Share

DDC 2

Author: Ana_miauw
last update Last Updated: 2024-01-18 11:47:48

Flashback enam tahun lalu.

Malam itu terasa lebih sepi dari biasanya, salah satu dari beberapa wanita malam itu masih setia menghirup asap kenikmatan di sebuah taman yang terletak di gerbang ibukota. Menunggu pria berdompet tebal yang sudah menghubunginya beberapa menit yang lalu.

Harap-harap cemas menunggu pria itu datang. Berdiri gelisah tak tenang. Sorot matanya selalu menyapu bersih sekitar. Memastikan bahwa tak ada bahaya yang mengancam.

Tak jarang, penggerebekan oleh Satpol PP dilakukan. Karena menurut media informasi. Keberadaan mereka mengganggu kenyamanan ketertiban umum. Selain taman ini berada di tepi jalan utama, tempat ini juga protokol kebanggaan masyarakat. Sekaligus dekat dengan pemukiman warga. Yang dikhawatirkan akan berdampak buruk pada anak-anak.

“Jadi dateng nggak sih orang itu?” tanya Salwa kepada Jihan, teman di sebelahnya. Namun yang ditanya hanya mengedikkan bahu. Juga tengah sibuk dengan batang rokoknya sendiri.

“Kalau nggak dateng, adik gue nggak bisa makan,” katanya lagi meratapi nasibnya yang malang. Matanya mengembun mengharap ampunan Tuhan untuknya yang terpaksa menjalani pekerjaan haram seperti ini.

Salwa tak punya jalan lain. Ia mempunyai adik yang sedang sakit. Sakit dalam arti lain keterbelakangan mental. Tumbuh kembangnya sangat berbeda dengan anak-anak seusianya.

Biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Untuk makanannya, untuk membeli pampersnya, dan biaya yang lain-lain. Malah terkadang, adik laki-laki yang bernama Sammy itu (sekarang sudah berusia sepuluh tahun) sering kejang mendadak. Dan harus cepat dibawa ke rumah sakit. Mau tak mau ia harus siap dengan biayanya, tak peduli kantong.

Seperti biasa, jika malam ini tak ada yang mau menggunakan jasanya, ia hanya pulang membawa rasa kantuk dan kekecewaan.

“Ini sih nggak dateng deh, Ji. Kayaknya emang laki-laki itu bohong mau nemuin aku. Betewe, aku pulang aja, ya.” Sudah terbiasa ia dibuat menunggu seperti ini. Tidak merasa kaget. “Aku ninggalin adikku yang aku kunciin di dalam.”

Sebab bila tak dikunci atau tak berada dalam pengawasannya, Sammy akan keluar dari besi pembatas. Pergi entah ke mana. Membuat orang-orang di sekitar takutkan.

“Oh ya udah Sal, ati-ati ya di jalan. Kamu naik apa?”

“Ojek aja, Ji …”

Seperti kalong, siang ia gunakan untuk tidur, malam ia gunakan untuk mencarikan mangsa. Ia jarang berinteraksi dengan orang-orang sekitar. Hampir semua orang sudah tahu statusnya dan apa pekerjaannya. Menghindar dari cemoohan orang-orang adalah cara terbaik.

***

“Sammy!” panggilnya tigakali. Namun dia masih terus memanggil Sammy agar anak itu menatapnya. Tapi sayangnya anak itu tetap tak menghiraukannya dan malah berbicara sendiri. Salwa sangat kesal karena yang dilakukan Sammy hanyalah mengobrak-abrik isi rumah.

“Kesal aku Ya Tuhannn ...,” desahnya sangat nelangsa. “Kenapa aku di titipin adik kayak gini....” sesak sedih ia tumpahkan di pojok kamarnya. Nasi yang baru ia tumpuk dengan sayur dan sambal tergeletak begitu saja. Tak ada lagi yang terasa asin dan manis di lidahnya yang berganti dengan rasa hambar.

Malam ini hati terasa gundah, sehingga ia menemui temannya untuk sekedar bercerita.

“Aku pengen berhenti dari pekerjaan ini, Ji …,” ucapnya sambil menyusut air mata dengan punggung tangannya. Perih dan sakit.

“Sama aku juga, pengen menjalani hidup normal kayak yang lainnya.”

Salwa duduk mendekati Jihan. Kali ini mereka bukan sedang di tempat mangkal, tapi sedang tiduran berdua di kosan Jihan.

“Sampai kapan ya, nasib kita akan berubah?”

“Entahlah Sal, aku juga nggak tau. Yang penting jangan sampai kiamat duluan ah. Ngeri. Pengennya si meninggal sesudah taubat. Biar husnul khatimah seperti kata Ustadz-Ustadz yang ada di tipi-tipi tuh.”

Salwa menoleh ke arah Jihan. Penasaran dengan arti kalimat itu, “Apa artinya?”

“Husnul khotimah itu akhir yang baik. Jaminannya masuk surga.”

“Apa perempuan rusak kayak kita bisa jadi penghuni surga?” Salwa tersenyum pahit. Baginya dunia dan akhirat sudah tidak ada bedanya baginya. Suram.

“Katanya Tuhan itu maha pengampun, maha baik, maha segala-galanya.”

Tak menyetujui apa yang Jihan ucapkan, Salwa pun melayangkan protes. “Kalau Tuhan maha baik, kenapa Tuhan nggak baik sama kita ya, Ji?”

Mana yang katanya Tuhan maha baik. Buktinya, ia merasa hidupnya begitu-begitu saja pikirnya. Kalau Tuhan itu maha baik, kenapa dirinya selalu ditakdirkan hidup sengsara?

Tadinya, ia pernah bekerja menjadi waiters di sebuah restoran, di cafe-cafe, jadi cleaning service, jadi ART, dan masih banyak lagi. Sangat menguras waktu, tapi hasil yang ia terima tak seberapa. Tak cukup untuk biaya mereka sehari-hari apalagi untuk berobat Sammy.

Bahkan sebelum ia bekerja seperti ini, hutangnya sangat menumpuk.

“Nggak enak rasanya,” lanjut Salwa lagi.

Menjadi seorang kupu-kupu malam sama dengan menjebloskan diri ke dalam jurang yang amat curam. Karena harga diri mereka sudah sangat tercoreng. Dipandang sebelah mata, dijauhi oleh orang sekitar, juga sulit mendapatkan pasangan hidup.

“Kita mudah mendapatkan dalam waktu semalam. Tapi uang itu juga langsung lenyap entah ke mana.”

“Itu karena duit kita haram, nggak berkah. Jadi cepet habis,” jawab Jihan.

“Tau dari mana kamu?”

“Kan sering ngaji.”

“Ngaji di mana?”

“Di internet lah. Jaman sekarang apa sih, yang nggak bisa.”

Salwa tampak mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Ayah kamu masih belum ada kabarnya?” tanya Jihan lagi.

“Nggak Ji,” Salwa menatap langit-langit kamar dengan senyum sumbang.

Menjadi pezina adalah perbuatan dosa yang membuat pelakunya merasa tak pernah tenang, bingung, resah, gelisah serta khawatir.

Tapi ia sendiri tak mengerti apa yang sedang ia khawatirkan. Perasaan yang menurutnya begitu aneh. Dan itu akan terjadi mungkin sepanjang hidupnya sebelum ia benar-benar bertaubat.

“Aku semakin yakin kalau ayahku pasti sudah mati. Kalau beliau masih hidup, pasti beliau akan pulang.”

Jihan merangkul temannya, “Walaupun ayah kamu udah mati, kamu masih jauh lebih beruntung bisa ngeliat ayahmu. Aku malah nggak tau ayahku sama sekali.”

Jihan tumbuh di lingkungan sempit. Yang Jihan tahu, dia hanya mempunyai seorang ibu tapi sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Dan itu pun, mempunyai pekerjaan yang sama sepertinya.

“Aku mau pinjam uang,” kata Salwa sangat merasa tidak enak. “Kamu ada?”

“Ada,” jawab Jihan tanpa merasa keberatan karena dia tahu Salwa sangatbutuh uang ini. Lantas segera membuka tasnya untuk mengeluarkan uang.

“Nggak papa nih?” tanya Salwa. Dia menggenggam dengan ragu beberapa lembar uang ratusan yang Jihan pinjamkan. “Kamu masih ada simpanan kan?”

“Iya tenang aja, kan aku hidup sendiri. Untuk beli apa-apa kayaknya masih cukup,” jawab Jihan.

“Pakailah, kalian hidup berdua. Kamu pasti akan bingung mau pinjam ke mana kalau nggak sama aku. Coba lihat orang-orang sekitar? Memangnya ada yang mau peduli?”

“Jangan karena kamu nolongin aku kamu jadi ngorbanin diri kamu sendiri Ji. Aku nggak enak di pinjemin segini.” Sahut Salwa.

“Kamu bisa gantiin itu dalam semalam. Sebentar lagi mau tahun baru, pasti banyak job.”

“Makasih ya Ji.”

“Sama-sama.” Jihan tersenyum.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 77: End

    Tidak terasa sudah tiga hari Raffa menginap di rumah Mami Nida dan Papi surya. Banyak yang sudah dilakukannya di sana karena kedatangannya disambut antusias oleh warga setempat. Masjid yang biasanya sepi berubah menjadi ramai seketika semenjak mengetahui ada tamu luar biasa yang datang dari kota. Banyak dari mereka yang memintanya untuk mengadakan kajian setiap harinya; baik kuliah subuh maupun sehabis maghrib di masjid-masjid dekat daerah itu.Kali pertama Raffa berdakwah di hadapan mertua dan istrinya. Menjadi kebanggan tersendiri di hati Surya dan Nida. Sungguh pilihan yang tepat, tak sia-sia Sarah batal menikah dengan Fery. Rupanya, sosok yang dinikahinya adalah seorang pemuda yang lebih hebat daripada dokter itu. Bahkan kedatangannya pun dapat mengangkat derajat Mami dan Papi Surya. Semua terpana terkagum-kagum. Dan kedua orang tua itu juga merasa menjadi lebih disegani masyarakat karena anaknya menikah dengan salah satu putra ulama terkenal di negeri ini, yaitu Abah Hasyim A

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 76: Menjemput Kesayangan

    Tampaknya tidak ada yang terlihat membahayakan di raut wajah mereka berdua. Mereka mengobrol selayaknya orang yang telah akrab tanpa ada aura-aura yang memancing keributan. Sarah mendesahkan nafasnya lega, fiuhhh. Semoga semua akan baik-baik saja seperti sedang yang terlihat.“Loh, Mas. Kok kamu ada di sini?” tanya Sarah. “Kenapa nggak ngabarin kalau kamu mau ke sini.”“Kejutan,” hanya itu jawaban Raffa dibubuhi oleh seulas senyum.“Anak-anak sama siapa kamu tinggal?” tanya Sarah lagi.“Sama Maryam.”Maryam lagi, Maryam lagi. Duri dalam daging, musuh dalam selimut, serigala berbulu domba entah sebutan apalagi yang pantas untuk wanita itu. Mungkin kalau Maryam tak menyukai Raffa, mana mungkin dia mau membantu kesulitan Raffa. Dan hanya sesama perempuan yang tahu, karena laki-laki itu memang kurang peka.“Oh,” kata Sarah dengan nada yang bercampur baur dengan kekecewaan.“Oh iya, langsung saja Cilla.” ucap Fery yang masih saja memanggilnya Priscilla. “Aku hanya ingin mengantarkan undang

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 75: With You

    Raffa menoleh pada saat melihat pintu terbuka. Ia melihat Umminya yang sedang tersenyum tulus dan membawakan sesuatu untuknya yang terletak diatas nampan. “Ummi, jangan repot-repot, nanti Raffa bisa ngambil sendiri.” ia berusaha baik-baik saja walaupun kepala sedang berdenyut hebat. Karena takut menambah kekhawatiran Ummi kepadanya. “Nggak papa, kamu kan lagi sakit,” jawab ummi sambil meletakkan makanannya ke meja. Kasih Ibu memang sepanjang masa. Sampai Raffa telah menginjak umur yang bisa dikatakan kepala tiga seperti ini pun masih sangat diperdulikannya. Tak ada lagi wanita yang lebih mulia dibandingkan dengan seorang Ibu di dunia ini.“Apa nggak sebaiknya kamu kabari Sarah kalau kamu sedang sakit, Nak.”“Nggak usah, Bu. Raffa takut Sarah kepikiran. Biar Sarah tinggal di sana dulu sepuasnya sampai pikirannya fresh lagi,” jawab Raffa sambil menerima satu dua suap dari tangan Ummi.“Benar kata Mami, mungkin Sarah sedang butuh berlibur. Salahnya Raffa juga karena nggak pernah mengaj

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 74: Penyesalan Seorang Pengkhianat

    “Apa kamu masih marah?” tanya Raffa. Masih berada di samping istrinya.“Aku bukan orang yang sesabar itu seperti Salwa, masih ada ganjalan di sebelah sini,” tunjuk Sarah di dadanya.“Jangan bawa-bawa nama itu, nanti kita bisa bertengkar lagi,” jelas Raffa menekankan kalimatnya. Karena sedikit saja masalah sepele bisa membuat mereka naik darah. Untuk saat ini, menghidari adalah lebih baik. “Aku jujur, Sarah, aku mencintaimu. Aku siap dihukum jika aku berbohong.”“Aku masih butuh waktu, Mas,” jawab Sarah akhirnya setelah lama terdiam.Raffa menunduk dan menghela nafasnya, “Apa kamu masih ingin tetap pergi bersama Mami dan Papi?”Sarah mengangguk pelan. Kenapa harus seperti ini, Raffa harus bagaimana dan cara apa yang harus dilakukan agar Sarah tak meninggalkannya?“Apa itu harus? Kalau begitu, aku ikut saja.”“Nggak usah, kamu banyak tugas di sini, Mas. Untuk apa kamu ikut?”“Sarah, apa kamu masih nggak percaya?”“Percaya, tapi aku masih perlu bukti,” jawab Sarah."Itu sama saja!" sahu

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 73: Meminta Maaf

    “Sarah! Sarah!” panik Raffa langsung menghampiri. “Sarah, kamu kenapa?” Ia menyatukan wajahnya di kening Sarah. Otak Raffa mendadak kosong tak bisa berpikir apa-apa lagi. Tubuhnya bergetar juga mengeluarkan keringat dingin.Sementara Sarah terus meringis menahan sesuatu yang terasa sakit dan begitu memelintir. Ini sama dengan kemarin yang dirasakannya sebelum Raffa pulang ke Indonesia. Dengan kesadaran yang sudah hilang setengahnya, Raffa mengangkat tubuh Sarah ke sofa agar Sarah bisa berbaring dengan nyaman. Raffa segera menghubungi dokter yang sebelumnya menangani Sarah.“Bangun sayang Plis, kamu jangan mati, jangan mati.” bibir Raffa bergetar ketakutan. Ia tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika Sarah tiada. Seumur hidupnya, Raffa tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.“Sarah, bangun Sarah ….” air mata telah menetes-netes di pelupuk mata sebab karena teringat bagaimana istrinya dulu. Terpejam karena kesakitannya melahirkan seorang anak dan tidak bisa bangun lagi. Trauma aka

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 72: Menguping Pembicaraan Maryam

    Raffa seketika langsung menendang kopernya lalu menghampiri Ummi yang sudah tergeletak di lantai. Mata beliau terbuka, tapi bibirnya pucat. Pun suara teriakannya yang sudah tak terdengar lagi. Hanya karena mementingkan emosi, Raffa mengorbankan seorang perempuan yang paling dicintainya. Raffa mengangkat tubuh kepala Ummi dalam tangis.“Ummi, Ummi, maafkan Raffa Ummi....” Raffa mengguncang tubuh Umminya yang sudah tergolek lemas. “Ada apa ini?” tanya Abah mendekat di susul oleh beberapa anggota keluarga yang lain. Seperti Maryam, Latief dan asisten rumah tangga yang turut menyaksikan. “Astaghfirullah!” Beliau lantas berjongkok. “Ummi!”“Ayo cepat bawa ke rumah sakit!” titah Abah.“Ada apa sebenarnya ini Raffa?” tanya Latief. “Kenapa Ummi bisa sampai jatuh?”Sarah turun dengan sedikit tergesa untuk melihat dengan jelas apa yang terjadi. Wanita itu hanya bisa menangis namun tak bisa berbuat apa-apa.“Ini pasti gara-gara kalian berantem, aku mendengarnya tadi, Bah. Kata Maryam itu mereka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status