Bab 6
Ibrahim terdiam saat mendengar pertanyaan istrinya."Kapan-kapan aja bahasya, sekarang tidur lah!" Sambil mengalihkan pandangan, Ibrahim menjawab pertanyaan Arumi."Tapi, Mas ....""Besok pagi saya nggak mau datang terlambat gara-gara nungguin kamu!" Ibrahim kembali menyahuti."Jadi besok kita berangkat bareng, Mas?" tanya Arumi antusias, sejenak fokusnya teralihkan. Sementara Ibrahim hanya meliriknya sekilas."Mas ....""Hem?"Arumi janji deh, besok nggak akan bikin Mas Ibra terlambat, Arumi akan siap lebih awal, tapi, Mas ... please dong ... jawab dulu pertanyaan Arumi," pinta Arumi memohon agar suaminya bersedia menjawab.Ibrahim memandang Arumi sejenak, meletakkan ponselnya di meja lalu melepas kacamata."Memangnya kenapa kamu ingin tahu jawabannya? Apakah penting? Toh apapun jawabnnya tak akan merubah apapun." Ibrahim menanggapi serius pertanyaan Arumi."Penting, Mas ... Setidaknya jawaban itu bisa menjadi acuan untuk bagaimana Arumi harus bersikap. Arumi hanya ingin tahu, kenapa Mas Ibra tidak menolak wacana ini, sementara Mas sendiri sebenarnya enggan menerima pernikahan ini. Kenapa Mas Ibra tidak menolak, dan apa alasannya?" tanya Arumi menampakkan sisi kedewasaannya."Alasan saya hanya satu, karena Ibu yang meminta." Ibrahim menjawab apa adanya."Apakah ibu memaksa sehingga Mas Ibra tidak bisa menolak?" Arumi membenarkan posisi duduknya, bersiap mendengarkan suaminya bercerita."Sama sekali tidak. Ibu adalah sosok yang paling banyak mencurahkan cintanya untuk saya, namun sama sekali tidak pernah memaksa saya. Bahkan sekedar meminta saja tidak pernah ia lakukan kalau tidak terpaksa.Tapi justru karena itulah, saya merasa segan jika harus menolak permintaannya yang hanya sesekali. Karena kalau Ibu sampai meminta saya melakukan suatu hal, artinya beliau memiliki banyak alasan dan pertimbangan." Ibrahim menjelaskan bagaimana sosok ibunya terhadap Arumi.Arumi mengangguk-angguk, "benar kata Ummi, Mas Ibra ini sangat hormat dan taat pada ibunya." Arumi menyimpulkan dalam hati sembari tersenyum bangga."Dengan segala alasan dan pertimbangan dari Ibu, mengapa Mas Ibra seperti sama sekali tidak mempertimbangkan untuk tetap melanjutkan pernikahan ini seperti harapan beliau? Bukankah alasan dan pertimbangan Ibu cukup menjadi alasan bagi Mas?" Arumi bertanya semakin mendetail. Ia merasa, ada alasan besar yang menjadikan suaminya enggan menjalankan pernikahan mereka sebagaimana mestinya."Pertanyaan inti kamu sudah terjawab, jadi tidak perlu memperlebar pembahasan sampai ke mana-mana. Tidurlah, ini sudah malam." Ibrahim mebgalihkan pembahasan, ia menjawab dengan nada bicara yang menyimpan banyak makna di baliknya.Memahami suaminya enggan terbuka, Arumi memutuskan untuk mengalah, ia tidak memaksakan dirinya untuk terlalu memasuki ruang privasi lelaki yang baru menikahinya itu."Nggak apa-apa kalau memang Mas Ibra belum mau bercerita. Terima kasih ya, Mas, untuk malam ini. Maaf kalau Arumi ada salah dalam berkata atau bersikap," ucap Arumi sembari tersenyum, kemudian meraih tangan suaminya dan menciumnya penuh hormat, seketika membuat hati dosen muda yang menikahinya itu menghangat."I ... iya, sama-sama," jawab Ibrahim terbata.Arumi tersenyum, "Arumi tidur dulu ya, Mas ...," pamit Arumi pada suaminya."Hem." seperti biasa, suami tembok Arumi itu hanya berdehem sebagai responnya.Namun Arumi tak kunjung beranjak dari tempatnya."Nggak jadi mau tidur?" tanya Ibrahim sembari memandang penuh tanya."Jadi, Mas ... tapi masih nungguin," jawab Arumi membuat suaminya bingung."Nungguin apa?" tanya Ibrahim sembari menautkan kedua alisnya."Nunggu dikecup sama mas Ibra," goda Arumi sembari senyam-senyum manja. Andai tidak dihadapan suaminya, mungkin ia telah dijuluki dengan wanita kegatelan. Namun inilah upayanya dalam memenangkan hati suaminya."Nggak usah mulai, Arumi!" ucap Ibrahim dengan raut tegang.Arumi tersenyum, "iya iya, Mas ... bercanda! gitu aja udah tegang. Padahal toh ngecup Arumi nggak akan semenyakitkan nyium pintu, Mas." Arumi malah meledek suaminya."Arumi ... tidur!" Ibrahim memperingati, ia tak habis pikir dengan bocah di hadapannya. Bagaimana mungkin dia malah meledeknya di saat ia bersikap sedatar tembok terhadapnya."Iya iya, Mas ... Rum tidur dulu, ya ... Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Arumi berjalan ke arah ranjangnya, melepas abaya yang dikenakannya, menyisakan piyama sexy yang membalut tubuh indahnya.Ia sengaja memperlambat gerakan melepas abaya, berharap suaminya akan memperhatikannya, lalu hal itu akan membangkitkan semangat tempurnya. Namun sampai abaya itu benar-benar terlepas dari tubuhnya, kode yang ia tunggu dari suaminya tak kunjung ia dapatkan.Arumi mendesah kecewa, meletakkan abaya pada tempatnya, kemudian segera berjalan menuju tempat peraduan, berniat mengecek ponsel yang ia tinggalkan di nakas. Namun baru saja kakinya melangkah, tiba-tiba suara suaminya menginterupsi."Arumi!"Segaris senyum terlukis di wajah ayu Arumi, "Yes ... Mas Ibra pasti nggak tahan lihat aku kayak gini," gumamnya dalam hati. Ia pun segera membalikkan tubuhnya, menyambut panggilan suaminya dengan segenap jiwa dan raga. "Ya, Mas ... mau sekarang?" sahut Arumi dengan suara yang dibuat-buat sembari memasang raut wajah menggoda."Mau apa?" tanya Ibrahim bingung."Emang Mas Ibra mau apa tadi manggil Arumi?" tanya Arumi balik, sembari menggerak-gerakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, salting sendiri sebelum mendengar jawaban sang suami."Mau ingetin kamu, jangan lupa gosok gigi. Itu bekas donat kalau nggak disikat bisa bikin gigimu berlubang," ucap Ibrahim seketika membuat bibir Arumi mencebik."Kenapa, ada yang salah?" tanya Ibrahim melihat perubahan ekspresi istrinya.Arumi memakasa terseenyum, nggak ada kok, Mas ... I love you too," sahut Arumi sembari mengayun langkah malas menuju kamar mandi.Sementara Ibrahim, lagi-lagi hanya menggeleng heran melihat sikap receh gadis yang baru saja dinikahinya."Disuruh sikat gigi malah jawab I love you too, untung nggak lagi ujian, coba aja kalau lagi ujian jawabnya nggak nyambung gitu, nggak akan saya kasih lulus dia! Dasar bocah labil," gumamnya sembari tanpa ia sadari senyuman tipis terukir menghiasi bibirnya.***PZDingin shubuh mulai membelai permukaan kulit sepasang suami istri yang tak saling menghangatkan di malam pertama pernikahan mereka. Ibrahim mulai membuka mata, dan mendapati selembar selimut telah membalut tubunya.Entah sejak kapan? Ia tak tahu. Terakhir yang diingat, ia tertidur saat tak lagi dapat menahan kantuk di tengah kesibukannya menyelesaikan tugas-tugasnya.Ibrahim menggeliat, merenggangkan otot-otot yang terasa kaku akibat semalaman tidur di sofa. Ia pun mulai menggerakkan tubuh, mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk, mengumpulkan kesadaran sebelum memutuskan untuk beranjak ke kamar