Tetes demi tetes air mata mengalir begitu deras bagai aliran sungai yang tak tahu di mana ujungnya. Kerumunan orang berbaju hitam semakin menciptakan kegelapan dan kesenduan hati, terutama seorang pria yang sedang memeluk gadis kecil di sampingnya. Tak ingin ketinggalan, kumpulan awan kelabu yang menggumpal kini mulai menurunkan rinai hujan ke bumi. Rintiknya saling bersahutan dengan lantunan doa yang mengiringi kepergian seorang wanita yang kini terbaring damai di bawah gundukan tanah yang basah.
"Ibu ... jangan tinggalkan Binar." Tak peduli dengan tangannya yang kotor, gadis kecil itu terus mencengkram gundukan tanah bertabur bunga milik wanita yang ia panggil ibu.
Sekelebat bayangan kebersamaan antara gadis kecil bernama Binar bersama sang ibu kembali terngiang di kepalanya. Tak mudah memang melupakan sosok yang telah melahirkannya ke dunia ini dan menemaninya selama delapan tahun ini. Ia tidak rela ketika takdir dengan kejam dan tanpa permisi memisahkannya dengan sang ibu.
Hanya dalam semalam, Binar merasa dunia indahnya telah dijungkir balik kala seorang polisi mengabarkan bahwa mobil yang ditumpangi ibu dan kakaknya masuk jurang. Dalam kecelakaan tragis itu, sang kakak sampai sekarang dikabarkan hilang, sementara itu sang supir tewas di tempat, sedangkan ibunya kritis. Namun Subuh tadi, rupanya sang ibu telah lelah menahan rasa sakitnya hingga akhirnya harus menyerah dan meregang nyawa.
Kini, mau tidak mau Binar harus menelan kepahitan di mana ia tak bisa lagi mendapat dekapan hangat dan kasih sayang dari sang ibu. Meski begitu, sosok yang paling berjasa itu akan selalu melekat erat dalam jiwa dan raganya.
"Sebaiknya kita pulang, apalagi hujan semakin deras. Kasihan putrimu," ucap salah seorang pria yang turut datang dalam acara pemakaman itu seraya menepuk bahu pria yang berstatus sebagai ayah Binar. Dengan lemah, ayah gadis kecil itu mengangguk.
"Ayo, Sayang, kita pulang," ajak ayah Binar.
Binar menggeleng. Tubuh kecilnya menunduk dan memeluk gundukan tanah. "Binar tidak mau, Ayah. Binar mau menemani Ibu. Ibu pasti kedinginan."
Sontak, tolakan dari gadis kecil itu membuat siapa saja merasa nyeri di ulu hatinya---tak tega melihat tetes air mata Binar yang begitu menyayat.
Seorang wanita berjongkok seraya mengusap lembut surai hitam Binar. "Sayang, sebaiknya kita pulang. Nanti, Binar bisa kemari lagi."
"Tidak mau, Tante. Kalau Tante Indira, Ayah dan yang lain mau pulang, pulang saja. Binar mau di sini bersama Ibu," tolak Binar, masih dengan posisi memeluk gundukan tanah ibunya.
Wanita yang bernama Indira menghela napas kasar. "Jangan seperti ini, Nak. Kalau seperti ini, Binar sama saja membuat Ibu sedih. Apa Binar rela membuat Ibu menangis di alam sana?" Gadis kecil yang ditanya pun menggeleng lemah. "Kalau Binar sayang pada Ibu, Binar harus ikhlas. Ibu sudah bahagia bersama Tuhan. Sekarang, kita pulang, ya," bujuk wanita itu lagi.
Perlahan Binar menegakkan tubuh kecilnya. Kedua tangannya direntangkan meminta sang ayah menggendongnya. Dengan sigap, ayahnya menggendongnya.
Derai air mata masih mengalir meski upacara pemakaman telah selesai. Bagaimana tidak, Starla---ibu Binar---adalah sosok wanita yang lembut dan baik di mata masyarakat. Oleh karena itu, siapa pun masih tidak rela melepas kepergian wanita itu. Dengan langkah gontai satu per satu kerumunan orang itu, pun dengan Binar berpencar, memasuki kendaraan masing-masing meninggalkan padang persinggahan abadi.
Bersama bulir-bulir bening yang perlahan menghapus jejak coklat akibat tanah yang menempel di wajah cantiknya, dalam gendongan sang ayah, kedua manik coklat Binar terus tertuju pada pusara sang ibu sampai perlahan, batas kesadarannya terenggut.
