Share

Bab 7

Bab 7

Setelah terdiam dan saling pandang, Ibrahim kembali tersadar, perlahan ia menegakkan posisi Arumi, lalu melepaskan tangan dari tubuhnya.

"Maaf ...," ucapnya salah tingkah, ia mengalihkan pandangan dari Arumi.

"Ya Allah ... debaran ini? Mengapa aku bisa kembali merasakannya saat bersama Arumi? Debaran jantung yang hampir kulupakan rasanya, akibat terlalu lama aku tak dapat merasakannya. Hatiku yang telah lama mati, seolah kembali mendapatkan nyawanya.

Tapi ini tidak boleh terjadi. Aku tidak boleh terlena, sehingga harus merasakan luka yang sama." Ibrahim bergumam dalam hatinya.

"Loh, kok minta maaf sih, Mas? Halal loh, Mas ... pahala malah kalau peluk-peluk istri," goda Arumi, kantuk yang dirasakannya seketika menghilang berganti dengan pandangan antusias.

"Sudah shubuh, buruan ambil wudhu' terus shalat." Tak menanggapi ucapan Arumi, Ibrahim justru mengalihkan pembicaraan, berniat ingin terlihat stay cool, namun tanpa ia sadari, sikapnya justru semakin mempertegas salah tingkahnya.

Arumi tersenyum, "sekarang Arumi tahu, ternyata Mas Ibra itu masih jaim toh mau nyentuh-nyentuh Arumi? Jadi nyentuhnya nunggu Arumi nggak sadar. Iya, kan, Mas?"Arumi semakin memanfaatkan momen salah tingkah suaminya.

"Nggak usah fitnah!" Ibrahim dengan cepat menyangkal.

"Nggak apa-apa kok, Mas ... kalau Mas Ibra memang masih jaim, Arumi siap menunggu sampai Mas benar-benar siap," lanjut Arumi lagi dengan senyam senyum cengengesan khasnya.

Ibrahim hanya menggeleng, kemudian melenggang pergi menuju kamar mandi.

"Sekalian mandi, Mas ... keramas! Itung-itung latihan kalau besok bangun shubuh harus mandi besar," teriak Arumi semakin menggoda suaminya. Namun Ibrahim terus berjalan tanpa memperdulikannya.

Tak berselang lama, Ibrahim keluar dari kamar mandi.

"Kok cepet, Mas? Nggak jadi mandi?" tanya Arumi melihat rambut suaminya yang hanya basah sebagian tanda bekas wudhunya.

"Ngapain saya harus mandi?" sahut Ibrahim sembari mengecek wajahnya di cermin rias Arumi.

"Yee ... dibilang latihan kok! Biar terbiasa, Mas!" ucap Arumi sembari berjalan ke arah suaminya, menyerahkan selembar sarung dan baju koko yang disiapkannya.

Ibrahim menerima set baju shalat yang diberikan istrinya, "lain kali kamu tidak perlu repot-repot begini, saya bisa sendiri," ucap Ibrahim datar.

"Tapi kan Arumi juga ingin melayani Mas Ibra sebagai suami Arumi," sahut Arumi sambil tersenyum tenang.

"Tidak perlu terlalu kaku dalam urusan suami istri, ingat, ini semua hanya sementara." Ibrahim kembali mengulang kalimat yang paling dibenci untuk didengar oleh Arumi.

"Tapi Arumi tidak pernah menganggap pernikahan ini hanya sementara, Mas ... tetap bagi Arumi, pernikahan adalah hal sakral yang tidak boleh dipermainkan. Bagaimanapun keadaannya, selama masih memungkinkan, Arumi akan berupaya untuk mempertahankan," ucap Arumi mantap.

"Saya hanya nggak mau kamu akan menyesal nantinya." Kali ini Ibrahim berkata seraya memandang Arumi.

"Bukan Arumi, tapi Mas Ibra yang akan menyesal karena telah melewatkan masa-masa indah di awal pernikahan kita." Arumi menyahuti dengan santai, walau tak dapat dipungkiri bahwa dalam hati ia pun merasakan khawatir.

Ibrahim tak lagi menjawab, ia kembali mengalihkan pandangan dari Arumi.

"Sajadahnya sudah Arumi gelar, Mas ... tapi tunggu, ya, shalatnya tunggu Arumi dulu, jangan ditinggal, yaa ...," pesan Arumi sebelum beranjak menuju kamar mandi.

Ibrahim menghembuskan nafas, mengambil posisi untuk duduk dan membaca wirid sembari menunggu Arumi. Baginya tidak ada salahnya menunggu Arumi untuk shalat berjamaah, toh pahala akan dilipatgandakan untuk hal itu.

Namun, Ibrahim mulai lelah menunggu saat lima belas menit berlalu dan Arumi tak kunjung menunjukkan batang hidungnya.

"Ini anak ambil wudhu di kamar mandi lamanya kaya ambil wudhu di ujung kali," gerutunya kesal. Ia pun berdiri, berjalan ke arah kamar mandi, berniat mengingatkan Arumi agar lebih cepat.

Digerakkannya tangan untuk mengetuk pintu kamar mandi, namun tiba-tiba pintu kamar mandi itu terbuka, hingga tangan Ibrahim hampir saja mengetuk kening Arumi.

"Mas!" Arumi memekik seraya memundurkan kepalanya.

"Astaghfirullah!"

Ibrahim reflek beristighfar dan menurunkan tangannya.

"Lihat istri habis mandi harusnya shubhanallah, Mas, bukan astaghfirullah," ucap Arumi yang hanya mengenakan piyama mandi dan rambut yang dililitkan di kepala.

Ibrahim hanya terdiam meneguk ludah.

"Mas Ibra kenapa di sini? Mau ngintipin Arumi mandi, ya?" goda Arumi saat Ibrahim tak kunjung memindahkan tubuhnya dari posisi semula.

Seketika Ibrahim memundurkan posisinya.

"Nggak usah takut gitu lah, Mas ... Arumi ini istri Mas Ibra, loh, bukan hantu," ledek Arumi.

"Kamu ngapain mandi? Saya tunggu dari tadi pantesan lama." Ibrahim menyampaikan protesnya.

"Mandi lah, Mas ... untuk latihan, supaya terbiasa kalau nanti Mas Ibra akan bikin Arumi mandi tiap shubuh." Arumi menjawab sembari berjalan dan mengeringkan rambut basahnya.

Ibrahim menggeleng heran.

"Sudah berapa kali saya katakan, itu tidak akan pernah terjadi, Arumi!" Ibrahim berucap sambil berjalan kembali ke tempatnya, melewati Arumi begitu saja.

"Ya ... minimal untuk saat ini Arumi melakukan ini untuk menunjang sandiwara aja, Mas ...." Arumi mengenakan mukenahnya, dan berjalan ke tempat shalat yang telah ia sediakan.

"Maksud kamu?" tanya Ibrahim tak memahami maksud ucapan istrinya.

"Setiap pagi Arumi akan membantu Ummi di dapur, lalu saat pagi ini beliau melihat rambut Arumi kering gersang tanpa sentuhan air seperti hati Arumi yang gersang tanpa sentuhan Mas Ibra gimana? Kira-kira apa yang akan beliau pikirkan?" sahut Arumi mengalir begitu saja.

"Kamu kan bisa pakai jilbabmu." Ibrahim menimpali dengan entengnya.

"Aneh lah, Mas ... orang nggak biasanya Arumi berjilbab di depan mereka. Dah lah, nggak masalah juga kok Arumi mandi, sekalian kan ... biar bisa cepet siap ke kampusnya?" sahut Arumi mengakhiri pembahasan.

"Ya saya nggak enak aja bikin kamu harus sampai repot-repot bersandiwara seperti ini."

"Mangkanya, Mas ... dibikin nyata aja, bair nggak usah sandiwara." Arumi kembali menggoda suaminya.

"Sudah ya, kita shalat dulu, keburu habis waktu shubuhnya." Ibrahim sengaja mengalihkan pembicaraan.

"Yeee ... si pak dosen mah, ngeles mulu kerjaannya," celetuk Arumi. Namun Ibrahim tak menggubris, ia segera bersiap untuk melaksanakan shalat shubuh, dan Arumi pun mengikutinya.

Setelah mengakhiri sesi shalat dengan doa, Ibrahim tak langsung meninggalkan tempatnya, ia menggunakan waktu untuk membaca wirid yang istiqomah ia lakukan setiap shubuh.

Sementara Arumi, sambil menunggu suaminya, ia memanfaatkan waktu untuk murajaah hafalannya, membaca beberapa ayat dari Al Qur'an secara bil ghaib (tanpa melihat teks), ia sengaja mengeraskan suara saat membaca Al Qur'an sebagaimana hadis mengajarkan, agar yang bernilai pahala tidak hanya bacaannya, melainkan ada nilai plusnya dari pendengaran.

Ia juga membaca dengan tartil, sebagaimana anjuran dalam ayat ke-empat dari surah Al muzammil, 'warattilil qur'ana tartila,' bacalah Al Qur'an dengan bacaan yang tartil.

Bacaan itu terdengar indah dan mendamaikan, didukung dengan merdunya suara Arumi yang menguasai banyak nada, membuat suaminya seolah terhipnotis. Ibrahim sampai sengaja memperpanjang durasi dzikirnya, demi bisa menikmati bacaan Al Qur'an istrinya.

Keduanya saling menunggu tanpa berkomunikasi, hingga tanpa terasa Arumi menyelesaikan bacaan surah Maryam, lengkap hingga ayat terkahir. Ia pun mengakhiri bacaannya.

Ibrahim menoleh saat Arumi mengakhiri bacaan Al Qur'annya.

"Sudah selesai?" tanya Ibrahim.

"Sudah, Mas, sudah akhir surah," jawab Arumi.

Ibrahim mengangguk. "Saya harap kamu melakukannya setiap selepas shubuh, mendengar bacaan Al Qur'an membuat hati terasa tentram," pinta Ibrahim.

Arumi tersenyum, ia bahagia, sebab suaminya menikmati bacaan Al Qur'annya.

"InsyaAllah, Mas," jawab Arumi.

"Terima kasih," ucap Ibrahim sembari tersenyum tipis.

"Sama-sama, Mas ... tapi boleh Arumi minta satu hal juga?" tanya Arumi pada suaminya.

"Apa itu?"

"Arumi ingin, setiap sehabis shalat dan sebelum tidur, Mas Ibra memberikan tangan Mas untuk Arumi cium, dan Mas Ibra bersedia memberikan kecupan di kening Arumi," pinta Arumi seketika membuat Ibrahim memandangnya dengan pandangan yang tak dapat diartikan olehnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Iqbal Ngarifin
menarik banget kaaa cerita nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status