Share

DDC 2

Flashback enam tahun lalu.

Malam itu terasa lebih sepi dari biasanya, salah satu dari beberapa wanita malam itu masih setia menghirup asap kenikmatan di sebuah taman yang terletak di gerbang ibukota. Menunggu pria berdompet tebal yang sudah menghubunginya beberapa menit yang lalu.

Harap-harap cemas menunggu pria itu datang. Berdiri gelisah tak tenang. Sorot matanya selalu menyapu bersih sekitar. Memastikan bahwa tak ada bahaya yang mengancam.

Tak jarang, penggerebekan oleh Satpol PP dilakukan. Karena menurut media informasi. Keberadaan mereka mengganggu kenyamanan ketertiban umum. Selain taman ini berada di tepi jalan utama, tempat ini juga protokol kebanggaan masyarakat. Sekaligus dekat dengan pemukiman warga. Yang dikhawatirkan akan berdampak buruk pada anak-anak.

“Jadi dateng nggak sih orang itu?” tanya Salwa kepada Jihan, teman di sebelahnya. Namun yang ditanya hanya mengedikkan bahu. Juga tengah sibuk dengan batang rokoknya sendiri.

“Kalau nggak dateng, adik gue nggak bisa makan,” katanya lagi meratapi nasibnya yang malang. Matanya mengembun mengharap ampunan Tuhan untuknya yang terpaksa menjalani pekerjaan haram seperti ini.

Salwa tak punya jalan lain. Ia mempunyai adik yang sedang sakit. Sakit dalam arti lain keterbelakangan mental. Tumbuh kembangnya sangat berbeda dengan anak-anak seusianya.

Biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Untuk makanannya, untuk membeli pampersnya, dan biaya yang lain-lain. Malah terkadang, adik laki-laki yang bernama Sammy itu (sekarang sudah berusia sepuluh tahun) sering kejang mendadak. Dan harus cepat dibawa ke rumah sakit. Mau tak mau ia harus siap dengan biayanya, tak peduli kantong.

Seperti biasa, jika malam ini tak ada yang mau menggunakan jasanya, ia hanya pulang membawa rasa kantuk dan kekecewaan.

“Ini sih nggak dateng deh, Ji. Kayaknya emang laki-laki itu bohong mau nemuin aku. Betewe, aku pulang aja, ya.” Sudah terbiasa ia dibuat menunggu seperti ini. Tidak merasa kaget. “Aku ninggalin adikku yang aku kunciin di dalam.”

Sebab bila tak dikunci atau tak berada dalam pengawasannya, Sammy akan keluar dari besi pembatas. Pergi entah ke mana. Membuat orang-orang di sekitar takutkan.

“Oh ya udah Sal, ati-ati ya di jalan. Kamu naik apa?”

“Ojek aja, Ji …”

Seperti kalong, siang ia gunakan untuk tidur, malam ia gunakan untuk mencarikan mangsa. Ia jarang berinteraksi dengan orang-orang sekitar. Hampir semua orang sudah tahu statusnya dan apa pekerjaannya. Menghindar dari cemoohan orang-orang adalah cara terbaik.

***

“Sammy!” panggilnya tigakali. Namun dia masih terus memanggil Sammy agar anak itu menatapnya. Tapi sayangnya anak itu tetap tak menghiraukannya dan malah berbicara sendiri. Salwa sangat kesal karena yang dilakukan Sammy hanyalah mengobrak-abrik isi rumah.

“Kesal aku Ya Tuhannn ...,” desahnya sangat nelangsa. “Kenapa aku di titipin adik kayak gini....” sesak sedih ia tumpahkan di pojok kamarnya. Nasi yang baru ia tumpuk dengan sayur dan sambal tergeletak begitu saja. Tak ada lagi yang terasa asin dan manis di lidahnya yang berganti dengan rasa hambar.

Malam ini hati terasa gundah, sehingga ia menemui temannya untuk sekedar bercerita.

“Aku pengen berhenti dari pekerjaan ini, Ji …,” ucapnya sambil menyusut air mata dengan punggung tangannya. Perih dan sakit.

“Sama aku juga, pengen menjalani hidup normal kayak yang lainnya.”

Salwa duduk mendekati Jihan. Kali ini mereka bukan sedang di tempat mangkal, tapi sedang tiduran berdua di kosan Jihan.

“Sampai kapan ya, nasib kita akan berubah?”

“Entahlah Sal, aku juga nggak tau. Yang penting jangan sampai kiamat duluan ah. Ngeri. Pengennya si meninggal sesudah taubat. Biar husnul khatimah seperti kata Ustadz-Ustadz yang ada di tipi-tipi tuh.”

Salwa menoleh ke arah Jihan. Penasaran dengan arti kalimat itu, “Apa artinya?”

“Husnul khotimah itu akhir yang baik. Jaminannya masuk surga.”

“Apa perempuan rusak kayak kita bisa jadi penghuni surga?” Salwa tersenyum pahit. Baginya dunia dan akhirat sudah tidak ada bedanya baginya. Suram.

“Katanya Tuhan itu maha pengampun, maha baik, maha segala-galanya.”

Tak menyetujui apa yang Jihan ucapkan, Salwa pun melayangkan protes. “Kalau Tuhan maha baik, kenapa Tuhan nggak baik sama kita ya, Ji?”

Mana yang katanya Tuhan maha baik. Buktinya, ia merasa hidupnya begitu-begitu saja pikirnya. Kalau Tuhan itu maha baik, kenapa dirinya selalu ditakdirkan hidup sengsara?

Tadinya, ia pernah bekerja menjadi waiters di sebuah restoran, di cafe-cafe, jadi cleaning service, jadi ART, dan masih banyak lagi. Sangat menguras waktu, tapi hasil yang ia terima tak seberapa. Tak cukup untuk biaya mereka sehari-hari apalagi untuk berobat Sammy.

Bahkan sebelum ia bekerja seperti ini, hutangnya sangat menumpuk.

“Nggak enak rasanya,” lanjut Salwa lagi.

Menjadi seorang kupu-kupu malam sama dengan menjebloskan diri ke dalam jurang yang amat curam. Karena harga diri mereka sudah sangat tercoreng. Dipandang sebelah mata, dijauhi oleh orang sekitar, juga sulit mendapatkan pasangan hidup.

“Kita mudah mendapatkan dalam waktu semalam. Tapi uang itu juga langsung lenyap entah ke mana.”

“Itu karena duit kita haram, nggak berkah. Jadi cepet habis,” jawab Jihan.

“Tau dari mana kamu?”

“Kan sering ngaji.”

“Ngaji di mana?”

“Di internet lah. Jaman sekarang apa sih, yang nggak bisa.”

Salwa tampak mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Ayah kamu masih belum ada kabarnya?” tanya Jihan lagi.

“Nggak Ji,” Salwa menatap langit-langit kamar dengan senyum sumbang.

Menjadi pezina adalah perbuatan dosa yang membuat pelakunya merasa tak pernah tenang, bingung, resah, gelisah serta khawatir.

Tapi ia sendiri tak mengerti apa yang sedang ia khawatirkan. Perasaan yang menurutnya begitu aneh. Dan itu akan terjadi mungkin sepanjang hidupnya sebelum ia benar-benar bertaubat.

“Aku semakin yakin kalau ayahku pasti sudah mati. Kalau beliau masih hidup, pasti beliau akan pulang.”

Jihan merangkul temannya, “Walaupun ayah kamu udah mati, kamu masih jauh lebih beruntung bisa ngeliat ayahmu. Aku malah nggak tau ayahku sama sekali.”

Jihan tumbuh di lingkungan sempit. Yang Jihan tahu, dia hanya mempunyai seorang ibu tapi sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Dan itu pun, mempunyai pekerjaan yang sama sepertinya.

“Aku mau pinjam uang,” kata Salwa sangat merasa tidak enak. “Kamu ada?”

“Ada,” jawab Jihan tanpa merasa keberatan karena dia tahu Salwa sangatbutuh uang ini. Lantas segera membuka tasnya untuk mengeluarkan uang.

“Nggak papa nih?” tanya Salwa. Dia menggenggam dengan ragu beberapa lembar uang ratusan yang Jihan pinjamkan. “Kamu masih ada simpanan kan?”

“Iya tenang aja, kan aku hidup sendiri. Untuk beli apa-apa kayaknya masih cukup,” jawab Jihan.

“Pakailah, kalian hidup berdua. Kamu pasti akan bingung mau pinjam ke mana kalau nggak sama aku. Coba lihat orang-orang sekitar? Memangnya ada yang mau peduli?”

“Jangan karena kamu nolongin aku kamu jadi ngorbanin diri kamu sendiri Ji. Aku nggak enak di pinjemin segini.” Sahut Salwa.

“Kamu bisa gantiin itu dalam semalam. Sebentar lagi mau tahun baru, pasti banyak job.”

“Makasih ya Ji.”

“Sama-sama.” Jihan tersenyum.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status