Satu menit, dua menit, tiga puluh menit, atau ... ah mungkin kata jam lebih tepat mewakilkan berapa lama gadis kecil itu terpejam hingga akhirnya, manik coklat itu terbuka sempurna bersama pekikan memanggil sang ibu.
Napas Binar terengah seperti habis maraton. Gadis kecil itu menatap pakaiannya. Ia mendesah lega kala yang dikenakannya bukan pakaian hitam. Ah, apa tadi ia baru saja mimpi buruk? Sudut bibirnya pun seketika tertarik ke atas seraya mendesah lega. Namun, tak lama kemudian sudut bibirnya justru berubah melengkung ke bawah kala pintu kamarnya menampilkan Indira yang datang dengan gaun hitam seperti dalam mimpinya.
"Sayang, kau sudah bangun?" tanya Indira seraya membawa secangkir coklat panas.
Kedua mata Binar memanas dan perlahan bulir-bulir bening meluncur kembali mengenai pipinya. Di saat Indira duduk di sampingnya untuk menyerahkan coklat panas, dengan amarah yang membuncah ia mengambil coklat panas itu lalu melemparkannya ke sembarang arah hingga mengeluarkan bunyi nyaring antara gelas panas yang bertemu dengan dinginnya lantai.
Seorang remaja berusia tiga belas tahun yang berniat mengunjungi Binar terperanjat kala mendengar pecahan gelas yang dilempar gadis kecil itu. Dengan cepat, remaja itu membuka pintu kamar gadis kecil itu secara kasar. Dilihatnya, Binar sedang terisak dalam pelukan Indira.
"Ma, apa yang terjadi?" tanya remaja itu.
"It's okay. Kemarilah, Rigel," titah Indira pada putra semata wayangnya. Dengan patuh, remaja itu menarik kaki dengan hati-hati agar tidak terkena serpihan kaca, kemudian duduk di samping Binar.
Dalam dekapan Indira, Binar terus terisak seraya meracaukan ibunya. Gadis kecil itu rasanya masih belum percaya. Ingin rasanya ia terus terlelap dalam mimpi, jika tahu terbangun hanya membuat hatinya sakit.
"Sabarlah, Sayang. Kau tidak sendiri. Masih ada ayahmu, Om Aksa, Tante, Rigel, dan masih banyak lagi yang menyayangimu," tutur Indira lembut.
"Tapi Binar mau Ibu, Tante. Sekarang Binar tidak punya Ibu yang akan selalu menyayangi Binar," sahut Binar seraya mendongak menatap Indira dengan tatapan sendu. Tak ada sinar terang di wajah gadis kecil itu. Auristela Binar Anarghya, sang bintang emas itu telah kehilangan kerlip terang dan senyum cerianya. Cahaya bintang emas itu harus redup di usianya yang sungguh teramat kecil.
Jemari lentik Indira menyeka jejak basah di pipi Binar, bibirnya menyecup kedua mata gadis kecil itu, lalu membelai puncak kepalanya. Seulas senyum yang terlihat dipaksakan terbit di wajahnya. Batinnya tersayat, tak kuasa menatap manik coklat gadis kecil di depannya yang berkaca-kaca.
"Siapa bilang Binar tidak punya ibu? Mulai sekarang, Binar adalah anak Tante, sama seperti Kak Rigel," ucap Indira. Ia genggam kedua tangan Binar, lalu mengecupnya. "Ayo, panggil Tante Mama!" titahnya penuh harap.
Binar menoleh ke arah Rigel. Mendapat anggukan dari remaja tampan itu, ia segera berhambur ke pelukan Indira. "Mama," lirihnya seraya menumpahkan kembali sungai air mata.
Rigel tersenyum kecil seraya mengusap punggung bergerat Binar. "Jangan pernah merasa sendiri. Ada kami yang akan selalu menyayangimu. Aku berjanji akan selalu menjagamu dan takkan pernah membiarkan siapa pun menyakitimu. Sudah, jangan menangis. Tangismu terlalu berharga untuk dijatuhkan."
Binar mengurai pelukannya, ia menatap Rigel seraya mengangguk kecil. Kedua tangan kecilnya dengan kasar menyeka air mata di pipinya, meski dalam hati ia masih ingin menangis. Jari kelingking kanannya terulur di depan remaja itu. "Janji akan selalu menyayangiku?" tanyanya sesegukan.
