Catelyn Adams dikhianati oleh kekasihnya, yang mencampakkannya demi wanita kaya. Terluka dan marah, ia meninggalkan kehidupannya yang nyaman dan bertekad untuk menuntut keadilan. Dalam keputusasaan, Catelyn menaiki taksi dan tanpa sadar menyuruh pria di kursi depan untuk menjalankannya, mengira pria itu adalah sopir. Awalnya, Catelyn mengira pria itu hanyalah seorang sopir taksi biasa. Namun, semakin sering mereka bertemu, semakin sulit baginya untuk mengabaikan kehadiran pria itu. Di saat orang lain meremehkannya, pria itu justru memperlakukannya dengan hormat. Ketika satu kesempatan tak terduga membawanya ke perusahaan tempat mantan kekasihnya bekerja, Catelyn tidak menyia-nyiakan―meskipun jika itu berarti berhadapan setiap hari dengan mantan kekasihnya yang menyebalkan. Catelyn merasa seolah hidupnya mulai membaik sejak bertemu pria itu. Namun, ketika satu kebenaran terungkap, Catelyn harus menghadapi kenyataan yang bisa mengubah segalanya—tentang dirinya, tentang pria itu, dan tentang kehidupan yang selama ini ia percayai. Siapa sebenarnya pria yang selalu ada di sisinya itu? Dan mengapa seolah takdir terus mempertemukan mereka? {Ketemu lagi di novel terbaru Author. Happy Reading, ReeFellows!!}
view more"Bulan depan aku akan menikahi putri keluarga Beckett," kata Nielson Stokes dengan nada dingin dan tak berperasaan.
Ruangan kantor yang megah itu kini terasa sempit dan pengap bagi Catelyn Adams.
Pandangannya menatap kosong ke arah pria yang duduk di depannya—kini mantan kekasihnya.
Kata-katanya barusan masih menggema di kepalanya, mengiris hatinya seperti pisau tajam yang menyayat tanpa ampun.
Catelyn masih tertegun.
Dadanya terasa sesak, seolah tak ada udara yang tersisa untuk bernapas. Seakan dunia yang ia bangun bersama pria itu hancur dalam sekejap mata.
Pria yang dulu berjanji untuk bersamanya, bahkan yang ia perjuangkan hingga meninggalkan keluarganya di Basalt, kini begitu mudah memutuskan untuk menikahi wanita lain demi keuntungan pribadi.
“Kenapa…?” Suara Catelyn lirih, hampir tidak terdengar, seolah berharap ini hanyalah lelucon buruk.
Namun, ekspresi serius di wajah pria itu menghancurkan sisa terkecil harapan Catelyn.
“Kenapa? Kau masih bertanya kenapa?” Nielson tertawa datar.
“Aku kini bekerja di Aurora Development Group, perusahaan yang bonafide di Denver. Karirku tidak bisa ditunjang oleh gadis miskin dari kota terpencil. Keluarga Beckett memiliki kekuatan dan kekayaan yang bisa membantuku membangun masa depan. Bahkan jabatan manager bisa segera kudapatkan setelah pertunangan aku dan Molly Beckett nanti diresmikan.”
“Nielson…”
“Kau tak punya apa-apa. Dan aku tak butuh siapapun yang bisa menghalangi jalanku menuju sukses—termasuk kamu."
Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti duri yang menusuk tanpa ampun.
Catelyn hanya berdiri di sana, tak mampu berkata apa-apa.
Sementara itu, mantan kekasihnya bangkit dan melangkah mendekat, menatapnya dengan pandangan dingin dan mengancam.
"Dan satu hal lagi," ujar Nielson, mendekat ke wajah Catelyn dengan tatapan penuh tuntutan. "Jangan berani-berani mengungkapkan pada siapapun kalau kita pernah memiliki hubungan. Kalau sampai aku mendengar kau mengatakan sesuatu… kau akan sangat menyesal."
Amarah berkobar dalam diri Catelyn. Tangannya mengepal, tubuhnya bergetar menahan emosi. "Aku akan membongkar siapa dirimu sebenarnya. Aku tidak akan diam saja!"
