Zanara memutuskan untuk segera kembali ke rumah Jayme, tepat setelah mendengar permintaan Gabriel yang sulit untuk ia jawab. Ia mungkin tak memberi kepastian pada pria itu, tetapi dengan diamnya, Gabriel pastilah mengartikan itu sebagai tanda setuju.Anggap saja begitu. Gabriel sudah cukup lama menantikan saat itu, bukan?Sekian lama ia menanti Zanara terlepas dari Mark agar ia mendapat kesempatan untuk mendekat, tetapi justru di saat yang tak tepat. Lagi-lagi Zanara berada dalam belenggu hati seseorang.Katakanlah demikian. Karena meski Jayme tak memaksakan kehendak dan perasaannya terhadap Zanara, nyatanya dengan segala yang ia lakukan pada akhirnya membuat Zanara harus memikirkan kembali untuk memberi kesempatan padanya.Namun, bukan di situ masalahnya."Marion!" Jayme menghambur ke arah gadis kecil itu, memeluk dan mendekapnya dengan erat serta menghujani gadis kecil itu dengan ciuman. "Kupikir aku akan kehilangan kalian."Cukup lama Zanara tertegun, memandangi pria dengan penampi
"Jangan katakan kau tidak mengetahuinya, J. Sayang sekali ... ternyata wanita itu tidak menganggapmu cukup penting untuk mengetahui itu. Apakah kau yakin akan meneruskan impian dan khayal semumu itu?" tanya Clara terdengar sarkastik dan sukses menyinggung perasaan Jayme yang kini sudah kalut."Tidak mungkin," ucapnya, lirih, bermonolog dengan dirinya sendiri.Apakah itu yang menyebabkan Zanara bertemu dengan Gabriel? Untuk mengabarkan apa yang tengah ia hadapi, dan ia sama sekali tidak membaginya dengan Jayme?Oh, mengapa rasanya begitu sakit?Nyeri yang selama ini menghantamnya karena sikap tak bersahabat dari wanita itu, nyatanya tidak lebih sakit dibanding kali ini. Karena ia sadar, sekarang ia bukanlah satu-satunya yang peduli pada Zanara.Ada Gabriel yang akan dengan senang hati membantu Zanara apa pun yang terjadi.Tangan Jayme berhenti menyuapkan makanannya, matanya memandang entah ke mana dengan tatapan kosong.J
"Eh? Apa?" tanya Zanara, seolah tak mendengar permintaan Jayme yang cukup jelas terdengar di telinganya meski memang diucapkan cukup lirih oleh pria itu."Ayolah, Zee ... jangan menggodaku. Kau mendengarnya, kan?" ucap Jayme, sembari mengulum senyum."T-tidak.""Baiklah aku ulangi," ucapnya setelah menghela napas. "Makan malam denganku. Aku pulang pukul tujuh, dan kuharap kau sudah siap."Zanara masih mematung dan bungkam.Apakah Jayme mengajaknya makan malam dengan tujuan kencan? Ataukah hanya sekadar makan malam karena ingin suasana yang berbeda saja? Lalu bagaimana dengan Marion?"Ehm, Marion—""Aku sudah. Memesan gaun khusus untuk Marion, yang artinya ia juga akan ikut," ucap Jayme dengan senyum terkembang. Andai Zanara saat ini adalah kekasih atau bahkan istri Jayme, ia pasti akan sangat cemburu akan perhatian Jayme terhadap Marion.Begitulah Jayme, yang sering kali menimbulkan kekaguman yang tak
Zanara menanti sudah lebih dari satu jam. Jayme berjanji akan tiba di rumah pukul tujuh, tetapi hingga pukul delapan tak ada kabar apa pun darinya. Meski ada sedikit kegundahan dalam hatinya, tetapi berusaha ia tepiskan.Tidak mungkin pria itu akan membatalkan janji. Selama ini ia tak pernah seperti itu.Meski mungkin Zanara tak pernah benar-benar mengenal pria itu—karena memang ia tak pernah memberi kesempatan pada hatinya untuk mengenal Jayme, tetapi ia tahu bahwa Jayme adalah pria yang selalu memegang janjinya.Zanara berulang kali mengintip jam tangannya, jarum panjang semakin menjauh dari angkat dua belas. Di mana Jayme sebenarnya?Bahkan panggilan darinya sama sekali tak direspon oleh pria itu."Mama ... apakah papa masih lama? Aku sudah lapar," keluh Marion, sembari memeluk kaki Zanara, yang segera berjongkok demi bisa sejajari putrinya."Sabar, ya, sayang. Mama sedang berusaha menghubungi papa," hiburnya.Namun,
