:-)
"Lusa kita ke rumah orang tuamu. Aku tetap perlu restu dan minta mereka menyerahkan perwalianmu. Nanti urusan pernikahan di negara serahin ke aku. Biar David yang atur sahnya gimana.""Iya, Lew," ucap Ralin patuh."Dan ... maaf, aku udah terlanjur bilang kalau orang tuamu itu pebisnis ke Ayah. Jadi ... aku nggak bisa izinin mereka hadir di acara kita. Tapi nanti akan ada orang lain yang aku tunjuk untuk gantiin orang tuamu."Ralin kembali mengangguk paham bahwa ia nanti akan memiliki orang tua palsu saat pernikahan itu tiba. "Iya, Lew. Aku tahu."Pernikahan ini benar-benar terasa seperti sebuah permainan. Seperti ada yang kosong di dalam hati Ralin. Namun dia tidak bisa mundur atas pilihannya. Lewis telah mendeklarasikan Ralin sebagai calon istri pada kedua orang tuanya. Dan sudah memikirkan episode sandiwara mereka berikutnya. Sambil memangku Levi yang sudah tertidur lelap, Ralin menatap Lewis yang begitu serius memperhatikan keluar jendela mobil sambil berpikir. Otaknya pasti seda
Kedua orang tua Ralin terkejut ketika melihat putri mereka pulang untuk pertama kalinya. Setelah empat tahun pergi dari rumah dan tidak bertegur sapa sama sekali. Bahkan bertanya kabar pun tidak. Ralin seperti hilang ditelan bumi alih-alih mengingat keluarganya. Ralin yang baru keluar dari mobil pun hanya bisa melihat kedua orang tuanya dengan tatapan penuh penyesalan bercampur rindu. Empat tahun berpisah dari kedua orang tuanya yang begitu tulus menyayanginya bukanlah perkara mudah. Rindu itu datang berkali-kali namun tak berani ia sanggupi. Kemudian Levi turun dari mobil diikuti Lewis. Duda satu anak itu menatap kedua orang tua Ralin yang tampak rapi seperti akan memenuhi satu acara. Selama beberapa saat hanya ada adegan saling tatap antara Ralin dan kedua orang tuanya hingga dia tidak kuasa menangis lalu berlari ke arah Ibunya. Dipeluknya sang Ibu dengan tangis penuh haru."Kamu pulang, Lin. Kamu pulang," ucap Ibunya dengan air mata berderai dan membalas pelukan Ralin.Sedang A
"Dan demi kebaikan bersama, jadi Bapak putuskan kalau hari ini ... " Ayah Ralin menatap putrinya dan Lewis bergantian, "Kalian akan Bapak nikahkan."Kedua bola mata Ralin membola mendengar ucapan Ayahnya. Sedang Lewis hanya menunduk sambil mendengarkan baik-baik. "A ... apa? Me ... menikah sekarang?" Tanya Ralin terbata-bata. Kepala Ayahnya mengangguk tegas. "Iya malam ini juga."Ralin kemudian menatap Lewis dan pria itu hanya mengangguk sekilas. Berarti Lewis telah menyetujuinya. "Alasan lainnya, Lewis bilang kalau Levi itu haus kasih sayang seorang ibu dan mau akrabnya cuma sama kamu aja. Bapak nggak tega dan makin yakin untuk nikahin kalian malam ini juga. Anak sekecil itu butuh banyak kasih sayang."Ralin tidak tahu bagaimana Lewis meramu kalimat sehingga Ayahnya Ralin tidak tega melihat Levi tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. Disamping itu, hati Ralin sangat bahagia karena pernikahannya kali ini direstui orang tuanya. Pernikahan dengan lelaki yang ia cintai meski itu hanya
