:-0
Setibanya di rumah yang dulu ia tinggali bersama Emran, Ralin kemudian membuka pagar kecil setinggi perut. Mobil yang dulu dibeli dengan tabungan Ralin demi mobilitas mantan suaminya itu, kini terparkir di garasi. Dan halaman dan taman kecil yang dulu rajin Ralin rawat, kini mulai tidak terurus. Banyak rumput liar yang tumbuh dan beberapa pot dibiarkan miring. Juga sampah daun yang berserakan dan lantai teras yang berdebu. Sesibuk apakah Fayza hingga tidak bisa mengurus rumah dengan baik?Ting tong!Ralin menekan bel rumah dengan mental yang sudah siap. Bahwa ia masih dalam proses membunuh cintanya untuk Emran dan tidak memiliki niatan untuk kembali lagi. Begitu pintu rumah terbuka, Emran memandangnya dengan senyum remeh dengan penampilan sedikit acak-acakan. "Hai, Ralin. Oh, bukan! Hai, jalang."Ralin tidak menjawab dan hanya menatap Emran datar. Sedang tangannya sudah gatal sekali ingin memukul mantan suaminya itu dengan benda apapun. Emran sudah menikah dengan Fayza, selingkuh
Sepanjang perjalanan menuju rumah megah Lewis, di dalam mobil, Ralin hanya dima dengan wajah menunduk. Sudah tidak ada bulir air mata yang membasahi pipinya. Hanya saja gurat kesedihan terpancar jelas di wajahnya yang nampak pucat. Tas dan akta percerain berada di atas pangkuannya. Dengan kedua tangan menggenggam erat kain coklat yang menutup badannya. Lewis pun tidak berani bertanya lebih jauh karena begini saja dia sudah bisa menyimpulkan jika Ralin tidak baik-baik saja. Dia pun teringat akan bagaimana nasib putranya jika Ralin mengalami stres? Sedangkan Levi begitu dekat dengan Ralin.Terbersit satu ide untuk memanggil psikolog ke rumah untuk membantu Ralin melewati tekanan ini namun alangkah baiknya dia bertanya lebih dulu jika Ralin sudah tenang.Setibanya di rumah, Levi langsung menarik kain coklat yang Ralin genggam erat-erat. Namun Lewis dengan segera menggendong Levi namun tangan putranya itu terulur ke Ralin dengan suara merengek. "Levi, Bu Ralin lagi nggak enak badan. Bi
Sabtu ceria.Baru saja Ralin selesai memandikan Levi dan akan mengajaknya bermain sekaligus belajar di taman rumah yang luas, tiba-tiba saja Lewis mengetuk pintu kamar putranya itu. Setelah memasangkan celana Levi, Ralin berdiri dengan sopan menyambut kedatangan sang pemilik rumah. Biasanya, Lewis sudah berangkat bekerja pagi sekali. Tapi mengapa dia masih terlihat santai dengan pakaian kasual?"Levi, mau nggak jalan-jalan sama Ayah?" Tanya Lewis dengan mensejajarkan tubuh dengan putranya.Ia kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celana lalu menunjukkan sesuatu dari layar ponsel. Sedang Ralin hanya memandang interaksi mereka. Raut wajah Levi perlahan-lahan berubah sumringah ketika menonton video pendek yang diputarkan Lewis. Kemudian ia mengambil ponsel Lewis dan memperhatikan video itu dengan seksama. "Mau kesana?" Tanya Lewis dengan mengusap rambut Levi lalu mencium pipi putranya. Levi masih memandangi dengan seksama. "Gimana? Mau apa nggak?"Bukannya menjawab, Levi kemudian b
Ucapan Lewis meninggalkan sebuah perasaan yang aneh di dalam hati Ralin. Perasaan yang membuatnya tidak bisa tidur hingga selarut ini. Dia sendiri tidak mengerti perasaan apakah ini. Ketika tangan kanannya menyentuh tepat di dada, rasanya benar-benar ada yang tidak beres. "Kenapa aku begini?"Kepalanya menggeleng dan menghela nafas panjang."Pasti ini cuma karena Pak Lewis terlalu baik saat aku butuh pertolongan. Ini nggak benar. Ini nggak boleh diterusin, Ralin. Nggak boleh." Gumamnya sendiri.Ralin kemudian kembali ke kamar dan menutup pintu balkon. Dipandanginya Levi yang tertidur begitu lelap. Wajah tuan muda kecil itu begitu mirip dengan Lewis. Lalu ia mencuri ciuman di pipi yang sama ketika Lewis tadi mencium Levi. Ralin kembali menegaskan pada diri dan hatinya apa yang menjadi tugasnya. Bukan berangan-angan tentang Lewis terlalu tinggi. Tuhan menciptakan laki-laki sebagai makhluk paling indah. Dan Lewis salah satunya. Kedekatan interaksi mereka karena Levi adalah pemicunya
"Lew, Bunda pernah muda. Pernah punya pasang surut hubungan sama Ayahmu." "Lalu?" "Zaylin udah lama pergi. Apa kamu nggak kesepian?" 'Siapa itu Zaylin? Apakah dia mantan istri Lewis?' Batin Ralin. Lewis menarik tangan dari genggaman Ibundanya lalu menghela nafas panjang. "Bunda, sekali lagi aku tegasin. Kalau aku nggak butuh wanita." "Untuk saat ini." Ibundanya masih saja mendebat Lewis yang belum mau membuka hatinya. "Dan selamanya." Tegas Lewis. "Astaga, Lewis. Jangan bilang gitu!" ucap Ibundanya dengan nada tidak suka. Ralin makin penasaran dan meneruskan sesi menguping itu. "Bunda, Levi itu anak spesial. Perilakunya nggak kayak anak pada umumnya. Pertanyaanku, kalau Ibu kandungnya aja pergi ninggalin dia, perempuan mana yang bisa tahan sama dia?" Mulut Ralin membola lalu ia segera menutupnya dengan telapak tangan kanan. Dia tidak menyangka jika karena kekurangan Levi, kemudian Ibunya lebih memilih pergi meninggalkan. Padahal kekurangan Levi masih bisa diperbaiki.
Ralin tidak menatap kehadiran Lewis dan Kamilia di dekat kolam. Dia menyibukkan diri dengan menjaga Levi yang sedang asyik berjalan-jalan di bagian kolam renang yang hanya sebatas mata kaki. "Levi aktif banget ya, Den Mas?""Iya. Kadang kelewat aktif.""Itu biasanya dipicu dari makanan atau minuman yang dilarang.""Iya."Ralin sebenarnya tidak ingin mendengarkan obrolan mereka. Namun bagaimana lagi, jarak mereka tidaklah jauh. "Tapi anak istimewa kayak Levi pasti punya kelebihan, Den Mas. Dan kelebihannya itu harus dipantik, nggak bisa cuma ditunggu kapan munculnya."Tatapan Lewis kesana kemari dan mengangguk seadanya. Kemudian ia menunduk dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Ada apa, Den Mas?"Lewis kemudian menoleh ke arah Kamilia dengan wajah bingung. "Kenapa?" Tanyanya kembali. "Aku perhatiin Den Mas dari tadi kayak nggak lepas. Kita ngobrol biasa aja. Kita jalani perkenalan ini dengan santai biar nggak tertekan."Lewis menghela nafas panjang lalu menganggu
Teguran yang Lewis berikan, membuat Ralin menyadari satu hal. Bahwa pria itu tidak ingin siapapun memaksa Levi.Dia benar-benar mengutamakan kenyamanan Levi ketimbang sibuk memikirkan Ibu baru untuk putranya. Dan Ralin tidak mau kembali membuat kesalahan dengan membiarkan Kamilia mendekati Levi secara paksa.Esok pagi harinya, saat Lewis dan Levi sarapan, tiba-tiba bel pintu rumah berbunyi.Lewis segera menghentikan sarapan lalu menatap Ralin yang duduk di sebelah Levi. Mengajari putranya itu melahap sarapan."Apa itu Kamilia?""Saya tidak tahu, Pak."Cara bertanya Lewis sudah menunjukkan rasa tidak suka."Kalau itu memang dia, saya nggak mau Levi dipaksa akrab. Bu Ralin saya beri hak untuk melarang Kamilia seenaknya pada Levi. Termasuk memaksa Levi agar mau begini begitu."Ralin mengangguk paham."Iya, Pak. Saya minta maaf untuk kesalahan saya yang kemarin.""Saya maklumi, karena Bu Ralin pasti takut melarang Kamilia."Tidak salah lagi! Ralin mana mungkin berani melarang Kamilia jika
"Dia .... "Ibunda Lewis tidak meneruskan ucapannya. "Astaga. Sudahlah, Bu Ralin. Itu masa lalu."Sebenarnya Ralin ingin sekali mendengar penjelasan dari Ibunda Lewis tentang pernikahan Lewis. Tapi, apalah daya jika sang nyonya besar memilih untuk urung bercerita. Akhirnya Ralin menemani Levi menghabiskan energinya dengan bermain di taman hingga sore hari dengan sejuta pikiran. Sedang Ibunda Lewis memilih menyiapkan makan malam kesukaan Lewis.Meski berkali-kali Ralin berusaha melupakan perasaannya pada Lewis, namun benih-benih cinta di hatinya tetap tumbuh. Termasuk keingintahuannya tentang masa lalu Lewis bersama mantan istri. Secantik apakah ia hingga Lewis begitu menggilainya?Ralin menggelengkan kepala kemudian memilih untuk mengajari Levi belajar mandi sendiri. Tugasnya adalah untuk mendidik Levi, bukan untuk mengagumi sang majikan. Tepat pukul tujuh malam, saat Levi makan malam, Lewis tiba di rumah. "Bunda udah lama?" Tanya Lewis lalu mencium pipi Ibundanya. Pria itu tetap
Karena ini hari terakhir kursus, Ralin sengaja mengambil kursus sore hingga malam. Sekalian bertukar pikiran dengan teman-temannya agar lebih lama. Ketika Ralin berjalan keluar dengan beberapa temannya dan hampir mencapai ambang pagar, seseorang berkata ... "Lin, itu pacarmu?"Ralin menatap ke arah seberang jalan. David sedang bersandar di bodi mobilnya sambil meneguk minuman kaleng. Masih memakai kemeja kerja. Lelaki itu rela tidak pulang lebih dulu ke apartemen setelah bekerja demi menunggu Ralin."Iya. Dia pacarku.""Ciee ... senengnya punya cowok gagah, perhatian, ganteng pula." Yang lain ikut menimpali. Ralin tersenyum malu-malu sambil menggeleng. "Nemu dimana yang begituan, Lin?""Ada duplikatnya nggak? Boleh dong satu."Lalu David tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah Ralin dan teman-temannya. Namun teman-teman Ralin justru salah tingkah sendiri. Sudah pasti lambaian tangan itu untuk Ralin tapi bagaimana bisa teman-temannya menjadi salah tingkah. "Aku duluan ya?" R
"Mau cerita sekarang?" Tanya David. Kepala Ralin menggeleng dalam dekapan lelaki itu. "Oke."David selalu dewasa dan tidak memaksa Ralin untuk bercerita sampai wanita itu sendiri yang mengatakannya. "Vid?""Apa, Sayang?" Balas David dengan tetap memeluk Ralin."Aku mau aktif kursus lagi. Lalu nyari kerja.""Good idea. Aku suka.""Jangan tinggalin aku ya, Vid."David mendengus geli dan menggeleng sambil menumpukan dagunya di kepala Ralin. "Nggak lah. Kecuali kamu yang nyuruh aku pergi."Jika Ralin sedang berusaha mati-matian melupakan bahkan menjauh dari Lewis, maka berbeda hal dengan pria itu.Begitu tiba di rumah, Lewis segera menggandeng tangan Levi menuju rumah. "Zaylin dimana, Bu Tatik?""Den Ayu di kamar, Den Mas."Dengan menggandeng tangan Levi, Lewis menuju kamarnya dan mendapati Zaylin sedang duduk di kursi meja rias dengan segelas anggur merah di hadapannya. Lewis kembali menutup pintu kamar lalu menuju dapur. "Bu Tatik, tolong ganti baju Levi.""Baik, Den Mas."Lewis t
Untuk sesaat Ralin membeku tidak percaya jika ia kini berada di dalam dekapan Lewis. Pria yang masih menjadi suaminya yang mati-matian ingin dilupakan. Ia ingin membalas pelukan Lewis namun tahu jika ini adalah mimpi. Yang mungkin sebentar lagi akan berakhir. Mimpi yang tidak boleh terlalu dituruti.Akhirnya Ralin hanya bisa mengepalkan kedua tangannya ketika tangan Lewis mendekap punggungnya agar pelukan itu terlihat natural di depan Luis. Benar saja, pelukan beberapa detik yang mendebarkan itu akhirnya harus usai ketika Lewis melepaskan dekapannya. Kedua mata Lewis dan Ralin saling tatap. Seperti ada komunikasi nonverbal yang Lewis sampaikan dan Ralin mengetipkan mata sebagai jawaban bahwa ia paham. Lalu terdengar suara tawa lirih Luis yang membuat Ralin dan Lewis menoleh. Kemudian kembaran Lewis itu bertepuk tangan dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Nice drama, Dek."Lewis hanya memandang Luis. Menunggu apa yang akan dikatakan kembarannya itu. "Kamu mungkin
Tangan David berada di pinggang Ralin dan baru melepasnya ketika mencapai pintu salon. Kemudian dia berjalan di sisi Ralin dengan begitu sopan layaknya bodyguard pada sang nyonya dan membuka pintu mobil Lewis. Aroma wangi dan sejuk keluar dari dalam kabin mobil mewahnya. Lewis sedang duduk dengan memangku Levi. Pria itu dan Levi memakai batik dengan corak dan warna senada. Rambut keduanya disisir sangat rapi. Dan itu cukup mencuri pandangan Ralin sekian detik namun ia segera mengalihkannya. Ia tidak akan membiarkan Lewis mengira dirinya masih menaruh cinta.Tidak! Kemudian David mempersilahkan Ralin menaiki mobil. Seakan-akan Ralin adalah nyonya dari tuannya. Lalu menutup pintu mobil dan ia berjalan memutar lalu menaiki kursi penumpang sebelah sopir. Ketika mobil mulai berjalan, Ralin hanya duduk dengan mata memandang keluar jendela. Dia tidak tertarik mengucapkan salam pada Levi atau Lewis. Dia benar-benar ingin menjaga jarak dengan keduanya. Namun, keadaan berubah ketika Lewi
Lewis berjalan lebih dulu kemudian diikuti Ralin. Sedang David berjalan di sisinya dan berbisik. "Semuanya akan baik-baik aja. Ingat, aku selalu ada di belakangmu, Lin."Ralin tersenyum dan mengangguk. "Thanks, Vid."Kemudian David kembali berbisik, "I love you."Blush!Ralin tersenyum dan salah tingkah dengan perbuatan David yang selalu manis dan di luar ekspektasinya. Lelaki itu nampak tegas, menakutkan, dan kurang bersahabat ketika mendampingi Lewis.Namun berubah tiga ratus enam puluh derajat jika bersama Ralin. David membukakan pintu untuk Ralin kemudian keduanya masuk ke dalam rumah. "Aku males ngadepin drama ini, Vid.""Aku nggak akan pulang sampai nganter kamu ke tempat yang baru."Kemudian Ralin menoleh, "Kamu yang cariin tempat itu?"Kepala David mengangguk, "Memangnya siapa lagi?""Kenapa kamu nggak bilang ke aku sebelumnya?""Karena aku tahu gimana kesalnya kamu kalau disuruh kembali kemari.""Lalu gimana caranya Den Mas tahu kalau aku pulang ke rumah orang tua?""Beliau
"Lewis bilang kalau dia kelepasan bicara karena emosi. Makanya dia nyusul kamu kemari karena mau minta maaf. Ya sudah, kalian bicara dulu aja. Masalah rumah tangga harus diselesaikan. Jangan berlarut-larut."Setelah Ayahnya pergi, di ruang tamu hanya menyisakan Ralin, Lewis, dan David. David duduk di sebelah Lewis dan terus memandang Ralin dengan sorot datar. Mulutnya diam tak berbicara sepatah kata pun. Namun tatapan matanya penuh makna menatap Ralin.Dia tahu jika saat ini Lewis lah yang paling berkuasa pada Ralin. "Vid, tolong tinggalkan kami." Perintah Lewis.Dengan patuh, David pun mengangguk. Meski hati dan kakinya seperti enggan meninggalkan keduanya. Ia hanya bisa menunggu di teras tanpa tahu apa yang akan Lewis katakan.Lalu Ralin menatap Lewis tanpa rasa takut karena tidak merasa bersalah. "Aku pikir kedatanganmu kemari ingin menyelesaikan kesepakatan pernikahan kita, Den Mas."Lewis hanya menatap Ralin lekat tanpa berbicara sepatah kata pun."Apa kita akan diam terus kaya
Lewis tidak berani menatap Ralin karena rahasia pernikahannya dengan Zaylin telah terbongkar. Padahal ia ingin menyembunyikan rahasia pernikahan itu sampai semuanya tepat untuk diutarakan. Namun Zaylin menyalahi kesepakatan. "Sekarang kamu udah tahu kan siapa aku?! Aku adalah Nyonya Lewis! Nyonya di rumah ini!" ucap Zaylin dengan bersedekap sombong. "Jadi, kamu jangan mbantah atau ngelawan ucapanku! Posisimu di rumah ini cuma baby sitter! Pengasuhnya Levi! Inget itu baik-baik!"Ralin kemudian mengangguk dengan hati terpatah-patah."Yang! Kita udah sepakat mau jaga rahasia ini, kan!?" Lewis mengingatkan. Padahal Lewis tidak mau Ralin terus dikonfrontasi tentang status pernikahan Lewis dan Zaylin."Kamu ngerasa nggak sih, Mas? Ralin tuh baby sitter yang nggak patuh sama majikannya. Sama kamu aja dia berani ngelawan kayak tadi. Gimana sama aku?""Kalau dia nggak dikasih tahu kita udah nikah, dia pasti jauh lebih berani! Udah bener aku kan kalau dia mending dipecat aja? Kamu malah ngga
Begitu bel pintu apartemen berbunyi, Ralin langsung melepas celemek dan membukanya. "Hai, Vid.""Hai." David balas menyapa dengan wajah bingung.Setelah David masuk, Ralin segera menutup pintu lalu menuju dapur kembali. Waktunya menuangkan air panas ke dalam cappucino yang sedang ia buat. David memperhatikan meja makan mini yang sudah tersaji tiga jenis menu makanan yang menggugah selera beserta minumannya. Juga memperhatikan mimik wajah Ralin yang tidak terlihat sendu. Melainkan ada seulas senyum yang tersungging di bibirnya."Selesai. Kamu mau makan sekarang, Vid?"David justru menarik kursi dan menatap Ralin. Ia masih mengenakan kemeja kerja."Tumben kamu belum pulang, Lin? Ini hampir jam tujuh malam.""Kamu nggak suka aku di apartemenmu lebih lama?""Kalau bisa kamu di apartemenku aja setiap hari. Nggak usah pulang ke rumah Pak Lewis."Ralin tertawa lirih mendengar pengakuan David yang mirip sebuah rayuan gombal. "Oke, aku akan pulang sekarang."Ketika Ralin akan menuju sofa, D
"Masuk, Lin."Ralin datang dengan membawa beberapa camilan dan minuman ringan. Meletakkan kantong plastik itu di meja depan televisi. "Soft drink. Mau?"Kepala David mengangguk dengan terus menatap Ralin. Kemudian tangannya menangkap kaleng soft drink itu. "Tumben nggak berangkat kursus mendekati jam masuk, Lin?" Tanya David lalu meneguk minuman itu. "Di rumah sepi, Vid. Aku nggak punya teman ngobrol. Den Mas pergi liburan sama Zaylin dan Levi."Kepala David mengangguk membenarkan. "Sekarang, aku merasa kesepian gara-gara Levi nggak boleh sering-sering ketemu aku. Mending aku main ke apartemenmu aja."Ralin kemudian meneguk soft drink miliknya. "Apa kamu juga pengen liburan?"Kemudian Ralin menatap David. "Liburan kemana?""Dieng barangkali. Disana bagus."Belum pernah Ralin pergi ke tempat itu kemudian David menunjukkan pemandangan bagus Dieng melalui ponselnya. Seketika membuat Ralin berbinar namun senyumnya kembali pupus. "Aku kan ada jadwal kursus, Vid. Mana bisa?"Kemudian