Esme terpaksa menikah dengan seorang tuan muda yang dirumorkan gila, demi membiayai perawatan ibunya di rumah sakit. Siapa sangka, pria itu ternyata bertingkah seperti anak kecil berusia tujuh tahun. Namun, Reinan yang bertingkah manja di siang hari, mendadak berubah menjadi hangat di malam hari. “Untuk apa kau melepas piyamamu, Rein? A-apa yang akan kau lakukan?” tanya Esme, gugup. “Tentu saja untuk menghangatkanmu, Sayang,” jawab Reinan dengan tatapan sayu.
Lihat lebih banyak“Tolong pinjamkan aku uang seratus juta, Pa,” pinta Esme dengan tubuh gemetar.
Tangan mungil gadis itu terkepal erat di sisi tubuh, berusaha membendung gelombang kepedihan. Di telinganya terpasang alat bantu dengar, membantunya menangkap suara-suara di sekeliling dengan lebih jelas.
“Mama butuh perawatan lanjutan. Dan, aku harus membayar biayanya paling lambat besok.”
Esme menahan napas saat ayahnya mengangkat wajah dari tumpukan berkas. Tatapan dingin itu menghantamnya lebih keras daripada kata-kata. Bukan iba yang tampak di wajah sang ayah, melainkan kejengkelan yang jelas terpancar.
“Perusahaan kita sedang dalam masa sulit. Kau pikir dari mana Papa bisa dapat uang sebanyak itu?” balas Tuan Rezam, seperti palu yang memukul habis harapan Esme.
Esme menggigit bibir bawahnya. Ayahnya jelas berbohong, tetapi ia tak mampu membuktikannya.
Di saat bersamaan, suara sinis yang tak diharapkannya terdengar di dalam ruangan.
“Esme, kalau kau memang butuh uang, ada satu cara,” ucap Nyonya Belinda.
Dengan sorot mata licik, perempuan paruh baya itu duduk di sofa sembari menyilangkan kakinya.
“Gantikan Wina menikah dengan Tuan Muda kedua dari keluarga Gunadi. Reinan Amadeo Gunadi. Ibunya akan memberikan mahar lima miliar pada keluarga mempelai.”
Nyonya Belinda kemudian mencodongkan tubuhnya ke depan, menatap Esme lebih dekat.
“Jika kau bersedia menjadi istri Reinan,” Nyonya Belinda menyeringai manis, “kau akan menerima satu miliar. Itu lebih dari cukup untuk menyelamatkan nyawa ibumu yang sedang koma.”
Seketika, darah Esme seolah surut dari wajah. Jantungnya hampir saja berhenti berdetak mendengar nama itu.
Ia memang tak bisa mendengar sejelas orang lain, tetapi rumor tentang ‘Tuan Muda Gunadi’ telah lama mengudara di berbagai penjuru kota. Pria itu dikabarkan kehilangan kewarasannya setelah mengalami kecelakaan tragis beberapa tahun lalu. Bahkan, ia bisa mengamuk saat ‘penyakit gilanya’ kambuh.
Tak ada perempuan yang mau dinikahkan dengan Tuan Muda Gunadi. Bahkan, keluarganya sendiri mulai kehilangan harapan, kecuali satu: menjadikan pernikahan itu sebagai alat transaksi.
Sebelum Esme sempat menjawab, terdengar tawa ringan dari arah pintu. Wina, adik tiri Esme, melangkah masuk sembari mengibaskan rambut panjangnya.
“Kenapa kau ragu, Kak Esme? Kau tuli dan sudah nggak suci lagi. Siapa pria waras di kota Caspia yang mau menikahimu?”
Gadis itu mendekat, tangannya menyentuh ringan daun telinga Esme. Senyum penuh ejekan merekah di bibir Wina, seolah menikmati dilema yang sedang dihadapi oleh kakak tirinya.
“Reinan Gunadi nggak akan tahu kau bukan perawan,” lanjut Wina santai. “Bukankah itu sempurna? Kau mendapatkan suami dan bisa memperpanjang umur Tante Joana. Kesempatan langka.”
Seketika, air mata Esme jatuh tanpa peringatan. Deras. Panas. Pedih.
