Share

Pelunas Utang~

"Elu tunggu di sini dulu. Jangan ke mana-mana sebelum gue samperin lu. Ngerti?" titah Kai setelah menggiring Safira masuk ke Bar, dan mengajaknya ke ruangan VIP. Pemuda itu hanya berdiri di depan pintu seraya bersedekap, menunggu Safira masuk ke dalam.

"Kamu mau ke mana lagi?" tanya Safira, masih berdiri di depan pintu sama seperti Kai. Dia kesal, tetapi tidak bisa protes. Untuk apa Kai jauh-jauh mengajaknya ke tempat ini, bila ujung-ujungnya harus menunggu sendirian.

Kai menghela napas panjang, meraup kasar wajahnya sesaat, lantas menyahut, "Tadi 'kan gue udah bilang kalo ada urusan bentar. Nanti gue balik lagi ke sini. Elu tenang aja." Dia pun melihat jam tangannya sekilas dengan gusar. "Udah sana masuk. Tunggu di dalem. Kalo mau tidur, silakan."

"Tap—" Belum juga menuntaskan kalimat protesnya, Kai lebih dulu mendorong lengan Safira supaya segera masuk, sebab dia sudah ditunggu oleh seseorang di rooftop tempat tersebut. "Ish! Kasar banget kamu!" Safira merengut sambil mengusap lengannya.

"Kalo sama gue gak usah manja, ngerti!" ketus Kai, yang kemudian segera berlalu dari hadapan Safira. Dari kejauhan telinganya pun masih bisa mendengar perempuan itu mengumpat dengan suara lantang.

Kai tidak pernah menanggapi serius umpatan Safira yang terkadang terlalu berlebihan. Dia sengaja membuat calon kakak iparnya itu jengkel, dan paham akan posisinya. Jika bersamanya, Safira hanya boleh menurut dan menurut. Titik!

_

Kai melangkah keluar setelah pintu lift terbuka lebar, berjalan santai dengan posisi kedua tangan masuk ke saku celana panjang warna hitam. Lorong yang dilewati cukup sepi, karena di jam sekarang Bar tersebut belum terlalu ramai, dan akan beroperasi di jam malam. Di lorong kedua, ada sebuah pintu besi, dan Kai membukanya. Pintu itu menghubungkan ke sebuah rooftop.

Dua orang pria berjas serba hitam terlihat sedang duduk dengan tiga orang perempuan berbaju sangat seksi. Di tengah-tengah ada meja kaca berbentuk bundar yang di atasnya ada dua botol minuman, empat gelas berkaki tinggi, serta beberapa macam snack. Satu diantara dari pria setengah baya itu sedang asyik bercumbu dengan dua perempuan yang berada di atas pangkuan.

"Eh, Kai? Sudah datang? Sini!" Pria paruh baya kisaran usia empat puluh tahun melambaikan tangan ke arah Kai yang berjalan menghampiri. Perempuan di sampingnya segera berdiri, untuk menyambut Kai.

"Halo, Kai." Sang perempuan berambut cokelat terang itu menggelayut mesra di lengan Kai, dan mendapat kecupan di pipi. "Tambah ganteng aja," pujinya sambil membelai sekilas rahang tegas milik Kai.

Kai tidak pernah keberatan dengan sikap para gadis-gadis di sampingnya. Sebagian dari mereka bahkan pernah berbagi desah dengan pemuda itu.

"Sorry, nunggu lama," ujar Kai, yang langsung duduk berhadapan dengan kedua pria berjas hitam tersebut, lalu menarik pinggang wanitanya supaya duduk di pangkuannya. "Di sini aja, Nggun," pintanya sambil mengusap lengan telanjang Anggun.

Perempuan bernama Anggun itu tentu tidak menolak. Lengannya dengan agresif mengalung di pundak Kai, posisinya miring ke samping, dan dengan leluasa memandang wajah tampan di hadapannya.

"Kamu gak lupa 'kan pesanan saya?" tanya pria yang sama, lalu menyesap minumannya.

"Tenang aja. Saya gak lupa," sahut Kai sambil merogoh kantong bagian dalam jaketnya.

_

Nyatanya, Safira tidak menuruti perintah Kai yang memintanya menunggu di ruangan VIP tersebut. Kebosanan membuatnya memilih keluar dari sana, dan turun ke lantai bawah. Saat tiba di bawah, Safira bertemu dengan teman seprofesinya yang sedang bersiap-siap di ruangan khusus.

"Loh, Fir, kamu … Ngapain di sini? Bukannya jam kerja kamu masih lama?" Teman Safira yang tengah menyapukan kuas blush on di pipi sampai menghentikan pergerakan tangannya, terheran dengan keberadaan perempuan cantik itu.

