Udara di dalam ruang perawatan terasa hening dan berat. Sekilas, ruangan itu terlihat tenang, dengan deretan alat medis yang berdiri kokoh di samping tempat tidur. Lampu-lampu redup memberikan suasana temaram yang seolah mendukung kesunyian yang menyelimuti setiap sudut ruangan. Tapi siapa pun yang masuk ke sana akan segera merasakan tekanan emosi yang luar biasa, seakan waktu berhenti di hadapan tubuh yang terbaring diam di ranjang. Tubuh Elvario tampak damai, seakan hanya sedang tidur biasa. Namun ketenangan itulah yang membuat semua orang semakin khawatir. Sudah hampir dua hari lamanya, dan dia belum juga membuka mata. Tuan Sujana berdiri di sisi ranjang El, tanpa suara, hanya menatap pemuda itu dengan pandangan yang tidak biasa. Matanya merah, bukan karena marah, tapi karena terlalu sering menahan tangis. Pria tua itu kini tak lagi tampak seperti pengusaha besar yang dihormati, melainkan seperti seorang ayah yang kehilangan arah. Tangan kirinya menggenggam erat sandaran temp
Langit di atas rumah sakit Medical Core tampak gelap, awan bergulung tanpa hujan, seperti ikut menahan napas atas sesuatu yang besar yang sedang terjadi di dalam. Tuan Darma turun dari mobil dengan langkah cepat, nyaris setengah berlari. Setibanya di lobi rumah sakit, ia disambut oleh kepala perawat yang langsung menunduk dalam-dalam. “Maaf, Tuan Darma… tapi kami tidak bisa mengantar Anda ke ruangan Tuan Sujana.” Darma menyipitkan mata. “Kenapa?” Perawat itu menelan ludah gugup. “Karena... ruangan tempat beliau dirawat telah... diblokir oleh orang-orang dari pihak beliau sendiri. Semua dokter dan staf dilarang masuk. Kami bahkan tidak bisa memantau perkembangan Tuan Sujana dari ruang observasi, karena alat-alat pengawasan di ruangan itu... tidak terhubung.” Darma diam sejenak. “Siapa yang ada di dalam?” tanyanya, nada suaranya mulai mengeras. “Dokter Elvario, Tuan.” Mata Darma langsung membesar. Seketika kilatan kenangan menyambar ingatannya, saat El menyelamatkan Al
El kemudian menarik napasnya dalam-dalam. Ia duduk di sisi ranjang pasien dengan punggung tegak sempurna. Cahaya di ruangan itu hanya menyala satu. Yaitu dari lampu gantung redup yang tergantung di atas meja instrumen, meninggalkan bayangan lembut yang menyelimuti sebagian wajah Tuan Sujana. Di hadapannya, delapan jarum emas berkilau di atas nampan logam, masing-masing telah disterilkan dan ditandai dengan simbol kecil di pangkalnya. Sebuah penanda urutan titik vital yang harus ditusuk. Jari El bergerak perlahan, mengambil jarum pertama, tangan kanannya sedikit gemetar. Jarum Pertama: Baihui Titik pusat roh, di ubun-ubun kepala. El menyingkap rambut tipis Tuan Sujana, menyapu keringat halus di kulit kepala pria tua itu. Ia meraba dengan ujung jari, mencari titik tepat di mana seluruh energi langit dan bumi dikatakan bersatu, tengah-tengah ubun-ubun, di pertemuan garis lurus dari hidung dan kedua telinga. Setelah yakin, El mengangkat jarum setinggi mata. Ia menahan napas, l
Langkah Elvario terasa berat saat ia kembali ke ruangannya. Tubuhnya mungkin masih bergerak, tapi pikirannya jauh tertinggal di ruang IGD, menatap wajah Tuan Sujana yang pucat dan menggantung antara hidup dan mati. Setelah memastikan tidak ada siapa pun di lorong, El membuka pintu dengan cepat dan menutupnya rapat. Ia memutar kunci dua kali hingga terdengar bunyi klik yang tegas. Lampu ruangan sengaja tidak dinyalakan penuh. Cahaya remang dari lampu meja cukup untuk menyinari bagian tengah ruangan tempat El berdiri. Elvario menghela napas panjang, sebelum dirinya menggenggam cincin giok yang menghubungkan dirinya dengan sang guru, tabib terkutuk. Kemudian, El duduk bersila di lantai. Kedua telapak tangan diletakkan saling bertemu di depan dada, dan ia menutup mata. Tiga kali ia mengusap giok itu. Setiap usapan seperti membangkitkan sesuatu yang tersembunyi. Sebuah energi halus namun kuat merambat dari cincin, menjalar ke ujung-ujung sarafnya. Udara di sekitar mulai bergetar,
Bersama dengan Dokter Keysha, Elvario duduk menyandarkan tubuhnya yang lelah pada sandaran kursi. Di depannya, kantong makanan hangat dari dokter Keysha sudah nyaris kosong. Bau nasi dengan gurihnya ayam masih tersisa di udara, namun ketegangan hari itu membuat rasa kenyang tak kunjung terasa. Baru saja ia meletakkan sumpit ke dalam wadah makanan, ponselnya bergetar keras di atas meja. Layar menyala, menampilkan tulisan tebal: “IGD - PRIORITAS” Dengan sigap, Elvario mengangkatnya. “Dokter El! Kami baru saja mendapat laporan dari tim pengawal Tuan Sujana. Beliau kejang-kejang di dalam mobil, sesaat setelah keluar dari acara pertemuan bisnis. Mereka sedang menuju rumah sakit, ETA tiga menit!” Detak jantung El seolah melonjak. “Tuan Sujana?” gumamnya. Suara di telepon mengiyakan, penuh ketegangan. Tanpa banyak pikir, El bangkit dan berlari keluar dari kantin, mantel putihnya mengepak diterpa angin koridor. Di depan UGD, para perawat sudah bersiap dengan brankar, sarung tangan la
Langit di luar rumah sakit sudah berubah sangat pekat. Hujan gerimis mulai turun, menyisakan suara tetesan air yang terpantul di kaca-kaca jendela ruang tunggu. Di lorong depan ruang ICU, suara tangis tertahan terdengar samar, diiringi helaan napas cemas dari kerabat pasien yang baru saja menjalani operasi panjang dan penuh risiko. Pintu ruang operasi terbuka perlahan. Elvario melangkah keluar dengan masker masih tergantung di leher dan sarung tangan operasi yang telah dilepas. Seragam medisnya penuh bercak darah, sebagian masih basah. Beberapa helai rambutnya terlepas dari ikatan, dan napasnya terdengar berat. Tapi di balik wajah yang lelah itu, ada sorot mata yang tenang. Seseorang langsung berdiri dari bangku. Seorang wanita paruh baya dengan mata bengkak karena menangis. Di sebelahnya, seorang pria yang sejak tadi tak berhenti mondar-mandir langsung menghampiri Elvario. “Dokter! Bagaimana anak saya?!” Suara wanita itu pecah di udara, sarat ketakutan dan harapan yang mengga