:-0
Kedua mata Ralin melebar melihat kedua foto itu. Foto yang menunjukkan dirinya sedang dipeluk oleh Emran. Kejadian beberapa hari yang lalu saat Ralin menemuinya di gerbang rumah. "Dan ada sebuah kartu ucapan. Isinya ... " Lewis sedikit menyipitkan mata karena tidak memakai kacamata, "I still love you, Lin. Emran."Usai membacanya Lewis mengangsurkan kartu ucapan itu ke meja. Berdekatan dengan kedua foto tersebut. Jantung Ralin berdetak tidak karuan ketika Lewis telah mengerti segalanya. Ralin pun diam-diam mengutuk perbuatan Emran karena telah mengirimkan satu buket bunga sialan beserta foto itu ke rumah ini. Otaknya pun berpikir cepat, jika apa yang Emran lakukan beberapa hari yang lalu memang sengaja telah direncanakan!Karena, mana mungkin Emran bisa mengirimkan foto mereka saat berpelukan jika bukan menyuruh orang lain untuk memotretnya.Benar-benar licik!Ralin pun bisa menyimpulkan jika Emran sedang berusaha mengacaukan hubungannya dengan Lewis. "Kenapa kalian berpelukan di
"Halo, Lew.""Halo, Bun. Bunda lagi apa?""Baru selesai bikin kue. Tumben kamu telfon jam segini? Kerjaan udah rampung?"Bukan sudah rampung. Melainkan Lewis meninggalkannya begitu saja demi Ralin. "Bun, Ralin kecelakaan."Hari belum terlalu sore dan Lewis memberi kabar sangat buruk. Membuat sore hari itu terasa kelabu. "Apa?! Kecelakaan gimana, Lew?""Penyebabnya masih diselidiki sama tim yang aku bawa, Bun.""Ralin gimana keadaannya sekarang?""Nggak baik, Bun. Dia harus operasi.""Ya Tuhan, Lew.""Satu jam lagi kita akan berangkat ke Jakarta. Aku mau Ralin dirujuk ke rumah sakit dan dokter paling bagus.""Levi gimana, Lew?""Levi cuma terpental dan trauma, Bun. Bunda bisa kan kemari buat jagain Levi?""Iya. Di rumah sakit mana?"Setelah menunggu setengah jam lamanya, Ibunda dan Ayah Lewis tiba di rumah sakit dengan wajah cemas dan khawatir. Ayahnya pun masih mengenakan kemeja kerja. Levi pun langsung mengulurkan tangan untuk digendong Ayah Lewis. Sedang David selalu setia berada
"Emran?" Tanya Lewis dengan alis berkerut. "Betul, Pak. Mobil yang dipakai menabrak mobil Den Levi adalah mobil Emran. Dan mobilnya ada di halaman rumahnya."Lewis kemudian teringat akan ucapan bernada tidak suka yang keluar dari bibir Ralin tempo hari ketika Emran datang berkunjung. Tapi Emran dengan tidak tahu dirinya mengirimkan buket bunga dengan pesan penuh cinta. "Tim menyimpulkan jika kemungkinan yang melakukan tabrakan itu adalah Emran. Dan sebelum membawanya ke kantor polisi, tim akan menginterogasi Emran lebih dulu."Kepala Lewis mengangguk dengan wajah tidak bersahabat. "Kalau sampai dia terbukti melakukannya, aku nggak akan ngasih dia nafas kebebasan. Meski itu cuma satu hirupan."Lalu bayangan Levi saat menangis usai kecelakaan itu membuat Lewis makin geram. Dan dia akan bersabar sampai tim mendapatkan informasi yang akurat. "Kita ke rumah sakit sekarang.""Baik, Pak.""Beri tahu Mas Tira."Kondisi Ralin terpantau membaik pasca operasi. Masa kritisnya telah terlewati.
