Suara riuh para tamu menyambut pengantin wanita yang baru saja keluar dari kamar, membuat suasana pernikahan yang sebentar lagi akan dilangsungkan itu semakin ramai. Safira melangkah sambil tersenyum lebar, menatap para tamu yang hadir untuk menjadi saksi pernikahannya dengan Kai. Gaun pengantin modern, dengan model sangat sederhana membalut tubuhnya yang ramping. Riasan di wajahnya tak begitu mencolok, flawless tetapi tetap memancarkan aura kebahagiaan tak terhingga. 'Takdir itu ... adalah misteri Tuhan. Siapa yang menyangka jika aku akhirnya menikah dengan Kai bukannya dengan Arkana.' Safira berkata dalam hati, masih tak percaya bila semua ini nyata adanya. Dia menikah dengan Kai—adik dari calon suaminya—Arkana."Wah, kamu cantik banget, Fir." Ruth memuji calon menantunya yang malam itu terlihat sangat cantik. "Makasih, Mom." Safira tersipu, sambil tak berhenti mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruang tamu yang sudah disulap mirip gedung pernikahan. Ruth yang menyadari bila
Kemarin kabar mengenai pidana mati dari hakim atas nasib Kai, sangat mengguncang Safira. Sampai-sampai, perempuan itu tak sadarkan diri akibat terlalu syok, dan tertekan. Ditambah dengan kondisi yang memang sedang tidak fit, semakin memengaruhi mental Safira. Selama hampir lima belas bulan lebih, ujian demi ujian datang silih berganti ke kehidupan Safira. Dari mulai dia tahu kebenaran Kai yang seorang pecandu dan pengedar. Lalu, perpisahannya dengan Kai karena lelaki itu direhab. Kemudian, penangkapan Kai. Dan sekarang, pidana mati yang akan dilakukan dua hari lagi. Bagaimana Safira bisa bertahan dari segala terjangan ujian yang tak berhenti datang? Hukuman ini terlalu pedih. Dosa yang dia pikir manis, justru pahit di ujung kisah. Semesta seolah tak memberi restunya. Tuhan seakan mengutuk kisah cintanya bersama Kai. Bahkan, Kaisar yang masih sangat kecil harus ikut menanggung perbuatannya di masa lalu. Hari ini, Safira masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan kekasihnya. Pengac
"Mama!" Seorang anak kecil memakai seragam sekolah taman Kanak-kanak langsung berlarian, ketika baru saja turun dari mobil sedan warna hitam. Nampaknya dia sudah tidak sabar ingin segera menemui sang ibu yang belakangan ini selalu sibuk dengan toko kosmetiknya. Sementara, di belakang bocah lima tahun itu ada pria yang selama ini dipanggilnya 'Papa', sedang berjalan mengikuti. Manik pria itu begitu teduh, menatap sang pujaan yang selama ini betah menyendiri.Safira menoleh ke sang anak yang kini sudah setinggi lututnya. Kaisar menjelma menjadi bocah laki-laki yang sangat tampan dan cerdas. Ternyata, waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, kepergian Kai sudah memasuki di tahun ke lima. "Hati-hati, Sayang. Jangan lari!" Karena takut jika anaknya itu terjatuh saat menaiki tangga, Safira bergegas keluar dari toko kosmetiknya. Dia berdiri di depan pintu masuk toko itu. Kaisar hanya terkekeh melihat sang ibu yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Bocah itu memeluk lutut Safira dengan erat.
happy reading:")***Siang itu seorang gadis cantik berpenampilan sederhana terlihat sedang berbincang dengan seorang lelaki yang penampilannya berbanding terbalik. Tubuh proporsional dibalut dengan setelan jas warna hitam, wajah sangat tampan, dan senyuman yang menawan membuat para perempuan di sekitar curi-curi pandang.Keduanya terlibat obrolan ringan sambil menikmati menu yang tersaji di meja Restoran, yang cukup terkenal. Di weekend seperti sekarang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh pasangan serasi itu. Bertemu dua kali dalam seminggu merupakan salah satu cara agar hubungan mereka tetap terjaga.Dan di setiap pertemuan, mereka akan membahas mengenai apa saja tak terkecuali masalah pekerjaan. Sang wanita terus tersenyum, kadang tersipu apabila mendapat perhatian kecil dari pujaannya. Namun senyuman itu seketika pudar ketika bunyi pesan masuk terdengar.Wanita yang memakai jumpsuit dress warna maroon sebatas lutut itu melirik pada ponselnya, lalu mengejanya dalam hati.
Kesal.Itulah yang dirasakan Safira detik ini. Tidak bisa berbuat apa-apa mau pun menolak keinginan konyol dari pemuda di sampingnya yang tengah fokus menyetir. Kebohongan demi kebohongan seakan menjadi teman baik dalam kehidupan Safira selama hampir tiga bulan terakhir ini. Walaupun itu bukanlah maunya. Akan tetapi, Safira juga terlalu pengecut untuk berkata jujur kepada Arkana—pria baik yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.'Hfft …'Helaan frustrasi tak pernah berhenti berembus dari hidung dan mulut Safira. Rasa bersalahnya seolah-olah membuat dadanya terasa sangat sesak. Arkana sangat mempercayai serta mencintai Safira. Tak pandang bulu meski status sosial mereka amatlah berbeda jauh. Cinta Arkanalah yang membuat Safira menjadi tidak percaya diri, memilih memendam masalahnya sendiri sekaligus menutupi fakta lain mengenai pekerjaan sambilan yang dilakoninya selama ini.Namun, rahasia yang coba dia tutupi dari Arkana lantaran malu, malah justru diketahui tanpa sengaja oleh Kai. S
"Elu tunggu di sini dulu. Jangan ke mana-mana sebelum gue samperin lu. Ngerti?" titah Kai setelah menggiring Safira masuk ke Bar, dan mengajaknya ke ruangan VIP. Pemuda itu hanya berdiri di depan pintu seraya bersedekap, menunggu Safira masuk ke dalam."Kamu mau ke mana lagi?" tanya Safira, masih berdiri di depan pintu sama seperti Kai. Dia kesal, tetapi tidak bisa protes. Untuk apa Kai jauh-jauh mengajaknya ke tempat ini, bila ujung-ujungnya harus menunggu sendirian.Kai menghela napas panjang, meraup kasar wajahnya sesaat, lantas menyahut, "Tadi 'kan gue udah bilang kalo ada urusan bentar. Nanti gue balik lagi ke sini. Elu tenang aja." Dia pun melihat jam tangannya sekilas dengan gusar. "Udah sana masuk. Tunggu di dalem. Kalo mau tidur, silakan.""Tap—" Belum juga menuntaskan kalimat protesnya, Kai lebih dulu mendorong lengan Safira supaya segera masuk, sebab dia sudah ditunggu oleh seseorang di rooftop tempat tersebut. "Ish! Kasar banget kamu!" Safira merengut sambil mengusap lenga
Safira langsung masuk setelah mendapat izin dari Danis—pemilik Bar tempatnya bekerja sampingan, sekaligus sahabatnya Kai. Berdiri sungkan di balik pintu yang baru saja ditutup, Safira belum berani duduk, masih memandang Bosnya yang bermata sipit dan berlesung pipit. Danis adalah keturunan marga Tionghoa campuran Jawa, tetapi dia tidak pelit seperti kebanyakan para orang Cina pada umumnya.Berkat kebaikan hatinyalah, Safira diperbolehkan mencicil utang ayahnya yang kerap berjudi di tempat itu. Setiap satu Minggu sekali gajinya akan dipotong sesuai kesepakatan diawal, yakni 50persen. Sisanya akan diberikan kepada Safira untuk biaya hidup."Kamu jam segini udah ada di sini? Sama Kai?" Danis lebih dulu bertanya pada Safira karena pekerjanya itu tak kunjung membuka suara. Pandangannya tetap tertuju pada layar ponsel di tangan.Safira cukup terkejut karena bosnya itu tahu jika dia datang ke tempat ini bersama Kai. "Kok, Pak Danis tau kalo saya ke sini sama dia?" tanyanya masih berdiri di te
Sambil bersedekap dan tatapan memicing, Safira bertanya, "Kenapa kamu lunasin semua utang-utangku ke Pak Danis?"Saat mengetahui fakta tersebut, Safira tentu saja terkejut dan sempat tak percaya. Mengapa seorang Kai yang tidak ada urusannya sama sekali dengan utang-utang ayahnya Safira, mau berbaik hati mendonasikan sebagian uangnya untuk melunasi.Apa ini hanya akal-akalan Kai saja? Tetapi untuk apa? Untuk apa Kai sukarela mengeluarkan uang sebanyak itu, kalau tanpa ada niat terselubung di dalamnya?Bukannya menjawab, Kai justru tersenyum miring, lalu bersedekap. Padahal, dia belum berniat untuk memberitahu Safira jika telah melunasi semua utang-utang perempuan itu. Rencananya, Kai akan mengatakannya nanti setelah surat perjanjian diperbarui. Namun, tidak masalah. Safira tahu besok mau pun sekarang, itu sama saja. Tidak ada bedanya.Geram, sebab Kai tak kunjung menjawab pertanyaannya. Safira menarik napas panjang, seraya memejam sesaat. Feeling-nya tidak salah lagi. Pasti ada niat te