“Pak Bima ini bukan tipe pria membosankan yang kaku kan? Bagaimana kalau tempat negosiasinya biar aku yang atur? Aku ada rekomendasi tempat yang hangat dan menyenangkan yang biasa disambangi pria seperti kita. Aku jamin kau akan suka tempatnya, saranku sebaiknya kau sedikit lemaskan badanmu sedikit, bertingkahlah seperti pria normal pada umumnya. Aku sangat menantikan sambutan baik darimu, Pak Bima.”
Bima mendesah lelah, dia sungguh menyesal setelah pertemuannya dengan sang kolega bisnis tidak berakhir dikantornya malam ini. Pria tersebut terlalu terbawa suasana dan emosi saat menceramahi pekerjaan Rookie sehingga ketika dia terlibat pembicaraan dengan sang investor tanpa punya pilihan dia malah mengiyakan begitu saja ide darinya. Bagaiman pun juga Bima sendiri memang tidak punya pilihan, karena kebetulan dia adalah investor besar untuk proyek selanjutnya. Berdasarkan riset yang dia lakukan soal dia, Bima menemukan beberapa fakta unik tentang pria bernama Anton tersebut. Dia adalah pria petualang yang gemar haus belaian wanita. Setiap malam dia selalu menghabiskan waktunya bergonta ganti perempuan untuk meluapkan nafsu bak hewan yang sedang birahi.
Maka kemudian disinilah dia berada, dijebak dalam situasi yang asing untuknya, berada diantara keramaian dan hingar bingar musik yang memekakan telinga. Hilir mudik perempuan setengah telanjang membuat Bima hanya bisa menutup matanya. Sebenarnya ini bukanlah bagian dari pada job desk-nya, melobi investor bukan tanggung jawabnya. Namun karena ini merupakan sebuah proyek yang besar, Bima merasa gelisah ketika harus mempercayakannya kepada orang lain sehingga dia memutuskan untuk turun tangan sendiri. Tetapi keputusannya tersebut malah membuat dia terpaksa memakan buah simalakama. Jika dia tidak datang proyek bisa jadi berakhir, tetapi ketika berada disini dia benar-benar merasa muak dan mual dengan pemandangan yang dia dapati.
Ini pertama kali di dalam hidupnya, Bima menjerumuskan dirinya sendiri ke tempat yang hina.
Dia adalah seorang pria terpelajar, pria yang dididik dengan tatakrama dan berasal dari keluarga yang konservatif. Tidak pernah sama sekali terlintas di dalam benaknya bahwa dia akan melangkah masuk ke dalam sebuah club aneh yang berisi perempuan penjaja surga dunia.
Musik keras, bau alkohol, perempuan berpakaian nyaris telanjang ada dimana-mana. Kalau saja Bima tidak punya mental baja yang kuat, mungkin dia akan berakhir dalam kondisi menyedihkan disana. Dia mulai mencari keberadaan Anton di tempat itu diantara banyaknya manusia yang sibuk saling bercumbu. Dia pikir akan sulit, tetapi ternyata tidak. Semudah itu mencari Anton di keramaian karena dia terlalu mencolok. Menyewa satu meja disudut dan dikursinya dipenuhi perempuan disisi kanan kiri dan bahkan ada pula yang duduk dibawah dan dipangkuannya. Seperti seorang raja dan haremnya.
“Oh sudah datang rupanya Pak Bima, duduklah disini. Kita nikmati malam ini sebentar sebelum bicara bisnis,” sapan Anton yang sepertinya sudah terkontaminasi oleh alkohol. Tanpa banyak bicara Bima mendekat dan menempati satu kursi kosong yang ada disana.
“Saya tidak punya keinginan untuk menghabiskan malam disini, jika tidak memiliki niatan untuk membicarakan soal bisnis sebaiknya kita mengatur jadwal pertemuannya dikala anda benar-benar sedang senggang,” ujar Bima to the point tepat setelah dia mendudukan bokongnya diatas kursi sofa.
“Hei, ada apa? kau tidak suka dengan perempuan dan minuman kah? Kita ini kan pria, apalagi kau masih lajang. Habiskan waktumu disini untuk bersantai. Aku hanya ingin melihat apakah kita memiliki keselarasan dalam hal bersenang-senang. Jika kau setuju, aku akan langsung tanda tangani kontraknya sekarang juga. Bagaimana?” tawar Anton lagi.
Bima tampak dibuat berpikir agak lama, penawaran itu tidak terlalu buruk. Hanya saja ketika banyak gadis dengan pakaian minim dengan bau parfum mereka yang terlalu menyengat datang mendekatinya seperti lalat. Bima merasa bahwa itu malah bisa jadi sebuah bencana yang buruk. Dia tidak sanggup, dia sebaiknya pergi, ini tidak bisa dia lanjutkan.
“Maaf, tapi sepertinya biar saya atur waktu lagi saja agar kita bisa bertemu di kesempatan berikutnya. Biar saya yang menentukannya dan bukan bukan di tempat seperti ini,” tutur Bima dengan tenang.
Kemudian dengan berani berdiri dari posisinya dan pergi dari sana begitu saja. Meski begitu dia tampaknya tidak bisa begitu saja, sebab para perempuan malah menghalangi langkahnya dan menghambat dia keluar dari klub sialan ini. Beberapa bahkan bersikap terlalu agresif dengan menariknya untuk bergabung. Bahkan meskipun Bima telah bergerak jauh dari tempat dimana Anton berada, gadis-gadis itu masih saja mengerubunginya.
Bima terbelalak dan ngeri sendiri melihat seberapa brutalnya mereka, seolah mereka siap melakukan apa pun asalkan Bima memberikan perhatian. Tetapi kegilaan mereka justru membuat Bima takut. Sejujurnya dia lebih ingin memukul mereka satu persatu jika perlu untuk keluar dari tempat ini. Tetapi sialnya mereka adalah perempuan, dan lelaki sejati tidak boleh melukai perempuan seberapa urgent-pun kondisinya. Orangtunya tidak mengajarkannya untuk berbuat kasar pada perempuan, dan harus selalu menghargai mereka. Tidak peduli meski status mereka adalah seorang pelacur sekali pun.
Tetapi berkat paradigma yang Bima anut, hasilnya dia semakin kesulitan untuk keluar dari klub. Berkali-kali dia mencoba menolak mereka dengan cara yang sopan tetapi para gadis disana tidak mau dengar. Ini benar-benar situasi yang membuat Bima sangat frustasi. Dia berharap ada malaikat yang membantunya keluar dari situasi ini. Dia akan berhutang budi padanya dan akan melakukan apa pun untuk membalas kebaikannya jika ada. Dan kemudian …
“Lepaskan dia. Dia milikku, kalian tidak lihat jelas-jelas dia tidak mau!” tegur seseorang yang membuat anarkisme yang dilakukan para gadis di sekitarnya mulai memudar dan bahkan hilang. Bagi Bima suara feminim tersebut adalah jawaban Tuhan atas doa yang dia lantunkan. Malaikat yang dia harapkan hadir ketengah-tengah dan menghalangi dia dengan tubuhnya sehingga ada batasan yang cukup jelas diantara Bima dan para gadis pelacur lainnya. Untuk sesaat Bima sungguh merasa tertolong, dia bisa kembali bernapas lega sekarang.
“Rose? Apa benar dia milikmu? Aku dengar kau tidak menerima siapa pun hari ini. Lagipula kami hanya melakukan apa yang Nyonya Yuichi katakan. Kami hanya berusaha memperlakukan dia dengan baik, kenapa kamu malah meminta kami melepaskan dia?” ujar seorang gadis yang tidak terima, dia seolah memang sudah menargetkan Bima dari awal sehingga tidak rela saat seorang gadis yang menjadi malaikatnya itu tiba-tiba merebutnya dari dia.
