Share

DDC 7: Lentera Dalam Kegelapan

Salwa sudah sampai beberapa puluh menit yang lalu di rumahnya. Rasa letih yang teramat sangat membuatnya langsung terlelap setelah ia membersihkan diri.

Mata itu terbangun ketika jam menunjukkan pukul empat sore. Ini benar-benar gila. Salwa tidur selama sebelas jam lamanya tanpa terganggu sedikit pun. Padahal ia telah memasang alarm dengan volume yang keras serta tak lupa mengaktifkan vibration (getar pada ponsel).  

    

“Kalau aku perutku nggak lapar mungkin bisa keterusan sampai besok lagi,” gumamnya. 

   

Ia langsung membersihkan diri agar lebih segar, lalu keluar membeli makanan dengan berjalan kaki. Kebetulan rumah Salwa dekat dengan warung Tegal langganannya. 

   

“Mau beli apa, Neng?” 

    

“Nasi lauknya ayam goreng aja bu, campur mie, kering tempe, sayur sama sambel.” 

 

“Iya tunggu sebentar ya, saya bungkusin.” 

    

“Iya.” 

    

Setelah ibu-ibu pemilik warteg itu selesai, kini makanan pun sudah berada di tangannya. “Enam belas ribu.” 

    

Salwa mengulurkan selembar uang dua puluh ribuan kepada si penjual. Namun sebelum ia benar-benar pergi, Salwa terlebih dahulu mengajak beliau untuk berbicara. “Maaf, Bu.”   

“Iya kenapa, Mbak?” 

  

“Saya melihat ibu keteteran. Masih butuh karyawan nggak bu?”   

  

“Emang sih saya keteteran, butuh orang untuk membantu saya melayani pembeli.” 

    

“Alhamdulillah.” mendengar kabar baik itu, Salwa seperti mempunyai harapan. 

   

“Memangnya buat siapa?” 

  

“Buat saya, Bu. Insyaallah saya bisa kok bekerja seperti ini.” 

  

“Emm … maaf, nggak deh, Mbak. Maaf ya,” tolaksi penjual itu. “Saya cari yang lain aja.” 

  

Senyum Salwa langsung memudar ketika terdengar penolakan. Entah apa sebabnya tapi mungkin karena—

    

“Ya sudah nggak papa, kalau gitu saya pergi dulu,” kata Salwa kemudian. Merasakan wajah yang begitu malu. 

   

Si penjual tersebut merespons dengan anggukkan kepala dan tersenyum samar. 

   

Tiba-tiba seseorang menyahut. “Jangan mau deh, Bu dia kan—” 

   

“Sssttt!” 

 

Terdengar sayup-sayup beberapa orang yang sedang makan di sana membicarakannya. Sekali buruk tetap akan dipandang buruk dan mungkin ini akan berlaku selamanya.

Kalau dipikir-pikir, ini memang terdengar tidak adil. Bukannya Salwa tidak pernah mengusik kehidupan mereka? Kenapa mereka bersikap seperti itu kepadanya?   

  

Padahal Salwa hanya berdosa kepada Tuhan. Tapi, kenapa semua orang seakan ikut membenci? Apa itu sebagai salah satu bentuk hukuman Tuhan kepadanya?

 

Pernah ia mendengar seseorang mengatakan, ‘perbaiki hubunganmu dengan Allah, agar Allah perbaiki hubunganmu dengan sesama manusia' dan apa yang terjadi justru sebaliknya. Hubungan Salwa dengan Tuhan yang tak baik, membuatnya dijauhi oleh sesama.   

  

Salwa pulang dengan raut wajah yang murung. Perutnya mendadak kenyang karena mulut-mulut jahat itu.

Ini adalah salah satu tantangan terbesar ketika nanti ia telah benar-benar berhijrah. Orang-orang nanti pasti akan menyalahkan hijabnya. Ah, tapi tekadnya sudah benar-benar bulat. Jalani saja dulu, semoga saja, Tuhan memberikannya kemudahan. 

    

*** 

   

“Alif, ba, ta, tsa, aaaargghhh, kenapa nggakabcdef aja sih, susah hafalinnya!” 

    

Salwa mengacak rambutnya frustasi. Susah sekali menghafal huruf hijaiyah. Jika pepatah mengatakan, ‘belajar diwaktu kecil bagai mengukir diatas batu, belajar diwaktu besar bagai mengukir diatas air.’ 

    

Belum lagi ia menghafal wudhu, shalat, puasa, dan masih banyak lagi yang mungkin akan sulit untuk sampai di otaknya. 

   

“Ya Allah, aku mau ngaji sama siapa ini?” gumamnya. “Pasti nanti kalau mengaji sama pak ustaz, aku di ejek sama anak-anak. Sudah setua ini, huruf hijaiyah saja tak hafal,” gerutunya.   

 

“Ba... tsa... ba. Tsa... ba... tsa.”  

  

Salwa terus berusaha mengejanya walaupun terdengar sangat terbata-bata. Hingga beberapa minggu kemudian, ada seseorang datang membantunya ketika ia sedang berada di masjid. 

   

“Mau dibantu?” tanya perempuan berhijab besar itu. Raut wajahnya memancarkan keteduhan, terdengar ramah dan menyejukkan. Mungkin bila diperkirakan wanita itu berumur sekitar lima puluh tahunan. 

