"Brengsek!" Aya memberi tonjokan di pipi kiriku.
Lucu. Begitulah pemikiranku jika ingin membandingkannya dengan gadis lain yang paling jauh menamparku. Ini ringan untuk ukuran Aya.Dia bahkan dua kali hampir mencelakaiku. Baret di mobil dan tabrakan motor itu.Bisa saja kecenderungan berbahayanya kulaporkan ke polisi, tapi tawaran perjanjian yang kuberikan untuknya saat bicara di tempat makan gado-gado ternyata berjalan mulus."Hanya perlu jadi pacarku sampai rencana pernikahan dibatalkan. Bagaimana?"Aya berhenti menyuap. Kedua kakinya yang naik bersila di bangku terlihat bergoyang. Ternyata dia mengenakan celana pendek di balik rok yang membuatnya terlihat feminin. Aya menyiramkan air dari botol ke tangannya di atas piring makan. "Apa untungnya buatku?"Sudut bibir kananku naik begitu menyadari ada ketertarikan dalam intonasinya. "Mau lihat duniaku? Kamu kan selalu ngebahas hal yang terlihat dari jauh. Aku juga bisa menanggung biaya pengobatan bapakmu, Aya.""Enggak perlu, Bra. Terima kasih." Aya beranjak, melangkah menjauh meski kucekal lengannya. Dia menepis dengan mudah. "Sudah cukup janjimu di masa lalu, Bra.""Kamu bisa hubungi aku kalau setuju. Kamu masih simpan nomorku, kan?"Tawaran terakhir dariku Aya setujui saat Pak Raden sempat kolaps dan perlu biaya cepat. Bukankah aku cukup baik hati menolongnya?Tentu bukan dari uang ayah. Aku cukup mampu menggadaikan surat mobil untuk sebuah pertaruhan besar seperti Aya.Kembali pada kenyataan di depan mata. Kuusap pipi yang mungkin lebam. Sekilas terasa paduan aroma karat dan garam dalam rongga mulut. Saat meludah ke sembarang arah, ternyata memang darah."Aya!"Panggilanku tidak dihiraukan. Aya berbalik, melepas sepatu tingginya sambil berlari. Ingin kukejar, tetapi ...."Nathanael Abraham!"Sial! Pria tua yang selama ini kuhindari justru lebih dulu berdiri di hadapan. Satu lagi pukulan kuterima. Bukan di wajah, tetapi ulu hati.Pukulan telak dari salah satu pengawal ayah mampu melumpuhkan gerakku seketika hingga tersungkur di permukaan paving. Bisa kulihat para tamu undangan di sekeliling yang sebelumnya menjadikan kami pusat perhatian, perlahan mengurai."Ayah tidak pernah mengajarkanmu berkata tidak senonoh di tempat umum, Abraham!"Teriakan itu seolah menggema dalam kepalaku dan menyisakan goresan di dada. Bukan lagi nyeri, tapi tercabik-cabik. Ingin memberontak, lenganku sudah ditahan beberapa orang. Saat dipaksa berdiri, wajah yang sangat kubenci itu menajamkan tatapan dan mendekat.Darah dalam rongga mulut kembali menguasai. Kuludahkan ke sepatunya yang terhitung mahal. Isyarat tangan kanan Ayah ke arah bawah seiring lepasnya pegangan pada kedua tanganku."Memang, apa yang Ayah ajarkan selama ini? Bermain wanita?""Abraham!"Tangan yang sama naik ke udara. Aku sudah terpejam, bersiap menghadapi hal terburuk yang mungkin terjadi. Namun, kekosongan menyapa seperti angin.Ketika melihatnya lagi, kuraih tangan ayah, menekannya pada kepala. "Pukul aku, Yah. Kalau memang itu lebih menyenangkan, bisa membuat Ayah kembali seperti dulu. Lakukan."Tidak ada reaksi. Ayah menunduk dan bungkam.Kugeser telapak tangannya ke pipi, tepat pada tempat yang Aya pukul sebelumnya. "Ini. Di sini, Ayah! Pukul!"Bahkan sampai aku meringis, dia lebih banyak menghela napas. Kakiku sudah berpindah melalui sisinya, melewati jalanan paving hingga mencapai pinggiran kolam. Tepat membelakangi Ayah."Enggak bisa, kan? Ayah tidak akan memukulku, kan?" Tawaku pecah setelah menyadari tidak ada siapa pun yang tersisa di area pesta selain para bawahan ayah.Satu lagi. Langkah yang menyapu lantai terdengar pelan. Aku berbalik, menyaksikan sosok gadis bergaun hitam selutut masuk di pertengahan jarak antara aku dan Ayah. Dia kembali, menyurutkan tawaku menjadi garis datar. Kedua tanganku bergetar, sadari tatapan Aya seolah memohon padaku."Lepasin Aya!" Aku bergegas menarik lengan Aya dari pihak keamanan yang bertugas di bawah pengaruh ayah. "Lepasin!"Aya berpindah ke belakang punggungku. Jemarinya terasa menarik kemeja yang kukenakan hingga mencengkeram kulit pinggangku."Berhenti bermain-main, Abraham! Pertunanganmu sudah semakin dekat."Telunjuk yang mengarah padaku semakin dekat. Ayah melebarkan matanya, melotot seperti tokoh antagonis di setiap film ketika marah. Tentu aku tidak takut, bahkan terkekeh sambil merangkul Aya hingga berpindah ke sisi."Memang Abra mau dijodohkan?"