Amin berbaring di kasur single miliknya, sambil menumpahkan satu botol minyak kayu putih di atas perutnya, hingga pusarnya kebanjiran. Sungguh keadaan perutnya sungguh melilit, hingga ia harus bolak-balik ke kamar mandi. Obat diare pun sudah dia minum, tetapi belum ada perubahan. Hingga pukul satu malam ia masih saja terus-terusan ke kamar mandi.
"Ya Allah, sakitnya," lirih Amin sambil mencoba turun dari ranjang. Dengan tenaga seadanya, Amin keluar rumah dan berjalan terseok-seok, menuju klinik dua puluh empat jam yang letaknya persis di sebrang Gang Mawar.
"Kenapa lu, Min?" tegur Pak Somad, hansip gang yang berjaga malam ini.
"Diare, Pak. Sakit banget," jawab Amin sambil meringis menahan perih.
"Oh, kasian. Ya udah sono cepetan ke klinik depan! Sebelum lu ce****it lagi, he he he ...." Pak Domad tergelak.
"Makasih, Pak. Saya ke depan dulu." Amin hanya bisa ikut memaksakan senyum pada Pak Somad, kemudian dengan langkah tertatih ia berjalan menuju klinik.
Setelah diperiksa oleh dokter jaga, untuk sementara Amin didiagnosa mengalami radang usus, karena makan yang terlalu pedas. Amin diberikan banyak obat oleh dokter. Namun, yang lebih menyedihkan baginya adalah, ia lupa membawa uang untuk membayar dokter juga untuk menebus resep. Padahal ia sudah tak tahan dengan rasa sakit perut yang begitu melilit.
"Perut saya sakit banget, Mbak. Boleh gak saya minum obat dulu di sini? Terus saya baru pulang ambil uang," lirih Amin dengan wajah pucat pada petugas apotek.
"Silakan ambil uang dulu ya, Mas. Rumahnya di gang depan'kan? Setelah bayar baru boleh diminum obatnya," terang petugas apoteker sambil mengulas senyum.
"Jadi, saya balik dulu nih, Mbak? Trus baru ke sini lagi?" Amin menampilkan mimik wajah penuh penderitaan yang hakiki. Berharap petugas apotek mengasihaninya, tetapi tak ada respon sama sekali, petugas itu malah membawa masuk obat Amin ke dalam. Meninggalkan Amin yang tergugu dan memilih berjalan keluar klinik dengan lemah.
"Pasien aneh, masa ke dokter gak bawa duit. Mana mau minum obatnya duluan lagi. Wajahnya gak usah dibikin melas, Mas. Emang udah melasin. Ck, " gumam penjaga apotek dengan memutar bola mata malasnya. Sedikit ia berjinjit, ingin memastikan Amin benar berjalan masuk ke dalam Gang Mawar. Benar saja, Amin berjalan kepayahan dengan merapatkan kakinya. Sungguh mulas yang luar biasa kembali ia rasakan.
Amin tak tahan, akhirnya berlari masuk ke dalam rumah dan langsung masuk ke dalam kamar mandi dengan tergopoh. Ia bahkan lupa melepas sandal jepitnya. Puas menunaikan hajatnya, Amin kembali bersih-bersih, mengganti celana dan bajunya. Tak lupa, kembali ia menumpahkan minyak kayu putih di atas perutnya, hingga terasa begitu hangat.
Amin membuka laci lemari, lalu mengambil uang simpanannya yang ia selipkan di dalam sebuah buku catatan pengeluaran. Matanya sayu saat menatap list pengeluaran hari ini, belum ditambah biaya ke dokter. Amin hanya mampu menghela nafas berat, lalu mengambil tiga lembar uang di sana untuk membayar dokter, sekaligus menebus obatnya.
Amin kembali berjalan dengan sedikit tertatih, sampailah ia di depan pintu klinik, tetapi pintu itu terkunci. Amin memilih memencet bel yang ada di tembok. Ia mencet sampai dua kali. Namun, pintu juga tidak terbuka. Sedangkan ada yang mendesak lagi di bawah sana.
Teeet
Teet"Mbak, bukaa!" teriak Amin dari luar, dengan tubuh membungkuk sambil memegang perutnya, Amin terus saja memencet bel. Tak lama, keluarlah petugas apotek sambil mengucek kedua matanya.
"Ck, kita di sini nahan mules, si Mbak malah kepulesan. Sabar ya Allah, sabaar!" Amin mengurut dadanya. Begitu pintu dibuka lebar, Amin masuk lalu menyerahkan uang merah tiga lembar pada wanita itu.
