Share

DDC 6: Telah Kehilangan Dia

“Terima kasih Salwa, kamu sudah bersedia mendengar ceritaku,” ucap Raffa. 

   

Salwa merenggangkan pelukan, mengikis jarak di antara mereka berdua, menatap manik mata yang sedang tersenyum kearahnya. “Sama-sama Raffa,” 

    

“Aku ingin memilikimu, untuk mengobati lukaku.”     

  

Salwa mengerjap lalu mencerna apa yang baru saja Salwa dengar. Hingga sepersekian detik, Salwa langsung menggeleng cepat, “No Raffa, aku nggak bisa.” 

   

“Kenapa?” Raffa memegang bahu polos seputih susu itu. 

    

“Aku nggak pantas buat kamu. Masih banyak wanita yang baik yang bisa kamu nikahi. Mudah bagimu untuk memilih.”  Salwa selalu rendah diri dalam hal ini, karena pekerjaan inilah ia merasa tak pantas untuk siapa pun.

 

“Sama, aku juga nggak pantas. Bukankah kita sama-sama pendosa?” 

   

“Enggak Raffa! Enggak!” tolak Salwa tegas. 

    

“Aku hanya ingin kamu jadi pacarku saja, aku janji kok aku akan bayar berapa pun yang kamu mau.” 

    

Salwa menurunkan tangan Raffa yang masih memegangi bahunya. “Bukan masalah bayaran Raffa.” 

    

“Ini yang terakhir, kamu adalah pelanggan terakhirku.” Salwa langsung menangis terisak-isak dan Raffa berinisiatif menyodorkan tisu. “Aku dah janji sama almarhum adikku, untuk berhenti dari pekerjaan ini.” 

    

“Kalau begitu, menikahlah denganku!” Raffa benar-benar nekat. Ia terdengar tak main-main dengan ucapannya. 

    

Salwa kembali menolak dengan tegas, “Plis Raffa, kenapa kamu terus memaksaku!” 

    

“Aku yakin kamu menyukaiku, sama sepertiku.” 

   

“Kamu pede sekali.” 

  

“Aku mendengar detak jantungmu, Salwa.” 

    

“Itu tidak bisa dijadikan sebagai acuan Tuan Raffa!” 

    

“Ya Sudah, kita bicarakan lagi lain kali. Mungkin kamu masih butuh waktu.” 

 

“Tidurlah!” titah Raffa, “ini masih pukul tiga pagi, kamu harus beristirahat, aku janji akan mengantarmu pulang.” 

   

Melihat Salwa yang mengacuhkan ucapannya membuat Raffa kembali memberi titah “Tidur Salwa, tidur!" 

    

Akhirnya Salwa mau merebahkan tubuhnya di ranjang, tak lama kemudian ia merasakan Raffa memeluknya dari belakang. Ia merasa begitu nyaman.    

Masih dengan mata yang terbuka, Salwa memikirkan tawaran Raffa barusan. Tapi, sepertinya bukan jalan yang mudah untuk Salwa. Ia menyadari siapa dirinya dan siapa Raffa sebenarnya. 

    

“Danaku sebenarnya terlahir dari keluarga religius,” kata-kata itu terus terngiang di benak Salwa.

Salwa tak mungkin memberikan keluarga Raffa setitik noda karena suatu saat nanti pasti mereka tahu siapa dirinya sebenarnya. Mungkin, Raffa akan bersikap biasa saja, tapi yang lain? 

    

Keluarga yang religius tidak mungkin mempunyai menantu seorang kupu-kupu malam. Tentu saja akan mencoreng nama baik keluarga Raffa. Alfatihah saja Salwa tidak hafal, apalagi shalat, membaca al qur'an, atau yang lain-lain.

Bagaimana kalau ibu mertuanya menanyakan sudah berapa jus hafalan suratnya atau hal lain yang berhubungan dengan itu?

Atau lebih parahnya, mengorek tentang sudah sejauh mana kemampuannya? Sementara, pakaian Salwa saja masih terbuka seperti ini. 

    

Tidak, tidak. Bukankah sudah dari awal batinnya menegaskan, tidak boleh melibatkan perasaan? Plis stop Salwa, stop! Jangan banyak bermimpi. 

    

Salwa lebih nyaman hidup sendiri walau serba kekurangan. Ia tak ingin berkomitmen yang berujung menyakitkan.

Tidak sedikit di dunia ini orang-orangyang menikah lalu bercerai, menikah lagi, lalu bercerai lagi. Sebagian dari mereka mempunyai penyebab atau faktor yang berbeda-beda.

Meskipun tidak semua rumah tangga seperti itu, tapi Salwa tidak ingin menjadi salah satunya.  

 

Dan dari hasil uang kerjanya hari ini, mungkin Salwa bisa mempergunakannya untuk membuka usaha kecil-kecilan.

Tak peduli dengan kata orang-orang. Mulai besok, Salwa akan membuka lembaran baru, membersihkan diri dan mulai menjadi muslim sejati.

Salwa benar-benar takut akan Tuhan. Apalagi mengenai kepergian Sammy kemarin, membuat tekadnya semakin bulat. 

    

Masih dengan posisi yang tadi, Salwa mengembalikan tubuhnya menghadap Raffa yang juga sama-sama sedang tidur menghadapnya. Terdengar dengkuran halus, yang menandakan bahwa laki-laki itu sudah terlelap dengan nyenyak.

Terlihat bulir-bulir keringat yang mengalir membasahi pelipisnya. Ia perhatikan lamat-lamat wajah tampan itu.

Kulit wajah kuning langsat, alis yang tebal, garis wajah yang nyaris sempurna, bibir tipis nan tegas dan terdapat bulu-bulu halus di sekitar dagu yang menambah aura sisi kedewasaannya.

Salwa membelai lembut pipi Raffa, menyusuri tiap garis dan lekuk wajah itu dan Salwa menggigit bibir bawahnya, tiba-tiba ia menginginkannya lagi. 

   

“Sudah puas melihatnya?” 

    

“Raffa!” pekik Salwa ia langsung memundurkan tubuhnya tapi dengan sigap, Raffa menahannya.

“Bukannya kamu tadi sudah tidur?” tanyanya panik. 

    

“Kalau aku tidur, pasti kamu akan kabur. Dan aku nggak akan membiarkannya. Kamu harus jadi milikku!”

Tahu saja apa yang akan Salwa lakukan setelah ini. 

   

“Kenapa kamu menginginkannya lagi?” 

   

“Nggak!” 

   

“Bohong!” 

 

Namun Raffa tidak mempercayai kata-katanya, perkataan wanita tidak selalu benar. Dengan atau tanpa persetujuannya, Raffa kembali mengulang seperti apa yang sebelumnya mereka lakukan. 

 

***

 

Matahari telah masuk melalui celah-celah jendela menandakan fajar telah menyingsing.

Raffamerasakan hangatnya wajahnya yang tersapu sinar mentari. Silau mendera pada kedua matanya yang membuatnya menyipit kala ia berusaha mengerjap.

Dengan kepala yang masih terasa berputar, ia mengubah posisinya menjadi duduk, kemudian bersandar di headboard. Ia terlebih dahulu duduk untuk menetralkan rasa pusing yang mendera. 

   

Oh iya, Raffa baru sadar. Raffa sedang berada di hotel.  

  

Ia menguap lebar-lebar. Rasanya masih mengantuk sekali, sebab,ia hanya tidur beberapa jam saja. Rasa lelah dan letih juga masih ia rasakan karena kegiatannya sepanjang malam. 

   

Eh tunggu-tunggu, sekarang ini ia di hotel, lantas jika begitu… Salwa? 

   

Di mana salwa? 

  

“Sal! Salwa! Salwa?” panggilnya berulang-ulang. Namun tak terdengar jawaban.

 

“Apa kamu lagi di kamar mandi?” 

   

Ternyata tidak ada suara air yang terdengar dari dalam sana.  

   

“Ke mana Salwa?” 

    

Atau dia sedang mengambil sarapan? Batinnya terus berusaha menenangkan diri.

Sambil menunggu, Raffa juga sambil membersihkan diri dan memakai lagi pakaian yang semalam. Namun kali ini ada yang janggal, hingga beberapa puluh menit berlalu, ternyata Salwa tak kunjung kembali.

Raffa panik, ia mengecek ke seluruh kamar hotel. Ternyata Salwa benar-benar pergi. Tak ada satu pun barang-barang Salwa yang tertinggal di sana. Sial! 

    

Raffa langsung turun ke bagian resepsionis, menanyakan hal ini kepada mereka. 

 

“Ada perempuan yang check out dari kamar saya nggak, Kak?" Raffa menyebut nomor kamarnya, "orangnya tinggi, putih, rambutnya panjang, pakai dress warna merah selutut.” Ia berusaha menjelaskan semua ciri-cirinya.   

  

“Oh iya, sekitar satu jam yang lalu, kami melihat perempuan dengan ciri-ciri yang bapak sebutkan, keluar dari hotel, Pak…” 

 

Astaga … Salwa benar-benar kabur darinya. Apa Raffa terlihat semenakutkan itu?  

 

 Ia menyesali tidurnya. Kenapa harus tidur tadi? Akhirnya jadi begini kan? 

  

Raffa mengeluarkan ponselnya. Bukannya mereka sudah saling komunikasi semalam?  

    

Raffa langsung menghubunginya, tapi … nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Begitu terus berulang-ulang. Kini Raffa semakin yakin, bahwa Salwa memang telah benar-benar meninggalkannya.  

 

Raffa duduk di kursi dekat lobby, ia menghempaskan tubuhnya, lalu mengacak rambutnya frustrasi. 

   

Sungguh ia sangat menyesal telah kehilangan Salwa. Raffa mencintai Salwa. Wanita yang baru dua kali ia temui.  

 

Sekarang, Raffa harus mencari Salwa ke mana? Bahkan aplikasi yang semalam ia gunakan untuk saling terhubung kini sudah tidak aktif lagi.   

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status