***"Kamu enggak bilang kalau bakal kayak gini, Bra." Aya protes sambil menekan lebam di wajahku berkali-kali menggunakan kompres panas yang dibawakan pelayan.Kekuatannya ternyata menambah nyeri. Aku jadi ragu kalau bakal baik setelah ini. Teriakan mengaduhku sepertinya enggak mempan buat Aya mengurangi tenaganya."Kehidupanmu selama ini memang begini, Bra?"Aku menunduk, memegangi pinggiran ranjang yang menjadi milikku jika bermalam di rumah Ayah. Ruangan seluas lantai dasar rumah mama ini tidak memiliki banyak barang, seperti pesananku. Jika melihat lurus ke dinding, foto-foto yang terpajang di nakas memancingku berdiri mendekat."Ternyata enggak dipindah.""Ini kamu, Bra?" tanya Aya. Dia bersedekap di sampingku, berjarak selangkah. Telunjuknya mengarah pada ekspresi-ekspresi aneh yang justru mengundang tawa jika diingat kembali. Seperti ketika ayah mengambil fotoku menangis hingga meler.Ya Tuhan, mengingatnya saja tak mampu pupuskan aliran dari sudut mata yang spontan kuseka. Enggak lucu menangis di dekat seorang perempuan.Aku mengangguk. Salah satu foto yang mengumpulkan aku, Mama, dan Ayah dalam satu bingkai kututup. Tahu Ayah memiliki istri sebelum Mama saja sudah menyakiti sanubariku. Dalam kepercayaan kami, istri yang diakui hanya pada pemberkatan pertama. Lainnya?"Maaf, Ya.""Buat?""Bikin kamu terlibat. Maaf."Pikiranku lelah. Tubuhku lelah. Semua menyakitkan. Dari fisik terluar hingga relung terdalam terluka. Aku ... hanya memerlukan sandaran untuk beristirahat. Ranjang berlapis kasur empuk pun menjadi sasaran tengkurap."A-Abra?" Panggilan dari Aya kuabaikan. "Kemejamu kutaruh di sini."Suaranya terdengar dekat. Kusempatkan memutar, menarik Aya agar tetap bersamaku. Dia terdiam dalam pelukan, berdiri di sisi ranjang sementara aku duduk, menenggelamkan wajah di perut ratanya. Aroma sabun yang segar dan manis seperti jeruk memenuhi penciuman."Maaf, Aya.""Sekali lagi minta maaf, kutendang beneran si jago."Aku terkekeh, menutupi kekesalan dengan menanggapi ancamannya. "Wah! Dia sudah punya nama sekarang.""Aku lagi enggak bercanda, Bra." Kedua tangan Aya sudah mendorong-dorong bahuku. Dia ingin menjaga jarak lagi?"Cukup menghibur. Makasih, Ya." Kuusapkan wajah di sana, membiarkan rambut halus dalam peganganku meremang."Hentikan, Abra ...."Hentakan menghantam perutku, lagi. Kali ini oleh lutut Aya. "Sakit!" Aku berguling di permukaan ranjang sambil memegangi letak sasaran."Abra! Maaf! Maaf!" Kuhindari pegangannya sambil menekan nyeri yang telah hilang. Bisa kulihat raut khawatir yang singgah di wajah Aya. "Aduh, gimana ini?""Tetap di sini.""Eng-enggak bisa." Aya menggeleng kuat-kuat. Dia baru menyadari ketika aku telah berada di hadapannya. "Abra?""Kenapa?" Kupegangi kedua tangannya di depan wajah, menciumi buku-buku jarinya perlahan."Abra?" Desah yang muncul setelahnya tak mampu hentikan gejolak yang menguasai.***"Nah, tuan muda Abraham sudah datang!" Tepuk tangan mengiringi kalimat pemuda sepantaran denganku di sudut kapal yang disewanya hanya untuk pesta bikini di pinggiran Selat Makassar.Memang belum beranjak dari pelabuhan, menunggu jingga berganti kegelapan di penghabisan cakrawala."Enggak lucu tau, Zar." Kurengutkan bibir saat harus menanggapi tinjuan persahabatan darinya lalu mengambil gelas tinggi dan kurus dari pelayan yang menghampiri.Elzar namanya. Hanya celana pendek yang biasa digunakannya untuk renang yang tersisa. Padahal dingin yang menyapa mulai menusuk lapisan terluar kulit. Aku saja sampai harus mengusap lengan atas berkali-kali karena hanya mengenakan kaus tanpa lengan."Gimana Aya?"Sudah kuduga dia akan menanyakan gadis itu setelah beberapa hari pertaruhan berjalan. Lumayan. Akuisisi perusahaan yang dia pegang dengan salah satu rumah pemberian Ayah. Wajah Elzar begitu tenang saat mengisap lintingan yang kuyakin tidak hanya berisi tembakau dari aroma yang menguar.Kuseru
"Bra! Aku bilang bakal bayar ke kamu, tapi enggak bisa sekarang." Aya memegang kepala sabuk pengamannya, belum lagi dimasukkan dalam sambungan di bangku penumpang. Dia menunduk sebelum melihatku menyerahkan tas plastik berisi beberapa jenis botol cairan obat injeksi dalam kotak beserta nota pembelian."Aku enggak bilang sekarang. Aku cuma ngasih kamu pilihan." Kututup pintu mobil. Berdiam diri sejenak dan menghela napas panjang.Daftar obat yang diserahkan Aya tidak mudah didapat, juga tidak bisa sembarang beli. Penggantinya memang banyak, tapi bakal menunggu keputusan dari dokter yang mengampu prosedur pengobatan lagi. "Bapakmu kehilangan kesadaran sampai harus menerima injeksi?"Aya mengangguk pelan. Bibir bawahnya dimajukan hingga menutup bibir atas. Jari-jarinya memainkan pegangan tas plastik, semakin keras sampai harus kupegangi."Ya Tuhan. Aya?" Kumajukan diri hingga lebih dekat di depan Aya, berusaha menatap kedua mata kelamnya dengan menarik naik dagu Aya. Lingkar gelap di seke
"Kamu itu nyadar enggak sih, Bra?" Tatapan sendu itu berganti sorot tajam ketika telunjuk Aya naik menyusuri sisi kiri wajahku. "Aku berkali-kali berusaha menghindar, kamunya malah selalu datang di saat aku enggak punya pilihan."Suara Aya yang terdengar serak, menggairahkan. Wajahnya mendekat, memberi napas hangat yang menggoda. Lalu, cengkeraman di leher membuatku tersentak. Dia menekan tepat di saluran napas hingga aku harus berusaha tetap tenang. Kepanikan hanya mempercepat habisnya oksigen dalam aliran darah.Gelas di tangan jatuh, pecah di dekat pijakan."Tuhan bener, dong," ucapku tanpa lepaskan pandangan tepat pada kedua titik matanya."Bener?""Kalau kamu memang cocok jadi jodohku."Aya melepaskan cengkeramannya dengan mendorongku hingga menabrak pagar pembatas. Syukur masih selamat, enggak jatuh atau ....Hanya kebayang ketinggian dari lantai tiga bangunan besar nan luas. Aku bergidik ngeri. Mungkin enggak bakal ketahuan kalau ada yang mati membusuk."Gila!" Sindiran Aya meng
"Cewek yang dijodohin sama kamu?" tanya Aya saat aku masih berkutat dengan obeng kembang untuk membuka setiap baut yang terpasang pada benda kotak berbahan plastik.Ukurannya seperti televisi layar datar saat pertama kali keluar, hanya saja tidak ada layar kecuali disambungkan pada monitor terpisah. Kotak ini memiliki slot pemutar disket dan cakram. Kabel yang mungkin dipasangkan pada slot belakangnya masih berukuran besar."Caca?" Kusebutkan nama gadis yang seringkali dipertanyakan Aya. Mungkin dia enggak ingat."Yang waktu itu dandanin aku, kan?"Jadi ngerasa diinterogasi terus-terusan. Meski Aya sibuk dengan bongkar-pasang komputer dan laptop di meja utama, otaknya seolah bisa memikirkan hal lain yang enggak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan."Iya.""Kamu akrab sama dia. Kenapa enggak jadian beneran aja?"Bolehkah aku ngerasa percaya diri kali ini? Kayak nemu kecemburuan dalam intonasi bicaranya.Kupastikan jumlah baut dalam kotak penyimpanan yang Aya berikan sebelumnya lalu mend
"Ada tamu, Kanaya?"Suara berat yang terdengar diiringi batuk mendekat. Aya mendadak mendorongku. Kalau enggak nguasai diri, mungkin saja aku bakal menjatuhkan lemari pembatas karena panik. Untungnya, Pak Raden melihatku seperti baru keluar dari dapur."Eh, Bapak." Aya lebih dulu menyapa dan menarik kursi untuk duduk bapaknya. Senyumannya seolah dipaksakan, terlihat dari bagaimana mata besarnya melotot padaku beberapa kali."Tadi ngetok, tapi pintu enggak ditutup. Kalian lagi nyiapin makanan?" Bapaknya Aya mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dari kukusan."Makan, Pak." Kusodorkan panci berisi sayur ke dekatnya.Perlengkapan di rumah Aya tidak seperti d/i tempat Mama yang membedakan segala jenis hidangan berdasarkan ukuran. Semua seadanya, pakai yang ada aja."Pak dokter, kan?" Pak Raden menoleh padaku, menyambut dengan senyum keramahan. Lengkung yang terbentuk di matanya menyorotkan ketulusan ketika mempersilakan. "Ayo, makan juga."Kutarik kursi berbeda dari kayu tanpa sandara
“Aku menang lagi. Jangan lupa. Siapin surat-surat pengalihan kepemilikan. Ditunggu.”Kukirimkan sederet kalimat pesan ke kontak Elzar beserta bukti kebersamaanku dengan Aya yang masih terlelap. Kausnya kuturunkan hingga menutupi kulit yang sempat memberi hangat bagi indra penciumanku.Tak ingin mengusik, kurapikan tampilan Aya yang masih betah menutup mata di hamparan kasur tipisnya. Sekali kecupan kudaratkan di puncak kepalanya sebelum beranjak, membenahi kaus dan celana panjangku yang kusut karena pergumulan singkat.Aku masih ingat penolakan yang kembali terjadi sebelum penyatuan. Kata “sakit” di sana membuatku harus terus meyakinkannya dengan belai dan janji yang mungkin sulit dipenuhi.“Mau ke mana, Bra?” Pertanyaan yang sama sering kudapatkan dari pasangan sebelumnya setiap sang gadis membuka mata karena tidak menemukan tubuhku di sisi.Gejolak hasrat yang membara itu nikmatnya hanya sesaat. Setelah tuntas, enggak tahu lagi harus bagaimana setelahnya. Aya benar, rasa penasaranku
“Hei, Bra!”Kaki kananku diturunkan dari susunan kursi hingga menabrak lantai. Ingin tahu oknumnya, tapi terlalu silau menghadapi cahaya yang memenuhi ruangan ketika menurunkan lengan yang menutupi mata. Aku kembali terpejam meski tahu suara si pemanggil yang sangat familier.“Ngapain manggil namaku kayak dalemanmu, Ya?”Kaki kiriku menyentuh bantalan lembut yang bersandar di kursi seiring sengatan yang neyerang paha kananku.“Itu mulut udah dicuci bersih belum? Masih nutup mata aja, ngomongnya udah kotor banget.”Aku refleks duduk, menghadapi aroma manisnya tanpa perlu membuka mata. “Barusan sikatan pake sianida.” Kedua tanganku langsung melingkar di pinggangnya dan menyandarkan kepala di bahu Aya.“Gila!” Bahkan dia menggeleng pun terasa.Aku menyipit, membuka penglihatan perlahan hingga jelas sosok yang kutempeli. “Ke sini pakai apa?”Rambut panjang Aya tergerai, terlihat lebih terang dari sweter hitamnya. Mungkinkah dia menutupi tanda yang enggak sengaja kutinggalkan?“Mobilmu.” Ay
“Aku cuma kebayang …. Gimana kalau misalnya aku yang mati sendirian di ranjang rumah sakit. Tanpa keluarga.”Jemari panjang Aya terasa memilah helaian rambutku yang sepertinya sudah mampu menutupi pandangan jika diurai ke depan. Suaranya tidak terdengar, tetapi bisa kulihat raut bekunya dari pantulan cermin yang menjadi pintu lemariku secara penuh di seberang ranjang. Jemari dari tangan kirinya kuangkat naik menjelajahi udara di depan wajah hingga lengan membentuk garis lurus.“Selama ini aku melihat keluarga yang nangis, kecewa, bahkan mengumpat dokter yang dianggap enggak mampu menyelamatkan nyawa pasien. Padahal kami berusaha semaksimal mungkin.”Kepalaku masih betah berpangku perutnya. Hangat. Berbanding terbalik dengan pendingin ruangan yang digunakan untuk menghilangkan peluh di tubuh.“Kami bukan Tuhan yang dengan menjentikkan jari saja bisa memberi jiwa pada tubuh mati.”Aku masih betah bercerita. Mungkin, hanya saat bersamanya kurasakan kenyamanan. Seperti sepuluh tahun lalu,