Beranda / Urban / Dokter Terhebat / Bab 1 - Pengkhianatan

Share

Dokter Terhebat
Dokter Terhebat
Penulis: Naga Hitam

Bab 1 - Pengkhianatan

Penulis: Naga Hitam
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-05 13:00:38

Sekilas, Udin melihat sosok yang begitu ia kenal.

Lastri. Wanita yang selama ini mengisi hatinya, yang ia kagumi dan jaga seakan porselen rapuh.

Tapi apa yang dilihatnya kini?

Langkahnya terhenti. Matanya tak berkedip. Napasnya tercekat.

Di balik kaca, Lastri sedang dalam pelukan pria lain.

Keduanya… telanjang. Saling merengkuh, saling membelai, begitu intim, begitu mesra… seolah dunia milik mereka berdua.

Udin tak percaya.

Dunia seakan berhenti berputar. Suara-suara malam mendadak hilang. Hanya ada detak jantungnya sendiri yang menggema di telinga.

“L–Lastri...?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, suaranya pecah oleh guncangan emosi.

Tubuhnya bergetar hebat. Ia mundur satu langkah, tapi kakinya lemas. Ia tak sanggup berdiri tegak.

Selama ini, ia menjaga hubungan mereka dengan kesabaran dan cinta. Ia tak pernah meminta lebih.

Lastri bahkan belum pernah memberinya ciuman, hanya sekadar genggaman tangan yang ia simpan sebagai kenangan berharga.

Namun kini, semua pengorbanan dan kepercayaannya terhempas begitu saja.

Wanita yang ia cintai… kini telanjang di pelukan pria lain.

Bukan hanya dikhianati—ia dihancurkan.

“Jadi… selama ini aku hanya cadangan?” batinnya getir, nyaris seperti anak kecil yang baru saja kehilangan mainan paling berharganya.

Amarah mulai menyusup dalam relung hatinya.

Namun lebih dari itu, perih—perih yang mengiris jauh lebih dalam daripada luka fisik manapun.

Ia merasa ditampar oleh kenyataan paling kejam dalam hidupnya.

Dan dari cara mereka tersenyum, tertawa, saling menatap penuh gairah…

Udin tahu, ini bukan pertama kalinya.

“Sial... mengapa dia tega selingkuh dariku?” gumamnya pelan, menyumpah dalam hati.

Sebenarnya, alasan di balik pengkhianatan Lastri tidaklah sulit ditebak.

Siapa pun bisa melihatnya dengan sangat jelas.

Uang memang bisa membeli cinta.

Kalimat yang dulu dianggap mitos, kini terasa seperti kebenaran pahit yang menghantam wajahnya.

Mungkin, jauh di lubuk hatinya, Udin telah sadar akan kekurangannya.

Bahwa penampilan menarik tak berarti apa-apa tanpa harta sebagai penopangnya.

“Kenapa harus begini…” ucapnya lirih, tinjunya mengepal.

Amarah dan kecewa bercampur dalam dadanya, tak sanggup dia hanya diam menyaksikan semuanya.

Di dalam kamar, dua sosok itu tenggelam dalam gairah.

Mereka tidak menyadari kehadiran Udin yang berdiri terpaku di luar, mengintip dari celah jendela yang terbuka.

Lastri, wanita yang selama ini ia percayai, kini terlihat begitu bebas dan tanpa rasa bersalah.

Dia larut dalam kenikmatan bersama pria lain.

“Sayang, kita harus cepat. Pacarmu bisa datang kapan saja,” ucap pria tua itu, mencoba mengingatkan.

Namun Lastri hanya tersenyum sinis, seolah menertawakan nama Udin yang bahkan tidak pantas disebut saat ini.

“Aku tidak peduli dengan pria miskin itu. Jangan sebut-sebut dia di hadapanku,” jawab Lastri dingin.

“Hehe, maaf sayang,” sahut pria tua itu sambil tertawa pelan.

Lastri menatapnya, lalu berkata, “Aku hanya ingin bersamamu. Isilah rahimku dengan kehangatanmu.”

Kata-katanya yang vulgar menusuk hati Udin, yang mendengar semuanya dari balik jendela.

Senyum penuh kemenangan tergurat di wajah pria tua itu.

Kepuasannya tak hanya karena tubuh Lastri, tapi karena telah menaklukkan pacar orang lain—dengan uang.

“Tapi... kalian sudah tiga tahun bersama. Apa tidak kasihan padanya?” tanya pria tua itu, seolah peduli, padahal hanya ingin menggoda lebih dalam.