Zanara menoleh ke sumber suara dan mengikuti arah gerak wanita yang masuk ke ruangan Jayme. Wanita paruh baya dengan postur tubuh tegap dan masih segar, berjalan masuk dan makin mendekat ke arah putranya yang masih terbaring lemah dengan kepala tertutup kasa. Wanita itu, tampak berusia sekitar lima puluhan, atau mungkin kurang dari itu, karena di mata Zanara, wajahnya tampak cantik dan segar, seolah tak terkikis usia.Melihat kedatangan ibunya, Jayme tampaknya tak terpengaruh sama sekali.Sebaliknya dengan Zanara yang tangannya masih berada dalam genggaman pria itu, bahkan ketika ia hendak melepaskannya, Jayme menahan jemari Zanara tetap berada dalam genggamannya.Bahkan ketika Zanara hendak bangkit untuk memberi tempatnya pada Minerva, Jayme tetap menghalanginya.Jayme secara tak langsung dan tanpa perlu banyak berkata, ingin menunjukkan pada wanita yang baru saja masuk, bahwa wanita inilah yang berhasil menawan hatinya, hingga terbelen
"Hey ... siapa namamu?" tanya Minerva pada Marion, yang langsung menoleh dan menatapnya dengan mata berbinar dan tatapan polos yang meneduhkan hati siapa pun yang memandangnya. Gadis itu tersenyum."Namaku Marion, Nyonya," jawab Marion. Ia kemudian menoleh pada Jayme yang tengah tersenyum memandang interaksi antara gadis kecil itu dan ibunya. "Papa, Nyonya ini siapa? Di mana mama?" tanya Marion, kemudian setengah berbisik.Jayme mencondongkan tubuh agak mendekat pada Marion, kemudian membalas bisikan gadis itu dengan suara lirih yang nyaris sama."Mama sedang pergi sebentar. Dan nyonya itu adalah ibunya Papa."Mendengar jawaban Jayme, manik gadis itu membulat, kemudian menoleh pada Minerva dengan cepat, lalu kembali pada Jayme."Jika ibunya Papa, berarti apakah dia nenekku?" tanya Marion lagi. Jayme mengangguk disertai senyuman hangat yang biasa ia berikan pada Marion."Halo, Nenek, selamat malam. Apakah benar Nenek ibunya papa?"
Jayme tampak menanti jawaban Zanara tentang siapa yang kini tengah menghubunginya. Namun, ia tak ingin terlihat posesif, karena mereka bahkan belum memulai hubungan apa pun. Jayme tak ingin sikapnya akan terkesan berlebihan dan membuat Zanara justru lari darinya."Ehm ... Gabriel yang menghubungiku. Kurasa aku harus menerimanya dulu." Zanara kemudian keluar dari ruangan Jayme demi berbicara dengan sahabatnya itu."Zee ... aku sudah mempelajari surat tuntutan Mark. Tapi sebelumnya, bisakah kita bertemu untuk membicarakan ini? Aku khawatir tak bisa menyampaikan semuanya jika melalui telepon," ucap Gabriel dari seberang. Zanara menoleh sekilas ke arah pintu ruangan Jayme yang tertutup."Gabe, maafkan aku. Aku ingin sekali, tapi kawanku sedang berada di rumah sakit sekarang dan aku sedang menemaninya. Bagaimana jika besok saja?" tanya Zanara, memastikan bahwa apa yang akan dibicarakan oleh Gabriel masih bisa menunggu hingga besok.Ia sungguh tak mampu
"A-aku ...." Zanara tak mampu berucap, terlebih pertanyaan Minerva terkesan menodongnya dengan jawaban yang tentunya sulit untuk ia ucapkan.Apa yang dirasakan Zanara saat ini, terlalu dini jika menyebutnya sebagai 'jatuh cinta', tetapi jika mengatakan bahwa hatinya tak tergerak setelah menyaksikan dan membuktikan kualitas seorang Jayme Demir, rasanya juga tak mungkin. Lantas apa yang harus ia katakan?Minerva kini membelai lengan Zanara, tersenyum lembut padanya."Kau tak perlu menjawabnya jika memang belum siap, atau mungkin kau belum menyadari perasaanmu itu. Tapi aku bisa melihat itu di matamu," ucap Minerva."Kau pasti tahu seberapa besar perasaan Jayme terhadapmu tanpa perlu kukatakan. Ia putraku satu-satunya dan aku hanya ingin kebahagiaannya. Jika memang kau adalah pilihannya, maka aku tak bisa begitu saja mengatakan tidak. Namun, bukan berarti aku akan membiarkannya tetap melangkah maju jika apa yang ia tuju justru makin menjauh. Kuharap