Safira duduk di samping temannya itu, lalu mengambil botol air mineral yang tersedia di meja, dan membukanya. Dia minum terlebih dahulu, setelah itu lalu menjawab, "Aku ke sini diajak Kai." Botol minum bekasnya dia letakkan lagi ke meja.

"Hah? Sama Kai? Kamu … masih jalan sama dia?" Perempuan berpakaian kurang bahan yang sibuk memoles bibir dengan lipstik seketika kaget.

"Kai yang temennya bos kita itu 'kan?" timpal salah satu dari mereka yang sama-sama berbaju kurang bahan dan riasan menor.

Safira hanya menanggapi malas pertanyaan dari mereka. Kenapa semua temannya terutama perempuan pasti langsung heboh kalau sudah membahas Kai.

'Ck, apa sih istimewanya dia? Menang ganteng doang, tapi akhlaknya zonk!' Safira mencibir Kai dalam hati sambil mengambil ponselnya dari tas selempang yang dia bawa. Berharap ada pesan masuk dari Arkana.

"Kayaknya Mas Arkana beneran sibuk," gumamnya dengan wajah sendu, kemudian meletakkan asal ponselnya di atas meja.

"Kamu gak takut ketauan tunanganmu, Fir? Kalian bentar lagi nikah, tapi kamu masih jalan sama adiknya. Gila kamu!" Satu dari mereka bertanya perihal hubungan antara Safira dan Arkana sekaligus Kai.

"Ya … Aku juga gak ada pilihan lain, tau! Tuh anak maksa banget! Dia ngancem bakal kasih tau Mas Arkana. Bisa gak jadi nikah aku sama dia," cicit Safira, mengurut pangkal hidung karena kepalanya terasa sangat pusing bila sudah membahas mengenai Kai.

Kedua teman Safira mengangguk paham dengan masalah yang menimpanya. Antara mereka tidak ada rahasia apa pun. Bisa dikatakan ketiga orang itu adalah teman dekat serta seperjuangan.

"Utang bokap lu, gimana?" tanya teman Safira bernama Anya. Dari mereka, cuma Anya yang berani mengambil job di luar pekerjaannya.

"Jangan nanya utang, deh! Pusing aku! Sampe ubanan, tuh, utang gak bakal lunas," sahut Safira yang sudah benar-benar merasa pusing dan lelah.

Tiba-tiba teman Safira bernama Lolita menyeru, "Eh, denger-denger dari bos, kalo utang bapak kamu udah lunas, Fir."

"Apa?" Safira sampai melotot dengan mulut ternganga lebar. "Kamu kalo ngomong yang bener, Lit. Utang Bapakku jumlahnya gede. Mana setiap hari dia kalah judi terus di sini. Pak Bos salah omong kali?"

Jumlah utang ayahnya Safira itu mencapai 250 juta, itu pun baru di bayar seperempat dari jumlah total sebenarnya. Belum lagi ada bunga yang hampir setiap hari bertambah jumlahnya. Gaji pokok SPG Safira hanya cukup untuk membayar bunganya saja. ck!

Lolita menggeleng. "Aku beneran denger sendiri, kok. Waktu itu Pak Bos ngomong sama si Farhan," ungkapnya dengan raut meyakinkan. Farhan itu kaki tangan bos pemilik Bar tersebut.

"Wah, masa kamu gak tau, Fir? Emang Pak Bos gak ngomong sama kamu?" Anya menimpali.

Yang lainnya ikut menimpali. "Iya, Fir. Harusnya kamu dikasih tau."

Otak Safira yang kecil tengah bekerja dengan cepat untuk berpikir serta mengingat-ingat. Seingatnya, terakhir kali dia mencicil itu Minggu lalu. "Pak Bos gak bilang apa-apa kemarin waktu aku ke ruangannya seminggu yang lalu," ucapnya sambil menggaruk alis.

"Mungkin lunasnya baru kemaren kali."

"Iya, juga, sih …."

"Eh, tapi kira-kira siapa yang ngelunasin, Fir? Kalo Mas tunanganmu gak mungkin." Anya yang cukup cerdas mulai berasumsi.

"Ya, gak mungkinlah!" Safira bahkan tidak kepikiran sampai ke sana. "Mendingan aku tanya aja, deh, sama Bos." Tak mau capek-capek mikir, Safira pun memutuskan untuk bertanya langsung pada Bosnya.

"Iya, bener. Mending tanya aja sama Bos," kata Lolita, dan yang lain ikut mendukung.

Safira mengangguk, memasukkan ponselnya ke dalam tas, lalu berdiri. "Ya udah. Aku ke ruangannya sekarang aja."

_

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status