Adrian mau ngapain nih? 🎐🌊💧( ദ്ദി ˙ᗜ˙ ).☘︎ ݁˖ Jangan lupa kasih jejak ya readers.
Andrew mendekat. Tangannya menyentuh rak terakhir yang hanya berjarak dua meter dari meja pelayanan tempat Nadine duduk. Ia menaruh buku dengan gerakan pelan, terukur. Wajahnya masih tertunduk, tapi matanya menatap tajam ke arah target—Nadine, yang masih belum sadar apa-apa."Sepuluh detik lagi," bisik Andrew dalam hati, tangannya perlahan menyelipkan benda kecil ke dalam saku jaketnya. Sebuah pulpen modifikasi. Bukan untuk menulis, tapi mengandung jarum mikro berisi cairan neurotoksin. Cukup satu tusukan di area leher, korban akan pingsan dalam dua menit, dan kematian terjadi dalam waktu kurang dari sepuluh.Namun sebelum ia melangkah lebih dekat, mendadak sebuah suara berat menghentikan langkahnya.“Jangan coba-coba, Andrew.”Langkah Andrew membeku. Nadine masih tak menyadari, karena suara itu begitu pelan. Perkataan itu hanya ditujukan padanya.Ia menoleh perlahan.Adrian berdiri sepuluh langkah di belakang, mengenakan kemeja dan celana bahan, menyamar seperti dosen atau staf kampu
Nadine menghela napas setelah mendapat notifikasi gajinya sebagai pustakan masuk ke rekening. Di tas yang ia bawa, masih terdapat beberapa lembar uang yang diselipkan Leonard seminggu lalu. Tak terasa ia kembali ke rutinitas tanpa gangguan apapun."Apa aku boleh memakainya?" lirihnya menatap lembaran berwarna merah tersebut. Padahal beberapa hari ini, dia bertahan hidup memakai uang tersebut. Namun, dengan kesadaran diri yangtinggi, ia menggabungkan beberapa uang dari gajinya dengan uang Leonard. "Aku akan mengembalikannya kalau kita nggak sengaja ketemu."Wanita itu segera memasuki perpustakaan. Sebelum itu, ia sempat mampir ke cafe untuk membeli satu croissant isi cokelat dan secup americano. Aroma kopi sedikit menenangkan pikirannya yang mulai lelah. Ia kembali berjalan ke perpustakaan, menyapa sekilas beberapa rekan kerja dan mahasiswa. Hari tampak biasa. Tenang. Rutinitas yang semu.Tapi dari arah gedung seberang, lensa kamera kecil yang terpasang di dalam lampu jalan bergerak pe
Sementara di dua tempat yang berbeda, dua pria dengan obsesi yang sama telah menempatkan bidak-bidak mereka untuk mengawasi satu sosok yang tak bisa mereka buang dari kepala—Nadine.Di sebuah ruang gelap berisi layar-layar monitor dan peta kota terpajang di dinding, seorang pria berkacamata sedang mengetik laporan di laptopnya."Target sudah masuk ke gedung Perpustakaan Universitas 21 April pukul 09.12. Kondisi fisik terlihat lemah, diduga belum makan. Saat ini sedang berada di balik meja pelayanan utama lantai satu. Tidak menunjukkan interaksi mencurigakan."Ia menekan tombol enter, lalu menyisipkan laporan itu ke dalam sistem internal. Tak sampai dua menit kemudian, layar monitor utama berkedip.INCOMING CALL: LS“Sinclair di sini,” kata Leonard dari balik layar, mengenakan setelan jas rapi. Matanya gelap, penuh perhitungan.“Update terakhir?” tanyanya singkat.“Dia kembali bekerja, Pak. Tapi kondisinya masih rapuh. Kami sudah menempatkan dua orang di lingkungan perpustakaan. Salah s
"Sudah bangun?"Mata Nadine yang terbuka sedikit, mendadak melebar. Ia pun terduduk meskipun rasa nyeri menderai perutnya. Ia mengedarkan pandangan. Dia berada di kamar yang sangat mewah dengan sosok pria yang berusaha ia lupakan. Leonard Sinclair!"Astaga! B-bagaimana-""Kamu terkena gerd parah," jawab Leonard santai.Dia duduk di sofa dekat ranjang, mengenakan kemeja hitam yang digulung di bagian lengan. Meski terlihat santai, sorot matanya tetap tajam mengawasi setiap reaksi Nadine. Di tangannya ada secangkir teh herbal hangat, diletakkan di meja kecil di samping tempat tidur.“Kamu pingsan setelah keluar dari ballroom. Aku membawamu ke sini,” lanjutnya, nada suaranya tenang, seolah membawa wanita pingsan dari pesta mewah adalah hal biasa baginya.Nadine memegangi perutnya, nyeri itu belum sepenuhnya hilang. Tapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa Leonard kini duduk di hadapannya—pria yang selama ini ia hindari, yang keberadaannya saja cukup mengguncang seluruh hidupnya.
Seketika itu juga, ballroom yang sebelumnya dipenuhi denting gelas dan tawa mewah berubah menjadi ruang yang membeku dalam hening menegangkan. Semua mata terarah pada sosok pria berwibawa yang kini melangkah masuk—Leonard Sinclair, tokoh politik karismatik yang dikenal luas di media nasional sebagai pria yang licin, berbahaya, dan hampir selalu mendapatkan apa yang ia inginkan.Suara langkah sepatunya menggema di atas marmer ballroom.Nadine yang tadinya hendak melangkah mundur terhenti begitu saja, tubuhnya menegang. Ia mengenali suara itu. Tidak salah lagi. Tapi ia tidak mengerti 'apa yang Leonard lakukan di sini?'Evelyn terkejut bukan main. Wajahnya seketika pucat saat menyadari siapa yang berdiri hanya beberapa meter darinya.Sementara Adrian tampak gelisah. Jelas sekali ia mengenal Leonard. Bahkan pernah menjalin kedekatan politik yang sangat rahasia dengannya. Tapi yang membuat jantungnya berdegup lebih keras adalah kenyataan bahwa Leonard tak pernah muncul tanpa alasan.Leonar
Evelyn mencoba tersenyum, tapi senyumnya goyah. “Itu... itu pasti palsu,” katanya, suaranya tak lagi setegas tadi. “Kau mencetak sendiri, siapa yang tahu?”Nadine mendekat perlahan, tetap tenang. Ia tak mengangkat suara, tapi justru karena itu, setiap kata yang diucapkannya terdengar lebih tajam.“Kau bisa bilang itu palsu,” ujarnya, “tapi Adrian tahu tulisannya sendiri. Tanda tangannya. Kita lihat saja apakah dia berani menyangkalnya.”Dan seolah semesta merespons, terdengar kegaduhan kecil dari arah pintu masuk ballroom.“Permisi. Boleh saya lewat?”Semua kepala menoleh.Adrian.Muncul dari balik pintu dengan setelan abu-abu gelap yang sedikit kusut, dasinya longgar, wajahnya tampak tegang. Ia baru tiba. Dan jelas belum tahu apa yang terjadi.Evelyn langsung melangkah ke arahnya. “Sayang! Kamu yang mengundang dia ke pesta kita?!" tanpa sadar wanita itu bertanya dengan nada tinggi. Emosinya memuncak karena dipermalukan Nadine.Saat melihat sosok yang ditunjuk istrinya, kedua alis Adri
Nadine menatap Evelyn. Mata mereka bertemu.Ia bisa saja menunduk. Bisa saja pergi, tapi tidak kali ini.Dengan perlahan, Nadine meletakkan garpu di atas piring, lalu mengusap sudut bibir yang bahkan belum tersentuh makanan. Ia berdiri. Walau tubuhnya ringkih, sorot matanya tak lagi goyah.“Aku tahu aku nggak diundang,” jawab Nadine pelan, tapi terdengar jelas. “Tapi aku datang bukan untuk makan... atau merusak pestamu.”Beberapa tamu makin menoleh penasaran. Seorang fotografer bahkan mengangkat kamera, ragu, sebelum diperingatkan pelan oleh panitia. Musik masih mengalun, tapi volumenya menurun, tertelan suasana.Evelyn menyilangkan tangan di dada. “Lalu kenapa kau di sini? Mau minta simpati? Mau bikin drama?”Nadine menggeleng. Ia membuka tas kecil di tangannya, lalu mengeluarkan sebuah kotak beludru tua—kotak kalung yang sejak tadi ia genggam erat.“Aku cuma mau mengembalikan ini,” katanya. Ia melangkah maju, menembus pandangan orang-orang yang mulai membentuk lingkaran tak kasat mat
Nadine berlarian keluar dari gang sempit di belakang kontrakannya. gaun navy ia cincing menghindar kubangan air.Ia menghentikan ojek online dan naik tanpa banyak bicara, hanya menyebutkan, “Grand Aurelia Hotel, secepatnya, Mas.”Sepanjang perjalanan, Nadine diam. Tangan kanannya memeluk tas kecil yang berisi kotak kalung, hadiah dari Adrian bertahun-tahun lalu. Hati wanita itu kacau. Sekujur tubuhnya berkeringat, entah karena gugup, hangover, atau udara yang memang panas pengap.Baru lima belas menit perjalanan, motor yang ia tumpangi berhenti mendadak.“Waduh, Maaf, Kak. Kayaknya bannya kempes,” ujar sang driver sambil menoleh khawatir.Nadine mendongak cepat, panik. “Tapi aku harus sampai sekarang juga! Ada pernikahan…”“Saya ganti ban dulu, paling cepat setengah jam. Atau Mbak mau ganti kendaraan?”Nadine memutar kepala, mencari kendaraan lain. Tapi jalanan macet dan padat. Tak satu pun taksi lewat. Ojek online lain juga sulit ditemukan karena sinyal di gang tersebut lemah. Ia me
Adrian calon pengantin pria sedang berdiri membelakangi pintu. Dia berada di kamar suite hotel Gran Aurelia. Kamar yang berada di lantai atas memamerkan gemerlapnya kota Jakarta. Di tengah keheningan itu, ponselnya menyala.Tak lama, suara pelan terdengar dari earpiece-nya.“Kami sudah menyelidiki rekaman CCTV hotel. Semua wajah terdata, tapi ada pria yang tidak terdeteksi wajahnya. Entah karena angle kamera atau seseorang menghapusnya dari sistem.”Rahang Adrian mengencang. “Jadi, sampai sekarang kalian belum tahu siapa bajingan itu?”“Maaf, Pak. Dia seperti orang penting. Kami duga dia sudah profesional.”Adrian mengumpat pelan. Tangannya mengepal hampir meremukkan ponsel.“Aku ingin tahu dia siapa. Terus habisi siapapun dia! Aku tidak mau ada yang mengotori milikku.” Urat pelipis Adrian menegang, ia teringah dengan laporan Nadine- kekasihnya menghabiskan malam dengan pria lain. Hatinya tidak rela! “Siap, Pak. Kami akan telusuri lagi malam ini.”Belum sempat ia menutup panggilan, s