"Lin?"Ralin yang sedang membantu membereskan ruang tamu kemudian menatap Lewis. "Apa, Lew?""Kita harus pulang. Besok aku harus ke pabrik."Kepala Ralin mengangguk paham lalu sedikit lagi membereskan ruang tamu. Sedang Levi masih asyik bermain dengan dua keponakan Ralin seperti tidak ada lelahnya. Ralin kemudian memberi kode pada Lewis untuk menemui kedua orang tuanya yang duduk di teras bersama David dan wali hakim yang dibawa dari kota. "Pak, Bu, aku sama Lewis mau pamit balik dulu.""Lho? Nggak nginep dulu, Lin?" Tanya Ayahnya. "Lewis ada kerjaan, Pak. Jadi kita mau balik sekarang."Lalu Ayahnya menatap Lewis. "Apa pekerjaanmu nggak bisa ditinggal sehari aja?""Maaf, Pak. Saya besok ada rapat.""Kamu baru jadi menantuku. Ralin juga baru pulang setelah empat tahun nggak pulang. Bapak sama Ibu masih kangen Ralin."Kemudian terdengar suara tawa Levi dan kedua keponakan Ralin dari ruang tamu. "Anakmu juga masih betah disini, Lew."Lewis terlihat berpikir. "Apa karena kami orang
Ceklek!Ralin tetap fokus memilih pakaian ganti dengan kondisi hanya memakai pakaian dalam saja. "Astaga, Ralin!"Mendengar suara Lewis, sontak Ralin menoleh dan berbalik badan. Mereka sama-sama terkejut. Ralin panik setengah mati dan langsung berjongkok. Memunguti pakaian kotor untuk dipakai penutup. Sedang Lewis langsung menutup pintu kembali dengan wajah terkejut sempurna. Sebenarnya tidak ada yang salah. Karena mereka sudah menjadi suami istri. Namun karena pernikahan ini terjadi karena sebuah perjanjian, sikap mereka pun seolah-olah bukan suami istri pada umumnya. "Aduh! Harusnya aku kunci pintunya!" Rutuk Ralin pada dirinya sendiri. Dia segera berjalan ke arah pintu untuk menguncinya lalu memilih pakaian dan mengenakannya. Sedang Lewis beralih menuju teras. Mengenyahkan apa yang baru saja dilihat dengan menatap Levi yang tengah asyik bermain di sekitar pohon pisang dengan kedua keponakan Ralin. Sebenarnya dia tadi hendak ke kamar untuk memberitahu Ralin jika harus pulang pa
Ralin tidak tahu Lewis pulang pukul berapa tadi malam. Yang pasti pria itu pasti pulang setelah Ralin tertidur.Dan esok paginya, ketika Ralin akan sarapan dengan Levi, di meja makan sudah ada Lewis yang sibuk dengan ponselnya. "Pagi, Lew." Sapa Ralin dengan menggandeng Levi.Sekaligus menyapa sang tuan rumah sebelum ikut bergabung sarapan. Meski Ralin sudah menjadi istri pria itu, namun etika dan kesopanan tetap harus dijaga. "Pagi," ucapnya dengan memandang Ralin sekilas.Kemudian ia kembali menekuri ponselnya dengan sangat serius. Merasa Lewis sangat sibuk, Ralin pun bingung apakah harus mengatakan pesan dari Ibundanya untuk melakukan fitting gaun pernikahan hari ini ataukah tidak. Akhirnya dia memilih mengambilkan Levi sarapan dan mengajari putra tirinya itu melahap sarapan. Kring ... Ponsel Lewis berdering dan langsung diangkat. "Ya, Bunda?"Oh, Ibundanya. Ralin berharap agar Ibundanya sendiri yang mengatakan perihal fitting gaun pernikahan itu. "Apa Ralin udah bilang kala
Hari pernikahan itu akan digelar besok. Tapi Ralin dan Lewis jarang terlibat dalam percakapan karena kesibukan Lewis. Selain mengurus pabrik, dia juga sedang mempersiapkan tokoh selanjutnya yang akan membantu memainkan sandiwara pernikahannya dengan Ralin. Dan malam ini Lewis datang ke rumah bersama dua koleganya dan David. Ia kemudian menemui Ralin yang sedang makan malam bersama Levi. "Lin, habis ini ke ruang kerjaku sebentar ya?"Kepala Ralin mengangguk dan kurang dari lima belas menit kemudian ia bersama Levi masuk ke dalam ruang kerja Lewis untuk pertama kalinya. Bukan seperti ruang kerja. Tetapi seperti perpustakaan mini dengan hometheater. Di dinding ada satu foto dirinya saat wisuda dengan diapit kedua orang tuanya. Dan di sofa sudah duduk kedua kolega Lewis. "Duduk, Lin." Lewis mempersilahkan.Kemudian ia duduk di samping Lewis namun dengan jarak tertentu. "Jadi ini yang namanya Ralin? Calon istri pura-puramu, Lew?" Tanya teman laki-laki Lewis."Iya.""Dari pada main-mai
"Hai, Luis!""Waaah, sang presdir sesungguhnya telah tiba."Ralin yang tengah berdiri di samping Lewis sambil menerima ucapan selamat, kemudian menatap sosok lelaki yang berdiri di depan pintu rumah. Memakai baju batik berlengan panjang dipadu celana jeans hitam. Dengan rambut hitam tebalnya yang disisir begitu rapi. Ralin menatap Luis sekian detik tanpa berkedip karena paras kembaran Lewis itu hampir sama persis. Mereka bak pinang dibelah dua. Kemudian Luis menatap Lewis dan Ralin bergantian. "Acaranya udah selesai ya?""Baru aja selesai akad," ucap saudara yang lain. Kemudian Ibunda mereka berdua berjalan mendekati Luis lalu memeluknya penuh kasih sayang. Kemudian mencium pipi Luis dengan senyum bahagia. "Bunda pikir kamu nggak mau datang. Hampir aja Bunda sedih.""Aku bisa insomnia kalau bikin Bunda sedih."Kemudian Ibundanya memukul lengan Luis."Dasar gombal!""Kayak Ayah, Bun.""Kamu emang anaknya."Percakapan mereka sudah seperti teman karib saja. Tidak seperti anak dan or
Karena ini hari terakhir kursus, Ralin sengaja mengambil kursus sore hingga malam. Sekalian bertukar pikiran dengan teman-temannya agar lebih lama. Ketika Ralin berjalan keluar dengan beberapa temannya dan hampir mencapai ambang pagar, seseorang berkata ... "Lin, itu pacarmu?"Ralin menatap ke arah seberang jalan. David sedang bersandar di bodi mobilnya sambil meneguk minuman kaleng. Masih memakai kemeja kerja. Lelaki itu rela tidak pulang lebih dulu ke apartemen setelah bekerja demi menunggu Ralin."Iya. Dia pacarku.""Ciee ... senengnya punya cowok gagah, perhatian, ganteng pula." Yang lain ikut menimpali. Ralin tersenyum malu-malu sambil menggeleng. "Nemu dimana yang begituan, Lin?""Ada duplikatnya nggak? Boleh dong satu."Lalu David tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah Ralin dan teman-temannya. Namun teman-teman Ralin justru salah tingkah sendiri. Sudah pasti lambaian tangan itu untuk Ralin tapi bagaimana bisa teman-temannya menjadi salah tingkah. "Aku duluan ya?" R
"Mau cerita sekarang?" Tanya David. Kepala Ralin menggeleng dalam dekapan lelaki itu. "Oke."David selalu dewasa dan tidak memaksa Ralin untuk bercerita sampai wanita itu sendiri yang mengatakannya. "Vid?""Apa, Sayang?" Balas David dengan tetap memeluk Ralin."Aku mau aktif kursus lagi. Lalu nyari kerja.""Good idea. Aku suka.""Jangan tinggalin aku ya, Vid."David mendengus geli dan menggeleng sambil menumpukan dagunya di kepala Ralin. "Nggak lah. Kecuali kamu yang nyuruh aku pergi."Jika Ralin sedang berusaha mati-matian melupakan bahkan menjauh dari Lewis, maka berbeda hal dengan pria itu.Begitu tiba di rumah, Lewis segera menggandeng tangan Levi menuju rumah. "Zaylin dimana, Bu Tatik?""Den Ayu di kamar, Den Mas."Dengan menggandeng tangan Levi, Lewis menuju kamarnya dan mendapati Zaylin sedang duduk di kursi meja rias dengan segelas anggur merah di hadapannya. Lewis kembali menutup pintu kamar lalu menuju dapur. "Bu Tatik, tolong ganti baju Levi.""Baik, Den Mas."Lewis t
Untuk sesaat Ralin membeku tidak percaya jika ia kini berada di dalam dekapan Lewis. Pria yang masih menjadi suaminya yang mati-matian ingin dilupakan. Ia ingin membalas pelukan Lewis namun tahu jika ini adalah mimpi. Yang mungkin sebentar lagi akan berakhir. Mimpi yang tidak boleh terlalu dituruti.Akhirnya Ralin hanya bisa mengepalkan kedua tangannya ketika tangan Lewis mendekap punggungnya agar pelukan itu terlihat natural di depan Luis. Benar saja, pelukan beberapa detik yang mendebarkan itu akhirnya harus usai ketika Lewis melepaskan dekapannya. Kedua mata Lewis dan Ralin saling tatap. Seperti ada komunikasi nonverbal yang Lewis sampaikan dan Ralin mengetipkan mata sebagai jawaban bahwa ia paham. Lalu terdengar suara tawa lirih Luis yang membuat Ralin dan Lewis menoleh. Kemudian kembaran Lewis itu bertepuk tangan dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Nice drama, Dek."Lewis hanya memandang Luis. Menunggu apa yang akan dikatakan kembarannya itu. "Kamu mungkin
Tangan David berada di pinggang Ralin dan baru melepasnya ketika mencapai pintu salon. Kemudian dia berjalan di sisi Ralin dengan begitu sopan layaknya bodyguard pada sang nyonya dan membuka pintu mobil Lewis. Aroma wangi dan sejuk keluar dari dalam kabin mobil mewahnya. Lewis sedang duduk dengan memangku Levi. Pria itu dan Levi memakai batik dengan corak dan warna senada. Rambut keduanya disisir sangat rapi. Dan itu cukup mencuri pandangan Ralin sekian detik namun ia segera mengalihkannya. Ia tidak akan membiarkan Lewis mengira dirinya masih menaruh cinta.Tidak! Kemudian David mempersilahkan Ralin menaiki mobil. Seakan-akan Ralin adalah nyonya dari tuannya. Lalu menutup pintu mobil dan ia berjalan memutar lalu menaiki kursi penumpang sebelah sopir. Ketika mobil mulai berjalan, Ralin hanya duduk dengan mata memandang keluar jendela. Dia tidak tertarik mengucapkan salam pada Levi atau Lewis. Dia benar-benar ingin menjaga jarak dengan keduanya. Namun, keadaan berubah ketika Lewi
Lewis berjalan lebih dulu kemudian diikuti Ralin. Sedang David berjalan di sisinya dan berbisik. "Semuanya akan baik-baik aja. Ingat, aku selalu ada di belakangmu, Lin."Ralin tersenyum dan mengangguk. "Thanks, Vid."Kemudian David kembali berbisik, "I love you."Blush!Ralin tersenyum dan salah tingkah dengan perbuatan David yang selalu manis dan di luar ekspektasinya. Lelaki itu nampak tegas, menakutkan, dan kurang bersahabat ketika mendampingi Lewis.Namun berubah tiga ratus enam puluh derajat jika bersama Ralin. David membukakan pintu untuk Ralin kemudian keduanya masuk ke dalam rumah. "Aku males ngadepin drama ini, Vid.""Aku nggak akan pulang sampai nganter kamu ke tempat yang baru."Kemudian Ralin menoleh, "Kamu yang cariin tempat itu?"Kepala David mengangguk, "Memangnya siapa lagi?""Kenapa kamu nggak bilang ke aku sebelumnya?""Karena aku tahu gimana kesalnya kamu kalau disuruh kembali kemari.""Lalu gimana caranya Den Mas tahu kalau aku pulang ke rumah orang tua?""Beliau
"Lewis bilang kalau dia kelepasan bicara karena emosi. Makanya dia nyusul kamu kemari karena mau minta maaf. Ya sudah, kalian bicara dulu aja. Masalah rumah tangga harus diselesaikan. Jangan berlarut-larut."Setelah Ayahnya pergi, di ruang tamu hanya menyisakan Ralin, Lewis, dan David. David duduk di sebelah Lewis dan terus memandang Ralin dengan sorot datar. Mulutnya diam tak berbicara sepatah kata pun. Namun tatapan matanya penuh makna menatap Ralin.Dia tahu jika saat ini Lewis lah yang paling berkuasa pada Ralin. "Vid, tolong tinggalkan kami." Perintah Lewis.Dengan patuh, David pun mengangguk. Meski hati dan kakinya seperti enggan meninggalkan keduanya. Ia hanya bisa menunggu di teras tanpa tahu apa yang akan Lewis katakan.Lalu Ralin menatap Lewis tanpa rasa takut karena tidak merasa bersalah. "Aku pikir kedatanganmu kemari ingin menyelesaikan kesepakatan pernikahan kita, Den Mas."Lewis hanya menatap Ralin lekat tanpa berbicara sepatah kata pun."Apa kita akan diam terus kaya
Lewis tidak berani menatap Ralin karena rahasia pernikahannya dengan Zaylin telah terbongkar. Padahal ia ingin menyembunyikan rahasia pernikahan itu sampai semuanya tepat untuk diutarakan. Namun Zaylin menyalahi kesepakatan. "Sekarang kamu udah tahu kan siapa aku?! Aku adalah Nyonya Lewis! Nyonya di rumah ini!" ucap Zaylin dengan bersedekap sombong. "Jadi, kamu jangan mbantah atau ngelawan ucapanku! Posisimu di rumah ini cuma baby sitter! Pengasuhnya Levi! Inget itu baik-baik!"Ralin kemudian mengangguk dengan hati terpatah-patah."Yang! Kita udah sepakat mau jaga rahasia ini, kan!?" Lewis mengingatkan. Padahal Lewis tidak mau Ralin terus dikonfrontasi tentang status pernikahan Lewis dan Zaylin."Kamu ngerasa nggak sih, Mas? Ralin tuh baby sitter yang nggak patuh sama majikannya. Sama kamu aja dia berani ngelawan kayak tadi. Gimana sama aku?""Kalau dia nggak dikasih tahu kita udah nikah, dia pasti jauh lebih berani! Udah bener aku kan kalau dia mending dipecat aja? Kamu malah ngga
Begitu bel pintu apartemen berbunyi, Ralin langsung melepas celemek dan membukanya. "Hai, Vid.""Hai." David balas menyapa dengan wajah bingung.Setelah David masuk, Ralin segera menutup pintu lalu menuju dapur kembali. Waktunya menuangkan air panas ke dalam cappucino yang sedang ia buat. David memperhatikan meja makan mini yang sudah tersaji tiga jenis menu makanan yang menggugah selera beserta minumannya. Juga memperhatikan mimik wajah Ralin yang tidak terlihat sendu. Melainkan ada seulas senyum yang tersungging di bibirnya."Selesai. Kamu mau makan sekarang, Vid?"David justru menarik kursi dan menatap Ralin. Ia masih mengenakan kemeja kerja."Tumben kamu belum pulang, Lin? Ini hampir jam tujuh malam.""Kamu nggak suka aku di apartemenmu lebih lama?""Kalau bisa kamu di apartemenku aja setiap hari. Nggak usah pulang ke rumah Pak Lewis."Ralin tertawa lirih mendengar pengakuan David yang mirip sebuah rayuan gombal. "Oke, aku akan pulang sekarang."Ketika Ralin akan menuju sofa, D
"Masuk, Lin."Ralin datang dengan membawa beberapa camilan dan minuman ringan. Meletakkan kantong plastik itu di meja depan televisi. "Soft drink. Mau?"Kepala David mengangguk dengan terus menatap Ralin. Kemudian tangannya menangkap kaleng soft drink itu. "Tumben nggak berangkat kursus mendekati jam masuk, Lin?" Tanya David lalu meneguk minuman itu. "Di rumah sepi, Vid. Aku nggak punya teman ngobrol. Den Mas pergi liburan sama Zaylin dan Levi."Kepala David mengangguk membenarkan. "Sekarang, aku merasa kesepian gara-gara Levi nggak boleh sering-sering ketemu aku. Mending aku main ke apartemenmu aja."Ralin kemudian meneguk soft drink miliknya. "Apa kamu juga pengen liburan?"Kemudian Ralin menatap David. "Liburan kemana?""Dieng barangkali. Disana bagus."Belum pernah Ralin pergi ke tempat itu kemudian David menunjukkan pemandangan bagus Dieng melalui ponselnya. Seketika membuat Ralin berbinar namun senyumnya kembali pupus. "Aku kan ada jadwal kursus, Vid. Mana bisa?"Kemudian