“Pak Agus, Udin tidak bisa dibandingkan dengan Anda. Tas Gucci Anda jauh lebih berharga daripada seblak murahan yang dia bawakan setiap minggu,” ucap Lastri dengan nada jijik.

“Hanya wanita buta yang mau bertahan dengan pria miskin sepertinya.”

Pak Agus tertawa dalam hati. (Bodoh. Bahkan tas itu palsu. Tapi dia percaya dan tunduk pada uang.)

“Tapi... apakah dia benar-benar tidak bisa memuaskanmu di ranjang?” tanya Pak Agus lagi, pura-pura terkejut.

“Dia impoten, Pak. Tak berguna. Bahkan tubuh telanjangku tidak bisa membuatnya bereaksi sedikit pun,” jawab Lastri tanpa ragu.

Pak Agus tertawa terbahak-bahak. “Astaga! Pria itu benar-benar sial!”

Lastri tersenyum puas, lalu mendekat. “Sudahlah, jangan bicarakan dia lagi. Fokuslah padaku.”

Braaaak!!

Tiba-tiba, kaca jendela pecah berkeping-keping.

Sebuah batu melayang masuk, menghantam lantai dengan keras.

Keduanya terkejut. Pak Agus spontan menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka.

Di luar sana, berdiri Udin, wajahnya penuh kemarahan, matanya merah membara.

“Kalian berdua... binatang!” teriaknya lantang.

“U-Udin?!” sahut Pak Agus dengan suara bergetar.

Lastri langsung menggigil. Bibirnya bergetar saat melihat lelaki yang selama ini menaruh harapan padanya kini berdiri di ambang kehancuran.

“Kau benar-benar murahan, Lastri...” gumam Udin lirih tapi jelas, lalu melemparkan bungkusan seblak ke arah mereka.

Braakk!

Makanan itu tumpah, mengotori ranjang tempat mereka berzina.

“Mas Udin! Aku bisa jelaskan semuanya!” seru Lastri panik, mencoba bersikap lembut.

“Apakah kau pikir aku buta?!” balas Udin tajam. Kedua tangannya mengepal, menggigil menahan emosi.

“Tiga tahun... dan semua yang kau balas adalah pengkhianatan? Kau lebih memilih pria tua dengan tas palsu daripada pria yang setia?”

Lastri terdiam, matanya berkaca-kaca. Tapi Udin tak berhenti.

“Kau wanita matre. Rela menjual harga dirimu demi uang. Aku muak.”

Pak Agus, selingkuhan Lastri—akhirnya ikut campur.

Ia melangkah maju, lalu tanpa ragu memeluk Lastri dari belakang.

“Lastri, sudah cukup pura-puranya. Putuskan saja pria miskin dan impoten itu,” bisiknya di telinga Lastri, suaranya rendah tapi penuh bujukan licik.

Lastri menoleh dengan ragu, namun tak tampak terkejut sedikit pun. “Tapi... dia masih pacarku…”

Pak Agus mendekatkan wajahnya, menatap mata Lastri dalam-dalam. “Pacarmu? Jangan pura-pura polos. Kita sudah tidur bareng berkali-kali. Kau sendiri yang bilang, kau cuma manfaatin wajahnya yang lumayan, kan?”

Lastri terdiam. Tak ada penyangkalan. Tatapan matanya memancarkan rasa bersalah yang tak utuh—lebih pada rasa takut ketahuan, bukan penyesalan.

Pak Agus menyeringai puas. Ia tahu betul Lastri bisa dibeli dan dikendalikan. “Putuskan dia sekarang juga. Nanti aku belikan kamu iPhone.”

“iPhone? Yang 15 Pro Max?” tanya Lastri cepat, matanya berbinar.

“Yang paling baru,” jawab Pak Agus santai, sambil melirik ke arah jendela.

Lastri langsung tersenyum cerah, memeluk Pak Agus erat.

Dari luar, Udin melihat semuanya. Tangan mengepal, rahang mengeras.

“Dasar tak tahu malu…” gumamnya, suaranya penuh emosi.

Pak Agus menunjuk ke arah jendela. “Putuskan dia sekarang. Biar dia tahu diri.”

Lastri mengangguk. “Aku mengerti, sayang. Lagipula, dia nggak pantas buat aku.”

Namun sebelum Lastri sempat membuka mulut, suara dingin Udin terdengar dari luar jendela.

“Tak perlu repot-repot. Karena aku yang akan memutuskanmu, Lastri.”

Suara itu tenang namun menghantam seperti petir. Ia menatap wanita yang dulu ia cintai dengan rasa muak yang tak bisa lagi disembunyikan.

“Tak ada alasan untuk mempertahankan hubungan dengan pengkhianat murah seperti kau.”

“Apa maksudmu?!” desis Lastri tak percaya.

Namun wajahnya berubah seketika saat melihat Udin mengangkat ponselnya—meski murah dan lusuh, benda itu kini menjadi senjata ampuh.

“Kau—kau merekam kami?!” Pak Agus tersentak panik.

Ia segera menyelinap ke bawah ranjang, seperti tikus ketakutan.

Lastri buru-buru meraih pakaian yang berserakan di lantai, menutupi tubuhnya yang hanya berselimut selimut tipis.

“Udin! Hapus videonya! Jangan sebar, please!” teriak Lastri dengan suara gemetar.

“Mas Udin... kumohon... jangan unggah videonya,” ucapnya terbata. “Kalau orang tua lihat… aku bisa diusir…”

Pak Agus juga tak kalah panik. “Kalau kau berani sebar video itu, kau akan menyesal! Aku kenal orang dalam! Bisa bikin kau lenyap!”

Udin tersenyum dingin.

“Kalian sudah main belakang di belakangku, merusak hidupku. Sekarang, nikmati balasannya.”

Ia simpan ponselnya ke saku dan melangkah pergi, meninggalkan dua manusia yang kini gemetar dalam ketakutan.

Sesampainya di motor, Udin menatap rumah itu satu kali lagi. Rumah kenangan yang kini tinggal reruntuhan luka.

Tanpa kata lagi, ia hidupkan mesin dan melesat dalam sunyi malam yang dingin.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
baring.jakka
Udin dari canghegar sy tau ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dokter Terhebat   Bab 36 - Tanpa Belas Kasihan

    “Bro, jangan bercanda lagi dengan kami!” ujar salah satu preman dengan nada kesal.Suara aneh dari arah depan membuat suasana jadi tak nyaman.Para preman muak dengan pria paruh baya yang terus melontarkan cerita soal hantu tanpa pernah bisa membuktikannya.Kini, ia malah mengeluarkan suara aneh—parau dan menggema, seolah bukan milik manusia.“Abaikan saja dia, nanti juga diam sendiri,” sahut preman lain sambil meneguk minuman.“Benar, bro. Dia pasti mabuk, nggak usah dipedulikan,” ucap yang lain sambil melambaikan tangan seolah mengusir nyamuk.Tak satu pun dari mereka sadar bahwa pria paruh baya itu sebenarnya sudah mati—lehernya patah di tangan Udin.Tubuh itu berdiri diam di halaman seperti boneka tanpa nyawa.Dan mereka kini duduk membelakanginya, tanpa tahu apa yang sedang mengintai mereka dari kegelapan.Whooossh!Tiba-tiba, tubuh pria paruh baya itu dilempar ke tengah mereka seperti karung sampah.Para preman sontak berdiri, terkejut setengah mati.Udin kini muncul dari kegela

  • Dokter Terhebat   Bab 35 - Balas Dendam

    Keringat dingin mulai membasahi punggungnya.“Apa lagi sekarang?” tanya Pak Agus dengan nada tak sabar.Jalok mengernyitkan dahi, lalu berkata santai, “Bayar dulu sisa uangnya. Setelah itu, ponsel ini akan menjadi milikmu.”Pak Agus mendesah panjang.“Kau tahu aku bukan orang yang suka mengingkari janji!” sahutnya, berusaha menahan amarah.Meski kesal, Pak Agus tahu tidak ada pilihan lain.Kesepakatan harus dipatuhi, dan dia terpaksa menyerahkan uangnya meskipun hatinya berat.“Baiklah,” ucap Pak Agus akhirnya, lalu mendekatkan tubuhnya ke Jalok.“Tapi, pastikan dulu, apakah kau benar-benar sudah menyingkirkan bocah itu?” lanjutnya, curiga.Pak Agus hanya ingin memastikan. Ia takut Jalok diam-diam bersekongkol dengan Udin untuk menipunya.“Aku sudah membuang tubuhnya ke jurang. Polisi pun tak akan menemukan jejaknya. Kalau masih ragu, aku bisa kirimkan buktinya,” jawab Jalok santai.Ia segera mengeluarkan ponselnya, lalu mengirimkan foto ke Pak Agus, hasil jepretan anak buahnya setela

  • Dokter Terhebat   Bab 34 - Kembali

    Setelah menyelesaikan urusannya dengan Manik Surgawi, Udin mulai mencari jalan keluar.Pandangannya tertuju pada cahaya dari atas tebing yang tinggi."Dulu aku tak berdaya di tempat ini... Tapi sekarang," ucapnya pelan, "aku yakin bisa melewati tebing itu dengan kekuatan baruku."Tempat itu dulunya adalah titik terendah dalam hidupnya—tempat dia disiksa oleh Jalok dan antek-anteknya.Tapi sekarang, dia bukan lagi orang yang sama."Aku belum pernah mencoba... Tapi tak ada salahnya," batinnya yakin.Dengan napas dalam, ia sedikit berlutut, lalu melompat sekuat tenaga.Whoosss!Tubuhnya melesat tinggi, menembus udara, menantang gravitasi.Meski ini pertama kalinya, Udin berhasil menstabilkan tubuhnya di udara dan mendarat tepat di atas tebing.Baaamm!Kakinya menapak tanah dengan mantap. Ia menatap sekeliling, berharap menemukan Jalok, antek-anteknya, atau motor C70 pemberian Miranda.Tapi yang tersisa hanya bercak darahnya di tanah."Motorku... Mereka pasti membawanya kabur," sahutnya d

  • Dokter Terhebat   Bab 33 - Manik Surgawi

    Masalahnya, Udin belum pernah melihat langsung bentuk Manik Surgawi.Ia hanya mengandalkan potongan-potongan ingatan asing yang baru saja menyatu dalam pikirannya.Dalam kilasan itu, Manik Surgawi tampak seperti kubus kecil bercahaya hijau terang, seukuran kepalan tangan orang dewasa—mudah dibawa, bahkan bisa diselipkan ke dalam saku celana.“Tapi... aku bahkan belum pernah menyentuhnya. Bagaimana bisa aku mengakses kekuatannya?” batin Udin gelisah.“Kalau begitu, tidak ada pilihan lain,” ucapnya dengan suara tegas. “Aku harus menyelam.”Ia menarik napas panjang, menatap dalam-dalam permukaan air yang gelap dan seolah tak berujung.Meski cukup pandai berenang, Udin belum pernah menyelam sedalam ini sebelumnya.Tapi sekarang tubuhnya dipenuhi energi spiritual yang menyala samar—seperti nyala lilin di tengah kegelapan.Tanpa ragu, ia melompat ke dalam danau.Byuuuaaar!Tubuhnya menukik lurus, kedua tangan lebih dahulu menembus permukaan, sementara kaki menjejak udara seperti jarum yang

  • Dokter Terhebat   Bab 32 - Warisan Kultivator

    Tubuh Mi Lin mulai bersinar, berubah menjadi cahaya menyilaukan. Udin menutup matanya rapat-rapat.Buuuzzz!Saat membuka mata, Udin mendapati dirinya berada di tempat berbeda.Ia masih di dasar tebing, namun tubuhnya kini terbaring di tepi danau yang gelap.Anehnya, meski tanpa cahaya, ia bisa melihat segalanya dengan jelas.Pandangannya menembus gelap, menangkap tiap detail kecil di sekitarnya.“Ini... tempat aku jatuh tadi...” gumamnya, bingung.Ia segera memeriksa tubuhnya. Tak ada luka. Kedua kakinya yang semula patah kini pulih sempurna.“Tubuhku... sembuh? Apa aku sedang berhalusinasi?” tanyanya pada diri sendiri.Aawh! teriaknya pelan saat mencubit pipi sendiri.“Nyata... ini bukan mimpi,” ujarnya, matanya membulat tak percaya.Ingatan tentang Mi Lin masih jelas dalam kepalanya.Namun ketika mencoba mengingat lebih dalam, tiba-tiba rasa nyeri luar biasa menyambar otaknya.Aaarrgghh! pekiknya, tubuh menggigil.Rasa sakit itu membawa banjir informasi asing—kenangan, teknik, dan p

  • Dokter Terhebat   Bab 31 - Mi Lin

    Tiba-tiba Jalok mengangkat tangannya dan meminta yang lainnya berhasil.“Tidak. Ada cara yang lebih berguna sebelum membunuhnya,” sahutnya tenang namun penuh maksud.Ia lalu berjalan mendekati Udin yang sekarat, lalu merampas tas kecil yang masih tergantung di tubuhnya.Di dalamnya terdapat barang-barang berharga: dompet, ponsel, uang tunai, serta benda-benda pribadi lainnya.“Aku ambil motornya, ponselnya, dan uang ini. Sisanya tak penting,” ujar Jalok sambil menyeringai kecil.Matanya menyipit saat membuka ponsel Udin dan melihat sebuah rekaman video tersembunyi.“Jadi ini alasan Pak Agus begitu ngotot ingin bocah ini mati…” gumamnya, lalu terkekeh. “Rekaman mesum dengan simpanannya sendiri… brengsek juga si tua bangka itu.”Jalok tertawa pelan, lalu berkata, “Sepertinya aku bisa memerasnya dengan ini…”Ia berencana menyerahkan ponsel itu ke Pak Agus, tapi tentu saja tidak tanpa menyimpan salinan terlebih dahulu.Siapa tahu ia bisa mendapat lebih banyak uang.“Lempar saja tubuhnya k

  • Dokter Terhebat   Bab 30 - Di keroyokan

    Jalok dan anak buahnya, preman-preman bayaran, telah menerima tugas dari Pak Agus, singkirkan Udin.Sejak kemarin mereka tidak menemukan jejaknya, namun kini keberuntungan berpihak.“Itu dia! Akhirnya Udin muncul juga!” seru Jalok dengan semangat membara, matanya membelalak penuh gairah pemburu yang menemukan mangsanya.Para anteknya yang sudah jengkel karena menunggu langsung bergemuruh.“Ayo cepat, jangan biarkan bocah itu kabur!” sahut salah satu dari mereka dengan nada penuh amarah.“Benar! Aku udah muak nunggu. Sekarang waktunya bertindak!” ucap yang lain sambil menyalakan motor.“Cepat kita habisi dia dan ambil ponselnya. Tugas selesai, duit datang!” tambah yang lainnya dengan tawa kasar.Namun Jalok tetap tenang.“Tenang, kita tidak bisa gegabah,” ucapnya sambil menatap tajam arah motor Udin yang menjauh. “Ikuti aku dan pastikan semuanya berjalan lancar.”Dengan komando itu, mereka segera melaju, membuntuti Udin dari kejauhan, seperti serigala memburu mangsanya.Di jalan, Udin

  • Dokter Terhebat   Bab 29 - Tempat Tinggal Baru

    Sementara itu, di sebuah kawasan kos yang cukup jauh dari tempat tinggal lamanya, Udin tengah membonceng Risma, mencari tempat tinggal baru untuk malam ini.Jika tidak segera menemukannya, mereka terpaksa harus tidur di luar, dan itu tentu bukan pilihan, apalagi bagi Risma yang seorang perempuan.Udin tidak mungkin membiarkan Risma tidur di emperan toko, apalagi di bawah kolong jembatan.Lebih buruk lagi, mereka bisa saja ditemukan oleh anak buah Juragan Somat yang masih memburu Risma.“Mas Udin, kita mau ke mana?” tanya Risma pelan, terlihat lelah meski hanya duduk di belakang sambil memegang barang bawaan.Beban ransel Udin yang cukup berat juga menambah kesulitannya.Namun Udin sudah punya tujuan. Ia tahu ke mana harus pergi.“Sedikit lagi sampai. Setelah itu, kau bisa istirahat,” jawab Udin sambil memutar gas, mempercepat laju motornya.Ia merasa puas dengan performa motor barunya, jauh lebih baik dibandingkan motor lamanya yang sudah usang.Tapi pikirannya kembali pada Miranda, w

  • Dokter Terhebat   Bab 28 - Ambisi Torik

    Sementara itu, anak buah Juragan Somat mulai mendobrak setiap kamar satu per satu.Tak lama kemudian, Torik mendekat dan bertanya, “Bagaimana? Kalian menemukan Udin dan Risma?”Namun ekspresi kecewa terlihat jelas di wajah mereka.“Torik, kau bilang target ada di sini. Tapi tak ada jejak mereka,” ujar salah satu dari mereka dengan nada curiga.“Benar. Hanya ada beberapa penyewa paruh baya. Tak ada target,” sahut yang lain sambil menggeleng.“Beberapa kamar kosong, tapi tak ada yang sesuai deskripsi,” tambah yang ketiga, tampak frustasi.Kegagalan ini membuat mereka kesal. Tatapan sinis mulai tertuju pada Torik.“Kau pasti berbohong! Target tak ada!” tuduh salah satu anak buah dengan nada tinggi.“Kalau Juragan tahu, kau akan dapat masalah besar,” ucap lainnya penuh ancaman.Keluhan dan kecurigaan mulai bermunculan. Mereka bahkan meragukan kemampuan Torik sebagai pemimpin lapangan. Merasa terpojok, Torik buru-buru membuat alasan.“Ada satu tempat lagi yang bisa kita periksa. Mungkin

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status