Ucapan Wina bak pintu gerbang menuju kenangan yang selama ini ia pendam dalam-dalam.
Dua tahun lalu. Malam penuh neraka. Saat dirinya yang dalam keadaan lengah dijebak oleh Wina ke sebuah kamar hotel.Pintu terkunci. Lampu padam. Dan, seorang pria asing tiba-tiba mencengkeram tangannya... lalu merenggut kesuciannya secara paksa.
Ia tak pernah tahu siapa pria itu. Nyonya Belinda dan Wina hanya tertawa keesokan harinya, mengatakan bahwa itu adalah kesalahan Esme sendiri yang keliru mendengar nomor kamar hotel.
Mengingat semua peristiwa pahit itu, Esme mengusap sudut matanya dengan ujung jari. Tak dapat dipungkiri bahwa apa yang dikatakan Wina memang benar. Ia harus rela mengorbankan diri demi menyelamatkan nyawa sang ibu.
“Kapan pernikahan itu akan dilangsungkan?” tanya Esme dengan suara parau.
“Besok pagi. Begitu papamu menelepon Nyonya Tania, maka uang satu miliar itu akan langsung ditransfer ke rekeningmu,” jawab Nyonya Belinda tersenyum licik.
Cairan bening kembali mengumpul di pelupuk mata Esme. Jika ini satu-satunya jalan keluar, ia bersedia mengambil risiko untuk menjadi menantu keluarga Gunadi.
“A-aku bersedia menikah dengan Reinan Gunadi. Asalkan… aku bisa segera mendapatkan uangnya.”
***
Gaun pengantin berwarna putih telah membungkus tubuh Esme dengan keanggunan. Namun, hatinya terasa berdenyut nyeri di dalam sana. Gadis itu hanya membisu ketika perias menurunkan veil dari puncak kepalanya untuk menutupi wajah.
“Bawalah bunga ini, supaya kau terlihat seperti pengantin sungguhan,” ujar Nyonya Belinda, menyodorkan seikat bunga ranunculus putih.
Esme menerima buket bunga itu dengan tangan gemetar. Hatinya tak ingin menyentuh, tetapi tubuhnya pasrah pada nasib.
“Waktunya kita berangkat,” timpal Tuan Rezam, menggamit lengan Esme.
Tanpa sepatah kata, pria paruh baya itu menggiring putrinya ke mobil yang terparkir di halaman. Mobil melaju menembus padatnya jalan raya, tetapi dada Esme justru terasa semakin sesak.
Dua puluh menit kemudian, kendaraan berhenti di depan bangunan tua di pinggir kota—gereja kuno yang tersembunyi di balik rindangnya pepohonan. Punggung Esme mendadak terasa dingin.
“Ayo, kita turun, Esme,” pungkas Tuan Rezam.
Begitu kaki Esme menyentuh tanah, ia melihat seorang pria bertubuh tegap sedang berdiri di depan pintu gereja. Ia adalah Nelson Gunadi, putra sulung keluarga Gunadi—tokoh dengan citra sempurna di mata publik.
Di sampingnya berdiri seorang wanita cantik dalam balutan gaun berwarna merah—Vera, istri Nelson. Bibir wanita itu melengkung, membantuk seringai yang menilai sekaligus meremehkan.
“Ah, jadi ini calon adik iparku?” ujar Nelson, menatap Esme seperti meneliti barang dagangan. “Masuklah. Rein dan pendeta sudah menunggu.”
Esme hanya menunduk. Tenggorokannya terasa kering kerontang.
Tanpa protes sedikit pun, ia membiarkan dirinya dibimbing oleh sang ayah melewati pintu gereja. Lagu pengiring pengantin mulai dimainkan, menggema melalui pilar-pilar batu tua di sekelilingnya.
Semakin dekat ke altar, Esme bisa melihat sosok pria muda yang berdiri di sana. Wajahnya tampan dengan garis rahang tegas, alis hitam pekat dan hidung mancung. Dalam balutan jas pengantin berwarna hitam, pria itu terlihat semakin menawan.
Esme yakin dia adalah Reinan Amadeo Gunadi, sang calon suami. Hanya saja, Reinan tak berdiri dengan tegap sebagaimana pengantin pria pada umumnya.
Pria itu justru tampak gelisah, berputar ke kiri dan ke kanan sambil menarik-narik ujung jasnya. Sesekali, ia mencopot bunga di dada, lalu memainkannya seperti anak kecil yang bosan mengikuti pesta.
Tangan kanan Reinan digenggam erat oleh seorang wanita paruh baya yang anggun—Nyonya Tania, ibunda Reinan. Wajahnya tersenyum sabar, tetapi auranya memancarkan kekuasaan penuh seorang bangsawan.
Reinan menggelengkan kepala keras-keras. “Aku bosan! Bosan sekali berdiri di sini!” serunya lantang, seraya merengek manja pada sang ibu.
“Aku mau main rumput di luar! Mau lari-lari, Ma!”
Dunia seakan berhenti berputar. Esme hanya bisa menatap ke arah Reinan dengan ekspresi tak percaya.
‘Ya Tuhan... inikah lelaki yang akan menjadi suamiku?’ pikirnya miris.
Langkah Esme akhirnya sampai di ruang divisi perfumer. Suasana di laboratorium hening, hanya suara tetesan cairan dan bisikan diskusi antar perfumer yang terdengar.Ketika Esme akan duduk di meja, seorang pria berusia empat puluh tahunan menghampirinya. Dengan pembawaan yang berwibawa, ia memperkenalkan diri.“Saya Jackson, wakil kepala perfumer di sini,” ucapnya mengulurkan tangan kepada Esme.“Hari ini, Bu Violin harus bertugas di pabrik sampai jam istirahat siang. Jadi, untuk sementara saya yang akan mendampingi kalian.”Jackson lantas menatap Disti yang berdiri tak jauh dari Esme.”Kamu bisa membantu Kirana di laboratorium. Dia sedang mengerjakan batch baru. Sedangkan Esme, ikut saya, kita mulai latihan dasar dulu.”“Baik, Pak,” jawab Disti patuh.Tanpa membuang waktu, Esme mengikuti langkah Pak Jackson menuju salah satu meja yang dipenuhi botol-botol kaca kecil dan kertas blotter. Pria itu mengambil sebuah botol parfum yang sudah jadi, membuka tutupnya, dan mengulurkan ke tangan E
Pukul enam tepat, Esme terbangun lebih dahulu dari Reinan. Tubuhnya masih terbungkus selimut hangat, sementara ingatannya kembali pada malam sebelumnya. Dia yakin dirinya ketiduran sambil belajar.Namun kini, buku yang semestinya berada dalam dekapannya telah lenyap. Esme tersentak panik. Tangannya meraba-raba permukaan ranjang, lalu ia cepat bangkit.Di atas nakas, kedua buku itu tergeletak rapi, jelas diletakkan di sana oleh seseorang.Esme menoleh ke samping. Reinan masih tertidur pulas, napasnya teratur dan wajahnya begitu damai.Senyum tipis merekah di bibir Esme. Hatinya menghangat karena ia tahu, sang suami-lah yang merapikan buku dan membaringkannya dengan penuh perhatian.Perlahan, Esme beringsut turun dari ranjang agar tidak menimbulkan suara. Tubuhnya bergerak lincah menuju wardrobe.Jemari mungil Esme memilih kemeja dan jas kerja milik Reinan, kemudian menyiapkan setelan blazer untuk dirinya sendiri.Sesudah itu, Esme menuju kamar mandi. Air dingin menyapa kulitnya, menyeg
Balkon lantai dua mansion disinari cahaya lampu yang temaram. Nelson duduk sendirian di sana dengan sikap malas. Tangannya memegang segelas anggur merah, sementara ekspresi wajahnya tampak kaku.Di meja kecil, sebuah ponsel berdering. Layarnya sesekali berkedip ketika ada notifikasi pesan masuk.Lagi-lagi yang muncul adalah pesan dari Wina. Gadis licik itu tak henti mengirimkan ancaman. Dia berkata akan menyerahkan liontin ke tangan Reinan, jikalau Nelson batal memberinya empat milyar.“Kau pikir akan semudah itu mendapatkan uang? Tidak lama lagi liontin keluarga Gunadi akan kuambil darimu, Wina,” gumam Nelson sembari memblokir nomor gadis itu.Nelson tetap menunggu. Bibirnya sesekali bergerak, tetapi tatapan matanya tak lepas dari ponsel. Hingga akhirnya layar berkelap-kelip, tanda panggilan yang ia nanti tiba. Lekas saja, Nelson meletakkan gelas anggurnya dengan bunyi dentingan ringan. Kemudian, ia meraih ponsel dan menempelkan ke telinga.“Apa saja yang kau dapat hari ini?” tanya
Setiba di parkiran basement, Esme melangkah pelan dengan jantung yang berdebar. Matanya meneliti sekeliling, memastikan tak ada seorang pun karyawan yang berkeliaran. Setelah merasa cukup aman, barulah ia mendekat ke arah mobil yang terparkir di sudut, mobil milik Reinan.Reinan yang sejak tadi menunggu di balik tirai tipis, diam-diam memperhatikan tingkah istrinya. Melihat Esme celingukan ke kanan dan ke kiri, Reinan menjadi gemas. Ia mendengus pendek, lalu tanpa menunggu lebih lama tangannya membuka pintu mobil.Begitu Esme berada dalam jangkauan, Reinan segera meraih pergelangan tangan sang istri dan menariknya masuk. “Rein!” Esme terpekik, nyaris kehilangan keseimbangan. Sekejap kemudian tubuh mungilnya sudah terduduk di jok kulit yang hangat.Klik. Suara pintu mobil yang dikunci terdengar jelas. Reinan memberi isyarat singkat pada sopirnya agar segera menjalankan mobil keluar dari basement. Tatapannya lalu beralih pada Esme, penuh dengan kerinduan.“Aku kangen.” Wajah Reinan men
Selesai memeriksa parfum racikan Disti, Amanda menutup buku catatannya dengan tenang. “Kau masih harus banyak berlatih. Formula ini sudah mulai terbentuk, tapi ketajaman konsentrasi aromanya belum stabil.”Disti hanya mengangguk patuh. Tak ada bantahan, hanya pasrah menerima kenyataan pahit yang terasa menekan. Setelah itu, Amanda menatap seluruh perfumer yang masih tegang menanti hasil penilaiannya.“Saya perlu berdiskusi sebentar dengan Bu Violin untuk menentukan pemenang. Kalian bisa kembali mengerjakan tugas masing-masing.”Jam di dinding sudah menunjuk pukul setengah enam sore. Waktu kerja resmi seharusnya usai, tetapi tak seorang pun berniat pulang. Aura tegang menahan mereka di ruangan itu. Disti menunduk, lalu berbisik lirih pada Esme. “Aku masih sangat amatir. Mungkin aku tidak bisa lolos masa percobaan.”Esme menepuk lembut tangan sahabat barunya itu. Senyumnya tulus meski ia sendiri menyimpan kegelisahan.“Tidak apa-apa, Disti. Kita memang masih perlu banyak belajar. Itu
Keraguan masih sempat menggantung di bibir Esme. Namun tatapan Disti yang menuntut jawaban membuatnya tak mungkin terus berkelit. Ia menarik napas pelan, sebelum memberikan jawaban.“Nama suamiku… Rein. Dia sudah punya pekerjaan sendiri.”Disti tampak puas, matanya berbinar. “Rein? Nama yang bagus. Kalau dipikir-pikir agak mirip dengan nama CEO baru kita, Reinan. Siapa tahu, nanti suamimu juga bisa sekaya itu.” Ia terkekeh kecil, lalu menepuk tangan Esme ringan.Tak lama kemudian giliran mereka tiba. Esme memesan seporsi ayam goreng, sementara Disti mengambil sup dan sayuran. Mereka berdua mencari meja kosong di sudut kantin yang cukup ramai. Esme duduk dengan hati-hati, menaruh piring di hadapannya. Baru saja ia hendak makan, pikirannya tertuju pada pesan dari Reinan yang belum terbaca. Kali ini, Esme membuka pesan itu dan membacanya perlahan. Senyum samar muncul di bibirnya tanpa sadar. Tangan Esme segera mengetik balasan.{Aku sudah makan siang bersama temanku, seorang perfumer b
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen