Home / Romansa / Dosa Dibalik Cadar / DDC 6: Telah Kehilangan Dia

Share

DDC 6: Telah Kehilangan Dia

Author: Ana_miauw
last update Last Updated: 2024-01-18 15:26:04

“Terima kasih Salwa, kamu sudah bersedia mendengar ceritaku,” ucap Raffa. 

   

Salwa merenggangkan pelukan, mengikis jarak di antara mereka berdua, menatap manik mata yang sedang tersenyum kearahnya. “Sama-sama Raffa,” 

    

“Aku ingin memilikimu, untuk mengobati lukaku.”     

  

Salwa mengerjap lalu mencerna apa yang baru saja Salwa dengar. Hingga sepersekian detik, Salwa langsung menggeleng cepat, “No Raffa, aku nggak bisa.” 

   

“Kenapa?” Raffa memegang bahu polos seputih susu itu. 

    

“Aku nggak pantas buat kamu. Masih banyak wanita yang baik yang bisa kamu nikahi. Mudah bagimu untuk memilih.”  Salwa selalu rendah diri dalam hal ini, karena pekerjaan inilah ia merasa tak pantas untuk siapa pun.

 

“Sama, aku juga nggak pantas. Bukankah kita sama-sama pendosa?” 

   

“Enggak Raffa! Enggak!” tolak Salwa tegas. 

    

“Aku hanya ingin kamu jadi pacarku saja, aku janji kok aku akan bayar berapa pun yang kamu mau.” 

    

Salwa menurunkan tangan Raffa yang masih memegangi bahunya. “Bukan masalah bayaran Raffa.” 

    

“Ini yang terakhir, kamu adalah pelanggan terakhirku.” Salwa langsung menangis terisak-isak dan Raffa berinisiatif menyodorkan tisu. “Aku dah janji sama almarhum adikku, untuk berhenti dari pekerjaan ini.” 

    

“Kalau begitu, menikahlah denganku!” Raffa benar-benar nekat. Ia terdengar tak main-main dengan ucapannya. 

    

Salwa kembali menolak dengan tegas, “Plis Raffa, kenapa kamu terus memaksaku!” 

    

“Aku yakin kamu menyukaiku, sama sepertiku.” 

   

“Kamu pede sekali.” 

  

“Aku mendengar detak jantungmu, Salwa.” 

    

“Itu tidak bisa dijadikan sebagai acuan Tuan Raffa!” 

    

“Ya Sudah, kita bicarakan lagi lain kali. Mungkin kamu masih butuh waktu.” 

 

“Tidurlah!” titah Raffa, “ini masih pukul tiga pagi, kamu harus beristirahat, aku janji akan mengantarmu pulang.” 

   

Melihat Salwa yang mengacuhkan ucapannya membuat Raffa kembali memberi titah “Tidur Salwa, tidur!" 

    

Akhirnya Salwa mau merebahkan tubuhnya di ranjang, tak lama kemudian ia merasakan Raffa memeluknya dari belakang. Ia merasa begitu nyaman.    

Masih dengan mata yang terbuka, Salwa memikirkan tawaran Raffa barusan. Tapi, sepertinya bukan jalan yang mudah untuk Salwa. Ia menyadari siapa dirinya dan siapa Raffa sebenarnya. 

    

“Danaku sebenarnya terlahir dari keluarga religius,” kata-kata itu terus terngiang di benak Salwa.

Salwa tak mungkin memberikan keluarga Raffa setitik noda karena suatu saat nanti pasti mereka tahu siapa dirinya sebenarnya. Mungkin, Raffa akan bersikap biasa saja, tapi yang lain? 

    

Keluarga yang religius tidak mungkin mempunyai menantu seorang kupu-kupu malam. Tentu saja akan mencoreng nama baik keluarga Raffa. Alfatihah saja Salwa tidak hafal, apalagi shalat, membaca al qur'an, atau yang lain-lain.

Bagaimana kalau ibu mertuanya menanyakan sudah berapa jus hafalan suratnya atau hal lain yang berhubungan dengan itu?

Atau lebih parahnya, mengorek tentang sudah sejauh mana kemampuannya? Sementara, pakaian Salwa saja masih terbuka seperti ini. 

    

Tidak, tidak. Bukankah sudah dari awal batinnya menegaskan, tidak boleh melibatkan perasaan? Plis stop Salwa, stop! Jangan banyak bermimpi. 

    

Salwa lebih nyaman hidup sendiri walau serba kekurangan. Ia tak ingin berkomitmen yang berujung menyakitkan.

Tidak sedikit di dunia ini orang-orangyang menikah lalu bercerai, menikah lagi, lalu bercerai lagi. Sebagian dari mereka mempunyai penyebab atau faktor yang berbeda-beda.

Meskipun tidak semua rumah tangga seperti itu, tapi Salwa tidak ingin menjadi salah satunya.  

 

Dan dari hasil uang kerjanya hari ini, mungkin Salwa bisa mempergunakannya untuk membuka usaha kecil-kecilan.

Tak peduli dengan kata orang-orang. Mulai besok, Salwa akan membuka lembaran baru, membersihkan diri dan mulai menjadi muslim sejati.

Salwa benar-benar takut akan Tuhan. Apalagi mengenai kepergian Sammy kemarin, membuat tekadnya semakin bulat. 

    

Masih dengan posisi yang tadi, Salwa mengembalikan tubuhnya menghadap Raffa yang juga sama-sama sedang tidur menghadapnya. Terdengar dengkuran halus, yang menandakan bahwa laki-laki itu sudah terlelap dengan nyenyak.

Terlihat bulir-bulir keringat yang mengalir membasahi pelipisnya. Ia perhatikan lamat-lamat wajah tampan itu.

Kulit wajah kuning langsat, alis yang tebal, garis wajah yang nyaris sempurna, bibir tipis nan tegas dan terdapat bulu-bulu halus di sekitar dagu yang menambah aura sisi kedewasaannya.

Salwa membelai lembut pipi Raffa, menyusuri tiap garis dan lekuk wajah itu dan Salwa menggigit bibir bawahnya, tiba-tiba ia menginginkannya lagi. 

   

“Sudah puas melihatnya?” 

    

“Raffa!” pekik Salwa ia langsung memundurkan tubuhnya tapi dengan sigap, Raffa menahannya.

“Bukannya kamu tadi sudah tidur?” tanyanya panik. 

    

“Kalau aku tidur, pasti kamu akan kabur. Dan aku nggak akan membiarkannya. Kamu harus jadi milikku!”

Tahu saja apa yang akan Salwa lakukan setelah ini. 

   

“Kenapa kamu menginginkannya lagi?” 

   

“Nggak!” 

   

“Bohong!” 

 

Namun Raffa tidak mempercayai kata-katanya, perkataan wanita tidak selalu benar. Dengan atau tanpa persetujuannya, Raffa kembali mengulang seperti apa yang sebelumnya mereka lakukan. 

 

***

 

Matahari telah masuk melalui celah-celah jendela menandakan fajar telah menyingsing.

Raffamerasakan hangatnya wajahnya yang tersapu sinar mentari. Silau mendera pada kedua matanya yang membuatnya menyipit kala ia berusaha mengerjap.

Dengan kepala yang masih terasa berputar, ia mengubah posisinya menjadi duduk, kemudian bersandar di headboard. Ia terlebih dahulu duduk untuk menetralkan rasa pusing yang mendera. 

   

Oh iya, Raffa baru sadar. Raffa sedang berada di hotel.  

  

Ia menguap lebar-lebar. Rasanya masih mengantuk sekali, sebab,ia hanya tidur beberapa jam saja. Rasa lelah dan letih juga masih ia rasakan karena kegiatannya sepanjang malam. 

   

Eh tunggu-tunggu, sekarang ini ia di hotel, lantas jika begitu… Salwa? 

   

Di mana salwa? 

  

“Sal! Salwa! Salwa?” panggilnya berulang-ulang. Namun tak terdengar jawaban.

 

“Apa kamu lagi di kamar mandi?” 

   

Ternyata tidak ada suara air yang terdengar dari dalam sana.  

   

“Ke mana Salwa?” 

    

Atau dia sedang mengambil sarapan? Batinnya terus berusaha menenangkan diri.

Sambil menunggu, Raffa juga sambil membersihkan diri dan memakai lagi pakaian yang semalam. Namun kali ini ada yang janggal, hingga beberapa puluh menit berlalu, ternyata Salwa tak kunjung kembali.

Raffa panik, ia mengecek ke seluruh kamar hotel. Ternyata Salwa benar-benar pergi. Tak ada satu pun barang-barang Salwa yang tertinggal di sana. Sial! 

    

Raffa langsung turun ke bagian resepsionis, menanyakan hal ini kepada mereka. 

 

“Ada perempuan yang check out dari kamar saya nggak, Kak?" Raffa menyebut nomor kamarnya, "orangnya tinggi, putih, rambutnya panjang, pakai dress warna merah selutut.” Ia berusaha menjelaskan semua ciri-cirinya.   

  

“Oh iya, sekitar satu jam yang lalu, kami melihat perempuan dengan ciri-ciri yang bapak sebutkan, keluar dari hotel, Pak…” 

 

Astaga … Salwa benar-benar kabur darinya. Apa Raffa terlihat semenakutkan itu?  

 

 Ia menyesali tidurnya. Kenapa harus tidur tadi? Akhirnya jadi begini kan? 

  

Raffa mengeluarkan ponselnya. Bukannya mereka sudah saling komunikasi semalam?  

    

Raffa langsung menghubunginya, tapi … nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Begitu terus berulang-ulang. Kini Raffa semakin yakin, bahwa Salwa memang telah benar-benar meninggalkannya.  

 

Raffa duduk di kursi dekat lobby, ia menghempaskan tubuhnya, lalu mengacak rambutnya frustrasi. 

   

Sungguh ia sangat menyesal telah kehilangan Salwa. Raffa mencintai Salwa. Wanita yang baru dua kali ia temui.  

 

Sekarang, Raffa harus mencari Salwa ke mana? Bahkan aplikasi yang semalam ia gunakan untuk saling terhubung kini sudah tidak aktif lagi.   

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 77: End

    Tidak terasa sudah tiga hari Raffa menginap di rumah Mami Nida dan Papi surya. Banyak yang sudah dilakukannya di sana karena kedatangannya disambut antusias oleh warga setempat. Masjid yang biasanya sepi berubah menjadi ramai seketika semenjak mengetahui ada tamu luar biasa yang datang dari kota. Banyak dari mereka yang memintanya untuk mengadakan kajian setiap harinya; baik kuliah subuh maupun sehabis maghrib di masjid-masjid dekat daerah itu.Kali pertama Raffa berdakwah di hadapan mertua dan istrinya. Menjadi kebanggan tersendiri di hati Surya dan Nida. Sungguh pilihan yang tepat, tak sia-sia Sarah batal menikah dengan Fery. Rupanya, sosok yang dinikahinya adalah seorang pemuda yang lebih hebat daripada dokter itu. Bahkan kedatangannya pun dapat mengangkat derajat Mami dan Papi Surya. Semua terpana terkagum-kagum. Dan kedua orang tua itu juga merasa menjadi lebih disegani masyarakat karena anaknya menikah dengan salah satu putra ulama terkenal di negeri ini, yaitu Abah Hasyim A

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 76: Menjemput Kesayangan

    Tampaknya tidak ada yang terlihat membahayakan di raut wajah mereka berdua. Mereka mengobrol selayaknya orang yang telah akrab tanpa ada aura-aura yang memancing keributan. Sarah mendesahkan nafasnya lega, fiuhhh. Semoga semua akan baik-baik saja seperti sedang yang terlihat.“Loh, Mas. Kok kamu ada di sini?” tanya Sarah. “Kenapa nggak ngabarin kalau kamu mau ke sini.”“Kejutan,” hanya itu jawaban Raffa dibubuhi oleh seulas senyum.“Anak-anak sama siapa kamu tinggal?” tanya Sarah lagi.“Sama Maryam.”Maryam lagi, Maryam lagi. Duri dalam daging, musuh dalam selimut, serigala berbulu domba entah sebutan apalagi yang pantas untuk wanita itu. Mungkin kalau Maryam tak menyukai Raffa, mana mungkin dia mau membantu kesulitan Raffa. Dan hanya sesama perempuan yang tahu, karena laki-laki itu memang kurang peka.“Oh,” kata Sarah dengan nada yang bercampur baur dengan kekecewaan.“Oh iya, langsung saja Cilla.” ucap Fery yang masih saja memanggilnya Priscilla. “Aku hanya ingin mengantarkan undang

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 75: With You

    Raffa menoleh pada saat melihat pintu terbuka. Ia melihat Umminya yang sedang tersenyum tulus dan membawakan sesuatu untuknya yang terletak diatas nampan. “Ummi, jangan repot-repot, nanti Raffa bisa ngambil sendiri.” ia berusaha baik-baik saja walaupun kepala sedang berdenyut hebat. Karena takut menambah kekhawatiran Ummi kepadanya. “Nggak papa, kamu kan lagi sakit,” jawab ummi sambil meletakkan makanannya ke meja. Kasih Ibu memang sepanjang masa. Sampai Raffa telah menginjak umur yang bisa dikatakan kepala tiga seperti ini pun masih sangat diperdulikannya. Tak ada lagi wanita yang lebih mulia dibandingkan dengan seorang Ibu di dunia ini.“Apa nggak sebaiknya kamu kabari Sarah kalau kamu sedang sakit, Nak.”“Nggak usah, Bu. Raffa takut Sarah kepikiran. Biar Sarah tinggal di sana dulu sepuasnya sampai pikirannya fresh lagi,” jawab Raffa sambil menerima satu dua suap dari tangan Ummi.“Benar kata Mami, mungkin Sarah sedang butuh berlibur. Salahnya Raffa juga karena nggak pernah mengaj

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 74: Penyesalan Seorang Pengkhianat

    “Apa kamu masih marah?” tanya Raffa. Masih berada di samping istrinya.“Aku bukan orang yang sesabar itu seperti Salwa, masih ada ganjalan di sebelah sini,” tunjuk Sarah di dadanya.“Jangan bawa-bawa nama itu, nanti kita bisa bertengkar lagi,” jelas Raffa menekankan kalimatnya. Karena sedikit saja masalah sepele bisa membuat mereka naik darah. Untuk saat ini, menghidari adalah lebih baik. “Aku jujur, Sarah, aku mencintaimu. Aku siap dihukum jika aku berbohong.”“Aku masih butuh waktu, Mas,” jawab Sarah akhirnya setelah lama terdiam.Raffa menunduk dan menghela nafasnya, “Apa kamu masih ingin tetap pergi bersama Mami dan Papi?”Sarah mengangguk pelan. Kenapa harus seperti ini, Raffa harus bagaimana dan cara apa yang harus dilakukan agar Sarah tak meninggalkannya?“Apa itu harus? Kalau begitu, aku ikut saja.”“Nggak usah, kamu banyak tugas di sini, Mas. Untuk apa kamu ikut?”“Sarah, apa kamu masih nggak percaya?”“Percaya, tapi aku masih perlu bukti,” jawab Sarah."Itu sama saja!" sahu

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 73: Meminta Maaf

    “Sarah! Sarah!” panik Raffa langsung menghampiri. “Sarah, kamu kenapa?” Ia menyatukan wajahnya di kening Sarah. Otak Raffa mendadak kosong tak bisa berpikir apa-apa lagi. Tubuhnya bergetar juga mengeluarkan keringat dingin.Sementara Sarah terus meringis menahan sesuatu yang terasa sakit dan begitu memelintir. Ini sama dengan kemarin yang dirasakannya sebelum Raffa pulang ke Indonesia. Dengan kesadaran yang sudah hilang setengahnya, Raffa mengangkat tubuh Sarah ke sofa agar Sarah bisa berbaring dengan nyaman. Raffa segera menghubungi dokter yang sebelumnya menangani Sarah.“Bangun sayang Plis, kamu jangan mati, jangan mati.” bibir Raffa bergetar ketakutan. Ia tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika Sarah tiada. Seumur hidupnya, Raffa tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.“Sarah, bangun Sarah ….” air mata telah menetes-netes di pelupuk mata sebab karena teringat bagaimana istrinya dulu. Terpejam karena kesakitannya melahirkan seorang anak dan tidak bisa bangun lagi. Trauma aka

  • Dosa Dibalik Cadar    DDC 72: Menguping Pembicaraan Maryam

    Raffa seketika langsung menendang kopernya lalu menghampiri Ummi yang sudah tergeletak di lantai. Mata beliau terbuka, tapi bibirnya pucat. Pun suara teriakannya yang sudah tak terdengar lagi. Hanya karena mementingkan emosi, Raffa mengorbankan seorang perempuan yang paling dicintainya. Raffa mengangkat tubuh kepala Ummi dalam tangis.“Ummi, Ummi, maafkan Raffa Ummi....” Raffa mengguncang tubuh Umminya yang sudah tergolek lemas. “Ada apa ini?” tanya Abah mendekat di susul oleh beberapa anggota keluarga yang lain. Seperti Maryam, Latief dan asisten rumah tangga yang turut menyaksikan. “Astaghfirullah!” Beliau lantas berjongkok. “Ummi!”“Ayo cepat bawa ke rumah sakit!” titah Abah.“Ada apa sebenarnya ini Raffa?” tanya Latief. “Kenapa Ummi bisa sampai jatuh?”Sarah turun dengan sedikit tergesa untuk melihat dengan jelas apa yang terjadi. Wanita itu hanya bisa menangis namun tak bisa berbuat apa-apa.“Ini pasti gara-gara kalian berantem, aku mendengarnya tadi, Bah. Kata Maryam itu mereka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status