Senyum Rigel ditarik semakin lebar. "Janji," balasnya. Melihat seulas senyum kecil di wajah Binar, ia dengan gemas mengacak-acak puncak kepala gadis kecil itu. "Nah, seperti itu. Tersenyum membuatmu semakin cantik," pujinya yang tanpa sadar membuat pipi gadis kecil itu merona.
***
"Ayo masuk!" Tak seperti biasanya, suara Rigel terdengar begitu dingin, membuat Binar tersentak dari lamunan masa kecilnya.
Tak terasa tiga belas tahun berlalu. Selama itu, Rigel benar-benar membuktikan ucapannya---menjadi sang pelindung yang selalu dapat Binar andalkan. Tapi, apakah setelah apa yang terjadi, akankah remaja yang kini sudah menjelma menjadi pria tampan yang banyak digilai kaum hawa masih bisa memperlakukannya seperti dulu, tepatnya sebelum pernikahan mereka terjadi?
Ah, ya, Achazia Rigel Kalandra kini telah resmi berstatus sebagai suami dari Binar setelah tadi pagi pria itu mengucap akad nikah di depan sang ayah dan penghulu, bahkan beberapa menit yang lalu mereka sudah melakukan resepsi yang terbilang megah di hotel yang kini mereka tempati. Sekarang, Binar telah resmi menjadi keluarga dan menantu dalam keluarga Kalandra.
"I---iya, Kak," sahut Binar. Dengan pelan wanita itu mengekori suaminya.
Kedua netra Binar membola sempurna saat melihat ruang tamu kamar hotel yang disewanya dipenuhi berbagai kelopak bunga mawar dan lilin-lilin yang berjejer rapi di lantai dan meja hias. Masuk ke dalam kamar, keadaannya tak jauh berbeda. Aroma terapi yang begitu menenangkan pun menyeruak, membuat suasana semakin romantis terlebih lagi lampu yang temaram.
"Siapa yang mau mandi terlebih dahulu?" tanya Rigel, menyadarkan Binar dari keterpakuannya.
"A---aku dulu," jawab Binar dengan terbata.
Dengan secepat kilat Binar berlari ke kamar mandi. Di dalam sana wanita itu nampak terengah seraya menatap wajahnya di depan cermin. Menikah di usia 21 tahun tak ada dalam bayangannya. Dua bulan yang lalu ia bahkan baru lulus kuliah.
Binar menutup mata sejenak kemudian membukanya perlahan. Di saat ia hendak membuka gaun pernikahannya, ia mendesah karena tak kunjung juga bisa melepaskan retsletingnya. Dengan terpaksa dan menyembunyikan pipinya yang semerah tomat, ia membuka pintu kamar mandi, lalu menyembulkan sedikit kepalanya.
"Kak," panggil Binar ragu. Rigel yang sedang rebahan di sofa menoleh ke arahnya.
"Kau sudah selesai?" tanya Rigel. Namun, bukan sebuah jawaban yang ia dapat melainkan Binar yang perlahan mendekatinya.
"Bisa tolong bukakan retsletingku? Ini susah sekali," pinta Binar seraya membalikkan tubuhnya membelakangi suaminya.
Rigel dengan wajah datarnya menurut. Jemari besarnya segera membuka retsleting istrinya. Jangan harap pria itu membuka dengan adegan pelan, lalu melayangkan sapuan lembut nan menggoda atau kecupan di punggung polos istrinya yang kini sudah terekspos.
"Sudah," ucap Rigel kaku, membuat Binar segera berlari kecil dengan satu tangan yang mendekap erat gaunnya agar tidak melorot sementara satu tangan yang lainnya menarik koper miliknya ke kamar mandi. Wanita itu merutuki diri sendiri, karena tadi sempat lupa membawa pakaian ganti ke kamar mandi. Memangnya, ia sanggup ganti baju di dalam kamar di depan suaminya? Ah, tentu saja tidak.
Satu jam berlalu dan Binar sudah selesai dari ritual mandinya sejak tiga per empat jam yang lalu. Ya, tiga per empat jam yang lalu. Lalu, kalau begitu apa yang dilakukan wanita itu tiga per empat jam kemudian di dalam kamar mandi? Yang dilakukan wanita itu adalah menatap tubuhnya yang kini ditutupi bathrobe di depan cermin. Bukan karena ia lupa membawa pakaian ganti alias kopernya kosong, melainkan ia bingung karena seluruh pakaian yang sudah dipersiapkannya dari rumah kini telah berganti dengan lingerie sexy yang kini sudah membalut tubuh polosnya.
