“Anak haram, anak haram, anak haram, anak haram .…”
Segerombolan anak-anak mengaji masjid An Nur sedang membully salah satu teman mereka. “Anak haram, anak haram, anak haram, anak haram.”“Huaaaa Mamaaa .…” Zikra menangis kencang. Gestur tubuhnya menunjukkan ketakutan. Anak laki-laki berusia lima tahun itu berjalan terseok-seok. Bahkan ada yang berani melemparinya dengan batu-batu kecil. “Mamaaa .…”“Anak haram tidak boleh ngaji di sini!” seru salah satu temannya yang lain dan yang lainnya.“Iya pergi sana!”“Anak haram, anak haram, anak haram.”Zikra berjongkok, menelungkupkan tangannya menutupi wajahnya. Dia menangis pilu memanggil-manggil mamanya.“Zikra!” pekik perempuan bercadar yang berstatus mamanya tersebut. Dia lari tergopoh-gopoh pada saat melihat anaknya berjongkok menangis pilu di pinggir jalan dekat masjid tempatnya mengaji.Segerombolan anak-anak itu pun pergi meninggalkan tempat itu dengan serentak ketika melihat Salwa menyusul anaknya.“Maafin Mama telat jemput kamu ya, Nak ....”Perempuan itu langsung mendekap Zikra dan menggendongnya pulang.“Mama, Zikra takut, Zikra tidak mau ngaji lagi, Ma ...,” rengek Zikra yang masih terdengar sesenggukan itu. “Zikra tidak mau ngaji.….”“Iya sayang, tenang, ya. Besok Mama temenin kamu ngaji, ok?”“Ngga mau ngaji lagi, Zikra takut dilempar batuuu … sakit .…”Wanita itu mendekap tubuh putranya, mencium kepalanya dan mengusapnya perlahan. Hati siapa yang tidak remuk saat melihat permata hatinya terluka. Terlebih oleh kesalahan yang tidak pernah dia buat. Zikra adalah anak yang suci yang tak berdosa. Tetapi dia harus menanggung kesalahan orang tuanya.Dibalik cadarnya, Salwa menangis pilu. Dibalik cadar itu pula dia menyembunyikan aibnya.** *Malam menjadi saksi bisu seorang umat yang sedang melakukan shalat di sepertiga malam. Dalam linangan air mata, ia bermunajat memohon pengampunan. Agar selalu diberi kekuatan untuk menjalani hidup dalam keistiqamahan.Selesai mengadukan perihal masalahnya kepada sang pencipta, Salwa mendekati anaknya. Ia tatap lamat-lamat anak yang ia lahir kan lima tahun lalu tanpa seorang ayah. Hasil dari perbuatan tak terpuji nya bersama seseorang yang membayarnya satu malam.Itulah yang menjadi sebab Zikra selalu di bully dan di jauhi oleh teman-temannya.Bukan hanya Zikra, tetapi juga dirinya yang selalu diasingkan dari masyarakat, kesulitan dalam hal apa pun karena seperti tak diterima dilingkungan sekitar.Tapi tidak ada langkah lain untuk keluar dari tempat ini. Keterbatasan biaya membuatnya tetap bertahan. Dalam hidup penuh tekanan, Salwa berjuang, berharap, Tuhan membentangkan pelangi untuk dirinya dan Zikra setelah ini.***Tak ingin terjadi lagi kejadian yang kemarin, hari ini Salwa mengantar anaknya untuk mengaji di masjid An Nur. Dengan berjalan kaki, ia juga sambi mengantar jahitan baju yang sudah selesai ia kerjakan.“Kenapa kita lewat sini, Ma?” tanya Zikra karena jalan yang mereka tempuh berbeda dari biasanya.“Mau anterin baju ini dulu ke rumah Bu Titin, Sayang.”Sesampainya di rumah Bu Titin, ia menyerahkan pakaiannya kepada sipemilik.“Berapa Neng, totalnya?”“Tiga puluh lima, Bu.”Bu Titin menyerahkan beberapa lembar uang sesuai dengan jumlah yang Salwa sebutkan.“Terima kasi, BuTitin.”“Sama-sama, Neng.”Salwa pergi ke masjid dengan jalan beriringan.