Besok paginya, Yudhi terbangun sebelum azan subuh. Tidak lupa dia membangunkan Arina. Ketika Arina membuka mata dia berikan senyuman termanis pada istrinya itu.
"Mandi ya, Mas bantu ke kamar mandi." Sepertinya Yudhi tahu biasanya kebanyakan perempuan setelah malam pertama akan merasakan sakit, pria itu khawatir Arina akan kesulitan berjalan karenanya. Yang dia maksud membantu ke kamar mandi itu bukan membantu jalan ke kamar mandi, melainkan menggendong ke kamar mandi. Arina pun tersipu dengan perlakuan manis suaminya. Sampai di kamar mandi, Yudhi menurunkan Arina. "Kalau sudah selesai, teriak aja ya, nanti Mas gendong lagi." Sebuah senyuman mengembang di bibir Yudhi. "Enggak usah berlebihan deh kayaknya Mas, aku bisa jalan sendiri kok." Arina meyakinkan Yudhi kalau dia baik-baik saja. "Lagian kan kalau Mas gendong aku lagi, terus aku udah wudhu, ya wudhunya jadi batal dong." Yudhi tersenyum sambil menggaruk tengkuk belakangnya. "Iya juga ya. Ya sudah mandi aja dulu, terus salat subuh jamaah ya. Eh, tapi salat subuh nya tunggu Mas habis mandi, ya." Arina tersenyum sebelum menutup pintu kamar mandi. Agak lama dia mandi pagi ini. Setelahnya dia keluar sendiri dari kamar mandi. Yudhi memperhatikan Arina berjalan keluar dari kamar mandi, perempuan itu terlihat baik-baik saja. Padahal sebenarnya Arina menahan rasa sakitnya. "Bener ya enggak apa-apa. Ya sudah Mas mandi dulu. Tunggu sebentar, ya." Tidak perlu menunggu lama, Yudhi sudah selesai dari kamar mandi. Mereka pun menunaikan salat subuh berjamaah. Selesai salat, Yudhi mengajak Arina ke dapur, tetapi dia tidak mengizinkan perempuan itu masak. Dia memasak sarapan sendiri lalu meminta Arina menunggu di meja makan. Sarapan simpel pagi hari mi rebus dengan telur karena memang tidak ada stok makanan lain untuk pagi itu di sana. Namun, pria itu memasukkan semua dalam satu mangkok dan meletakkan dua sendok di sana. Kemudian dia bawa ke meja makan. "Kok cuma satu Mas?" tanya Arina yang merasa bingung melihat kedatangan suaminya dari dapur. "Kita makan berdua aja. Enggak apa-apa, kan?" tanya pria itu yang tidak mendapat penolakan dari istrinya. Mereka duduk bersebelahan lalu makan bersama. Sesekali Yudhi menyuapi Arina dengan sendoknya. Perlakuan manis Yudhi justru akan membuat Arina semakin sedih untuk melepaskan suaminya itu kembali ke Jakarta. Selesai sarapan keduanya duduk di sofa ruang tengah. "Kenapa harus pergi sih, Mas?" Arina melakukan protes lagi pada suaminya. "Mas harus kerja, Rin, apa kamu mau ikut Mas balik ke Jakarta sekarang juga? Sebenarnya Mas juga sedih harus ninggalin kamu sendirian di sini, tapi mau gimana lagi." Arina menghembuskan napas berat. "Aku belum bisa langsung balik ke Jakarta, Mas. Aku harus ngurus kepindahan dulu dari rumah sakit. Enggak bisa main pergi gitu aja." Semakin bertambahnya waktu, keduanya semakin enggak untuk berpisah. "Beri Mas waktu satu bulan, dalam waktu satu bulan itu Mas akan jemput kamu. Mas akan urus semua proses pemindahan kamu ke Jakarta." "Mas janji?" "Iya, Mas janji satu bulan lagi akan ke sini, jemput kamu." "Ok, kalau gitu aku akan nunggu." Hari itu Arina memutuskan untuk datang ke rumah sakit agak siang karena dia akan menunggu sampai Yudhi dijemput oleh sekretarisnya yang dia akui sebagai teman pada Arina. Satu jam menunggu, Sekretaris Yudhi datang menjemput dengan mobil mini bus biasa. Tidak dengan mobil sedan mewah sesuai permintaan Yudhi karena dia belum mau menunjukkan siapa jati diri sebenarnya. Pria itu pamit pada Arina dengan mencium kening perempuan itu lama sekali. Setelah itu Arina mencium tangan Yudhi. Pria itu masuk mobil diiringi dengan bulir bening yang mengalir dari kedua mata Arina. Setelah mobil yang membawa Yudhi tidak terlihat lagi, Arina bergegas ke rumah sakit. Dia kembali tinggal sendiri. Entah selanjutnya dia akan kuat atau tidak ketika ditinggal sang suami. Walaupun kebersamaan mereka cuma sejenak, tetapi meninggalkan kesan yang mendalam. Arina berjanji pada dirinya sendiri untuk menunggu Yudhi datang menjemputnya di sana. *** Malam harinya, saat Arina baru selesai makan, ponselnya berdering, ada panggilan dari nomor yang tidak dia kenal. Arina terima panggilan itu karena khawatir jika ada panggilan telepon dari warga sekitar yang membutuhkan bantuannya. "Halo," sapa Arina menunggu suara dari penelepon. Matanya membulat saat mendengar suara dari orang yang sangat dia rindukan. "Mas Yudhi?" "Iya, kamu lagi apa, Rin? Teleponnya ganti video ya." "Iya, Mas." "Nah, sekarang kan keliatan cantiknya. Kamu udah makan, Rin?" "Udah, Mas. Ini lagi santai. Tadinya mau nonton TV tapi kok males. Mas kok teleponnya pakai nomor lain, HP yang biasanya ke mana?" "Oh itu, sengaja ganti, ini nomor Mas yang dulu udah diambil lagi. Kamu simpan nomor ini juga, ya!" "Ok. Mas udah makan?" "Sudah tadi. Ya Allah enggak ketemu sebentar aja rasanya kok kangen banget, ya. Kalau weekend Mas ke sana boleh enggak, Rin?" "Emang bisa? Kalau bisa, terus mau ke sini, boleh aja, Mas." "Iya, lihat nanti deh." Dari ponsel Arina, Yudhi terlihat menelepon di luar rumah, bukan di kamar atau di ruang kerjanya. "Mas belum ngantuk?" Saat itu sudah jam sembilan malam. "Belum lah, baru jam berapa ini, kan." "Mas tadi seharian ngapain aja?" Telepon berlanjut dengan saling menceritakan kegiatan mereka seharian tadi, baik yudhi juga Arina. Jam sepuluh malam panggilan telepon berakhir. Arina masuk kamar untuk beristirahat. *** Hari-hari Arina tanpa Yudhi tidak terlalu kesepian karena pria itu cukup sering menelepon dan mengirim pesan untuk Arina untuk mengingatkan salat, makan dan istirahat. Pagi itu saat akan memasak sarapan, Arina mendapat telepon dari Arya. Dia segera menerima panggilan itu. "Halo, Pa." "Rin, coba nyalain TV terus lihat berita!" perintah Arya. "Ada apa sih, Pa? Aku baru mau masak ini." "Tinggalin dulu, cepet lihat TV sekarang!" Arina menurut dan menyalakan TV. Di layar TV itu menampilkan berita seorang CEO Atmaja Grup sedang diwawancara, pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Suami Arina, Yudhistira Atmaja. Arina mengerutkan dahi menatap layar TV. "Itu Mas Yudhi, Pa?" "Iya, pantes aja Papa ngerasa kenal dengan orangnya, ternyata dia CEO Atmaja Grup. Pantes aja ada yang punya niatan jahat sama dia." Arina masih terkesiap menatap layar TV. Masih belum percaya dengan apa yang dia lihat. "Jadi, Mas Yudhi bukan orang biasa ya, Pa?" "Yah begitulah, tunggu sebentar ya, Pa, aku mau telepon Mas Yudhi dulu." Arina mematikan panggilan telepon dengan Arya lalu menghubungi Yudhi. Namun, berkali-kali dia telepon tidak ada jawaban dari Yudhi. Entah kenapa hati Arina terasa sakit karena suaminya tidak menjawab panggilan telepon darinya. 