"Binar, apa kau baik-baik saja?" tanya Rigel dari luar seraya mengetuk pintu kamar mandi.
"Ya, sebentar lagi," balas Binar dari dalam. Ia mengembuskan napas kasar. Dengan terpaksa ia membuka pintu kamar mandi. "Silakan jika Kakak ingin ke dalam. Maaf, karena aku lama," ucapnya dengan wajah yang ditekuk.
Tanpa membalas, Rigel melenggang memasuki kamar mandi. Sementara itu, Binar memilih duduk di sisi ranjang bertabur kelopak bunga, memikirkan bagaimana ia nanti tidur hanya dengan mengenakan lingerie. Berbicara soal tidur, tiba-tiba semburat merah muncul di kedua pipi putihnya. Kilasan teman-teman dan ibu mertuanya yang menggoda dirinya akan malam pertama membuatnya ingin menenggelamkan diri ke dasar laut. Ah, bodoh, ia baru sadar, pasti ibu mertuanya yang sudah mengganti isi kopernya.
Berbeda dari diri Binar yang lama, selang sepuluh menit kemudian Rigel keluar dengan nampak segar hanya mengenakan celana pendek yang menutup bagian pinggang sampai lutut, sementara tubuh bagian atasnya dibiarkan telanjang. Refleks, Binar memalingkan wajahnya.
"Aku rasa kedua orangtua kita mengerjai kita," keluh Rigel, membuat Binar mengangguk malu. Dengan malas, pria itu pun merebahkan tubuhnya yang letih di atas ranjang. "Ayo tidur," ajaknya.
"Hah?" Binar mengerjap nampak bodoh.
"Tidurlah, ini sudah malam," ucap Rigel dingin seraya memiringkan tubuhnya membelakangi Binar. "Aku tahu pasti tidak akan nyaman tidur dengan mengenakan bathrobe. Bukalah, aku janji tidak akan macam-macam," lanjutnya tanpa mau menatap istrinya.
Binar bergeming, setetes kristal bening lolos begitu saja, dengan cepat ia seka. Kata tidak akan macam-macam yang dilontarkan suaminya begitu menyentil egonya. Ia ditolak. Tentu saja. Dengan bodohnya ia memikirkan apa yang akan dilakukan suami-istri pada umumnya. Harusnya ia sadar bahwa tak ada kata cinta di dalam hati pria itu untuknya. Ia pun melepas bathrobe-nya, merebahkan diri di sisi kanan ranjang hingga posisinya dan sang suami saling membelakangi, kemudian menarik selimut untuk menutupi sebagian tubuhnya.
"Maaf." Satu kata itu lolos dari bibir Binar bersama denyut nyeri yang menjalar di hatinya. Ia sadar apa yang sudah ia perbuat pasti telah menyakiti hati suaminya. "Meski Kakak lelah, berjanjilah untuk selalu berada di sampingku dan memegang janji Kakak dulu," lirihnya dengan suara bergetar.
"Entahlah, aku tidak yakin," balas Rigel dingin dengan mata yang terpejam. Pria itu tahu, ini bukan murni kesalahan Binar, wanita yang sejak dulu disayanginya. Tapi, apa yang telah terjadi benar-benar membuat sebagian jiwanya terenggut dan ia tidak tahu apakah ia bisa memperlakukan istrinya sama seperti dulu.