“Mama nggak boleh pergi ya, harus antar Zikra sampai selesai,” kata Zikra karena rasa traumanya.Dampak bullying yang terjadi kepada Zikra membuat Zikra mengalami trauma dan ketakutan. Anak itu sama sekali tak ingin jauh-jauh dari mamanya untuk meminta perlindungan.Demi ingin melihat anaknya menjadi anak yang pintar dan sholeh, Salwa dengan sabar menemaninya di depan masjid. Pun dia juga sendirian seperti orang yang hilang.Banyak ibu-ibu juga yang mengantarkan anaknya mengaji itu menjauhi Salwa. Tapi semua bergerombol sendiri-sendiri tanpa ada yang mau bertegur sapa dengannya. Seolah-olah merekalah yang mempunyai hidup paling mulia. Dan Salwa tak pusing memikirkan itu, karena sudah terbiasa.Beberapa jam berlalu semenjak kelas mengaji sudah selesai. Tidak ada yang berani mengganggu Zikra selagi ada Salwa yang menjaganya.“Ma!” panggil Zikra.Salwa memperhatikan Zikra yang sedang celingukan mencari sandalnya yang hilang sebelah.“Sandal Zikra satunya mana?”“Mama nggak tahu, Sayang.”Keduanya berusaha mencari-cari ke mana pun depan, samping dan belakang masjid, semua tak luput menjadi pencariannya.“Kok nggak ada, ya?” gumam Salwa.Dan ternyata, sandal itu ditemukan setelah Zikra mendongak ke atas pohon. Mungkin sandal itu dilempar oleh teman mengaji yang lain.“Gimana cara ambilnya, Ma?”“Kita cari batang pohon yang panjang.”Padahal, Salwa dari tadi duduk di depan masjid. Tapi ternyata tetap saja kecolongan. Hal itu membuat mereka pulang paling telat daripada yang lain.“Biar saya yang ambil,” celetuk Ustaz tak jauh dari mereka berdiri.“Maaf Pak Ustaz, kami kesusahan untuk mengambilnya. Saya nggak bisa manjat pohon.”"Iya nggak papa, Bu Salwa." Ustaz yang bernama Adam itu berusaha menggetarkan pohon itu dengan sekuat tenaga hingga akhirnya sandal milik Zikra berhasil terjatuh."Makasih Pak Ustaz," ucap Zikra terdengar antusias.“Sama-sama Zikra.”“Kalau gitu, kami permisi dulu Pak Ustaz. Sekali lagi terima kasih bantuannya.”“Sama-sama Bu, Salwa.”Keduanya berlalu setelah mengucapkan salam.Sore itu, senja terasa menyenangkan. Kedua manusia berbeda generasi itu menyusuri jalanan yang telah sepi. Cahaya matahari berwarna kekuningan membias langit membuat dunia terlihat begitu indah. Sesekali Zikra berceloteh dengan mamanya disertai adanya tawa yang lolos dari bibir keduanya. Menghiasi keluarga yang mungkin belum lengkap sempurna.***‘Zikra sayang mama.’Begitu catatan yang tertulis di lembar buku pertama. Dipenuhi keharuan saat Salwa melihat tulisan anak semata wayangnya. Zikra sudah bisa menulis walaupun masih terlihat tak karu-karuan.“Mama juga sayang sama Zikra …,” kalimat itu lolos dengan air mata yang juga luruh bersamaan.Hal itu sering dilakukannya jika sendiri. Sebab jika ia menangis didepan Zikra, anak itu pasti mengusap air matanya yang membuat Salwa malah semakin merasa sesak di dada.Sebagai seorang ibu, Salwa merasa belum bisa membahagiakan anaknya. Seumur hidupnya, ia hanya diliputi oleh perasaan bersalah karena telah menghadirkannya tanpa seorang ayah dan juga tak bisa memberikan kehidupan yang layak.Ia tutup kembali buku tulis mengaji Zikra yang sudah hampir habis. Lembar demi lembar nya yang dipenuhi coretan huruf hijaiah. Hasil Zikra mengaji setiap hari.Sunyi kembali menyergap, ia menoleh melihat Zikra yang telah terlelap dengan posisi tidur meringkuk. Dengan langkah pelan Salwa menarik pelan selimut yang sudah tersingkap sampai ke batas lututnya. Ia kecup kening Zikra dan ia bisikan kata-kata lirih di telinganya.“Jadi anak yang sholeh ya, jadilah kebanggaan Mama,” gumamnya sebelum akhirnya ia menatap dirinya di pantulan cermin. Dan ia melihat wanita yang tak berharga di sana. Setiap kali mengingat dosa, ia selalu merasa mengecil.Berdosakah jika ia bersembunyi di balik hijab dan cadarnya?Tapi ia tak ingin membuang-buang waktu. Selama ia masih berkesempatan menjadi orang yang lebih baik. Akan ia lakukan saat ini juga. Salwa ingin meraih surga-Nya. Ia ingin menjadi kebanggaan orang tuanya. Menolong mereka di akhirat kelak.Meskipun ia mempunyai masa lalu yang buruk, bukan berarti ia tak bisa meraih akhir yang baik.Tidak terasa sudah tiga hari Raffa menginap di rumah Mami Nida dan Papi surya. Banyak yang sudah dilakukannya di sana karena kedatangannya disambut antusias oleh warga setempat. Masjid yang biasanya sepi berubah menjadi ramai seketika semenjak mengetahui ada tamu luar biasa yang datang dari kota. Banyak dari mereka yang memintanya untuk mengadakan kajian setiap harinya; baik kuliah subuh maupun sehabis maghrib di masjid-masjid dekat daerah itu.Kali pertama Raffa berdakwah di hadapan mertua dan istrinya. Menjadi kebanggan tersendiri di hati Surya dan Nida. Sungguh pilihan yang tepat, tak sia-sia Sarah batal menikah dengan Fery. Rupanya, sosok yang dinikahinya adalah seorang pemuda yang lebih hebat daripada dokter itu. Bahkan kedatangannya pun dapat mengangkat derajat Mami dan Papi Surya. Semua terpana terkagum-kagum. Dan kedua orang tua itu juga merasa menjadi lebih disegani masyarakat karena anaknya menikah dengan salah satu putra ulama terkenal di negeri ini, yaitu Abah Hasyim A
Tampaknya tidak ada yang terlihat membahayakan di raut wajah mereka berdua. Mereka mengobrol selayaknya orang yang telah akrab tanpa ada aura-aura yang memancing keributan. Sarah mendesahkan nafasnya lega, fiuhhh. Semoga semua akan baik-baik saja seperti sedang yang terlihat.“Loh, Mas. Kok kamu ada di sini?” tanya Sarah. “Kenapa nggak ngabarin kalau kamu mau ke sini.”“Kejutan,” hanya itu jawaban Raffa dibubuhi oleh seulas senyum.“Anak-anak sama siapa kamu tinggal?” tanya Sarah lagi.“Sama Maryam.”Maryam lagi, Maryam lagi. Duri dalam daging, musuh dalam selimut, serigala berbulu domba entah sebutan apalagi yang pantas untuk wanita itu. Mungkin kalau Maryam tak menyukai Raffa, mana mungkin dia mau membantu kesulitan Raffa. Dan hanya sesama perempuan yang tahu, karena laki-laki itu memang kurang peka.“Oh,” kata Sarah dengan nada yang bercampur baur dengan kekecewaan.“Oh iya, langsung saja Cilla.” ucap Fery yang masih saja memanggilnya Priscilla. “Aku hanya ingin mengantarkan undang
Raffa menoleh pada saat melihat pintu terbuka. Ia melihat Umminya yang sedang tersenyum tulus dan membawakan sesuatu untuknya yang terletak diatas nampan. “Ummi, jangan repot-repot, nanti Raffa bisa ngambil sendiri.” ia berusaha baik-baik saja walaupun kepala sedang berdenyut hebat. Karena takut menambah kekhawatiran Ummi kepadanya. “Nggak papa, kamu kan lagi sakit,” jawab ummi sambil meletakkan makanannya ke meja. Kasih Ibu memang sepanjang masa. Sampai Raffa telah menginjak umur yang bisa dikatakan kepala tiga seperti ini pun masih sangat diperdulikannya. Tak ada lagi wanita yang lebih mulia dibandingkan dengan seorang Ibu di dunia ini.“Apa nggak sebaiknya kamu kabari Sarah kalau kamu sedang sakit, Nak.”“Nggak usah, Bu. Raffa takut Sarah kepikiran. Biar Sarah tinggal di sana dulu sepuasnya sampai pikirannya fresh lagi,” jawab Raffa sambil menerima satu dua suap dari tangan Ummi.“Benar kata Mami, mungkin Sarah sedang butuh berlibur. Salahnya Raffa juga karena nggak pernah mengaj
“Apa kamu masih marah?” tanya Raffa. Masih berada di samping istrinya.“Aku bukan orang yang sesabar itu seperti Salwa, masih ada ganjalan di sebelah sini,” tunjuk Sarah di dadanya.“Jangan bawa-bawa nama itu, nanti kita bisa bertengkar lagi,” jelas Raffa menekankan kalimatnya. Karena sedikit saja masalah sepele bisa membuat mereka naik darah. Untuk saat ini, menghidari adalah lebih baik. “Aku jujur, Sarah, aku mencintaimu. Aku siap dihukum jika aku berbohong.”“Aku masih butuh waktu, Mas,” jawab Sarah akhirnya setelah lama terdiam.Raffa menunduk dan menghela nafasnya, “Apa kamu masih ingin tetap pergi bersama Mami dan Papi?”Sarah mengangguk pelan. Kenapa harus seperti ini, Raffa harus bagaimana dan cara apa yang harus dilakukan agar Sarah tak meninggalkannya?“Apa itu harus? Kalau begitu, aku ikut saja.”“Nggak usah, kamu banyak tugas di sini, Mas. Untuk apa kamu ikut?”“Sarah, apa kamu masih nggak percaya?”“Percaya, tapi aku masih perlu bukti,” jawab Sarah."Itu sama saja!" sahu
“Sarah! Sarah!” panik Raffa langsung menghampiri. “Sarah, kamu kenapa?” Ia menyatukan wajahnya di kening Sarah. Otak Raffa mendadak kosong tak bisa berpikir apa-apa lagi. Tubuhnya bergetar juga mengeluarkan keringat dingin.Sementara Sarah terus meringis menahan sesuatu yang terasa sakit dan begitu memelintir. Ini sama dengan kemarin yang dirasakannya sebelum Raffa pulang ke Indonesia. Dengan kesadaran yang sudah hilang setengahnya, Raffa mengangkat tubuh Sarah ke sofa agar Sarah bisa berbaring dengan nyaman. Raffa segera menghubungi dokter yang sebelumnya menangani Sarah.“Bangun sayang Plis, kamu jangan mati, jangan mati.” bibir Raffa bergetar ketakutan. Ia tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika Sarah tiada. Seumur hidupnya, Raffa tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.“Sarah, bangun Sarah ….” air mata telah menetes-netes di pelupuk mata sebab karena teringat bagaimana istrinya dulu. Terpejam karena kesakitannya melahirkan seorang anak dan tidak bisa bangun lagi. Trauma aka
Raffa seketika langsung menendang kopernya lalu menghampiri Ummi yang sudah tergeletak di lantai. Mata beliau terbuka, tapi bibirnya pucat. Pun suara teriakannya yang sudah tak terdengar lagi. Hanya karena mementingkan emosi, Raffa mengorbankan seorang perempuan yang paling dicintainya. Raffa mengangkat tubuh kepala Ummi dalam tangis.“Ummi, Ummi, maafkan Raffa Ummi....” Raffa mengguncang tubuh Umminya yang sudah tergolek lemas. “Ada apa ini?” tanya Abah mendekat di susul oleh beberapa anggota keluarga yang lain. Seperti Maryam, Latief dan asisten rumah tangga yang turut menyaksikan. “Astaghfirullah!” Beliau lantas berjongkok. “Ummi!”“Ayo cepat bawa ke rumah sakit!” titah Abah.“Ada apa sebenarnya ini Raffa?” tanya Latief. “Kenapa Ummi bisa sampai jatuh?”Sarah turun dengan sedikit tergesa untuk melihat dengan jelas apa yang terjadi. Wanita itu hanya bisa menangis namun tak bisa berbuat apa-apa.“Ini pasti gara-gara kalian berantem, aku mendengarnya tadi, Bah. Kata Maryam itu mereka