Istri Barbar Direktur Sad Boy

Istri Barbar Direktur Sad Boy

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-08-02
Oleh:  Hara Kiew Baru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel4goodnovel
10
0 Peringkat. 0 Ulasan-ulasan
70Bab
282Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Hidup Alda yang sudah runyam dan suram mendadak seperti roller coaster saat mendengar tawaran gila dari Ardian. "Saya bisa bantu kamu. Tapi dengan syarat... menikahlah dengan saya." Itu adalah ide paling gila yang pernah Alda dengar. Menikah tanpa cinta, hanya kenal sebatas nama dan dengan pertemuan mereka yang hanya beberapa kali. "Kakak sudah gila?! Kita aja belum saling kenal!" Bukan hanya mengajak menikah, pemuda itu juga menyodorkan lembaran kertas ke arahnya. Perjanjian pranikah. "Silakan tanda tangan di sini." Mau dipikir berapa kali pun, tawaran itu benar-benar tak masuk akal. "Boleh saja kalau kamu nggak mau tanda tangan,” suara Ardian tenang. “Tapi bukankah kamu butuh uang untuk biaya rumah sakit adikmu?” Gila, Ardian benar-benar sudah gila. Tapi lebih gila lagi Alda yang nekat menerimanya karena tak punya pilihan lain.

Lihat lebih banyak

Bab 1

1. Perjanjian Pranikah

"Halo, Ma---"

"Apa lagi, sih?! Mama sibuk!!"

"El---"

Tut...tut...tut...!!

Alda menghela panjang. Kembali menekan nomor mamanya saat tidak punya pilihan lain.

"Kenapa lagi?! Kamu ini nyusahin aja!!"

Gadis itu memejamkan mata. Mencoba menetralisir pedih yang lagi-lagi terasa mencekiknya. "Ella ada di rumah sakit---"

"Kamu kan kakaknya. Urusin dong. Gantiin mama selagi mama sibuk. Gitu aja kok nggak becus?!"

"Tap---"

"Udahlah, mama banyak kerjaan. Urusin adik kamu! Becus dikit jadi kakak!"

"El---"

Tut...tut...tut...!!

Alda akhirnya menyerah. Mamanya sepertinya memang enggan peduli. "Ella leukemia, Ma," lirihnya sedih. Sejak tadi, ini yang hendak ia sampaikan. Tapi bahkan mamanya tak memberinya kesempatan berbicara lebih dari enam kata.

Bukannya ia tidak mau meminta bantuan pada papanya. Hanya saja, papanya juga adalah orang yang tingkat kepeduliannya sangat kurang. Lagipula, sejak satu jam lalu panggilan telepon darinya ditolak.

Dengan sedikit harapan yang tersisa, Alda mencoba menelepon Amel sahabatnya. Tadi ia sempat menghubungi sahabatnya yang lain Vivi dan juga Chaca. Namun keadaan mereka yang tidak baik-baik saja membuat ia tidak jadi menceritakan masalahnya.

"Halo, Da. Kenapa?"

"Jadi, gini---"

"Sebentar, aku lagi di rumah sakit. Kakek kemarin masuk rumah sakit karena serangan jantung."

Ia menghela nafas sebelum berbicara lebih jauh. "Yaudah, aku tutup aja telponnya. Kamu bicara dulu sama dokternya. Semoga kakek kamu cepat sembuh."

"Iya, aamiin. Makasih doanya, Da."

"Sama-sama." Setelahnya, sambungan telepon terputus.

"Aku harus cari bantuan ke mana lagi?" Alda mengusap wajahnya kasar. "Tabungan dan penghasilan cafe juga udah habis."

"Saya bisa bantu kamu."

Ia yang semula menunduk kontan mengangkat wajah. Kini di hadapannya tengah berdiri sosok yang begitu menjulang tinggi.

"Kakak nggak bohong? Bener bisa bantu saya?" Refleks ia berdiri. Meraih tangan itu dan menggenggamnya erat. Tatapannya menyiratkan harapan dan permohonan.

Pemuda itu mengangguk. "Tapi, ada syaratnya. Saya bantu kamu. Kamu juga harus bantu saya. Semacam simbiosis mutualisme. Jadi, nggak ada yang dirugikan. Gimana?"

"Oke, apa syaratnya? Demi Ella, saya siap lakuin apa aja."

"Apa saja?"

Lagi-lagi, ia mengangguk. "Apapun itu. Mau saya dijadiin babu selama setahun juga nggak apa-apa. Saya rela."

"Silakan tanda tangan di sini." Pemuda itu mengangsurkan selembar kertas kosong yang ia genggam sedari tadi.

Alda menatap pena yang disodorkan. Tubuhnya gemetar. Seolah tinta yang nanti mengalir akan menuliskan nasibnya, entah untuk beberapa bulan... atau mungkin bertahun-tahun ke depan.

Di seberangnya, seorang pemuda duduk dengan tenang. Wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi, tapi wibawanya cukup untuk membuat siapa saja terdiam. Ardian, nama itu baru ia kenal beberapa waktu lalu, dan sejauh ini mereka hanya bertemu beberapa kali.

“Boleh saja kalau kamu nggak mau tanda tangan,” suara Ardian tenang. “Tapi bukankah kamu butuh banyak uang untuk biaya kemoterapi adikmu?”

Seketika bayangan Ella melintas. Gadis itu terbaring lemah di rumah sakit, menanti jadwal kemoterapi yang terus tertunda karena biaya.

"Pasien mengidap penyakit leukemia. Dan karena leukemia yang dideritanya sudah cukup parah, kemoterapi harus segera dilakukan. Jika tidak, dikhawatirkan kanker akan menyebar dan yang paling buruk bisa mengancam nyawa pasien," begitu kata dokter saat itu.

Alda menggigit bibir bawahnya. Ia tak punya pilihan.

Ardian menuliskan tulisan lebih dulu di dinding terdekatnya.

‘Perjanjian Nikah’

Maka, saat Ardian menyodorkan pena untuk kedua kalinya, gadis itu menghela.

“Menikah?” tanyanya menatap laki-laki itu. Ardian mengangguk.

"Memang kondisi saya sedang terdesak dan tawaran ini mungkin pilihan satu-satunya untuk saya. Tapi, sebelum saya tanda tangan, apa ada jaminan agar saya nggak terlalu dirugikan di dalam pernikahan ini nantinya?"

"Selain biaya pengobatan adik kamu, setelah menikah saya juga akan menjamin semua fasilitas yang kamu butuhkan. Tempat tinggal, uang bulanan, biaya kuliah dan juga biaya sekolah adik kamu. Itu semua akan saya tanggung."

Ardian menatap Alda yang balas menatapnya. "Kalau ada permintaan lain, silahkan diajukan."

“Harus menikah?” tanyanya gagu.

Laki-laki itu menatapnya singkat. “Saya lagi butuh orang.”

“Kalau kamu gak mau. Gapapa sih,” tukasnya mulai melangkah mundur.

“Sebentar,” ujar Alda menggigit bibirnya. "Tapi... saya mau pernikahan ini nantinya dipublikasikan. Bukan pernikahan yang dirahasiakan." Itu adalah syarat yang Alda ajukan.

"Oke. Ada syarat lain?"

Alda menggeleng. Ia tidak tahu, apakah ini mukjizat atau malah musibah. Ia juga tidak tahu betul mengenai alasan Ardian yang tiba-tiba mengajaknya menikah. Namun, tidak ada pilihan lain. Ia yang sedang terdesak keadaan membuatnya pasrah.

Dengan tangan gemetar, Alda membubuhkan tanda tangannya. Seluruh harapan, ketegangan, dan ketidakpastian mengalir bersamaan dengan goresan tinta di atas kertas.

"Nih, saya sudah tanda tangan."

"Oke, karena kamu sudah tanda tangan, kita nikah minggu depan." Ardian berdiri tanpa basa-basi. "Saya akan urus semua biaya rumah sakit adik kamu."

Belum sempat Alda membuka suara, pemuda itu menatapnya tajam.

"Besok saya jemput, kita ke rumah orang tua kamu." Nada suaranya tegas, tak memberi ruang untuk bantahan. Dan sebelum benar-benar pergi, ia sempat menoleh dan berkata, "Jangan coba-coba kabur. Kamu sudah tanda tangan!"

“Sini nomor kamu,” ujar Ardian seraya mengulurkan handphonenya ke arah Alda.

Alda menerimanya dan mengetikkan beberapa angka di sana, lalu mengembalikannya kepada pemiliknya.

“Siapa namanya?”

“Alda,” eja Alda.

Ardian mengetikkan sesuai dikte gadis itu. “Coba ulang.”

“A-L-D-A.”

Ia hanya ber-oh-ria seraya mengetik.

“C-A-L-O-N I-S-T-R-I.”

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status