Kedua telapak tangan Rigel terkepal erat hingga menampilkan urat-urat yang membiru dan buku-buku jari yang memutih. Rahangnya tampak tegas. Aura dingin kentara menyelimuti paras pria yang baru saja resmi menjadi seorang ayah. Pun, iris coklat gelapnya seakan mematik api amarah pada wanita yang berhasil selamat dari maut beberapa waktu yang lalu.Binar, wanita yang menyandang status ibu baru itu kini hanya bisa terbaring pasrah di atas ranjang pesakitan dengan segala macam alat yang menempel pada tubuhnya. Wanita itu mengalami koma, yaitu situasi darurat di mana tubuh tidak sadar karena menurunnya aktivitas otak karena kondisi tertentu.Selepas dari ruang NICU Akhtar, Rigel bergegas pergi ke ruang dokter yang memanggilkan. Hanya satu yang di pikirannya, yaitu kondisi sang putra. Masih tampak jelas di ingatannya bagaimana tubuh Binar terguling melewati setiap undakan anak tangga, sehingga menyebabkan ceceran d
Derai kekhawatiran itu kentara di wajah wanita paruh baya yang sedang mengikuti brankar yang membawa majikannya. Segala doa ia rapalkan dalam hati. Batinnya tidak sanggup melihat wajah yang biasanya berseri kini pucat pasi dengan mata terpejam erat dan darah terus-terusan mengalir dari bagian selatan tubuh majikan yang sudah ia anggap sebagai putrinya sendiri."Ya Allah, Nona Binar ... hiks ... kenapa ini bisa terjadi?" lirih Bi Jum, wanita paruh baya itu saat pegangan tangannya pada brankar terlepas, karena perawat membawanya ke sebuah ruangan. Sungguh ia tidak rela meninggalkan Binar sendiri di dalam sana, tetapi perawat itu menahannya dan pria di sampingnya agar tidak ikut masuk. Pria itu, siapa lagi kalau bukan Rigel?"Argh ...," erang Rigel sambil meninju tembok tak bersalah.Bi Jum terperanjat. "Yang sabar, Tuan. Sebaiknya kita berdoa agar Allah menyelamatkan Nona Binar dan anak kalian." Sebelah tangannya terulur, tetapi segera ditepis Rigel. Hal itu tak membuat wanita paruh baya
Pelan, Rigel---pengusaha muda nan tampan itu---membuka pintu kamarnya yang berada di rumah orangtuanya dengan perasaan takut membangunkan sang istri yang sudah terlelap dengan damai. Ya, sejak kematian sang ayah, ia dan Binar memutuskan untuk menemani sang mama sementara waktu.Lelah tampak kentara di wajah Rigel. Ia menarik dasi yang terasa mencekiknya seharian ini sambil menarik kaki ke arah sang istri. Setelah sampai, ia duduk si sisi ranjang, tersenyum kecil sambil mengusap lembut surai kecoklaatan istrinya yang sedang tertidur dalam posisi miring membelakanginya. Menghentikan usapan, sejenak kepalanya berpaling sambil menutup mata dan mengembuskan napas berat. Perkataan dokter sungguh menghantui pikirannya, belum lagi fakta-fakta yang harus ia selidiki. Membuka mata, ia lantas kembali memberi usapan di kepala sang istri. Setelah itu, lama sekali ia mendaratkan bibir di surai kecoklat
Suara ketukan pintu terdengar. Setelah dipersilakan masuk, maka Rigel---si pengetuk---pun membuka pintu, masuk, kemudian duduk di tempat yang dipersilakan. Ada semburat tanda tanya di wajahnya, bahkan semalaman ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sungguh, ia sudah tidak sabar mendapat jawaban dari sang dokter yang kini duduk di seberangnya. Rigel berdeham dengan wajah dinginnya. "Bisa kita langsung saja?"Dokter Fatih mengangguk. "Dari gejala-gejala yang terlihat, saya menduga kalau ayah Anda terkena racun risin yang terpapar melalui jalur udara. Entah itu yang di-extract menjadi bubuk, maupun semprot."Dahi Rigel tampak mengerut. "Diduga? Jadi, maksud Dokter itu belum pasti?"Dokter Fatih
Di saat matahari berada di antara waktu Dzuhur dan Maghrib---Ashar---di mana panjang bayang-bayang melebihi panjang benda itu sendiri, lantunan ayat suci Al-Quran yang keluar dari bibir Binar sayup-sayup terdengar. Tak seperti biasanya, kali ini wanita berbadan dua itu tak ber-tilawah, pun tidak tartil. Getar dan isak menyusup dalam setiap bacaannya. Sesekali wanita itu berhenti sambil menajamkan indra penglihatannya. Kabur. Kabut itu seakan menebal hingga mengikis jarak pandangnya, membuat rintik hujan air mata tak sengaja jatuh mengenai kitab suci yang dipegangnya."Hal jazā'ul-iḥsāni illal-iḥsān ...." Bersama berakhirnya Ar-Rahman ayat 60 yang artinya, "Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula)." rintik hujan air mata Binar semakin deras. Kepala wanita itu semakin menunduk dan bahu ringkihnya bergetar hebat mendapat serangan hebat yang menikam jantungnya. Rasanya, kenapa begitu perih?Tanpa wanit
Waktu terus bergulir, tak terasa kini usia kandungan Binar sudah memasuki minggu ke-25. Banyak hal yang dialami wanita hamil itu. Bukan hanya berat badannya yang bertambah, seiring perutnya yang membuncit, tetapi semakin ke sini ia merasa kondisi tubuhnya menjadi lemah. Meski ngidamnya telah lenyap akhir trimester pertama, mual dan muntah yang dialaminya hingga kini masih melanda. Belum lagi sesekali ia merasa sakit di bagian atas perutnya, bahkan beberapa minggu ini pandangannya seringkali mengabur.Bunyi antara gelas jatuh dan lantai yang beradu memekik ruangan. Rigel yang berniat ingin menghampiri sang istri untuk meminta dipasangkan dasi terlonjak kaget dan bergegas menuju dapur."Berhenti!" titah Rigel kala matanya menangkap sang istri yang hendak berjongkok untuk membersihkan serpihan kaca yang berserakan.
Setelah pertemuannya dengan Mr. Lee, di sinilah Rigel, di S.E.A Aquarium Singapore. Beberapa tempat sudah ia kunjungi dan beberapa spesies ikan dari sekitar seratus ribu biota laut sudah ia lihat. Sekarang, matanya sedang dimanjakan oleh ikan-ikan yang sedang asyik bermain di kapal karam yang terdapat dalam ruang akuarium yang ia sewa agar tak ada pengunjung yang bisa masuk."Aku tahu kau juga merindukanku," ucap seorang wanita tiba-tiba.Degup jantung Rigel seketika tak berdetak, pun dengan aliran darah yang seketika terhenti saat seseorang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Sejenak ia menutup mata, merasakan kerinduan yang dengan tidak sopannya memasuki relung jiwa. Suara itu ... suara pujaan hatinya, wanita yang telah mewarnai hidupnya. Ingin sekali ia berbalik, lalu membalas dekapan hangat itu. Namun, dengan cepat ia tepis. Bagaimanapun semuanya hanya masa lalu. Statusnya sudah tak sama lagi. Wanita itu bukan lagi miliknya.
Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini Binar terbangun karena menginginkan sesuatu. Jadi, ini yang dinamakan ngidam. Dulu, ia tidak percaya atas hal itu. Menurutnya, itu hanya keinginan sang ibu hamil, tetapi mengingat apa yang tengah dirasakannya, kini ia yakin kalau itu bawaan sang janin.Seulas senyum terbit di wajah Binar. Dengan pandangan yang menatap perutnya yang belum membuncit, dengan hati-hati ia mengelus perutnya. Di sana, ada buah cintanya yang sedang berjuang untuk tumbuh hingga bisa terlahir ke dunia."Jadi, kau pelaku yang membuat Ibu bangun tengah malam, hmm? Baiklah, tidak apa-apa. Dengan begitu sehabis memenuhi permintaanmu, Ibu bisa sholat malam," monolog Binar pada janinnya. Sejenak ia melihat sang suami yang tertidur dengan lengan kiri yang menutup matanya, kentara sekali lelah di wajah tampan suaminya itu.Oh Tuhan ... Binar tak bisa mendeskripsikan betapa buncahan bahagia dirasakan saat ia menyebu
Tak terasa waktu bergulir begitu cepat, terhitung satu bulan sudah setelah malam di mana Rigel dan Binar memutuskan untuk menjadi suami-istri sungguhan. Kini tak ada lagi benteng es yang menjulang kokoh membatasi keduanya. Musim salju telah berganti menjadi musim semi yang menebarkan kehangatan. Selama sebulan ini pula, Rigel benar-benar berubah. Perhatian, kasih sayang, dan tatapan memuja terlihat dari sikapnya. Pria itu juga senantiasa memanjakan sang istri dan memperlakukan bagai seorang ratu. Namun, jangan lupakan sikap posesif pria itu. Tingkat keposesifannya kini naik berkali-kali lipat. Terkadang hal itu membuat Binar muak. Untunglah, Xavier tak terlihat batang hidungnya. Pria itu benar-benar menjaga jarak. Ah ... ralat, menjaga hati juga.Dalam keheningan malam Binar menggulirkan tubuhnya ke sana-sini, mencoba mencari posisi nyaman, tetapi tak kunjung juga berhasil. Seperti malam-malam sebelumnya, tengah malam begini perutnya selalu memanggil dan meminta diisi. Demi Tuhan, ia t