Beranda / Urban / Dokter Terhebat / Bab 2 - Tabrakan

Share

Bab 2 - Tabrakan

Penulis: Naga Hitam
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-05 13:04:46

Begitu melihat Udin pergi, Lastri langsung panik.

Ia keluar kamar tergesa-gesa dengan pakaian seadanya, tanpa sempat memperhatikan penampilannya.

“Kita tidak bisa membiarkannya pergi,” ucapnya penuh kepanikan, kehilangan kendali atas dirinya.

Tanpa mempedulikan keberadaan Pak Agus yang berdiri di sampingnya, Lastri melangkah cepat hendak mengejar Udin.

Tujuannya satu: mencegah video rekaman itu tersebar, terutama agar tidak sampai ke tangan keluarga atau pihak berwenang.

Namun, begitu sampai di luar, harapannya pupus. Sosok Udin sudah menghilang, entah ke mana.

“Sial, Mas Udin sudah pergi,” desis Lastri frustrasi, menggigit bibirnya dengan panik.

Pikirannya langsung kacau. Bagaimana kalau video itu benar-benar viral di media sosial? batinnya cemas.

Dia bisa saja menjadi bahan hinaan, bukan hanya oleh orang asing, tapi juga oleh keluarga dan teman-teman dekatnya.

Viral karena prestasi atau penampilan? Mungkin aku bisa menerimanya. Tapi kalau karena video mesum? Itu mimpi buruk, pikirnya kalut.

“Aku harus menemukan Mas Udin secepatnya dan memintanya menghapus video itu sebelum diunggah!” gumamnya, kini dengan nada serius, nyaris putus asa.

“Hentikan, kau tidak bisa mengejarnya hanya dengan berjalan kaki,” ujar Pak Agus, mencoba menyadarkan Lastri.

Pria paruh baya itu meraih tangannya, menghentikannya dengan paksa. Bahkan ia tak sadar bahwa resleting celananya masih terbuka.

“Lepaskan! Aku harus menghentikannya sebelum semuanya terlambat!” Lastri berontak, berusaha melepaskan diri.

“Dengan apa? Jalan kaki? Dia sudah jauh pergi,” jawab Pak Agus, menatapnya tajam.

Lastri pun terdiam. Ia sadar, tak ada kendaraan yang bisa ia gunakan—kecuali milik Pak Agus.

“Lalu… bagaimana aku bisa menghentikan agar video itu tidak bocor ke internet?” tanyanya lirih, suaranya mulai bergetar, nyaris menangis.

“Aku masih muda… aku tak sanggup jika aibku tersebar ke mana-mana. Kalau polisi tahu… aku bisa dipenjara,” ucapnya pelan, air mata mulai mengalir di pipinya.

Lastri benar-benar panik dan kehilangan arah.

Dalam kepanikannya, ia bahkan lupa bahwa semua ini bermula dari kesalahan yang mereka lakukan bersama.

Pak Agus sebenarnya memiliki ketakutan yang sama.

Ia sadar betul jika video itu tersebar, hidupnya bisa berantakan. Ia bisa kehilangan keluarganya, reputasinya, dan dihancurkan oleh skandal.

Namun, berbeda dengan Lastri, Pak Agus tidak menunjukkan kelemahan.

“Tenanglah, aku punya rencana,” ucapnya mantap, dengan ekspresi percaya diri.

Melihat Lastri masih menangis, Pak Agus mencoba membujuknya.

“Sudahlah… selama kau tetap jadi simpananku, bukan cuma iPhone yang akan kau dapatkan. Akan ada lebih banyak kemewahan di masa depan,” ucapnya mencoba merayu.

Lastri hanya diam, masih dirundung ketakutan. Iming-iming itu tidak cukup untuk menenangkannya.

“Tapi Pak Agus, Mas Udin sudah membawa rekaman itu. Kalau sampai diunggah… bukan cuma aku yang hancur, tapi juga Anda,” sahutnya, kali ini lebih serius.

Pak Agus menghela napas panjang. Ia tidak bisa membantah.

Jika hubungan terlarangnya dengan Lastri terbongkar, rumah tangganya bisa hancur. Ia tahu betul apa risikonya.

Namun, sebagai pria yang sudah terbiasa dengan intrik dan kekuasaan, ia punya jalan sendiri.

“Tenang saja. Aku tidak akan membiarkan Udin mengunggah video itu,” ucapnya dingin, penuh tekad.