'Apa Mas Yudhi mau melupakan aku setelah dia menunjukkan jati dirinya?' batin Arina yang berpikiran negatif pada Yudhi.Setelah diperiksa oleh dokter di rumah sakit dan dinyatakan hamil, Yudhi mengajak Arina konsultasi ke dokter kandungan yang ada jadwal praktek pagi. Setelah diperiksa dengan USG, Arina dinyatakan hamil empat minggu. Dia sendiri tidak menyangka bisa hamil anak kedua secepat itu karena siklus bulanannya belum datang lagi sejak terakhir dia hamil anak pertama. “Dokter kan tahu jika setiap bulan sel telurnya yang matang tetap dilepaskan seperti biasa, hanya saja memang dinding rahimnya tidak menebal karena pengaruh hormon. Selamat ya, Dok atas kehamilan anak keduanya, semoga saja semuanya lancar.” Dokter kandungan yang sudah kenal dengan Arina itu mendoakannya.“Aamiin, terima kasih ya, Dok. Kami pamit pulang dulu.”Yudhi mengajak Arina kembali ke mobilnya. Perempuan itu menarik napas panjang untuk menangkan diri menerima keputusan jika dia telah hamil anak kedua dan harus menerima semuanya dengan lapang dada.“Mas, kayaknya aku harus ngajuin cuti lagi ini ke papa. Padahal aku belum masu
Yudhi tetap terus membantu Arina mengurus anak mereka. Perempuan itu minta cuti satu tahun pada sang papa untuk mengasuh anak pertamanya dan tidak mau melewatkan setiap perkembangan yang dialami putri pertamanya. Begitu juga dengan Yudhi, dia pun tidak mau melewatkan kesempatan yang sama. Meskipun mereka sudah kembali ke apartemen, Arina tetap mengurus bayinya sendiri dengan bantuan ART di rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan menemani Arina saat suaminya bekerja. Pada suatu malam, Yudhi ingin membicarakan sesuatu pada Arina, dia pun membahasnya dengan perempuan itu. "Sayang, Mas ada rencana nih. Mas mau minta persetujuan kamu, tapi dengerin dulu, ya." Arina menganggukkan kepala siap mendengar semua apa pun yang akan suaminya katakan padanya. "Jadi, Mas ada rencana mau bikin pesantren." Arina terkesiap mendengar rencana sang suami. Mengapa dia tiba-tiba ingin membangun pesantren, padahal mereka belum pernah membalas ini sebelumnya. "Pesantren, Mas? Di mana?" "DI pinggiran
Hari-hari Arina menunggu waktu melahirkan tetap sama seperti biasanya. Rutin jalan pagi bersama sang suami dan tidur malam harus diawali dengan pijatan di kaki dan dielus bagian punggung sampai dia tertidur. Beberapa hari terakhir, Arina mulai merasakan gelombang cinta di bagian perut, hanya saja belum teratur dan sering. Dia masih menikmati setiap rasa kram dan nyeri itu sebagai sinyal jika sebentar lagi anaknya akan segera lahir. Makin dekat waktu melahirkan makin sering pula gelombang cinta itu dirasakan oleh Arina hingga pada suatu sore dia mendapat flek dan segera minta diantar menuju rumah sakit. Tidak hanya Yudhi yang mengantar Arina, kedua orang tuanya pun ikut mengantar sampai ke rumah sakit. Perempuan itu dibawa ke rumah sakit milik sang papa. Begitu tiba di rumah sakit, Arina dibawa menuju ruang bersalin yang kosong. Di sana dia ditemani oleh suami dan mamanya. Sedangkan sang papa menunggu di luar sambil berzikir. Saat Arina merasakan gelombang cinta yang hebat, sang ma
Yudhi meminta kamar hanya berdua saja dengan Arina pada travel umroh. Dia harus memastikan keadaan Arina baik-baik saja selama 24 jam di sana. Ke mana pun Yudhi pergi pasti ada Arina bersamanya. Ke masjid atau sedang mengikuti perjalanan bersama tour pun mereka selalu bersama. Di depan ka'bah, Arina dan Yudhi selalu memanjatkan doa untuk kelancaran proses kehamilan istrinya dan kemudahan saat proses melahirkan. Meskipun Arina seorang dokter dia tidak bisa melahirkan sendirian tanpa bantuan pihak medis, lagipula dia kan bukan dokter kandungan, Arina adalah seorang dokter bedah umum yang sudah pasti akan menghadapi pasien dengan penyakit yang berbeda. Selesai melaksanakan umroh keduanya kembali ke hotel karena sudah malam. Sebelum masuk ke kamar, mereka makan malam lebih dulu. Selama melaksanakan umroh berat badan Arina naik. Dia sendiri pun merasakan itu, mulai kesulitan bangun dan harus dibantu oleh sang suami. "Mas, kayaknya jas seragam dari travel itu udah enggak cukup lagi deh,
Arina memperhatikan perutnya yang mulai terlihat membuncit di depan kaca, pada usia kehamilan lima bulan, memang perut perempuan hamil sudah mulai terlihat membuncit. Dia merasa tidak percaya diri dengan perutnya di saat dia belum mengumumkan acara resepsi pernikahannya. "Mas, perut aku udah keliatan gendut ya?" tanya Arina dengan wajah cemberut. Rasanya hari itu dia tidak ingin datang ke rumah sakit karena perutnya. "Bukan keliatan gendut, tapi membesar karena hamil. Kalau gendut kan seluruh badan melebar." Arina menghembuskan napas lelah. Terkadang dia masih tidak ingin menjadi bahan gunjingan yang lain atau mendapat fitnah dari yang lain. "Aku enggak usah berangkat ke rumah sakit ya, Mas?" Arina berharap Yudhi akan setuju dengan keputusannya. Namun, nyatanya tidak. Pria itu meletakkan beberapa undangan di tangan Arina. "Suruh mereka semua datang supaya tahu kenyataan yang sebenarnya." Pria itu paham istrinya khawatir dituduh hamil sebelum menikah. "Mas antar sampai ke ruangan
Kondisi Arina semakin membaik keesokan harinya. Pagi itu Yudhi mengajak istrinya berkeliling rumah sakit, perempuan itu duduk di kursi roda yang didorong oleh sang suami. "Ternyata dokter juga bisa sakit dan masuk rumah sakit, ya?" Arina tertawa lebih tepatnya mentertawakan diri sendiri. "Ya, kalau kamu sakit kan tetap butuh dokter, Sayang. Masa kamu bisa nyembuhin diri sendiri. Lagian kamu bukan sakit secara fisik, tapi secara psikologis." "Mas, misalnya kemarin aku sakitnya lama. Terus belum membaik sampai hari ini, malah semakin parah, Mas bakalan ngapain?" Arina merasa penasaran dengan apa yang akan dilakukan sang suami. Dia khawatir Yudhi akan meninggalkannya. Padahal pria itu selalu setia di samping nya. "Sayang, kita enggak boleh berandai-andai loh." Wajah Arina berubah cemberut, bukan itu jawaban yang dia inginkan dari suaminya. Yang dia mau adalah apa yang akan Yudhi lakukan padanya. "Yah, enggak seru ah. Aku kan penasaran." Namun, Yudhi akhirnya menjawab pertanyaan Ar