil memegang perutnya, Amin terus saja memencet bel. Tak lama, keluarlah petugas apotek sambil mengucek kedua matanya.

"Ck, kita di sini nahan mules, si Mbak malah kepulesan. Sabar ya Allah, sabaar!" Amin mengurut dadanya. Begitu pintu dibuka lebar, Amin masuk lalu menyerahkan uang merah tiga lembar pada wanita itu.

"Minum sesuai aturan ya, Mas."

"Iya, Mbak. Terimakasih." Amin mengambil obat dari tangan Mbak apoteker, kemudian berbalik untuk kembali ke rumah. 

Ada empat macam obat yang ia minum sebelum tidur. Semoga besok ia kembali sehat, agar bisa beraktifitas seperti biasa.

Pukul empat shubuh, alarmnya berbunyi. Amin yang baru saja terlelap dua jam setengah, memutuskan untuk mematikan alarm, kemudian melanjutkan tidurnya kembali. Shubuh di masjid pun akhirnya terlewat, ia baru bisa bangun pukul lima tiga puluh pagi. Dengan keadaan perut yang sudah lebih baikan.

Setelah mandi dan sholat, Amin pun bergegas keluar rumah untuk berangkat ke kios bengkelnya. Walau masih sedikit lemas, tetapi ia paksakan karena kemarin ia sudah keluar banyak uang untuk ini dan itu, ditambah motornya hilang pula. Lengkap sudah ujiannya kemarin.

Dengan berjalan kaki, Amin menuju kios bengkel motor. Di tangannya sudah ada obat dan sebungkus roti yang akan dia makan begitu sampai di kios.

"Alhamdulillah, Bang. Saya kirain gak buka, gumam wanita itu, saat melihat Amin datang dari kejauhan. Akhirnya ia dapat bernafas lega, karena sebentar lagi motornya akan segera diperbaiki. Untung saja si bungsu Dira masih tidur dalam kain gendongan depannya, sehingga ia tidak terlalu kepayahan. 

Pagi ini, ia ingin menitipkan Dira di rumah sang mama, karena ada interview kerja di kantor ekspedisi. Awal tahun yang baik, untuk wanita single parent seperti dirinya. Namun, semangatnya merosot ke jurang, saat mendapati ban motor yang ia naiki kembali pecah.

"Eh, Ibu yang kemarin. Emang nungguin saya semaleman di sini?" tanya Amin dengan polosnya, membuat wanita itu tergelak. 

Hello, emangnya lu ngartis? 

"Gak, Bang. Kemarin saya udah nambel di depan, eh pagi ini bocor lagi," ucapnya sambil menunjuk ban belakang motor yang kempes. 

"Sebentar ya, Bu. Saya baru sampai, biar saya rapi-rapi dulu. Nanti saya bantu," ujar Amin yang kini sudah membuka kunci rolling door, dan membukanya tinggi.

Tuuut

"Eh, kempes lagi ya?" tanya Ririn saat telinganya menangkap bunyi angin yang terlepas. Ririn langsung memperhatikan ban motornya depan dan belakang. Masih sama, yang kempes hanya ban belakang saja. Suara apa dong?

Amin hanya menyeringai, lalu berpura-pura sibuk dengan peralatan bengkelnya. Padahal suara angin lepas tadi berasal dari dirinya. Amin melirik sekilas pasien wanitanya pagi ini. Wanita itu mengibas-ngibaskan tangannya di depan hidung berkali-kali, dengan menggendong gadis kecil yang mungkin berusia dua tahunan.

Tuuutt

Berbunyi lagi, kali ini Amin dalam keadaan berjongkok. Ririn menoleh pada Amin, "suara ban bocor kan ya, Bang?" tanya Ririn dengan polosnya.

Amin yang tak tahan dengan ekspresi Ririn yang tak paham, akhirnya tergelak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kenapa ketawa, Bang? Bengkel ini ngeri juga ya, Bang. Masa ban bocor tercium bau WC!" gerutu Ririn sambil menutup hidungnya.

*****

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Green Force
pak somad apa pak domad ni yang bner
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status