Ia tahu apa yang harus dilakukan: temukan Udin, rampas ponselnya, dan hancurkan barang bukti. Kalau perlu, lenyapkan Udin sekalian.

Lastri melihat secercah harapan. Ia menggenggam tangan Pak Agus.

“Aku mohon… lakukan apa pun untuk menghapus rekaman itu. Aku akan menuruti semua keinginanmu,” ujarnya memelas.

“Gampang. Siapa juga yang peduli pada pria miskin seperti dia?” ujar Pak Agus penuh keyakinan.

“Walaupun harus keluar uang, aku bisa membuatnya menghilang dari muka bumi. Setelah itu, video itu tidak akan pernah muncul lagi,” tambahnya dengan dingin.

Lastri pun tersenyum lega, meski samar. Sebagai wanita yang lemah, satu-satunya yang bisa ia andalkan hanyalah Pak Agus.

Baginya, Udin hanyalah masa lalu. Dan semakin cepat pria itu menghilang, semakin tenang hidupnya ke depan.

Sementara itu, Udin memutar gas motornya hingga maksimal.

Suara raungan motor C70-nya meraung di sepanjang jalan, seolah ikut menjerit bersama luka hatinya.

Kendaraan tuanya melaju kencang, tak peduli lampu merah yang diterobosnya—hal yang belum pernah ia lakukan seumur hidup.

Udin menunggangi motornya seperti sedang melarikan diri dari kenyataan, menumpahkan semua frustasi dan amarah yang tak bisa ia redam.

Kecepatan itu bukan hanya berbahaya bagi dirinya sendiri, tapi juga bisa mencelakakan orang lain di jalan.

Ngeeeeeng!

Tiga tahun. Hubungan selama itu bukan waktu yang singkat. Tapi semua kenangan itu kini terasa sia-sia, batinnya lirih.

Alih-alih bahagia, Udin justru menerima pengkhianatan yang menusuk jantungnya.

“Sial… Kenapa aku baru sadar sekarang? Kalau saja aku tahu Lastri segampang itu selingkuh, aku takkan pernah mendekatinya,” gerutunya sambil menggertakkan gigi.

Matanya berkaca-kaca. Air mata tertahan, siap tumpah kapan saja. Penyesalan menyesak di dadanya.

Selama tiga tahun, Udin berjuang mempertahankan hubungan yang penuh rintangan. Ia percaya, suatu hari nanti, Lastri akan menjadi istrinya.

Namun kini, kenyataan menunjukkan betapa kelamnya sosok wanita yang selama ini ia cinta.

Meski menyakitkan, pengkhianatan itu menyelamatkannya dari pernikahan dengan wanita bermuka dua seperti Lastri. Barangkali ini jalan terbaik.

“Beraninya mereka... di belakangku…” gumamnya lirih, suaranya hampir tercekik oleh emosi.

Sambil memacu motor, Udin terus mengumpat, seperti orang kehilangan akal.

Meskipun terlihat gila, siapa pun bisa memahami—cinta yang hancur bisa mengubah siapa saja.

“Sialan… Kenapa semuanya jadi begini?!” teriaknya ke udara.

Udin merasa seperti pecundang. Tak hanya dikhianati, ia juga dihina.

Meski sempat berpikir untuk menyebarkan rekaman mesum antara Lastri dan Pak Agus sebagai balas dendam, kini ia mulai berpikir ulang. Itu takkan mengubah apa pun.

Udin tak akan memaafkan mereka. Namun ia sadar, menyebarkan aib itu hanya akan mempermalukan dirinya juga.

Hubungannya yang gagal akan menjadi bahan tertawaan netizen, dan ia tak ingin menjadi bahan gunjingan.

Lebih baik aku pergi jauh… sejauh mungkin dari semua ini, batinnya pilu.

Namun kecepatan tinggi yang terus ia tancap mulai kehilangan kendali.

Dari arah berlawanan, sebuah mobil hitam melaju. Udin yang melamun baru menyadarinya saat sudah terlambat.

“Aaah! Awas!” teriaknya panik.

Sreeeeettt!

Ia berusaha menghindar. Untung, tabrakan berhasil dicegah. Tapi kendali motornya terlepas.

Braaaakkk!

Tubuh Udin dan motornya menghantam pohon besar di pinggir jalan. Suara benturan keras menggetarkan udara di sekitarnya. Itu bukan kecelakaan kecil.

Di dalam mobil hitam, seorang wanita muda yang mempesona menahan napas.

Ia menepikan mobilnya dengan panik. Wajah cantiknya memucat.

“Sial… aku hampir menabraknya!” ucapnya dengan napas tersengal.

Tangannya gemetar di atas kemudi.

Ia tahu dirinya tidak menabrak pria itu, tapi tetap saja merasa bersalah. Hatinya dilanda dilema.

“Apa aku harus pergi? Aku tidak menabraknya… bukan salahku,” gumamnya, ragu.

Ia menggigit bibir, pikirannya dipenuhi ketakutan. Ia bisa saja pergi sekarang, bebas dari masalah. Tapi suara nuraninya menjerit keras.

“Kalau aku pergi sekarang tanpa memastikan keadaannya… berarti aku pengecut,” batinnya mantap.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dokter Terhebat   Bab 36 - Tanpa Belas Kasihan

    “Bro, jangan bercanda lagi dengan kami!” ujar salah satu preman dengan nada kesal.Suara aneh dari arah depan membuat suasana jadi tak nyaman.Para preman muak dengan pria paruh baya yang terus melontarkan cerita soal hantu tanpa pernah bisa membuktikannya.Kini, ia malah mengeluarkan suara aneh—parau dan menggema, seolah bukan milik manusia.“Abaikan saja dia, nanti juga diam sendiri,” sahut preman lain sambil meneguk minuman.“Benar, bro. Dia pasti mabuk, nggak usah dipedulikan,” ucap yang lain sambil melambaikan tangan seolah mengusir nyamuk.Tak satu pun dari mereka sadar bahwa pria paruh baya itu sebenarnya sudah mati—lehernya patah di tangan Udin.Tubuh itu berdiri diam di halaman seperti boneka tanpa nyawa.Dan mereka kini duduk membelakanginya, tanpa tahu apa yang sedang mengintai mereka dari kegelapan.Whooossh!Tiba-tiba, tubuh pria paruh baya itu dilempar ke tengah mereka seperti karung sampah.Para preman sontak berdiri, terkejut setengah mati.Udin kini muncul dari kegela

  • Dokter Terhebat   Bab 35 - Balas Dendam

    Keringat dingin mulai membasahi punggungnya.“Apa lagi sekarang?” tanya Pak Agus dengan nada tak sabar.Jalok mengernyitkan dahi, lalu berkata santai, “Bayar dulu sisa uangnya. Setelah itu, ponsel ini akan menjadi milikmu.”Pak Agus mendesah panjang.“Kau tahu aku bukan orang yang suka mengingkari janji!” sahutnya, berusaha menahan amarah.Meski kesal, Pak Agus tahu tidak ada pilihan lain.Kesepakatan harus dipatuhi, dan dia terpaksa menyerahkan uangnya meskipun hatinya berat.“Baiklah,” ucap Pak Agus akhirnya, lalu mendekatkan tubuhnya ke Jalok.“Tapi, pastikan dulu, apakah kau benar-benar sudah menyingkirkan bocah itu?” lanjutnya, curiga.Pak Agus hanya ingin memastikan. Ia takut Jalok diam-diam bersekongkol dengan Udin untuk menipunya.“Aku sudah membuang tubuhnya ke jurang. Polisi pun tak akan menemukan jejaknya. Kalau masih ragu, aku bisa kirimkan buktinya,” jawab Jalok santai.Ia segera mengeluarkan ponselnya, lalu mengirimkan foto ke Pak Agus, hasil jepretan anak buahnya setela

  • Dokter Terhebat   Bab 34 - Kembali

    Setelah menyelesaikan urusannya dengan Manik Surgawi, Udin mulai mencari jalan keluar.Pandangannya tertuju pada cahaya dari atas tebing yang tinggi."Dulu aku tak berdaya di tempat ini... Tapi sekarang," ucapnya pelan, "aku yakin bisa melewati tebing itu dengan kekuatan baruku."Tempat itu dulunya adalah titik terendah dalam hidupnya—tempat dia disiksa oleh Jalok dan antek-anteknya.Tapi sekarang, dia bukan lagi orang yang sama."Aku belum pernah mencoba... Tapi tak ada salahnya," batinnya yakin.Dengan napas dalam, ia sedikit berlutut, lalu melompat sekuat tenaga.Whoosss!Tubuhnya melesat tinggi, menembus udara, menantang gravitasi.Meski ini pertama kalinya, Udin berhasil menstabilkan tubuhnya di udara dan mendarat tepat di atas tebing.Baaamm!Kakinya menapak tanah dengan mantap. Ia menatap sekeliling, berharap menemukan Jalok, antek-anteknya, atau motor C70 pemberian Miranda.Tapi yang tersisa hanya bercak darahnya di tanah."Motorku... Mereka pasti membawanya kabur," sahutnya d

  • Dokter Terhebat   Bab 33 - Manik Surgawi

    Masalahnya, Udin belum pernah melihat langsung bentuk Manik Surgawi.Ia hanya mengandalkan potongan-potongan ingatan asing yang baru saja menyatu dalam pikirannya.Dalam kilasan itu, Manik Surgawi tampak seperti kubus kecil bercahaya hijau terang, seukuran kepalan tangan orang dewasa—mudah dibawa, bahkan bisa diselipkan ke dalam saku celana.“Tapi... aku bahkan belum pernah menyentuhnya. Bagaimana bisa aku mengakses kekuatannya?” batin Udin gelisah.“Kalau begitu, tidak ada pilihan lain,” ucapnya dengan suara tegas. “Aku harus menyelam.”Ia menarik napas panjang, menatap dalam-dalam permukaan air yang gelap dan seolah tak berujung.Meski cukup pandai berenang, Udin belum pernah menyelam sedalam ini sebelumnya.Tapi sekarang tubuhnya dipenuhi energi spiritual yang menyala samar—seperti nyala lilin di tengah kegelapan.Tanpa ragu, ia melompat ke dalam danau.Byuuuaaar!Tubuhnya menukik lurus, kedua tangan lebih dahulu menembus permukaan, sementara kaki menjejak udara seperti jarum yang

  • Dokter Terhebat   Bab 32 - Warisan Kultivator

    Tubuh Mi Lin mulai bersinar, berubah menjadi cahaya menyilaukan. Udin menutup matanya rapat-rapat.Buuuzzz!Saat membuka mata, Udin mendapati dirinya berada di tempat berbeda.Ia masih di dasar tebing, namun tubuhnya kini terbaring di tepi danau yang gelap.Anehnya, meski tanpa cahaya, ia bisa melihat segalanya dengan jelas.Pandangannya menembus gelap, menangkap tiap detail kecil di sekitarnya.“Ini... tempat aku jatuh tadi...” gumamnya, bingung.Ia segera memeriksa tubuhnya. Tak ada luka. Kedua kakinya yang semula patah kini pulih sempurna.“Tubuhku... sembuh? Apa aku sedang berhalusinasi?” tanyanya pada diri sendiri.Aawh! teriaknya pelan saat mencubit pipi sendiri.“Nyata... ini bukan mimpi,” ujarnya, matanya membulat tak percaya.Ingatan tentang Mi Lin masih jelas dalam kepalanya.Namun ketika mencoba mengingat lebih dalam, tiba-tiba rasa nyeri luar biasa menyambar otaknya.Aaarrgghh! pekiknya, tubuh menggigil.Rasa sakit itu membawa banjir informasi asing—kenangan, teknik, dan p

  • Dokter Terhebat   Bab 31 - Mi Lin

    Tiba-tiba Jalok mengangkat tangannya dan meminta yang lainnya berhasil.“Tidak. Ada cara yang lebih berguna sebelum membunuhnya,” sahutnya tenang namun penuh maksud.Ia lalu berjalan mendekati Udin yang sekarat, lalu merampas tas kecil yang masih tergantung di tubuhnya.Di dalamnya terdapat barang-barang berharga: dompet, ponsel, uang tunai, serta benda-benda pribadi lainnya.“Aku ambil motornya, ponselnya, dan uang ini. Sisanya tak penting,” ujar Jalok sambil menyeringai kecil.Matanya menyipit saat membuka ponsel Udin dan melihat sebuah rekaman video tersembunyi.“Jadi ini alasan Pak Agus begitu ngotot ingin bocah ini mati…” gumamnya, lalu terkekeh. “Rekaman mesum dengan simpanannya sendiri… brengsek juga si tua bangka itu.”Jalok tertawa pelan, lalu berkata, “Sepertinya aku bisa memerasnya dengan ini…”Ia berencana menyerahkan ponsel itu ke Pak Agus, tapi tentu saja tidak tanpa menyimpan salinan terlebih dahulu.Siapa tahu ia bisa mendapat lebih banyak uang.“Lempar saja tubuhnya k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status