“Kau tahu kalau aku punya situasi khusus kan?”
“Lagi-lagi si tuan putri. Kenapa sih, para pria suka padanya padahal badannya saja jauh dari kata menggoda, sialan! Padahal dia tangkapan yang bagus malam ini!” umpat salah satu gadis yang mengerubungi Bima, meski ada sedikit ketegangan tapi semua gadis yang menghambat Bima mulai berangsur pergi meninggalkannya sehingga kini Bima berdiri hanya bersama dengan gadis berambut hitam pendek di depannya. Dari sudut matanya dia melihat gelagat gadis itu. Anehnya walau pun dia adalah salah satu dari para pelacur, dia punya sesuatu yang menarik dan berbeda.
Lihat saja tingkah ketika rekannya meninggalkan Bima, dia malah bersedekap dada sambil tersenyum sinis dan memandang remeh mereka semua. Padahal dia sejatinya tidak berhak seperti itu, karena dia sendiri pun sama saja dengan mereka. Setelah memastikan tidak ada pengganggu, gadis itu kemudian membalikan badannya dan menjaga jarak dari Bima secara otomatis.
“Tuan sepertinya tersesat ya? Tempat ini sepertinya bukan tempat yang tepat untuk Tuan. Saya minta maaf mengatakan omong kosong di depan mereka semua, tetapi saya tidak punya pilihan untuk mengusir mereka,” ujar gadis itu sambil memandang Bima dengan cara yang nyaman. Dia tidak terlihat sedang menggodanya, tidak juga sedang mencari perhatiannya. Apa yang dia ungkapkan lebih seperti perlakuan tulus dan tidak punya motif apa pun.
“Apa?” ulang Bima.
“Tuan sepertinya adalah pria yang terhormat dan sedikit kaku. Apa ini kali pertama Tuan datang ke tempat ini? menurut saya Anda terlihat lugu,” ujar gadis yang Bima ketahui bernama Rose, karena salah satu dari rekannya memanggil dia dengan nama itu.
“Apa maksudmu? Jadi kau ingin menarik paksa aku seperti gadis-gadis itu untuk menemanimu tidur dan membayarmu?” hardik Bima cepat, dia berasumsi bahwa Rose sedang mengolok-olok ketidaktahuannya.
Namun diluar dugaan gadis itu malah tertawa, selang beberapa saat dia kemudian melangkahkan kaki untuk memperpendek jarak dengan Bima. Pria itu pun secara otomatis mundur seiring dengan setiap langkah yang gadis itu ambil untuk mendekatinya. Hingga tiba-tiba saja Bima justru malah terperangkap diantara Rose dan dinding. Benar-benar situasi yang memuakan.
“Itukah yang terlintas di dalam pikiran Tuan? Memaksamu untuk tidur dengan saya? Sejujurnya itu sangat lucu, apalagi melihat Tuan yang ketakutan seperti ini hanya karena saya dekati,” ujar Rose.
Bima langsung terbelalak dan merasakan rasa panas di pipinya mendengar perkataan Rose yang tepat sasaran.
Meski di dalam klub kondisi pencahayaannya remang, tetapi Rose tahu bahwa tampaknya dia sudah bertindak kejauhan. Makanya Rose menyudahi aksinya dan menjaga jarak kembali dengan Bima.
“Tuan tidak perlu memasang wajah seperti itu. Oh ya, untuk keluar dengan aman, Tuan bisa melalui pintu yang itu.” Tunjuk Rose pada satu buah pintu yang tertutup. Kemudian ketika mata mereka bertemu, dia tersenyum simpul “Sampai jumpa, Tuan. Saran saya jangan datangi tempat yang sama sekali tidak cocok untuk Tuan.”
Gadis mungil dengan rambut pendeknya itu kemudian membungkuk sedikit dan meninggalkannya sendirian.
Detik itu juga, pertama kali dalam sejarah seorang Bima, merasa baru saja terhipnotis oleh seorang gadis. Tapi sialnya kenapa dia harus berasal dari tempat laknat macam ini?
Secara refleks bukannya pergi menuju pintu yang ditunjukan oleh Rose, Bima justru malah mengejarnya dan mencari dia di kerumunan orang. Tetapi semesta bagai tidak merestui tindakannya sebab Rose menghilang bak ditelan bumi. Kemana gadis itu menghilang, secepat itukah dia melarikan diri?
Saat itulah pintu kamar Lucy terbuka, menampakan sosok mungil yang dibalut oleh kaos oversize dan celana panjang training. “Kalau kalian ingin berkelahi di rumahku, aku tidak akan membiarkan kalian masuk rumahku lagi.”“Kau seharusnya tetap berada di dalam, Lucy.”“Tapi semakin aku menahan diriku, semakin aku mendengar Bibi memancing keributan. Aku tahu betul bagaimana Bibi kalau sedang marah.”“Tidak akan ada yang terjadi, selama dia mengangkat jarinya padaku. Kalau dia berani memukulku aku akan pastikan dia tidak bisa berjalan lagi dengan kedua kakinya seumur hidup.”“Justru itu, Bibi orang yang mudah terpancing emosi.”Percakapan diantara kedua orang itu membuat Rookie diam saja. Dia menyadari seberapa dekat hubungan keduanya, dan itu menyadarkan Rookie bahwa ada dinding tidak kasat mata yang tidak bisa dia pisahkan dari kedua orang ini. Bagaimana pun juga, Yuichi pastinya sudah Lucy anggap sebagai pengganti orangtuanya. Mengingat masa lalunya yang cukup buruk dan hanya orang itu s
Sepeninggal Rookie, Lucy tercenung di tempat duduknya. Kedua matanya menatap tanpa minat pada seluruh makanan yang tersaji di atas meja. Saat dia memutuskan untuk menganggap semua itu bukanlah apa-apa dan waktunya bagi dia untuk menahan diri dan tahu diri saat itulah dia mendengar seseorang mengetuk pintu dan menekan bel di luar.Lucy sempat berpikir bahwa barangkali itu adalah Rookie, hanya saja begitu dia membuka pintu Lucy malah tercengang.“Bibi Yuichi?!”“Lama tidak bertemu, Lucy.” Wanita itu tersenyum padanya dengan ramah.Lucy segera menghapus semua ekspresi yang sempat mengganggunya. Kemudian memberi bibinya senyuman yang sama sebagai balasan.“Masuklah. Aku tidak tahu kalau Bibi akan datang.”“Cukup sulit menghubungimu sejak kau meninggalkan aku di kantor pengadilan waktu itu. Jadi, bagaimana sekarang? kau masih berhubungan dengan orang itu?” cerocos Bibi Yuichi sambil meletakan beberapa paper bag di konter dapur. Sesaat dia melihat makanan yang tersaji di meja makan. Masih h
Rookie melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Beberapa kali atas ulahnya dia mendapatkan hadiah berupa umpatan dan juga bunyi klakson dari pengguna jalan lain gara-gara dia mencoba terus menyalip mereka dengan cara serampangan, tetapi lelaki itu tidak peduli. Semua itu demi upayanya memperpendek jarak tempuh menuju tujuannya sekarang. Rumah sakit.Semua itu karena sebuah kalimat yang terlontar dari mulut Bima. Sebenarnya hanya beberapa kata saja, tetapi hal tersebut cukup membuat jantung lelaki itu berdebar kencang dan hatinya di penuhi dengan kecemasan. Kekhawatiran yang memicu dirinya bertindak gegabah dan nekad. Tentu saja. Mengemudi secara ugal-ugalan di jalan raya bukan tindakan terpuji dan sejujurnya dia pun saat ini sedang menantang maut pula.“Senna mencoba bunuh diri, Rookie. Aku menemukan dia ada di kamar mandi hotel …”Rookie menginjak pedal gasnya lagi, memutar setir ke kiri dan merebut jalan sebuah truk pengantar barang yang membuatnya sekali lagi mendapatkan klakson
Bunyi bel dari pintu kamar hotel yang dia sewa membuat Senna segera bangun dari sofa dan melangkah menuju pintu masuk dengan sumringah. Sebelumnya dia menyempatkan waktu untuk mematut di depan cermin seukuran setengah badan yang terpasang di dekat pintu hanya untuk sekadar mengecek penampilannya sendiri. Senna tentu saja ingin berpenampilan terbaik di hadapan Rookie. Tanpa merasa perlu mengintip dari lubang pintu Senna segera membuka lebar-lebar pintu kayu tersebut dengan senyum termanis yang bisa dia buat. Namun dengan segera harapan yang terpupuk di dalam dirinya harus pupus seketika tatkala melihat siapa orang yang sekarang berdiri dihadapannya. Dia seorang pria tetapi bukan Rookie. Ya, bukan Rookie melainkan kakaknya sendiri, Bima.“Kenapa kakak ada disini?” tanya Senna dengan marah.“Dia tidak akan datang,” kata Bima seraya menerobos masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. “Setelah kau menelepon dia, Rookie menghubungiku karena itulah kesepakatan kami. Dia juga berpesan padaku un
Lagi-lagi telepon berdering, ini sudah kesekian kalinya sejak Rookie angkat kaki dari restoran tempat dia berbincang bersama sang Ibu. Begitu mengetahui siapa yang ibunya libatkan dalam pertemuan mereka, Rookie langsung naik pitam. Tanpa perlu basa-basi lelaki itu langsung meninggalkan mereka. Dan sekarang ponselnya jadi dua kali lipat lebih berisik. Sampai titik dimana akhirnya Rookie menyerah dan mengangkat panggilan telepon yang berasal dari nomor ponsel ibunya.“Ya, Bu?”“Ini aku,” sahut seseorang dari balik panggilan. Kernyitan di dahi Rookie menguat. Saat ini Rookie sangat emosi, tetapi perempuan ini justru menyiram minyak ke dalam kobaran api. Dia jelas tahu bahwa menghubunginya sekarang sudah merupakan sebuah kesalahan besar.“Sudahlah, sekarang katakan apa maumu. Kau tahu kalau kita sudah berakhir kan? kenapa kau melibatkan ibuku?”“Kenapa kau berubah, Rookie? Kenapa kau memperlakukan aku seperti ini?” tanya perempuan itu lagi yang membuat Rookie semakin muak.“Kau berharap a
Rookie melangkah cepat memasuki sebuah restoran keluarga yang letaknya tidak jauh dari gedung perkantoran tempat dimana dia bekerja. Langkahnya terburu karena tidak ingin membuat orang tuanya menunggu. Terlebih adalah hal yang aneh mendapati kabar dari sang ibu setelah konflik yang terjadi dan wanita itu tiba-tiba saja memintanya bertemu. Ya, beberapa saat yang lalu setelah obrolan kecilnya bersama Bima. Ibunya menelepon dan mengatakan bahwa dia telah berada di Jakarta dan meminta untuk bertemu.Restoran tempat janji temu tampak mulai ramai saat Rookie melangkah memasukinya. Restoran tersebut menyediakan makanan hasil laut dan selalu penuh apalagi setiap weekend. Seorang pramusaji dengan seragam sailor mengantarkan Rookie ketika dia berkata punya janji temu.“Maaf membuat ibu menunggu lama,” ujar Rookie kepada ibunya yang sudah terlebih dahulu datang.“Duduklah, kita makan dulu sebelum bicara,” kata ibunya. “Ibu sudah pesankan udang saus inggris untukmu. Kau masih suka itu kan?”Rooki