Pria itu mendengkus kesal. “Silakan saja kau berbuat macam-macam, aku pastikan hidupmu mengalami kesulitan di sini! Kau bukan siapa-siapa dan tidak punya siapa-siapa di kota ini! Jangan mengujiku, Catelyn!”
Ia melakukan satu panggilan dan berkata pada seseorang di sana, “Panggil keamanan untuk ke ruanganku.”
Catelyn membelalakkan mata, tak percaya mantan kekasihnya berniat mengusir dirinya dari kantor dengan kasar.
“Nielson, kau benar-benar kejam! Setelah empat tahun bersama dan setelah semua yang aku korbankan untukmu, kau buang aku?!”
Belum sempat Catelyn menyemburkan kemarahan lainnya, dua orang berseragam masuk ke ruangan Nielson.
“Bawa wanita ini. Ingat baik-baik wajahnya dan jangan pernah izinkan dia masuk ke kantor lagi!” perintah Nielson tanpa sedikit pun perasaan bersalah.
“Kau keterlaluan!!” Saat Catelyn berusaha mendekati Nielson untuk menuntaskan kemarahannya, dua petugas keamanan itu menghadangnya dan tanpa ampun mengusirnya keluar gedung.
Catelyn terpaku di luar, merasakan rasa sakit dan penghinaan yang mendalam.
Namun, ia menegakkan tubuhnya, menatap kosong ke arah gedung megah di depannya, beberapa saat tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.
Tidak ada airmata, Catelyn hanya terus menatap ke sana.
Tidak pernah terbayang bahwa lelaki yang begitu ia percaya dan membuat dirinya mengorbankan banyak hal, kini mendepaknya seperti barang tak berharga.
Bahu gadis itu berguncang pelan.
Ia bukan menangis, melainkan justru terkekeh. Itu tawa kecil penuh kepahitan.
“Bodoh.”
Umpatan itu pun untuk dirinya sendiri.
Setelah menarik napas dalam-dalam dengan kepedihan, Catelyn berbalik dengan masih menyimpan sakit dan bara dalam dada.
Ia melangkah cepat menuju pinggir jalan, dengan tatapan yang seketika terhenti pada satu taksi yang tengah parkir di satu sudut.
Dengan cepat, ia berjalan ke arah taksi tersebut dan langsung membuka pintu belakang dan masuk.
"Cepat, antar aku," ujarnya, tanpa menyebut alamat pasti, dengan nada putus asa.
Pria yang duduk di kursi depan, kursi samping sopir, tampak terkejut dengan kedatangan Catelyn yang tiba-tiba.
“Nona―” Ia hendak protes, namun terpotong oleh tatapan tajam dan suara bentakan Catelyn yang penuh emosi.
"Cepat jalan!! Aku akan membayarmu, jadi shut the fuck up, and drive!"
Pria itu terdiam, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang mendalam.
Sadar dengan kondisi gadis itu yang tampak kacau dan begitu emosional, pria tersebut mengurungkan niatnya untuk membantah.
Catelyn kini tertunduk, menahan agar air mata yang menggenang di sana, tak sampai jatuh. Hatinya hancur, dan kesedihannya tak mampu ia sembunyikan.
Pria di depan, hanya bisa menatapnya lewat kaca spion. Kedua manik birunya terpancar dengan tatapan simpati.
Melihat gadis di belakang yang tengah berjuang menahan tangis, membuat hatinya terasa berat untuk mengucapkan sepatah kata pun. Akhirnya, ia memutuskan untuk beraksi tanpa banyak bicara.
Pria bermanik biru itu membuka pintu samping, keluar dari kursi penumpang depan, dan berjalan mengitari mobil. Dengan gerakan tenang, ia membuka pintu sopir dan duduk di belakang kemudi, siap membawa Catelyn ke tempat yang gadis itu inginkan.
“Mau ke mana?” tanyanya dengan suara rendah yang pelan dan penuh ketenangan.
Catelyn menyebutkan sebuah alamat, dan pria bermata biru itu hanya mengangguk meskipun terlihat kurang paham.