Ralin tidak sedih meski Emran akan mendapatkan hukuman penjara yang tidak main-main akibat ulahnya. Dia berhak mendapatkan balasannya!Dia ingin mencelakai Levi, namun Ralin yang terkena getahnya.Kedua kaki Ralin hampir saja lumpuh jika tidak mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat. Beruntungnya, Lewis bersedia memberikan pengobatan terbaik.Meski untuk saat ini Ralin masih harus terapi, namun itu jauh lebih baik dari pada ia lumpuh untuk selamanya.Begitu tiba di rumah, Lewis masih menerima panggilan telfon dari pengacaranya. Sudah pasti yang mereka bahas adalah tuntutan penjara seadil mungkin yang Lewis inginkan untuk membuat jera Emran.“Jika dimungkinkan bisa dituntut dengan pasal berlapis, lakukan!” Titah Lewis.Kemudian dia turun dari mobil dengan menggandeng tangan Levi. Sedang Ralin berusaha turun dari mobil perlahan-lahan tanpa bantuan.“Aku nggak bisa bayangin gimana jadinya, andai tabrakannya itu melukai Levi. Anak sekecil Levi terhantam mobil. Emran sudah gila!”“Meski
"Apa Nyonya butuh alat bantu jalan?"Kepala Ralin mengangguk. "Sebenarnya iya. Tadi dokter bilang begitu sekalian untuk terapi jalan.""Besok akan saya bawakan."Ralin tersenyum dan mengangguk karena David seakan-akan tahu apa yang dibutuhkan. Tanpa Ralin harus meminta-minta. "Makasih banyak, Vid. Maaf merepotkan.""Sama-sama, Nyonya. Saya undur diri dulu."Setidaknya, masih ada David yang membantu Ralin manakala Lewis masih diliputi rasa kecewa. Kemudian Bu Tatik datang dengan membawa minuman dan camilan. Setelah menandaskannya bersama Levi, Ralin meminum obatnya. "Den Ayu, apa perlu saya temani tidur?"Kepala Ralin mengangguk tegas ketika mendapatkan tawaran yang lagi-lagi sangat ia butuhkan tanpa harus meminta. "Kalau Bu Tatik nggak merasa repot.""Tugas saya sudah pasti untuk melayani keluarga Den Mas. Tidak ada kata repot untuk itu."Satu lagi, selain David, kini Bu Tatik juga menunjukkan dukungan selama Ralin belum sembuh sepenuhnya. Setidaknya Ralin bisa melewati ini semua
Ralin kemudian menunduk dan David segera berdiri lalu sedikit membungkuk hormat. "Selamat pagi, Pak."Lewis ternyata sudah berdiri di depan pintu entah sejak kapan. Apakah dia sempat melihat David mengajari Ralin berjalan menggunakan alat bantu jalan itu atau tidak?Kemudian Lewis masuk ke dalam kamar Ralin dengan penampilan tidak jauh berbeda dari David. Sudah sangat tampan dan rapi karena hendak menuju pabrik.Ia memperhatikan Ralin dan alat bantu jalan yang digunakan. "Kamu yang membelikannya, Vid?""Iya, Pak." Jawab David tanpa keraguan.Jiwa lelaki sejatinya tidak perlu diragukan. "Karena Nyonya membutuhkan alat itu."Lewis tidak bertanya lagi kemudian menghampiri Levi. "Ayo kita sarapan, Lev?"Levi kemudian menggeleng. "Makan. Ibu."Ralin paham jika yang Levi maksud adalah ingin sarapan bersama Ralin. "Kamu bisa jalan ke meja makan, Lin?""Akan aku coba, Den Mas."Jangankan ke meja makan, menuju kamar mandi saja Ralin membutuhkan bantuan. Namun, bagaimana dia menolak permin
Dengan berbaring miring sambil memeluk Levi, Lewis menatap Ralin dan melanjutkan ucapannya. "Waktu kamu bilang mau mundur dari pernikahan ini, mau menyudahi pernikahan ini, aku kayak ditampar kenyataan, Lin. Kalau kamu sesakit ini juga karena perbuatan Emran.""Meski kamu sakit pun, kamu masih merhatiin Levi. Masih ngurusin Levi sama keterbatasanmu.""Padahal dalam perjanjian pra nikah, nggak ada pasal yang ngatur ketika kamu sakit harus terus merawat dan menjaga Levi. Tapi apa yang kamu lakukan, melebihi perjanjian pra nikah yang aku buat."Lalu Lewis mengusap rambut Levi yang sudah terlelap dan mencium kening putra semata wayangnya itu. Itu semua tak lepas dari pandangan Ralin."Kamu ngasih dia cinta dan sayang jauh lebih besar ketimbang aku sebagai Ayahnya. Bahkan sekedar tidur pun, dia nggak mau kalau nggak sama kamu. Aku kalah telak dari kamu, Lin.""Dan ucapanmu tadi pagi bikin aku sadar diri, Lin. Kalau kamu juga menderita karena Emran dan Levi bakal jauh lebih kehilangan kalau
Kepala Ralin reflek menggeleng. "Bukan gitu, Den Mas.""Kalau memang begitu, biar aku panggilin David."Ralin kembali menggeleng. "Aku cuma nggak mau kelihatan kayak perempuan nggak tahu diri aja, Den Mas. Kamu itu pewaris. Mana etis gendong perempuan kayak aku.""Stop! Intinya pagi ini, kamu mau sarapan sama aku apa nggak?"Tentu saja Ralin ingin. Hanya saja dia tidak sampai hati mengatakannya. Belum sempat Ralin menjawab, Lewis kemudian memindahkan alat bantu jalan itu dan langsung menggendongnya begitu saja. Ralin reflek langsung melingkarkan tangannya di belakang leher Lewis. Untuk beberapa detik, Ralin dan Lewis saling tatap. Dan itu membuat seluruh darah Ralin terasa sangat dingin. Dengan jarak sedekat ini, Ralin berharap detak jantungnya yang menggila, tidak terdengar oleh Lewis. "Levi, ayo makan di ruang makan." Lewis berucap pada putranya. Levi mengangguk lalu berjalan bersama Lewis menuju ruang makan dengan menggendong Ralin. Dan pemandangan itu terlihat oleh Bu Tatik
Karena ini hari terakhir kursus, Ralin sengaja mengambil kursus sore hingga malam. Sekalian bertukar pikiran dengan teman-temannya agar lebih lama. Ketika Ralin berjalan keluar dengan beberapa temannya dan hampir mencapai ambang pagar, seseorang berkata ... "Lin, itu pacarmu?"Ralin menatap ke arah seberang jalan. David sedang bersandar di bodi mobilnya sambil meneguk minuman kaleng. Masih memakai kemeja kerja. Lelaki itu rela tidak pulang lebih dulu ke apartemen setelah bekerja demi menunggu Ralin."Iya. Dia pacarku.""Ciee ... senengnya punya cowok gagah, perhatian, ganteng pula." Yang lain ikut menimpali. Ralin tersenyum malu-malu sambil menggeleng. "Nemu dimana yang begituan, Lin?""Ada duplikatnya nggak? Boleh dong satu."Lalu David tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah Ralin dan teman-temannya. Namun teman-teman Ralin justru salah tingkah sendiri. Sudah pasti lambaian tangan itu untuk Ralin tapi bagaimana bisa teman-temannya menjadi salah tingkah. "Aku duluan ya?" R
"Mau cerita sekarang?" Tanya David. Kepala Ralin menggeleng dalam dekapan lelaki itu. "Oke."David selalu dewasa dan tidak memaksa Ralin untuk bercerita sampai wanita itu sendiri yang mengatakannya. "Vid?""Apa, Sayang?" Balas David dengan tetap memeluk Ralin."Aku mau aktif kursus lagi. Lalu nyari kerja.""Good idea. Aku suka.""Jangan tinggalin aku ya, Vid."David mendengus geli dan menggeleng sambil menumpukan dagunya di kepala Ralin. "Nggak lah. Kecuali kamu yang nyuruh aku pergi."Jika Ralin sedang berusaha mati-matian melupakan bahkan menjauh dari Lewis, maka berbeda hal dengan pria itu.Begitu tiba di rumah, Lewis segera menggandeng tangan Levi menuju rumah. "Zaylin dimana, Bu Tatik?""Den Ayu di kamar, Den Mas."Dengan menggandeng tangan Levi, Lewis menuju kamarnya dan mendapati Zaylin sedang duduk di kursi meja rias dengan segelas anggur merah di hadapannya. Lewis kembali menutup pintu kamar lalu menuju dapur. "Bu Tatik, tolong ganti baju Levi.""Baik, Den Mas."Lewis t
Untuk sesaat Ralin membeku tidak percaya jika ia kini berada di dalam dekapan Lewis. Pria yang masih menjadi suaminya yang mati-matian ingin dilupakan. Ia ingin membalas pelukan Lewis namun tahu jika ini adalah mimpi. Yang mungkin sebentar lagi akan berakhir. Mimpi yang tidak boleh terlalu dituruti.Akhirnya Ralin hanya bisa mengepalkan kedua tangannya ketika tangan Lewis mendekap punggungnya agar pelukan itu terlihat natural di depan Luis. Benar saja, pelukan beberapa detik yang mendebarkan itu akhirnya harus usai ketika Lewis melepaskan dekapannya. Kedua mata Lewis dan Ralin saling tatap. Seperti ada komunikasi nonverbal yang Lewis sampaikan dan Ralin mengetipkan mata sebagai jawaban bahwa ia paham. Lalu terdengar suara tawa lirih Luis yang membuat Ralin dan Lewis menoleh. Kemudian kembaran Lewis itu bertepuk tangan dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Nice drama, Dek."Lewis hanya memandang Luis. Menunggu apa yang akan dikatakan kembarannya itu. "Kamu mungkin
Tangan David berada di pinggang Ralin dan baru melepasnya ketika mencapai pintu salon. Kemudian dia berjalan di sisi Ralin dengan begitu sopan layaknya bodyguard pada sang nyonya dan membuka pintu mobil Lewis. Aroma wangi dan sejuk keluar dari dalam kabin mobil mewahnya. Lewis sedang duduk dengan memangku Levi. Pria itu dan Levi memakai batik dengan corak dan warna senada. Rambut keduanya disisir sangat rapi. Dan itu cukup mencuri pandangan Ralin sekian detik namun ia segera mengalihkannya. Ia tidak akan membiarkan Lewis mengira dirinya masih menaruh cinta.Tidak! Kemudian David mempersilahkan Ralin menaiki mobil. Seakan-akan Ralin adalah nyonya dari tuannya. Lalu menutup pintu mobil dan ia berjalan memutar lalu menaiki kursi penumpang sebelah sopir. Ketika mobil mulai berjalan, Ralin hanya duduk dengan mata memandang keluar jendela. Dia tidak tertarik mengucapkan salam pada Levi atau Lewis. Dia benar-benar ingin menjaga jarak dengan keduanya. Namun, keadaan berubah ketika Lewi
Lewis berjalan lebih dulu kemudian diikuti Ralin. Sedang David berjalan di sisinya dan berbisik. "Semuanya akan baik-baik aja. Ingat, aku selalu ada di belakangmu, Lin."Ralin tersenyum dan mengangguk. "Thanks, Vid."Kemudian David kembali berbisik, "I love you."Blush!Ralin tersenyum dan salah tingkah dengan perbuatan David yang selalu manis dan di luar ekspektasinya. Lelaki itu nampak tegas, menakutkan, dan kurang bersahabat ketika mendampingi Lewis.Namun berubah tiga ratus enam puluh derajat jika bersama Ralin. David membukakan pintu untuk Ralin kemudian keduanya masuk ke dalam rumah. "Aku males ngadepin drama ini, Vid.""Aku nggak akan pulang sampai nganter kamu ke tempat yang baru."Kemudian Ralin menoleh, "Kamu yang cariin tempat itu?"Kepala David mengangguk, "Memangnya siapa lagi?""Kenapa kamu nggak bilang ke aku sebelumnya?""Karena aku tahu gimana kesalnya kamu kalau disuruh kembali kemari.""Lalu gimana caranya Den Mas tahu kalau aku pulang ke rumah orang tua?""Beliau
"Lewis bilang kalau dia kelepasan bicara karena emosi. Makanya dia nyusul kamu kemari karena mau minta maaf. Ya sudah, kalian bicara dulu aja. Masalah rumah tangga harus diselesaikan. Jangan berlarut-larut."Setelah Ayahnya pergi, di ruang tamu hanya menyisakan Ralin, Lewis, dan David. David duduk di sebelah Lewis dan terus memandang Ralin dengan sorot datar. Mulutnya diam tak berbicara sepatah kata pun. Namun tatapan matanya penuh makna menatap Ralin.Dia tahu jika saat ini Lewis lah yang paling berkuasa pada Ralin. "Vid, tolong tinggalkan kami." Perintah Lewis.Dengan patuh, David pun mengangguk. Meski hati dan kakinya seperti enggan meninggalkan keduanya. Ia hanya bisa menunggu di teras tanpa tahu apa yang akan Lewis katakan.Lalu Ralin menatap Lewis tanpa rasa takut karena tidak merasa bersalah. "Aku pikir kedatanganmu kemari ingin menyelesaikan kesepakatan pernikahan kita, Den Mas."Lewis hanya menatap Ralin lekat tanpa berbicara sepatah kata pun."Apa kita akan diam terus kaya
Lewis tidak berani menatap Ralin karena rahasia pernikahannya dengan Zaylin telah terbongkar. Padahal ia ingin menyembunyikan rahasia pernikahan itu sampai semuanya tepat untuk diutarakan. Namun Zaylin menyalahi kesepakatan. "Sekarang kamu udah tahu kan siapa aku?! Aku adalah Nyonya Lewis! Nyonya di rumah ini!" ucap Zaylin dengan bersedekap sombong. "Jadi, kamu jangan mbantah atau ngelawan ucapanku! Posisimu di rumah ini cuma baby sitter! Pengasuhnya Levi! Inget itu baik-baik!"Ralin kemudian mengangguk dengan hati terpatah-patah."Yang! Kita udah sepakat mau jaga rahasia ini, kan!?" Lewis mengingatkan. Padahal Lewis tidak mau Ralin terus dikonfrontasi tentang status pernikahan Lewis dan Zaylin."Kamu ngerasa nggak sih, Mas? Ralin tuh baby sitter yang nggak patuh sama majikannya. Sama kamu aja dia berani ngelawan kayak tadi. Gimana sama aku?""Kalau dia nggak dikasih tahu kita udah nikah, dia pasti jauh lebih berani! Udah bener aku kan kalau dia mending dipecat aja? Kamu malah ngga
Begitu bel pintu apartemen berbunyi, Ralin langsung melepas celemek dan membukanya. "Hai, Vid.""Hai." David balas menyapa dengan wajah bingung.Setelah David masuk, Ralin segera menutup pintu lalu menuju dapur kembali. Waktunya menuangkan air panas ke dalam cappucino yang sedang ia buat. David memperhatikan meja makan mini yang sudah tersaji tiga jenis menu makanan yang menggugah selera beserta minumannya. Juga memperhatikan mimik wajah Ralin yang tidak terlihat sendu. Melainkan ada seulas senyum yang tersungging di bibirnya."Selesai. Kamu mau makan sekarang, Vid?"David justru menarik kursi dan menatap Ralin. Ia masih mengenakan kemeja kerja."Tumben kamu belum pulang, Lin? Ini hampir jam tujuh malam.""Kamu nggak suka aku di apartemenmu lebih lama?""Kalau bisa kamu di apartemenku aja setiap hari. Nggak usah pulang ke rumah Pak Lewis."Ralin tertawa lirih mendengar pengakuan David yang mirip sebuah rayuan gombal. "Oke, aku akan pulang sekarang."Ketika Ralin akan menuju sofa, D
"Masuk, Lin."Ralin datang dengan membawa beberapa camilan dan minuman ringan. Meletakkan kantong plastik itu di meja depan televisi. "Soft drink. Mau?"Kepala David mengangguk dengan terus menatap Ralin. Kemudian tangannya menangkap kaleng soft drink itu. "Tumben nggak berangkat kursus mendekati jam masuk, Lin?" Tanya David lalu meneguk minuman itu. "Di rumah sepi, Vid. Aku nggak punya teman ngobrol. Den Mas pergi liburan sama Zaylin dan Levi."Kepala David mengangguk membenarkan. "Sekarang, aku merasa kesepian gara-gara Levi nggak boleh sering-sering ketemu aku. Mending aku main ke apartemenmu aja."Ralin kemudian meneguk soft drink miliknya. "Apa kamu juga pengen liburan?"Kemudian Ralin menatap David. "Liburan kemana?""Dieng barangkali. Disana bagus."Belum pernah Ralin pergi ke tempat itu kemudian David menunjukkan pemandangan bagus Dieng melalui ponselnya. Seketika membuat Ralin berbinar namun senyumnya kembali pupus. "Aku kan ada jadwal kursus, Vid. Mana bisa?"Kemudian