"Minum sesuai aturan ya, Mas."
"Iya, Mbak. Terimakasih." Amin mengambil obat dari tangan Mbak apoteker, kemudian berbalik untuk kembali ke rumah.
Ada empat macam obat yang ia minum sebelum tidur. Semoga besok ia kembali sehat, agar bisa beraktifitas seperti biasa.
Pukul empat shubuh, alarmnya berbunyi. Amin yang baru saja terlelap dua jam setengah, memutuskan untuk mematikan alarm, kemudian melanjutkan tidurnya kembali. Shubuh di masjid pun akhirnya terlewat, ia baru bisa bangun pukul lima tiga puluh pagi. Dengan keadaan perut yang sudah lebih baikan.
Setelah mandi dan sholat, Amin pun bergegas keluar rumah untuk berangkat ke kios bengkelnya. Walau masih sedikit lemas, tetapi ia paksakan karena kemarin ia sudah keluar banyak uang untuk ini dan itu, ditambah motornya hilang pula. Lengkap sudah ujiannya kemarin.
Dengan berjalan kaki, Amin menuju kios bengkel motor. Di tangannya sudah ada obat dan sebungkus roti yang akan dia makan begitu sampai di kios.
"Alhamdulillah, Bang. Saya kirain gak buka, gumam wanita itu, saat melihat Amin datang dari kejauhan. Akhirnya ia dapat bernafas lega, karena sebentar lagi motornya akan segera diperbaiki. Untung saja si bungsu Dira masih tidur dalam kain gendongan depannya, sehingga ia tidak terlalu kepayahan.
Pagi ini, ia ingin menitipkan Dira di rumah sang mama, karena ada interview kerja di kantor ekspedisi. Awal tahun yang baik, untuk wanita single parent seperti dirinya. Namun, semangatnya merosot ke jurang, saat mendapati ban motor yang ia naiki kembali pecah.
"Eh, Ibu yang kemarin. Emang nungguin saya semaleman di sini?" tanya Amin dengan polosnya, membuat wanita itu tergelak.
Hello, emangnya lu ngartis?
"Gak, Bang. Kemarin saya udah nambel di depan, eh pagi ini bocor lagi," ucapnya sambil menunjuk ban belakang motor yang kempes.
"Sebentar ya, Bu. Saya baru sampai, biar saya rapi-rapi dulu. Nanti saya bantu," ujar Amin yang kini sudah membuka kunci rolling door, dan membukanya tinggi.
Tuuut
"Eh, kempes lagi ya?" tanya Ririn saat telinganya menangkap bunyi angin yang terlepas. Ririn langsung memperhatikan ban motornya depan dan belakang. Masih sama, yang kempes hanya ban belakang saja. Suara apa dong?
Amin hanya menyeringai, lalu berpura-pura sibuk dengan peralatan bengkelnya. Padahal suara angin lepas tadi berasal dari dirinya. Amin melirik sekilas pasien wanitanya pagi ini. Wanita itu mengibas-ngibaskan tangannya di depan hidung berkali-kali, dengan menggendong gadis kecil yang mungkin berusia dua tahunan.
Tuuutt
Berbunyi lagi, kali ini Amin dalam keadaan berjongkok. Ririn menoleh pada Amin, "suara ban bocor kan ya, Bang?" tanya Ririn dengan polosnya.
Amin yang tak tahan dengan ekspresi Ririn yang tak paham, akhirnya tergelak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa ketawa, Bang? Bengkel ini ngeri juga ya, Bang. Masa ban bocor tercium bau WC!" gerutu Ririn sambil menutup hidungnya.
*****
Elok terus saja memandang suaminya yang kini sedang duduk di kursi teras rumah mereka. Lelaki itu akan berangkat bekerja di sebuah mal sebagai petugas parkir. Sepuluh sudah suaminya bekerja di sana dan terlihat lelaki itu sangat menikmatinya. Wajahnya lebih bersih dan bersinar, saat ada istri yang benar-benar mengurusnya. Elok terus saja mengulum senyum. Menikmati debaran di dadanya saat bisa memandang suaminya dengan intens seperti ini. “Udah, jangan lihatin melulu! Nanti saya gak jadi berangkat nih,” celetuk Imron saat dia menyadadri pandangan sang istri tak putus darinya. Elok tergelak dengan wajah memerah. Sisa semalam saja masih membuatnya susah berjalan, masa mau diulang lagi? “Jangan dong, Mas. Mau jalan aja susah nih,” sahut Elok dengan wajah bersemu merah. Imron yang duduk di seberang kursi sang istri;berjalan mendekat, lalu berjongkok di hadapan istrinya. Lelaki itu mengmabil kedua tangan Elok, lalu mengecupnya
"Lok, ada hal yang ingin saya katakan," ujar Imron dengan suara pelan. Elok tengah menyusui Aya. Balita itu sungguh merindukan asi ibunya yang dua hari tidak ia dapat secara langsung. Selama Elok dan Imron bulan madu di hotel, Aya diberikan ASI yang disiapkan Elok di dalam botol khusus penyimpanan ASI."Apa itu, Mas? Bukan minta jatah lagi'kan?" goda Elok sambil tergelak. Imron pun ikut menyeringai sambil mengusap pipi sang istri."Besok, kita bawa Aya ke rumah sakit. Kita tes DNA bersama Pak Rudi.""Mas, tapi ...." Elok mendadak pucat dan memelas. Imron sangat tahu keresahan yang melanda istrinya. Justru langkah ini harus ia ambil, agar Pak Rudi tidak terus-terusan mengganggu dirinya dan juga Elok. Lelaki itu takkan berhenti sampai keinginannya tercapai."Ada saya. Kamu jangan khawatir. Saya yakin, Aya adalah anak dari Indra, bukan lelaki itu. Kita harus melakukanny
Imron terbangun dari tidur nyenyaknya. Pelan ia membuka mata dan berusaha menggerakkan tangan, tetapi tidak bisa. Ada Elok yang kini tidur sambil memeluk dirinya. Tubuh keduanya polos, hanya tertutup selimut tebal. Beberapa jam lalu, untuk kelima kalinya mereka mengulangi aktifitas yang sama.Sudah dua malam mereka menginap di hotel yang difasilitasi oleh Desta. Seharusnya, lelaki itulah yang bersama dengan Elok malam ini. Sungguh rejeki, maut, jodoh, takkan pernah ada yang mengetahui. Pelan Imron mengusap kening sang istri. Menyingkirkan beberapa helai rambut yang berserakan menutupi kening wanitanya.Senyumnya kembali mengembang, lalu bibir itu kembali mendaratkan ciuman di keningnya. Sungguh luar biasa efek permen yang diberikan oleh Amin. Temannya itu rela menyusul ke hotel hanya untuk memberikan dua buah permen yang katanya sangat berguna untuk stamina. Untung permen, bukan tisu!Imron tergelak dalam hati saat menging
"Bangunlah, Elok. Aku'kan udah bilang, aku memaafkanmu. Ayo, bangun!" Imron meraih pundak sang istri, lalu membawanya duduk kembali ke atas ranjang. Wanita itu masih terus terisak, membuat Imron kebingungan sendiri."Udah, jangan nangis ya. Nanti kalau kita kebanjiran gimana? Sekarang, kamu mandi, ganti baju. Di dalam lemari ada baju yang sudah disiapkan hotel katanya. Setelah mandi, nanti kita bicara lagi," pinta Imron dengan lembut. Lelaki itu kembali mengancingkan baju piyamanya dengan wajah merona malu. Ia yang tadi saling berhadapan dengan istrinya, kini sudah menggeser tubuhnya ke samping. Sangat malu melakukan aktifitas seperti ini sambil diperhatikan wanita."Kenapa dikancing lagi bajunya?" tanya Elok sambil menyembunyikan wajahnya yang juga merona."Gak papa, nanti juga kamu buka lagi'kan?" jawab Imron sambil terbahak. Tawa yang tak pernah dilihat Elok sebelumnya. Wajah suaminya malam ini sungguh tampan tiga ratus
"Saya di sini, Bu Ririn. Saya baik-baik saja," ucap suara Imron yang tiba-tiba saja berdiri dari balik kerumunan orang yang tengah duduk di kursi. Elok dan Desta terkejut dengan suara lelaki itu, begitu juga dengan Ririn yang memandang iba wajah teman suaminya yang sudah ia anggap teman sendiri. Ditambah lagi, ia tahu betul perjuangan Imron bersabar terhadap sikap Elok."Mas Imron," gumam Elok dari tempat ia berdiri saat ini. Kakinya gemetar dan tak kuat melangkah untuk menghampiri mantan suaminya itu. Tangannya berpegangan pada meja yang sudah dihias sedemikian cantiknya untuk acara pernikahan sederhananya hari ini. Agar tidak limbung, karena yang ia rasakan saat ini adalah seluruh persendiannya melemah.Air matanya membasahi pipi. Lidahnya kelu tak mampu berucap kata maaf pada Imron. Padahal sudah dari lama ia ingin meminta maaf pada lelaki itu atas semua kesalahannya. Namun, di depan sana, seorang Imron tengah tersenyum