Dengan segera ia menyetel ponselnya dalam posisi penelusuran alamat. Setelah sekilas melihat, pria itu menyalakan mesin mobil dengan kunci yang masih terpasang di sana.
Di belakang, Catelyn menghela napas kasar.
Bulir-bulir bening yang berusaha ia tahan sejak awal, kini lolos dari tempatnya. Rasa sesak dan sakit itu ia biarkan menghunjam dadanya yang terasa kian sesak oleh setiap kata Nielson yang terngiang dalam kepala.
Tangis pun pecah, Catelyn tidak menahan diri dan tanpa menutupi wajah, ia membiarkan semua rasa sakit yang menyesakkan itu keluar dengan sesenggukan pilu.
Mesin taksi yang menderu, tidak berhasil meredam isak tangis gadis itu.
Pria dibalik kemudi melirik spion lagi.
Gadis di belakangnya, tampak menyedihkan. Maskara juga eyeliner yang rembes karena airmata, membuat penampilan gadis itu kian berantakan.
Pria itu menghela napas dengan tertahan.
Dorongan simpati terhadap gadis itu, membuatnya mengikuti permintaan sang gadis tanpa banyak berkomentar.
* * *
Interior pesawat itu seperti dunia lain—lantai berkarpet tebal warna krem, kursi kulit putih gading yang terstruktur elegan, pencahayaan ambient yang hangat dan lembut, serta panel kayu gelap yang memantulkan kilau halus. Layar datar tertanam di dinding kabin, dan minibar kecil tampak terisi lengkap.Catelyn nyaris lupa bernapas. “Ini… seperti yang kulihat di film,” gumamnya, nyaris pada diri sendiri.Ethan menoleh dan tersenyum lembut.Senyum yang hanya dimiliki laki-laki yang tahu persis bahwa ia tengah mengejutkan dunia seorang perempuan.Ia membimbing Catelyn duduk di salah satu kursi panjang di sisi kabin, memastikan sabuk pengaman melingkari pinggangnya dengan nyaman.“Kita… sebenarnya mau ke mana, Ethan?” tanya Catelyn akhirnya, suaranya masih diliputi kebingungan dan keterpesonaan. “Aku… Aku belum menyiapkan apa-apa… terutama lagi, aku belum mengatakan apa-apa pada kakak-kakakku, aku akan pergi jauh.”Ethan membalas dengan tatapan penuh arti. Ia mengangguk ke arah layar di had
Sore menjelang dengan lembut di jendela kaca gedung Aurora Development Group.Sinar matahari bergeser miring, membias pada lantai marmer dan pantulan bayangan lampu gantung yang mulai menyala satu per satu.Di dalam ruangan Departemen Urban Development Planning, suasana santai mulai terasa.Para pegawai mulai merapikan meja, beberapa telah mengambil tas mereka, bersiap menuju akhir hari.Tawa Catelyn pecah, ringan namun tulus, kala Misha, Inez, dan Dana kembali menggoda dirinya dengan semangat tak kalah dari anak SMA yang merencanakan pesta kecil."Ayolah, Cat!" Misha berseru sambil menarik lengan Catelyn. "Kau tidak bisa menghindar dari kami malam ini! Cerita tentang Ethan Wayne belum selesai!"Inez menambahkan, "Kami harus tahu. Sejak kapan kalian mulai? Kapan pertama kali dia menyatakan cinta? Apa dia—""Dan bagaimana rasanya berciuman dengan pria semempesona itu," potong Misha cepat, menutup mulutnya sendiri sambil tertawa heboh.Dana hanya menggeleng pelan, tetapi bibirnya menyun
