Salwa sudah sampai beberapa puluh menit yang lalu di rumahnya. Rasa letih yang teramat sangat membuatnya langsung terlelap setelah ia membersihkan diri.
Mata itu terbangun ketika jam menunjukkan pukul empat sore. Ini benar-benar gila. Salwa tidur selama sebelas jam lamanya tanpa terganggu sedikit pun. Padahal ia telah memasang alarm dengan volume yang keras serta tak lupa mengaktifkan vibration (getar pada ponsel). “Kalau aku perutku nggak lapar mungkin bisa keterusan sampai besok lagi,” gumamnya. Ia langsung membersihkan diri agar lebih segar, lalu keluar membeli makanan dengan berjalan kaki. Kebetulan rumah Salwa dekat dengan warung Tegal langganannya. “Mau beli apa, Neng?” “Nasi lauknya ayam goreng aja bu, campur mie, kering tempe, sayur sama sambel.” “Iya tunggu sebentar ya, saya bungkusin.” “Iya.” Setelah ibu-ibu pemilik warteg itu selesai, kini makanan pun sudah berada di tangannya. “Enam belas ribu.” Salwa mengulurkan selembar uang dua puluh ribuan kepada si penjual. Namun sebelum ia benar-benar pergi, Salwa terlebih dahulu mengajak beliau untuk berbicara. “Maaf, Bu.” “Iya kenapa, Mbak?” “Saya melihat ibu keteteran. Masih butuh karyawan nggak bu?” “Emang sih saya keteteran, butuh orang untuk membantu saya melayani pembeli.” “Alhamdulillah.” mendengar kabar baik itu, Salwa seperti mempunyai harapan. “Memangnya buat siapa?” “Buat saya, Bu. Insyaallah saya bisa kok bekerja seperti ini.” “Emm … maaf, nggak deh, Mbak. Maaf ya,” tolaksi penjual itu. “Saya cari yang lain aja.” Senyum Salwa langsung memudar ketika terdengar penolakan. Entah apa sebabnya tapi mungkin karena— “Ya sudah nggak papa, kalau gitu saya pergi dulu,” kata Salwa kemudian. Merasakan wajah yang begitu malu. Si penjual tersebut merespons dengan anggukkan kepala dan tersenyum samar. Tiba-tiba seseorang menyahut. “Jangan mau deh, Bu dia kan—” “Sssttt!” Terdengar sayup-sayup beberapa orang yang sedang makan di sana membicarakannya. Sekali buruk tetap akan dipandang buruk dan mungkin ini akan berlaku selamanya.Kalau dipikir-pikir, ini memang terdengar tidak adil. Bukannya Salwa tidak pernah mengusik kehidupan mereka? Kenapa mereka bersikap seperti itu kepadanya? Padahal Salwa hanya berdosa kepada Tuhan. Tapi, kenapa semua orang seakan ikut membenci? Apa itu sebagai salah satu bentuk hukuman Tuhan kepadanya? Pernah ia mendengar seseorang mengatakan, ‘perbaiki hubunganmu dengan Allah, agar Allah perbaiki hubunganmu dengan sesama manusia' dan apa yang terjadi justru sebaliknya. Hubungan Salwa dengan Tuhan yang tak baik, membuatnya dijauhi oleh sesama. Salwa pulang dengan raut wajah yang murung. Perutnya mendadak kenyang karena mulut-mulut jahat itu.Ini adalah salah satu tantangan terbesar ketika nanti ia telah benar-benar berhijrah. Orang-orang nanti pasti akan menyalahkan hijabnya. Ah, tapi tekadnya sudah benar-benar bulat. Jalani saja dulu, semoga saja, Tuhan memberikannya kemudahan. *** “Alif, ba, ta, tsa, aaaargghhh, kenapa nggakabcdef aja sih, susah hafalinnya!” Salwa mengacak rambutnya frustasi. Susah sekali menghafal huruf hijaiyah. Jika pepatah mengatakan, ‘belajar diwaktu kecil bagai mengukir diatas batu, belajar diwaktu besar bagai mengukir diatas air.’ Belum lagi ia menghafal wudhu, shalat, puasa, dan masih banyak lagi yang mungkin akan sulit untuk sampai di otaknya. “Ya Allah, aku mau ngaji sama siapa ini?” gumamnya. “Pasti nanti kalau mengaji sama pak ustaz, aku di ejek sama anak-anak. Sudah setua ini, huruf hijaiyah saja tak hafal,” gerutunya. “Ba... tsa... ba. Tsa... ba... tsa.” Salwa terus berusaha mengejanya walaupun terdengar sangat terbata-bata. Hingga beberapa minggu kemudian, ada seseorang datang membantunya ketika ia sedang berada di masjid. “Mau dibantu?” tanya perempuan berhijab besar itu. Raut wajahnya memancarkan keteduhan, terdengar ramah dan menyejukkan. Mungkin bila diperkirakan wanita itu berumur sekitar lima puluh tahunan. “Emm, mau Bu Ustadzah,” jawab salwa cepat. “Saya ingin sekali bisa wudhu, bisa shalat, bisa membaca alquran, dan masih banyak lagi.” “Tapi, nggak ada yang mau ngajarin saya. Mereka menjauh kalau saya mendekat.” “Apa kamu punya masa lalu yang buruk?” tanya beliau. “Iya, saya pendosa besar, Ustadzah.” Namun tak ada raut keterkejutan di wajah wanita tua itu. Justru wanita itu mengelus bahunya pelan. “Jangan berkecil hati, Allah lebih menyukai pendosa yang bertaubat daripada orang alim yang sombong,” kata kata ustazah itu cukup memberinya ketenangan. “Ayo kita mulai ngajinya, tapi sebelum itu apa kamu sudah ambil air wudhu?” “Belum, tolong ajari saya,Bu Ustadzah.” “Ya sudah, sebaiknya, kamu ikuti saya saja, ya.” Namun bukannya mengajaknya ke tempat wudhu, perempuan berhijab besar itu membawanya keluar masjid. Sedikit bingung, tapi kemudian ia tetap mengikutinya. “Rumah saya memang agak jauh, saya nggak bawamobil ataupun motor.” “Iya tidak apa-apa, Bu.” Orang yang dipanggil Salwa ustadzah itu berbalik badan lalu tersenyum menatapnya. “Panggil saya Ummi Nia ya, orang-orang biasa memanggilnya seperti itu. Maksud ummi biar lebih akrab.” “Oh iya Ummi,” dengan senang hati Salwa menyebutnya. “Nah ini rumah saya, silahkan masuk.” Terasa dingin saat kaki Salwa menapaki lantai rumah ummi Nia. Rumah yang kecil mini malis, namun terasa begitu nyaman.Rumah itu di dominasi cat berwarna putih itu terasnya dikelilingi dengan banyaknya tanaman-tanaman hias. Rupanya beliau pencinta tanaman hias? Semerbak harum menyeruak di indra penciumannya karena aroma terapi yang menempel di dinding. “Maaf, nunggu lama ya?” ummi membawakan satu cangkir minuman dan satu tumpuk buku di tangan kirinya. “Jangan repot-repot Umi.” “Nggak papa, hanya minum. Silahkan diminum. Emm namanya siapa, Nak?” “Salwa Ummi.” “Alhamdulillah, orang tuamu memberimu nama yang sangat indah.” “Iya, ini pemberian almarhumah ibu kata ayahku.” “Oh, ibumu, sudah—”Salwa langsung mengangguk, kemudian ummi melanjutkan kalimatnya lagi. “Jangan sedih, doa kan ibumu sebagai bentuk rindumu kepada beliau.” “Aku nggak tau caranya …,” lirih Salwa sambil terisak-isak. “Kita belajar sama-sama!” Hingga beberapa puluh menit berlalu akhirnya Salwa diajarkan tentang berwudhu, gerakan shalat lengkap beserta rakaat-rakaatnya, dan doa-doa dan suratan-suratan pendeknya. Ummi begitu senang karena Salwa yang mudah mengerti apa yang beliau ajarkan. “Untuk sementara, ummi mengajarimu shalat sampai kamu benar-benar bisa. Karena shalat itu ibadah yang paling wajib. Shalat adalah tiang agama. Kelak di akhirat nanti, ibadah ini yang paling pertama Allah tanyakan.” “Baik, Ummi.” “Ayo, tulis apa yang ummi sampaikan tadi.” Allah seperti mengirimkan malaikat untuk Salwa. Kedatangan ummi dalam hidupnya bagaikan lentera di tengah-tengah kegelapan. Kini Salwa melihat jalan terang untuknya melangkah. Salwa mulai merasakan ketenangan saat berdekatan dengan wanita yang Shaliha ini. “Ummi punya sesuatu untukmu!” ucap ummi kepada Salwa, “tunggu di sini sebentar, ya.” Salwa mengangguki ucapan beliau. Kemudian ia melihat ummi Nia masuk kedalam kamar, lalu kembali dengan membawa beberapa lembar kain. Yang Salwa ketahui itu semua adalah hijab. “Perempuan muslim diwajibkan untuk menutup aurat.” Ummi memakaikannya di kepala Salwa. “Pakai ini dikeseharian kamu ya, agar auratmu tertutupi. Bantu ayahmu untuk meringankan dosanya, dengan cara seperti ini.”Ada jeda sebelum Ummi Nia melanjutkan, “Berhijab juga akan melindungimu dari fitnah dan kejahatan. Berhijab juga akan membuatmu sama seperti bidadari-bidadari yang ada di surga. Mulai sekarang, kamu tundukkan pandanganmu dari yang bukan mahram. Niscaya dosa-dosa kita akan diampuni ....” Salwa terharu dan tak kuasa meneteskan air matanya.Tidak terasa sudah tiga hari Raffa menginap di rumah Mami Nida dan Papi surya. Banyak yang sudah dilakukannya di sana karena kedatangannya disambut antusias oleh warga setempat. Masjid yang biasanya sepi berubah menjadi ramai seketika semenjak mengetahui ada tamu luar biasa yang datang dari kota. Banyak dari mereka yang memintanya untuk mengadakan kajian setiap harinya; baik kuliah subuh maupun sehabis maghrib di masjid-masjid dekat daerah itu.Kali pertama Raffa berdakwah di hadapan mertua dan istrinya. Menjadi kebanggan tersendiri di hati Surya dan Nida. Sungguh pilihan yang tepat, tak sia-sia Sarah batal menikah dengan Fery. Rupanya, sosok yang dinikahinya adalah seorang pemuda yang lebih hebat daripada dokter itu. Bahkan kedatangannya pun dapat mengangkat derajat Mami dan Papi Surya. Semua terpana terkagum-kagum. Dan kedua orang tua itu juga merasa menjadi lebih disegani masyarakat karena anaknya menikah dengan salah satu putra ulama terkenal di negeri ini, yaitu Abah Hasyim A
Tampaknya tidak ada yang terlihat membahayakan di raut wajah mereka berdua. Mereka mengobrol selayaknya orang yang telah akrab tanpa ada aura-aura yang memancing keributan. Sarah mendesahkan nafasnya lega, fiuhhh. Semoga semua akan baik-baik saja seperti sedang yang terlihat.“Loh, Mas. Kok kamu ada di sini?” tanya Sarah. “Kenapa nggak ngabarin kalau kamu mau ke sini.”“Kejutan,” hanya itu jawaban Raffa dibubuhi oleh seulas senyum.“Anak-anak sama siapa kamu tinggal?” tanya Sarah lagi.“Sama Maryam.”Maryam lagi, Maryam lagi. Duri dalam daging, musuh dalam selimut, serigala berbulu domba entah sebutan apalagi yang pantas untuk wanita itu. Mungkin kalau Maryam tak menyukai Raffa, mana mungkin dia mau membantu kesulitan Raffa. Dan hanya sesama perempuan yang tahu, karena laki-laki itu memang kurang peka.“Oh,” kata Sarah dengan nada yang bercampur baur dengan kekecewaan.“Oh iya, langsung saja Cilla.” ucap Fery yang masih saja memanggilnya Priscilla. “Aku hanya ingin mengantarkan undang
Raffa menoleh pada saat melihat pintu terbuka. Ia melihat Umminya yang sedang tersenyum tulus dan membawakan sesuatu untuknya yang terletak diatas nampan. “Ummi, jangan repot-repot, nanti Raffa bisa ngambil sendiri.” ia berusaha baik-baik saja walaupun kepala sedang berdenyut hebat. Karena takut menambah kekhawatiran Ummi kepadanya. “Nggak papa, kamu kan lagi sakit,” jawab ummi sambil meletakkan makanannya ke meja. Kasih Ibu memang sepanjang masa. Sampai Raffa telah menginjak umur yang bisa dikatakan kepala tiga seperti ini pun masih sangat diperdulikannya. Tak ada lagi wanita yang lebih mulia dibandingkan dengan seorang Ibu di dunia ini.“Apa nggak sebaiknya kamu kabari Sarah kalau kamu sedang sakit, Nak.”“Nggak usah, Bu. Raffa takut Sarah kepikiran. Biar Sarah tinggal di sana dulu sepuasnya sampai pikirannya fresh lagi,” jawab Raffa sambil menerima satu dua suap dari tangan Ummi.“Benar kata Mami, mungkin Sarah sedang butuh berlibur. Salahnya Raffa juga karena nggak pernah mengaj
“Apa kamu masih marah?” tanya Raffa. Masih berada di samping istrinya.“Aku bukan orang yang sesabar itu seperti Salwa, masih ada ganjalan di sebelah sini,” tunjuk Sarah di dadanya.“Jangan bawa-bawa nama itu, nanti kita bisa bertengkar lagi,” jelas Raffa menekankan kalimatnya. Karena sedikit saja masalah sepele bisa membuat mereka naik darah. Untuk saat ini, menghidari adalah lebih baik. “Aku jujur, Sarah, aku mencintaimu. Aku siap dihukum jika aku berbohong.”“Aku masih butuh waktu, Mas,” jawab Sarah akhirnya setelah lama terdiam.Raffa menunduk dan menghela nafasnya, “Apa kamu masih ingin tetap pergi bersama Mami dan Papi?”Sarah mengangguk pelan. Kenapa harus seperti ini, Raffa harus bagaimana dan cara apa yang harus dilakukan agar Sarah tak meninggalkannya?“Apa itu harus? Kalau begitu, aku ikut saja.”“Nggak usah, kamu banyak tugas di sini, Mas. Untuk apa kamu ikut?”“Sarah, apa kamu masih nggak percaya?”“Percaya, tapi aku masih perlu bukti,” jawab Sarah."Itu sama saja!" sahu
“Sarah! Sarah!” panik Raffa langsung menghampiri. “Sarah, kamu kenapa?” Ia menyatukan wajahnya di kening Sarah. Otak Raffa mendadak kosong tak bisa berpikir apa-apa lagi. Tubuhnya bergetar juga mengeluarkan keringat dingin.Sementara Sarah terus meringis menahan sesuatu yang terasa sakit dan begitu memelintir. Ini sama dengan kemarin yang dirasakannya sebelum Raffa pulang ke Indonesia. Dengan kesadaran yang sudah hilang setengahnya, Raffa mengangkat tubuh Sarah ke sofa agar Sarah bisa berbaring dengan nyaman. Raffa segera menghubungi dokter yang sebelumnya menangani Sarah.“Bangun sayang Plis, kamu jangan mati, jangan mati.” bibir Raffa bergetar ketakutan. Ia tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika Sarah tiada. Seumur hidupnya, Raffa tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.“Sarah, bangun Sarah ….” air mata telah menetes-netes di pelupuk mata sebab karena teringat bagaimana istrinya dulu. Terpejam karena kesakitannya melahirkan seorang anak dan tidak bisa bangun lagi. Trauma aka
Raffa seketika langsung menendang kopernya lalu menghampiri Ummi yang sudah tergeletak di lantai. Mata beliau terbuka, tapi bibirnya pucat. Pun suara teriakannya yang sudah tak terdengar lagi. Hanya karena mementingkan emosi, Raffa mengorbankan seorang perempuan yang paling dicintainya. Raffa mengangkat tubuh kepala Ummi dalam tangis.“Ummi, Ummi, maafkan Raffa Ummi....” Raffa mengguncang tubuh Umminya yang sudah tergolek lemas. “Ada apa ini?” tanya Abah mendekat di susul oleh beberapa anggota keluarga yang lain. Seperti Maryam, Latief dan asisten rumah tangga yang turut menyaksikan. “Astaghfirullah!” Beliau lantas berjongkok. “Ummi!”“Ayo cepat bawa ke rumah sakit!” titah Abah.“Ada apa sebenarnya ini Raffa?” tanya Latief. “Kenapa Ummi bisa sampai jatuh?”Sarah turun dengan sedikit tergesa untuk melihat dengan jelas apa yang terjadi. Wanita itu hanya bisa menangis namun tak bisa berbuat apa-apa.“Ini pasti gara-gara kalian berantem, aku mendengarnya tadi, Bah. Kata Maryam itu mereka