    

“Emm, mau Bu Ustadzah,” jawab salwa cepat. “Saya ingin sekali bisa wudhu, bisa shalat, bisa membaca alquran, dan masih banyak lagi.”

  

“Tapi, nggak ada yang mau ngajarin saya. Mereka menjauh kalau saya mendekat.” 

   

“Apa kamu punya masa lalu yang buruk?” tanya beliau.

   

“Iya, saya pendosa besar, Ustadzah.” 

    

Namun tak ada raut keterkejutan di wajah wanita tua itu. Justru wanita itu mengelus bahunya pelan.

 

“Jangan berkecil hati, Allah lebih menyukai pendosa yang bertaubat daripada orang alim yang sombong,” kata kata ustazah itu cukup memberinya ketenangan. “Ayo kita mulai ngajinya, tapi sebelum itu apa kamu sudah ambil air wudhu?” 

   

“Belum, tolong ajari saya,Bu Ustadzah.” 

 

“Ya sudah, sebaiknya, kamu ikuti saya saja, ya.” 

 

Namun bukannya mengajaknya ke tempat wudhu, perempuan berhijab besar itu membawanya keluar masjid. Sedikit bingung, tapi kemudian ia tetap mengikutinya. 

   

“Rumah saya memang agak jauh, saya nggak bawamobil ataupun motor.”

 

“Iya tidak apa-apa, Bu.” 

    

Orang yang dipanggil Salwa ustadzah itu berbalik badan lalu tersenyum menatapnya. 

“Panggil saya Ummi Nia ya, orang-orang biasa memanggilnya seperti itu. Maksud ummi biar lebih akrab.” 

   

“Oh iya Ummi,” dengan senang hati Salwa menyebutnya. 

   

“Nah ini rumah saya, silahkan masuk.” 

    

Terasa dingin saat kaki Salwa menapaki lantai rumah ummi Nia. Rumah yang kecil mini malis, namun terasa begitu nyaman.

Rumah itu di dominasi cat berwarna putih itu terasnya dikelilingi dengan banyaknya tanaman-tanaman hias. Rupanya beliau pencinta tanaman hias? 

    

Semerbak harum menyeruak di indra penciumannya karena aroma terapi yang menempel di dinding.  

   

“Maaf, nunggu lama ya?” ummi membawakan satu cangkir minuman dan satu tumpuk buku di tangan kirinya. 

   

“Jangan repot-repot Umi.”

    

“Nggak papa, hanya minum. Silahkan diminum. Emm namanya siapa, Nak?” 

   

“Salwa Ummi.” 

    

“Alhamdulillah, orang tuamu memberimu nama yang sangat indah.” 

    

“Iya, ini pemberian almarhumah ibu kata ayahku.” 

    

“Oh, ibumu, sudah—”

Salwa langsung mengangguk, kemudian ummi melanjutkan kalimatnya lagi. “Jangan sedih, doa kan ibumu sebagai bentuk rindumu kepada beliau.” 

   

“Aku nggak tau caranya …,” lirih Salwa sambil terisak-isak. 

   

“Kita belajar sama-sama!”   

  

Hingga beberapa puluh menit berlalu akhirnya Salwa diajarkan tentang berwudhu, gerakan shalat lengkap beserta rakaat-rakaatnya, dan doa-doa dan suratan-suratan pendeknya. Ummi begitu senang karena Salwa yang mudah mengerti apa yang beliau ajarkan. 

    

“Untuk sementara, ummi mengajarimu shalat sampai kamu benar-benar bisa. Karena shalat itu ibadah yang paling wajib. Shalat adalah tiang agama. Kelak di akhirat nanti, ibadah ini yang paling pertama Allah tanyakan.” 

   

“Baik, Ummi.”

 

“Ayo, tulis apa yang ummi sampaikan tadi.”   

  

Allah seperti mengirimkan malaikat untuk Salwa. Kedatangan ummi dalam hidupnya bagaikan lentera di tengah-tengah kegelapan. Kini Salwa melihat jalan terang untuknya melangkah. Salwa mulai merasakan ketenangan saat berdekatan dengan wanita yang Shaliha ini. 

   

“Ummi punya sesuatu untukmu!” ucap ummi kepada Salwa, “tunggu di sini sebentar, ya.” 

 

Salwa mengangguki ucapan beliau. Kemudian ia melihat ummi Nia masuk kedalam kamar, lalu kembali dengan membawa beberapa lembar kain. Yang Salwa ketahui itu semua adalah hijab. 

    

“Perempuan muslim diwajibkan untuk menutup aurat.” Ummi memakaikannya di kepala Salwa. “Pakai ini dikeseharian kamu ya, agar auratmu tertutupi. Bantu ayahmu untuk meringankan dosanya, dengan cara seperti ini.”

Ada jeda sebelum Ummi Nia melanjutkan, “Berhijab juga akan melindungimu dari fitnah dan kejahatan. Berhijab juga akan membuatmu sama seperti bidadari-bidadari yang ada di surga. Mulai sekarang, kamu tundukkan pandanganmu dari yang bukan mahram. Niscaya dosa-dosa kita akan diampuni ....”

   

Salwa terharu dan tak kuasa meneteskan air matanya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status