mandi.Namun, detik berikutnya Ibrahim dibuat terkejut, saat mendapati gadis bernama Arumi yang baru dihalalkannya itu tengah tertidur sambil duduk di sisinya. Gadis itu menjadikan sofa yang ia tiduri sebagai bantal, sementara tubuhnya ia biarkan terduduk hingga menjelang shubuh."Astaghfitullah, Arumi ... kenapa dia malah tidur di sini?" gumamnya dalam hati, menyesalkan keputusan Arumi.Tanpa pikir panjang, ia pun membangunkan Arumi, namun gadis itu seperti enggan membuka mata. Ia justru menggeliat dan hampir saja membuat tubuhnya terjengkang ke belakang.Beruntung Ibrahim segera bergerak cepat untuk menangkap tubuhnya, hingga tubuh gadis itu tak sampai terjengkang.Merasa terkejut, Arumi pun membuka kedua matanya, dan betapa terkejutnya ia, saat merasakan tubuhnya berada di dalam dekapan suaminya."Mas Ibra?" ucapnya dengan suara serak khas bangun tidur.Bab 39"Assalamualaikum." Ibrahim mengucap salam, seketika Yusuf dan Azizah menoleh ke arah mereka. Azizah hang tengah menemani putra bungsunta itu menyambut dengan senyuman, memandang Ibrahim yang datang menggandeng tangan istrinya. Sementara Yusuf, ia memandang saudaranya dengan pandangan yang sulit diartikan.Kakak Yusuf itu menutup pintu, kemudian berjalan perlahan menghadap Ibunya, masih dengan tangan yang menggenggam erat tangan istrinya.Diraihnya tangan wanita yang telah melahirkannya itu, lalu menciumnya dengan penuh takdzim, hal yang sama dilakukan juga oleh Arumi, kemudian istri Ibrahim itu berdiri tertunduk di sisi suaminya."Suf ... gimana kabarmu?" tanya Ibrahim berusah tetap terlihat tenang di depan adiknya, adik yang sebelum ini menjadi calon suami dari wanita yang kini menjadi istrinya. "Ya ... beginilah, Bang ... Alhamdulillah, masih Allah berikan kesempatan untuk hidup," sahut Yusuf juga terlihat santai. Pandangannya beralih memandang Ibrahim dan Arumi bergantian.
Bab 38"Kok nangis? Sakit, ya, Rum? Saya mainnya kasar?" Ibrahim bertanya sesaat setelah mencapai puncak kenikmatannya.Arumi menggeleng sembari tersenyum."Terus kenapa nangis? Jangan nangis, dong ...!" Ibrahim mengusap air mata Arumi.Tak menjawab, Arumi hanya memandang suaminya penuh haru."Kenapa, Rum? Kamu menyesal?" sekali lagi Ibrahim bertanya, namun lagi-lagi Arumi menggeleng."Arumi nggak apa-apa, Mas ...." Arumi menjawab sembari menyentuh tangan Ibrahim di pipinya."Terus kenapa nangis?""Gimana, ya, Mas? Arumi bingung jelasinnya," sahut Arumi sembari mengelus perut bagian bawahnya yang terasa nyeri."Bilang aja nggak apa-apa? Sakit ya?" tanya Ibrahim sembari meringis."Iya, Mas ... tapi lebih ke terharu aja sih nangisnya, karena akhirnya kita sudah menjadi suami istri seutuhnya," balas Arumi dengan memandang suaminya penuh cinta."Bukan karena sakit? Saya kasar, ya?" Ibrahim terlihat khawatir dan merasa bersalah.Arumi tersenyum, "memang sakit, Mas, tapi bukan karena Mas Ib
Bab 37Menjelang maghrib, hujan baru reda, sementara Arumi yang sudah mendapatkan kehangatan dan kenyamanan, malah tertidur di bahu suami tercinta.Ibrahim memandang Arumi melalui ekor matanya, wajah gadis itu terlihat damai dalam tidurnya. Kedua sudut bibir Ibrahim terangkat membentuk senyuman yang indah,saat ingatannya memutar kembali momen manis yang baru saja ia lalui bersama Arumi. Manis, semanis bibir Arumi yang akhirnya ia cicipi di tengah hujan badai mengguyur bumi."Arumi Hayfa Hasan, tak pernah kusangka takdirku akan berakhir di pelukannya. Dia hadir menyembuhkan banyak luka, lalu menjadi penyejuk jiwa yang telah lama gersang tanpa sentuhan cinta." Ibrahim membatin.Perlahan ia menggerakkan tangan, membelai pipi Arumi hingga membuat matanya yang terpejam itu terbuka dan perlahan mengembalikan kesadarannya."Mas ...." Arumi tersenyum dan membenarkan posisinya."Sudah reda ya, Mas?" sembari mengucek mata Arumi bertanya."Sudah, sudah hampir maghrib juga. Kita balik, ya? Kamu
Bab 36"Arumi, are you okey?" Ibrahim segara menyambut Arumi di depan toilet. Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Ia tak mengira bahwa aroma kecombrang yang digemarinya akan memberikan pengaruh sejauh itu untuk istrinya."Nggak apa-apa, kok, Mas, maaf, ya?" sahut Arumi sembari tersenyum santai."Saya nggak tahu kalau kamu sangat sensitiv dengan aroma kecombrang, maaf karena sudah memaksa." Ibrahim mengiringi langkah Arumi yang kembali berjalan menuju saung tempat di mana mereka meninggalkan makanan."Arumi nggak terpaksa sih, Mas ... bahkan tadi dengan senang hati makannya, karena disuapin Mas Ibra. Cuma emang nggak suka aja dasarnya, Arumi pikir dengan disuapin Mas Ibra rasa makanan yang nggak enak di mulut Arumi bakal jadi enak. Seperti teori-teori di sinetron-sinetron pas adegan romance gitu. Eh ternyata teorinya sesat." Arumi menceritakan apa adanya sembari terkikik sendiri menertawai dirinya."Kamu itu ada-ada aja! Kamu pikir tangan saya tangah
Bab 35Ibrahim beberapa kali menghela nafas panjang dan menghembuskannya. Mengafirmasi positif pada dirinya."Benar kata Arumi, rilex saja, Ibra! Nggak perlu tegang. Apa yang perlu ditakutkan? Arumi istrimu, dia halal untukmu, kamu halal menikmati setiap keindahan tubuhnya. So, nikmati saja! Bukankah ini sebuah tahap untuk kamu bisa mencintainya secara utuh?" Ibrahim bermonolog dengan dirinya sendiri.Perlahan afirmasi positif itu mulai dirasakan manfaatnya. Ia mulai menikmati momen kebersamaannya dengan Arumi yang cukup intim.Melalui perjalanan sembari mengobrol, membahas pemandangan indah di sepanjang jalan yang mereka lewati. Bahkan sesekali tangan Ibrahim menyentuh tangan Arumi yang melingkar di perutnya, sekedar membelainya saat wanitanya itu tengah membuatnya bahagia dengan celotehannya."Mas tahu nggak?" tanya Arumi masih dengan posisi yang sama."Nggak tahu.""Eh, iya juga ya, kan Arumi belum cerita. Kalau gitu, mau Arumi kasih tau nggak?" Arumi terkekeh."Kasih tahu apa?" sa
Bab 34"Kamu sudah selesai?" Ibrahim meletakkan kembali ponselnya saat melihat Arumi keluar dari kamar mandi."Sudah, Mas." Arumi menjawab sembari mendekat ke arah suaminya."Sudah selesai telepon Ibunya, Mas?" tanya Arumi seraya duduk di tepi ranjang, tepat di sisi suaminya."Sudah.""Terus, gimana?""Aman. Sesuai rencana."Segaris senyum penuh kelegaan terukir di bibir Arumi."Mas mau siap-siap? Yuk Arumi bantu." Arumi menawarkan bantuan. Ibrahim yang masih sedikit pening tak menolak, perlahan ia berganti posisi menjadi duduk dibantu oleh Arumi. Meneguk air mineral sebelum beranjak menuju kamar mandi.Dengan dipapah oleh sang istri, Ibrahim berjalan menuju kamar mandi. Bukan tak mampu berjalan sendiri, hanya saja ia mulai menikmati perhatian-perhatian yang diberikan oleh Arumi."Mandi air hangat, ya, Mas, biar rilex," pesan Arumi saat mereka sampai di ambang pintu kamar mandi."Iya, terima kasih, ya?" ucap Ibrahim sembari tersenyum manis ke arah istrinya. Arumi balas tersenyum dan