Pagi itu matahari bersinar hangat menembus jendela kaca tinggi gedung Aurora Development Group.Suasana departemen Urban Development Planning perlahan hidup, diiringi suara papan ketik dan deru mesin kopi otomatis.Catelyn duduk di kubikel biasa yang sudah menjadi wilayah sunyinya. Rambutnya dikuncir rendah, rapi namun tetap sederhana. Ia mengenakan blouse putih dan blazer biru navy, tampak kalem dan berusaha tampak biasa.Tapi damai pagi itu sontak pecah."Aaaah! CATELYN!!!"Misha berlari seperti badai kecil, heels-nya berdetak heboh di lantai marmer, seolah-olah satu kantor harus tahu bahwa dia menemukan sesuatu yang penting.Tanpa basa-basi, ia menyelonong masuk ke sisi kubikel dan bersandar dramatis di pembatas partisi."Kau pikir kau bisa bersembunyi dariku?! Hah?! Siapa pria tampan bermata biru semalam itu?! Yang datang tiba-tiba di tengah-tengah kita dan—ya Tuhan, dia menatapmu seperti kau satu-satunya perempuan di planet
Langit malam menyelimuti kota seperti tirai beludru pekat, hanya diterangi oleh lampu jalan yang memantulkan cahaya kuning keemasan di atas bodi hitam mobil SUV yang meluncur tenang di antara lalu lintas yang mulai lengang.Di balik kemudi, Axel duduk tegak, mengenakan setelan hitam tanpa cela.Pandangannya tertuju lurus ke depan, ekspresinya datar seperti marmer. Bahkan cermin spion pun tak mendapat kehormatan tatapan darinya.Di kursi penumpang belakang, Misha bersandar sambil menyilangkan kaki, bibirnya membentuk senyum penuh intrik.“Baiklah, Tuan Misterius, kau tahu kami bertiga hampir mati penasaran, kan?” katanya genit sambil mencondongkan tubuh ke depan, seolah ingin menyusup ke ruang pribadi Axel yang sangat dijaga.Axel tak menggubris. Tangannya tetap mantap menggenggam setir.“Serius, kau ini siapa, sih? Agen rahasia? Teman masa kecil Catelyn? Kakak sepupunya yang posesif?” lanjut Misha, setengah bercanda,
Malam itu, di depan The Velvet Room.Udara malam tidak menyimpan sisa hangat musim panas dan hanya menghantar embusan dingin khas musim gugur.Langit bersih bertabur bintang, kontras dengan suasana kacau yang baru saja Catelyn dan ketiga rekannya tinggalkan dari dalam bar.Di depan pintu utama Velvet Room, suara sirine samar terdengar di kejauhan, tapi di area parkir yang remang, hanya ada tawa kecil yang mengambang dan embusan napas dari lelah yang tertahan.Dana, Inez, dan Misha berdiri setengah mabuk, cekikikan sambil sesekali mengalihkan pandangan mereka pada pria yang berdiri tegak di samping Catelyn—Axel, si penyelamat malam ini.Kemeja hitam Axel tampak berantakan oleh sisa kekacauan, namun sorot matanya tetap dingin dan tajam, seperti sedang terus memindai kemungkinan ancaman.Catelyn berdiri di tengah mereka, masih terengah, napasnya menghangatkan udara dingin malam.Mini dress hitam yang dikenakannya tampak kontras den
Malam menebar kabut kelabu di sudut kota tua St. Louis yang jauh dari riuh kehidupan.Gedung tua bergaya industrial itu berdiri membisu di pinggir pelabuhan terlantar.Cahaya redup dari lampu-lampu gantung menggoreskan bayangan panjang di lantai beton yang dingin. Aroma besi berkarat dan minyak tua memenuhi udara, menyatu dengan dingin yang menggigit.Di tengah ruangan yang sunyi, terdengar derap langkah pelan namun pasti.Seorang pria tinggi bersetelan gelap berdiri membelakangi pintu, memandangi peta yang terbentang di atas meja besi.Sosoknya diliputi aura kekuasaan dan kegelapan. Wajahnya tak sepenuhnya tampak, tersembunyi oleh cahaya yang hanya menyentuh sebagian rahangnya yang tegas.Dia The Ironshade, begitu para pengikutnya menyebutnya — pemimpin dari jaringan bawah tanah paling ditakuti di wilayah timur.Pintu logam tua itu berderit terbuka.Dua pria bertubuh tegap memasuki ruangan. Keduanya mengenakan jaket kulit hitam dengan emblem perisai perak di dada kiri—simbol kelompok
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments