Dalam keadaan kebingungan, Marcel berpikir keras. Ia menoleh ke arah lemari pakaian yang besar. "Lo, masuk sana dan jangan bersuara, jangan keluar sebelum gua suruh, ok?!" titah Marcel dengan sungguh-sungguh.
Gadis mungil itu hendak membantah, hatinya tidak terima diperlakukan demikian, tapi, mengingat bayaran yang akan diterimanya pasti lebih besar dari biasa, dengan berat hati, ia pun beranjak dari atas kasur dalam keadaan telanjang bulat.
Setelah melihat Grace masuk ke dalam lemari pakaian, Marcel melihat ke sekeliling. Ia mulai memunguti pakaian mereka berdua yang berceceran sampai ruang tamu. Kemudian, tanpa menghiraukan panggilan dan gedoran pintu, Marcel memasukkan pakaian mereka ke dalam lemari sambil meraih baju tidur piyama dan segera memakainya dalam langkahnya menuju pintu utama.
Gadis kecil yang bernama Zanna Zovanka, menyaksikan semuanya. Tubuh mungil itu bergeser perlahan semakin mendesak ke arah dinding, di bawah dipan panjang yang biasa disebut balai.Pada tangannya yang halus dan gemuk, tersampir boneka lusuh yang enggan ia lepaskan dari pelukannya. Meski dengan jemari gemetar serta bola mata lugu yang tergenang air mata, ia berusaha menahan suaranya, tidak ingin sang ayah tahu bahwa ia tengah bersembunyi di sana.Rasa takut yang luar biasa mencengkram seluruh tubuh polos tanpa dosa itu, hingga terpatri kuat dalam ingatannya sampai bertahun-tahun kemudian. Meninggalkan trauma mendalam pada dasar jiwanya.Sosok lelaki tinggi besar dengan suara yang berat dan pemarah itu adalah ayahnya, Bagas Zo.Gadis kecil itu menyaksikan bagaimana sang ayah melucuti ikat pinggang lebar dari kaitan pada celana panjangnya, lalu membentangkan ikat pinggang itu ke atas dan terayun
2 Tahun Sebelumnya.Hari ini adalah hari di mana Zanna Zovanka melihat papan pengumuman kelulusan di halaman sekolahnya.Berjejer papan tulis yang biasa berada di dalam kelas, beralih fungsi menjadi papan pengumuman di halaman tengah sekolah.Tidak sulit mencari nama Zanna Zovanka, karena namanya terletak di tiga nama paling atas yang tidak tergabung dalam kelompok daftar nama siswa-siswi lainnya.Predikat murid teladan disandangnya, karena dia berhasil menyabet nilai tertinggi dari delapan kelas pada angkatan tahun itu di Sekolah Menengah Atas.Karenanya, Zanna Zovanka berhak atas Beasiswa penuh di Perguruan Tinggi ternama tanpa melalui tahapan tes ujian masuk. Dia hanya perlu mendaftar dengan membawa persyaratan Administrasi berupa data diri dan bukti sebagai siswa dari sekolah sebelumnya.Gadis cantik pendiam dan tidak bergaul itu, dikena
Sesampainya di rumah, Zanna terbiasa langsung meneguk air putih yang telah tersedia di meja, setelah melepaskan sepatunya di depan pintu masuk.Leta Letisia menghampiri meja makan, di tangannya ada sepiring nasi serta dua potong tempe goreng. Ia meletakkan piring nasi itu di depan Zanna.“Makanlah.” Leta menyuruh Zanna tanpa melihat ke arahnya.“Tidak ada sambal ya?” tanya Zanna yang sudah merasa lapar.“Mama sudah taburi garam, cepat makan saja. Mama sudah harus ke warung Bu Tomo," sahut Leta sambil berlalu.“Eh, Ma ....“ Zanna menghentikan langkah Leta. Lalu ia mengeluarkan laporan sementara dari sekolahnya, menyodorkannya kepada Leta.“Apa ini? Tagihan lagi? Mama kan sudah bilang belum bisa bayar sekarang,” sahut Leta, mengambil kertas laporannya dengan gerak malas.Leta membaca laporan sementara itu, predikat mur
Hari tanpa sekolah adalah hari paling menyedihkan bagi Zanna. Dia merasa bosan dan muak atas hidupnya yang selalu kesepian. Dulu sewaktu masih kecil, Leta selalu ada di samping Zanna. Pelukan itu, kecupan itu adalah sarapan setiap paginya.Perlahan semuanya memudar, Leta bagaikan orang asing yang enggan mengulurkan tangannya. Bahkan berbicara dengan saling menatap mata pun, sudah tidak dilakukannya lagi.“Ada apa dengan orang-orang yang beranjak dewasa itu? Apakah karena kami tidak selucu waktu masih kecil? Tidak menggemaskan atau kenapa sih?” gumam Zanna dengan frustasi.Lamunannya buyar ketika suara Leta terdengar,“Zanna, kamu sudah tidak ada kelas hari ini?” tanya Leta dengan nada heran.“Sudah santai Ma, tinggal tunggu acara perpisahan. Mama kan harus datang, ada yang perlu mama tanda tangani,” sahut Zanna.“Kalau mama hadir, apa kamu gak malu? Apa kamu gak akan dit
Kedua Ibu dan anak itu terpekur, tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Kehadiran Bagas setelah sekian tahun berlalu, benar-benar mengagetkan Leta.Sudah jelas terbaca maksud dan tujuan Bagas terhadap putrinya, Zanna Zo. Hal itu sangat mengiris hati Leta di tengah ketidak berdayaannya."Mungkin, inilah saatnya kita harus membuka lembaran baru di tempat lain?" Leta bergumam lirih, seolah berkata pada dirinya sendiri.Zanna mendengar jelas gumaman Leta, jarak mereka begitu dekat. "Ma, kalau kita pergi dari sini, akan percuma juga mama masih bekerja di sini. Jadi, kita bertahan dan bersama-sama menghadapi lelaki itu?" ujar Zanna penuh keraguan.Lidahnya begitu berat untuk menyebut 'Papa' kepada Bagas. Ia selalu menyebutnya dengan kata 'Lelaki itu'. Perasaan bencinya sudah sampai ke ubun-ubun dan tidak pernah terpikirkan untuk memaafkan Bagas Zo.
Leta membuka pintu dengan jantung berdebar-debar. Di sepanjang hidupnya, baru kali ini dirinya kedatangan polisi.Dua orang polisi berseragam menyapanya dengan ramah. Mereka menatap Leta dan menampilkan sorot terkejut sekaligus iba. Leta mempersilakan kedua tamunya untuk masuk, menahan diri agar gemetar yang dirasakannya tidak terlihat oleh tamu berseragam itu. "Silakan masuk," ajak Leta dengan hormat.Keduanya memasuki rumah dan duduk di kursi usang, Leta ikut duduk dengan jantung masih berdebar, "Ada apa ya, Pak?" tanya Leta seraya berusaha menghilangkan rasa gugupnya."Mohon ma'af sebelumnya, Bu. Kami ketitipan warga seorang lelaki bernama Bagas Zo yang dituduh melakukan upaya pemerkosaan terhadap putri ibu," jawab salah seorang tamunya yang terlihat lebih tua dari rekannya.Leta masih bergeming untuk mendengarkan lebih lanjut
Zanna berjalan kaki menempuh jarak sepanjang lima kilo meter, dengan beban berat yang berada pada tas ranselnya. Setelah sampai di jalan raya, ia menunggu angkutan nomor nol dua sesuai arahan Leta, hanya saja, angkutan kota yang ditunggunya tidak kunjung tiba.Dalam kebingungan, Zanna celingukan, matanya nanar melihat apapun yang berada di kiri dan kanannya, menyapu bersih semua hal dengan rakus, pengalaman yang jarang ditemukannya. Ia menuju tempat antrian yang biasa dipakai oleh para pengguna angkutan umum, mencari tempat duduk karena kakinya terasa pegal telah berdiri lama di pinggir jalan.Samar-samar Zanna mendengar suara orang menegurnya. Suara yang sangat ia kenal dan mendadak membuatnya merasa kesal. "Zanna? Mau kemana kamu?" pertanyaan orang tersebut mengandung rasa heran.Zanna tidak ingin mempedulikannya, jangankan menoleh ke asal suara, bahkan sekedar melirik pun, tidak."Huh, orgil lagi deh, gak di seko
Danish mengirimkan pesan kepada pemilik warung soto,"Bro, gue datang ma temen nih, kasih tagihan dua puluh ribu ya, sisanya ntar gue bayar di belakang temen gue."Mereka telah duduk di dalam warung soto yang cukup ramai. Zanna tampak tidak nyaman melihat banyak orang dengan penampilan rapi tidak seperti dirinya yang lusuh memakai kaus belel. Ia merasa tidak pantas berada di situ, tapi tidak berani mengatakannya pada Danish.Zanna terus menundukkan wajahnya, Danish merasa iba melihat gadis yang sangat cerdas itu. Desas-desus di sekolah yang pernah didengarnya adalah kondisi Zanna yang tinggal di rumah sekolahan dengan ibunya yang cacat dan sangat miskin.Danish cukup terkejut dengan label kemiskinan yang tersemat pada Zanna, tidak membuat gadis itu menanggalkan harga dirinya, bahkan dia menolak untuk ditraktir makan olehnya.Demi menjaga harga diri Zanna dan menghormati prinsip hidupnya, Danis