Istri Wasiat 31Hari minggu pagi yang sangat sejuk. Pukul setengah enam pagi, Desta memutuskan untuk berolah raga dengan berlari di sekitaran komplek tempat ia tinggal. Elok masih sibuk di dapur, membereskan barang-barang sekaligus memasak sarapan untuk mereka.“Lok, sepatu lari saya yang warna merah kamu simpan di mana?” tanya Desta saat menghampiri Elok di dapur. Wanita itu menoleh, lalu tersenyum tipis. Tanpa menjawab pertanyaan Desta, Elok berjalan ke arah lemari yang masih berada di area dapur. Pintu lemari itu ia buka, lalu mengmabilkan sepasang sepatu yang ditanyakan oleh Desta.“yang ini bukan?” tanya Elok memastikan. Tangannya terulur untuk memberikan sepatu sneaker itu pada Desta.“Wah, baru kamu cuci ya? Duh, ini mah calon istri terbaik,” puji Desta tulus. Elok menegang. Sekelebat bayangan Imron muncul di kepalanya. Tidak! Dia bukan
Kalian mungkin bertanya-tanya ada di mana Imron saat ini? Lelaki itu tengah berada di sebuah kos-kosan kecil di tengah kota. Keadaannya serba pas-pasan dengan kondisi hati yang masih diliputi rasa sedih sekaligus rindu. Ya, dia merindukan Aya dan juga Elok. Bagaimanapun ia kesal terhadap wanita itu, tetap saja Imron tak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia sendiri tidak tahu, sejak kapan rasa cinta ini begitu dalam ia rasakan pada istrinya. Mungkinkah sudah dari awal sejak ijab qabul itu ia ucapkan, atau mungkin karena sikap keras istrinya yang membuatnya mencintai wanita itu?Waktu berputar terasa sangat lambat. Setiap hari sepulang bekerja saat langit berubah gelap, hanya kamar, bantal, dan guling yang menemaninya meratapi nasib. Jika cinta harus sesakit ini, lebih baik ia tidak menikahi Elok saja. Lebih baik ia cukup mengurus kakak iparnya serta keponakannya, tanpa harus mengambil tanggung jawab yang sah di mata Tuhan.
Elok menangis semalaman. Berkali-kali ia menelepon suaminya, tetapi nomor itu tidak aktif. Elok juga menelepon Amin, teman suaminya itu. Barangkali tahu di mana keberadaan suaminya. Namun sungguh sayang, Amin tidak tahu di mana Imron kini.Lelaki itu hilang bak ditelan bumi. Kontrakan lama juga sudah dikunjungi Elok pagi ini. Ia tidak mengatakan langsung bahwa mencari keberadaan suaminya, tetapi ia berbasa-basi menanyakan apakah suaminya ada mampir ke sana. Jawaban yang sangat ia sesalkan adalah, mereka tidak tahu di mana keberadaan Imron. Ditambah celetukan Bu Husna yang membuatnya semakin tak enak hati."Kenapa tanya-tanya Imron? Emang kabur lagi?" pertanyaan yang membuat Elok segera pamit pergi dari kontrakan. Ia takkan sanggup mendengar celetukan lain dari para tetangga. Sempat ia tangkap di telinganya, bahwa kedatangan Desta saat Imron tak ada di rumah, menjadi bahan gunjingan para tetangga. Padahal lelaki itu duduk di teras dan para
Imron sampai di rumah pukul sebelas malam. Ia sengaja pulang larut karena tak siap untuk bertemu Elok. Lebih tepatnya ia bingung harus bersikap bagaimana pada istrinya itu. Tawaran yang diajukan Desta bukanlah hal yang buruk untuknya dan juga Elok. Mungkin nanti saat semua sudah dlam kehidupan masing-masing, keduanya bisa sadar arti hubungan saat ini. Imron hanya menginginkan yang terbaik untuk Elok dan juga Aya. Ia rasa, ia tak bisa menjaga dan bertanggung jawab dengan wanita itu lebih lama. Elok dan Aya harus segera diselamatkan dari Rudi, karena cepat atau lambat, lelaki itu pasti akan menemukan mereka.Imron mengunci pintu dengan pelan. Lalu bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Rumah sudah dalam keadaan bersih dan rapi. Hanya ada dua buah mainan Aya yang tergeletak di dekat meja dapur. Sepertinya bayi itu semakin lincah untuk merangkak hingga ke dapur. Imron tersenyum getir, lalu masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat. Suara pintu kamar Elok te