Hidup Alda yang sudah runyam dan suram mendadak seperti roller coaster saat mendengar tawaran gila dari Ardian. "Saya bisa bantu kamu. Tapi dengan syarat... menikahlah dengan saya." Itu adalah ide paling gila yang pernah Alda dengar. Menikah tanpa cinta, hanya kenal sebatas nama dan dengan pertemuan mereka yang hanya beberapa kali. "Kakak sudah gila?! Kita aja belum saling kenal!" Bukan hanya mengajak menikah, pemuda itu juga menyodorkan lembaran kertas ke arahnya. Perjanjian pranikah. "Silakan tanda tangan di sini." Mau dipikir berapa kali pun, tawaran itu benar-benar tak masuk akal. "Boleh saja kalau kamu nggak mau tanda tangan,” suara Ardian tenang. “Tapi bukankah kamu butuh uang untuk biaya rumah sakit adikmu?” Gila, Ardian benar-benar sudah gila. Tapi lebih gila lagi Alda yang nekat menerimanya karena tak punya pilihan lain.
Lihat lebih banyak"Halo, Ma---"
"Apa lagi, sih?! Mama sibuk!!" "El---" Tut...tut...tut...!! Alda menghela panjang. Kembali menekan nomor mamanya saat tidak punya pilihan lain. "Kenapa lagi?! Kamu ini nyusahin aja!!" Gadis itu memejamkan mata. Mencoba menetralisir pedih yang lagi-lagi terasa mencekiknya. "Ella ada di rumah sakit---" "Kamu kan kakaknya. Urusin dong. Gantiin mama selagi mama sibuk. Gitu aja kok nggak becus?!" "Tap---" "Udahlah, mama banyak kerjaan. Urusin adik kamu! Becus dikit jadi kakak!" "El---" Tut...tut...tut...!! Alda akhirnya menyerah. Mamanya sepertinya memang enggan peduli. "Ella leukemia, Ma," lirihnya sedih. Sejak tadi, ini yang hendak ia sampaikan. Tapi bahkan mamanya tak memberinya kesempatan berbicara lebih dari enam kata. Bukannya ia tidak mau meminta bantuan pada papanya. Hanya saja, papanya juga adalah orang yang tingkat kepeduliannya sangat kurang. Lagipula, sejak satu jam lalu panggilan telepon darinya ditolak. Dengan sedikit harapan yang tersisa, Alda mencoba menelepon Amel sahabatnya. Tadi ia sempat menghubungi sahabatnya yang lain Vivi dan juga Chaca. Namun keadaan mereka yang tidak baik-baik saja membuat ia tidak jadi menceritakan masalahnya. "Halo, Da. Kenapa?" "Jadi, gini---" "Sebentar, aku lagi di rumah sakit. Kakek kemarin masuk rumah sakit karena serangan jantung." Ia menghela nafas sebelum berbicara lebih jauh. "Yaudah, aku tutup aja telponnya. Kamu bicara dulu sama dokternya. Semoga kakek kamu cepat sembuh." "Iya, aamiin. Makasih doanya, Da." "Sama-sama." Setelahnya, sambungan telepon terputus. "Aku harus cari bantuan ke mana lagi?" Alda mengusap wajahnya kasar. "Tabungan dan penghasilan cafe juga udah habis." "Saya bisa bantu kamu." Ia yang semula menunduk kontan mengangkat wajah. Kini di hadapannya tengah berdiri sosok yang begitu menjulang tinggi. "Kakak nggak bohong? Bener bisa bantu saya?" Refleks ia berdiri. Meraih tangan itu dan menggenggamnya erat. Tatapannya menyiratkan harapan dan permohonan. Pemuda itu mengangguk. "Tapi, ada syaratnya. Saya bantu kamu. Kamu juga harus bantu saya. Semacam simbiosis mutualisme. Jadi, nggak ada yang dirugikan. Gimana?" "Oke, apa syaratnya? Demi Ella, saya siap lakuin apa aja." "Apa saja?" Lagi-lagi, ia mengangguk. "Apapun itu. Mau saya dijadiin babu selama setahun juga nggak apa-apa. Saya rela." "Silakan tanda tangan di sini." Pemuda itu mengangsurkan selembar kertas kosong yang ia genggam sedari tadi. Alda menatap pena yang disodorkan. Tubuhnya gemetar. Seolah tinta yang nanti mengalir akan menuliskan nasibnya, entah untuk beberapa bulan... atau mungkin bertahun-tahun ke depan. Di seberangnya, seorang pemuda duduk dengan tenang. Wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi, tapi wibawanya cukup untuk membuat siapa saja terdiam. Ardian, nama itu baru ia kenal beberapa waktu lalu, dan sejauh ini mereka hanya bertemu beberapa kali. “Boleh saja kalau kamu nggak mau tanda tangan,” suara Ardian tenang. “Tapi bukankah kamu butuh banyak uang untuk biaya kemoterapi adikmu?” Seketika bayangan Ella melintas. Gadis itu terbaring lemah di rumah sakit, menanti jadwal kemoterapi yang terus tertunda karena biaya. "Pasien mengidap penyakit leukemia. Dan karena leukemia yang dideritanya sudah cukup parah, kemoterapi harus segera dilakukan. Jika tidak, dikhawatirkan kanker akan menyebar dan yang paling buruk bisa mengancam nyawa pasien," begitu kata dokter saat itu. Alda menggigit bibir bawahnya. Ia tak punya pilihan. Ardian menuliskan tulisan lebih dulu di dinding terdekatnya. ‘Perjanjian Nikah’ Maka, saat Ardian menyodorkan pena untuk kedua kalinya, gadis itu menghela. “Menikah?” tanyanya menatap laki-laki itu. Ardian mengangguk. "Memang kondisi saya sedang terdesak dan tawaran ini mungkin pilihan satu-satunya untuk saya. Tapi, sebelum saya tanda tangan, apa ada jaminan agar saya nggak terlalu dirugikan di dalam pernikahan ini nantinya?" "Selain biaya pengobatan adik kamu, setelah menikah saya juga akan menjamin semua fasilitas yang kamu butuhkan. Tempat tinggal, uang bulanan, biaya kuliah dan juga biaya sekolah adik kamu. Itu semua akan saya tanggung." Ardian menatap Alda yang balas menatapnya. "Kalau ada permintaan lain, silahkan diajukan." “Harus menikah?” tanyanya gagu. Laki-laki itu menatapnya singkat. “Saya lagi butuh orang.” “Kalau kamu gak mau. Gapapa sih,” tukasnya mulai melangkah mundur. “Sebentar,” ujar Alda menggigit bibirnya. "Tapi... saya mau pernikahan ini nantinya dipublikasikan. Bukan pernikahan yang dirahasiakan." Itu adalah syarat yang Alda ajukan. "Oke. Ada syarat lain?" Alda menggeleng. Ia tidak tahu, apakah ini mukjizat atau malah musibah. Ia juga tidak tahu betul mengenai alasan Ardian yang tiba-tiba mengajaknya menikah. Namun, tidak ada pilihan lain. Ia yang sedang terdesak keadaan membuatnya pasrah. Dengan tangan gemetar, Alda membubuhkan tanda tangannya. Seluruh harapan, ketegangan, dan ketidakpastian mengalir bersamaan dengan goresan tinta di atas kertas. "Nih, saya sudah tanda tangan." "Oke, karena kamu sudah tanda tangan, kita nikah minggu depan." Ardian berdiri tanpa basa-basi. "Saya akan urus semua biaya rumah sakit adik kamu." Belum sempat Alda membuka suara, pemuda itu menatapnya tajam. "Besok saya jemput, kita ke rumah orang tua kamu." Nada suaranya tegas, tak memberi ruang untuk bantahan. Dan sebelum benar-benar pergi, ia sempat menoleh dan berkata, "Jangan coba-coba kabur. Kamu sudah tanda tangan!" “Sini nomor kamu,” ujar Ardian seraya mengulurkan handphonenya ke arah Alda. Alda menerimanya dan mengetikkan beberapa angka di sana, lalu mengembalikannya kepada pemiliknya. “Siapa namanya?” “Alda,” eja Alda. Ardian mengetikkan sesuai dikte gadis itu. “Coba ulang.” “A-L-D-A.” Ia hanya ber-oh-ria seraya mengetik. “C-A-L-O-N I-S-T-R-I.”Seorang gadis yang baru turun dari lamborghini veneno roadster mengundang beberapa pasang mata untuk terang-terangan menatapnya. Dengan gaya anggun melepas kaca mata, ia berjalan bak seorang model. Tujuannya adalah Perusahaan Citramaya Media. "Saya ingin membuat janji temu dengan bapak Dirgantara Ridwan Alessio. Kalau dia bertanya, bilang kalau Almeira Aishrabella yang ingin bertemu." "Maaf, Mbak. Tapi, beliau ada---" "Usahakan agar saya bisa bertemu dengannya!" titah Meira tegas. Tak lupa menyodorkan amplop ke arah wanita bermata sipit tersebut. "Baik, silakan menunggu di sana." Wanita itu mengarahkan Meira untuk menuju sebuah sofa besar khusus untuk menjamu tamu. "Saya tunggu," katanya sembari duduk dengan anggun. Butuh setidaknya 30 menit untuk Meira menunggu. Rasa kesal itu ia tahan mati-matian. Andai dirinya tidak ada keperluan dengan sosok yang tengah ditunggunya, tentu ia tidak akan mau buang-buang waktu menunggu seperti ini. "Setelah hampir tiga tahun, kamu baru menampa
"Gimana kabar kalian?" Begitu selalu sambutan Erlin tiap kali Ardian dan Alda berkunjung. "Baik selalu kok, Bun." Alda melemparkan senyuman usai menyalami tangan sang ibu mertua. Tak jauh beda dengan yang dilakukan Ardian. "Lama baru ke sini," sindir wanita itu terutama pada Ardian. Lalu ditanggapi pemuda itu dengan memutar bola mata. "Namanya juga lagi sibuk urus resto, Bun. Kayak nggak tau orang udah berumah tangga aja." Erlin memutar bola mata. "Mana nih kabar baiknya? Bunda sama ayah udah nunggu lama tau!" Ardian yang sudah paham ke mana arah pembahasan tanpa perlu dijelaskan langsung menyahut. "Masih proses. Tunggu sekitar dua tahun lagi." "Lama banget!" Erlin mencibir. Namun tak urung menarik tangan menantunya untuk duduk di sisinya. "Kamu bahagia nggak sama anak bunda yang nyebelin itu?" tanyanya sengaja menyindir Ardian. "Itu mah nggak usah ditanya lagi." Bukan Alda yang menjawab. Tapi Ardian. "Bunda bukan tanya sama kamu, ya!" Alda terkekeh pelan. "Bahagia
“Sesuai dugaan, kasus ini memang ada hubungannya sama Arthatama Company.” Meira melepas kaca mata hitamnya dengan anggun. Tersenyum smirk saat berhasil mengambil vidio yang menangkap persekongkolan antara direktur Arthatama Company dengan Citramaya Media. Sudah seminggu ini gadis itu mengawasi gerak-gerik direktur Arthatama Company dan mengikutinya kemana-mana. Karena harus menangani dua kasus sekaligus, Meira membagi 20 anggota Black Eagle ke dalam dua tim. Ia sendiri memimpin tim yang fokus menyelidiki kasus Alda, sementara Irwan, tangan kanannya, memimpin tim yang bertugas membantu Netta mencari keberadaan Clarissa yang diyakini masih hidup. “Andra dan Vian, tugas kalian selama seminggu ke depan awasi si botak itu. Cari tahu apa ini semua juga ada hubungannya sama Mr. X dan segera laporkan hasil penyelidikan kalian ke saya!” titah Meira tegas. “Siap, Bu Bos!” Seru keduanya kompak. “Delgan dan Gery, tugas kalian bantu Evan memantau rumah Ardian dan Alda. Ingat, jangan sa
“Eh, kalian pasang CCTV ya di sini?” “Itu bukan kami yang pasang,” gumam Ardian. Wajahnya menegang, sorot matanya berubah waspada. Meira buru-buru menutupi wajahnya. "Sial! Ada yang sedang mengawasi kita!" Gadis itu meraih ponselnya dengan cepat. Ia tampak sedang menghubungi seseorang. “Irwan, ada yang sedang memata-matai rumah Ardian dan Alda. Suruh anak-anak jaga di sekitar sini. Lokasinya nanti saya share. Satu lagi, CCTV yang mereka pasang bisa aja menangkap wajah saya. Bereskan itu. Jangan sampai rekamannya jatuh ke tangan mereka!” titahnya melalui panggilan telepon. “Siap, Bu Bos!” balas Irwan dari seberang. “Saya tunggu kabar baiknya.” Lalu Meira mematikan sambungan telepon.Ia kembali menatap Ardian dan Alda. “Aku curiga CCTV ini bukan cuma satu seperti yang kita lihat sekarang.” Suasana taman saat itu mulai mendung. “Kalian coba cek di seluruh ruangan yang ada di rumah ini. Takutnya mereka udah pasang CCTV di banyak tempat.” Maka sesuai arahan Meira, Ardian dan
“Hm, masalah Mr. X, ya?” Meira mengusap dagunya tanda berpikir keras. Usai mendapatkan keterangan-keterangan dari Alda dan permintaan tolong gadis itu, ia akhirnya bersedia membantu. “Ini memang sedikit rumit sih. Karena aku yakin banget. Dia ini nggak sendirian.” Meira menggeledah tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah flash disk. “Sebenarnya, sebelum kamu minta tolong, aku beberapa waktu ini sudah menyelidiki kasus ini secara diam-diam. Dari CCTV kampus kamu, aku dapat rekaman ini.” Setelah file tersebut dibuka, muncullah satu rekaman yang memperlihatkan sosok perempuan yang sedang berada di sekitaran kampus tepat saat teror pesawat kertas menyasar Alda. Seperti biasanya, ia setia menggunakan masker dan topi. “Meski Netta memang berpotensi melakukan semua teror ini, tapi aku yakin yang di rekaman itu bukan Netta.” Satu pernyataan dari Meira yang membuat Ardian dan Alda kompak menatapnya. “Seyakin itu?” Suara Ardian yang baru memecah keheningan membuat Alda dan Meira kompak
“Kamu kenal sama orang yang kemarin bius kamu?” tanya Ardian pelan, seolah takut mengusik pagi yang nyaris tenang. Di hadapannya, Alda tengah menyantap sarapan sambil sesekali meniup uap dari cangkir tehnya.Gadis itu tak langsung menjawab. Diamnya panjang, seperti menarik ingatan dari dasar trauma. Baru setelah beberapa menit, ia angkat suara, “Cowok yang sekap aku di hotel waktu itu,” ucapnya, diiringi helaan napas panjang yang terasa berat.“Kamu masih ingat muka orang yang nyekap kamu?”Alda menggeleng pelan. “Mereka semua pakai masker sama topi. Tapi... aku yakin banget, meskipun yang kemarin datang ke sini juga pakai masker dan topi, dari postur tubuhnya nggak salah lagi. Dia salah satu dari mereka.”Kalimat itu membuat Ardian langsung menegakkan punggung. Wajahnya tegang.“Semalam aku cek rekaman CCTV depan rumah. Dan di situ juga kelihatan ada perempuan kayak lagi ngawasin rumah kita.” Ia menyerahkan ponsel ke Alda. Layar itu memperlihatkan potongan video yang ia maksud.“Kamu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen