Malam itu, Elvario berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan langkah tenang, meski napasnya masih sedikit berat setelah hari yang begitu panjang. Setelah berjam-jam menghadapi berbagai operasi mendesak akibat kecelakaan, El akhirnya bisa bernapas lega. Ia bahkan sempat mengatur jadwal kunjungan untuk pasien-pasien rawat inap yang memerlukan evaluasi lebih lanjut esok hari. Langkahnya tertuju ke ruang ganti. Ia telah bersiap untuk pulang. Namun baru saja tangannya hendak menyentuh gagang pintu, suara panggilan dari interkom IGD terdengar nyaring memenuhi ruang kosong malam itu. "Dr. Elvario, mohon segera ke IGD. Ada kasus darurat. Pihak kepolisian baru saja menelepon tentang pasien narapidana dengan kondisi luka tusuk multipel akibat perkelahian di dalam lapas.” El terdiam sejenak, menarik napas panjang. Matanya menatap langit-langit ruangan seakan menenangkan pikirannya sebelum ia kembali melangkah menuju lift. Langkahnya kini lebih cepat dari sebelumnya. Di lantai bawah,
Setelah berjam-jam bergelut dengan darah, luka terbuka, dan detak jantung yang hampir berhenti, El akhirnya bisa menghembuskan napas lega. Pasien terakhir yang ia tangani berhasil stabil setelah perjuangan panjang di ruang operasi. Dengan tangan yang masih terasa kaku dan peluh yang belum sempat ia lap, El melangkah ke ruangannya dan menjatuhkan tubuhnya ke sofa panjang di pojok ruangan. Tubuhnya berat, tulangnya seperti habis digerus waktu, tapi ada secercah kepuasan yang membuat sudut bibirnya mengembang. Hari ini, nyawa-nyawa yang nyaris direnggut oleh maut telah berhasil ia rebut kembali. Itu cukup sebagai alasan untuk ia mengistirahatkan tubuhnya, meski sejenak. Matanya mulai terpejam perlahan. Tapi belum sempat ia terlelap, suara yang sangat tidak sopan terdengar nyaring dari arah perutnya sendiri. “Krucukkk—” El membuka mata, menatap langit-langit ruangan seolah menyalahkan dunia atas nasibnya yang lupa makan. “Hhh…” ia menghela napas, bangkit dengan malas. “Sehari
Alarm telepon rumah sakit meraung pelan namun jelas, memecah konsentrasi semua orang di ruang IGD pagi itu. El yang baru saja duduk di kursinya, langsung mendongak cepat ke arah perawat jaga yang menerima telepon. Wajah perawat itu pucat. "Apa yang terjadi?" tanya El cepat sambil mendekat. Perawat itu menelan ludah. "Kecelakaan... mobil pengangkut siswa sekolah. Lokasi di jalan tol arah barat, sekitar dua puluh kilometer dari sini. Mereka sudah mengirimkan ambulans dan dalam perjalanan ke sini. Kata petugas di lokasi, korban lebih dari sepuluh orang, dan beberapa di antaranya dalam kondisi kritis." Suasana langsung berubah tegang. Tidak ada waktu untuk ragu atau panik. El menghela napas pendek lalu berseru, "Tim trauma, persiapkan diri! Sekarang!" Para dokter, perawat, dan tenaga medis lain yang tergabung dalam tim trauma langsung bergerak. Wajah-wajah mereka menegang, namun semuanya sigap dan profesional. Mereka tahu, dalam kondisi seperti ini, detik adalah nyawa. El berj
Elvario berdiri membelakangi jendela besar ruangannya. Tangannya sibuk menata hadiah-hadiah yang baru saja diterimanya di atas lemari kecil dekat rak buku. Sebagian kotak ia tumpuk rapi, sebagian lagi ia letakkan di sudut ruang untuk dibuka nanti sore. Vas berisi bunga dari Alya sudah berdiri manis di atas meja, sementara kotak dari dokter Azalea ia letakkan di laci dengan hati-hati. Ia bahkan belum berani membuka hadiah dari Clara, karena masih terlalu banyak pertanyaan dalam kepalanya soal kenapa gadis itu tiba-tiba muncul hari ini. Baru saja El hendak duduk, mengetik laporan di laptopnya, suara ketukan terdengar dari arah pintu. Tok. Tok. Ia menoleh. “Masuk.” Pintu terbuka perlahan, dan sosok lelaki paruh baya dengan jas abu-abu dan wajah tenang itu melangkah masuk dengan senyum tipis. “Tuan Sujana,” ujar El sambil segera berdiri. “Silakan duduk, Pak.” “Terima kasih,” sahut Tuan Sujana, mengambil tempat di kursi tamu tanpa ragu. Senyap beberapa detik menyelimuti rua
Setelah lima hari penuh Elvario menghabiskan waktu bersama keluarganya di rumah, menikmati kebersamaan dan kehangatan yang telah lama ia rindukan, hari ini adalah hari pertamanya kembali bekerja. Matahari pagi menyinari kota Samara dengan kelembutan khas musim semi, membuat langit terlihat biru jernih dan udara terasa segar. El mengenakan jas dokter putih yang telah disetrika rapi oleh ibunya. Kemeja biru muda di balik jas itu membuatnya tampak semakin profesional, dan rambut hitamnya tersisir rapi ke samping. Ia berdiri di depan kaca ruangannya, menatap pantulan dirinya dengan napas panjang. "Yah, kembali ke dunia nyata," gumamnya sambil tersenyum kecil. Semenjak menjadi dokter pribadi Bintang, cucu tuan Sujana dan juga membantu kesembuhan putri tuan Darma, El tak lagi menggunakan motornya untuk pergi kemanapun. Sebab, kini uang di rekeningnya sudah sangat gendut. Ia bisa melakukan apa saja dengan uang tersebut. Mobil sedan hitam miliknya meluncur pelan meninggalkan halaman
Matahari menyinari Pulau Avicenna dengan kehangatan yang berbeda hari itu. Langit tampak bersih, seakan ikut merayakan berakhirnya kompetisi medis internasional paling prestisius dalam sejarah dunia. Seluruh zona telah diselesaikan: dari zona simulasi, zona medis, zona darurat, zona survival, hingga tiga bagian dari zona evaluasi yang telah menguji fisik, mental, dan moral semua peserta hingga ke batas terjauh mereka. Namun dari semua itu, satu nama muncul sebagai cahaya yang tak terbantahkan, Elvario. Seorang peserta dari Indonesia yang tak hanya menyelesaikan setiap zona dengan hasil mengesankan, tetapi juga dengan keberanian, ketegasan, dan kepemimpinan yang tak tergoyahkan. Lapangan tengah yang dulunya dipenuhi tenda-tenda darurat simulasi kini telah berubah. Di sanalah panggung besar didirikan. Latar belakang layar LED raksasa menampilkan logo resmi kompetisi, dengan slogan berkilauan: “In Humanity, We Heal.” Deretan bendera dari negara-negara peserta berkibar megah di seke