Share

Bab 02. Pertemuan

"Gua kesal banget," ujar Melisa sembari mengunyah bakso pesanannya.

Saat ini, Ia sudah berada di kantin bersama dengan Dea sahabatnya. Mereka berdua tengah menikmati pesanan mereka masing-masing.

"Kesal kenapa, lo?" tanya Dea pada Melisa.

"Gua kesal sama si gunung es itu," jawab Melisa memanggil Azham dengan sebutan gunung Es.

"Lah, kenapa memangnya?" tanya Dea penasaran.

"Ish, gua di skors sama dia, Dea. Emang lo nggak tahu apa?"

"Hah, di skors? Kok, bisa?"

Dea dan Melisa satu universita, tetapi beda jurusan. Dea mengambil jurusan Tataboga Sedangkan, Melisa mengambil jurusan Sastra.

Melisa menghela nafas kasar. "Gua telat lima menit doang, dan gua udah diskors satu bulan sama dia nggak boleh masuk di kelas dia, nggak masuk akal banget, kan?!"

Dea membulatkan matanya tak percaya. "Buset, sampai segitunya. Benar-benar, dah, tuh, orang. Cuman lima menit di skors satu bulan?!" Melisa mengangguk lemah.

"Maka dari itu, gua kesal banget sama dia." Melisa terus menyuapi mulutnya dengan bakso, meski saat ini ia tengah kesal.

"Kesal, sih, Kesal, Mel. Tapi makannya pelan-pelan napa, sih? Kalau keselek, gimana?" peringat Dea pada Melisa yang berhasil mendapat pelototan Melisa.

"Lo doain gua?" tuduhnya.

"Idih... Sensi banget, sih?"

"Elo, sih. Sembarang aja kalau ngomong. Kalau omongan lo di dengar malaikat, terus gua beneran keselek gimana?"

Dea memutar bola mata jengah. Sahabatnya ini terlalu berlebihan. "Terserah lo lah, Mel. Gua serba salah kalau sama lo. Jangan karena Pak Azham skros elo, gua jadi sasarannya," ucap Dea.

"Au Ah, gua lapar," kata Melisa kembali menikmati baksonya sambil habis tak tersisa.

Melisa gadis yang paling menyukai bakso, es krim dan semua makanan yang enak. Bahkan tidak enak pun, Melisa akan tetap makan. Karena Melisa adalah tukang makan. Itu sebutan Dea untuk Melisa.

"Gua udah selesai. Gua mau cabut pulang dulu," ujar Melisa meneguk es teh pesanannya.

"Idihh... Mentang-mentang udah kenyang, main ninggalin aja lo," protes Dea.

Melisa nyengir kuda memperlihatkan deretan giginya yang putih bersi, dan rapi. Dea hanya mendengus sudah hafal dengan kelakuan sahabatnya yang satu ini.

"Memang mau ke mana, sih, buru-buru amat?"

"Iya, nih. Gua dari tadi ditelfonin ibu disuruh pulang. Nggak tahu juga ini kenapa," jelas Melisa.

Dea mengangguk paham. "Oh gitu ya. Ya udah, deh. Lo hati-hati," peringat Dea.

Melisa mengangguk. "Pasti," balasnya.

Melisa pun beranjak berdiri dan pergi meninggalkan Dea yang masih belum selesai makan. Melisa sebenarnya, belum ingin pulang. Meskipun, hari ini ia hanya ada dua kelas saja. Salah satunya kelas Azham, tapi karena tadi pagi ia terlambat dan Azham meng-skorsnya, maka ia terpaksa tidak bisa mengikuti kelas Azham.

Sedangkan, mata kuliah yang satu. Dosennya tidak masuk karena ada keperluan mendadak, makanya Melisa memilih pulang saja dan membatalkan janji bersama Dea yang akan jalan-jalan ke Mall.

Namun, ibunya juga sudah sejak tadi menelfon dan mengirimi Melisa pesan untuk segera pulang, entah apa yang membuat ibunya sampai segitunya menyuruh Melisa pulang. Padahal dulu, Fitri tidak pernah melakukan hal ini.

***

Melisa memarkirkan mobilnya di garasi rumahnya, ia bingung dengan kehadiran mobil yang sepertinya tidak asing baginya terparkir di depan rumah Melisa.

'Ini mobil, mirip punya si manusia Es itu, deh,' batin Melisa.

Melisa cepat menepis perasaannya. Ia kembali berpikir logis, kalau bukan hanya Azham yang memiliki mobil seperti ini, bahkan banyak sekali.

Meski dengan masih rasa penasaran. Melisa masuk ke rumahnya untuk mencari keberadaan Fitri. Namun, belum juga ia masuk sepenuhnya.

Dari ruang tamu, Melisa dapat dengan jelas mendengar suara pria dan wanita sedang berbincang. Sepertinya, Fitri ibu Melisa sedang kedatangan tamu.

Melisa mengucapkan salam dan semua yang berada di ruang tamu menyahutinya dan melirik ke arah Melisa. Mata Melisa membulat saat tatapannya jatuh pada satu objek di sofa ruang tamu sedang duduk dengan wajah datar menatap Melisa.

'Astaga, Pak Azham kenapa harus ada di sini? Apakah dia mengatakan tentang skrosnya tadi pada ibu? Ah, jangan sampai itu terjadi,' teriak Melisa dalam hati.

"Melisa," ujar Fitri mengembalikan kesadaran gadis itu. "Kemari, Nak."

Kesadaran Melisa kembali, ia melirik ibunya yang juga sedang meliriknya. Memberi kode lewat tatapan mata untuk duduk di sampingnya.

'Mati dah, gua. Jadi, ini ibu suruh gua buru-buru pulang? Aduh, Pak Azham memang benar-benar nyebelin.' batin Melisa.

Melisa berjalan dengan pelan duduk di samping Fitri ibunya. Ia mengernyitkan kening saat Melisa Azham datang tidak sendiri. Akan tetapi, bersama dua orang wanita dan lelaki yang kisaran umurnya hampir sama dengan ibu dan ayahnya.

"Mel, ini Pak Damar, Bu Riana dan Nak Azham. Ayo salam sama mereka, Nak." Fitri memperkenalkan satu persatu tamunya. Melisa mengangguk dan mulai menyalami kedua orang paruh baya itu.

Melisa hanya melirik Azham yang juga meliriknya datar. Melisa semakin tidak mengerti ada apa dengan orang-orang ini.

"Wah, Melisa ternyata lebih cantik aslinya di banding fotonya ya?!" ujar Damar. Melisa hanya tersenyum tipis sembari mengangguk.

"Iya, Pak. Lebih cantik aslinya ya," sahut istrinya sambil tersenyum kearah Melisa.

Azham yang mendengar kedua orang tuanya memuji Melisa merasa kesal sendiri. Azham membuang pandangannya ke lain arah. Sedangkan, Melisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal salah tingkah.

"Melisa kerja atau kuliah?" tanya Riana lembut pada Melisa.

"Dia kuliah, Ma. Melisa mahasiswa yang paling nyebelin di kampus." Bukan Melisa yang menjawab, tetapi Azham.

Melisa yang mendengar itu, melototkan matanya ke arah Azham. Bukannya takut, Azham hanya memutar bola mata jengah. Sedangkan, Riana dan Damar menegur Azham. Fitri hanya tersenyum tidak sama sekali tersinggung. Karena Melisa memang kadang menyebalkan.

"Oh, jadi, Melisa ini mahasiswi kamu?" tanya Damar basa basi. "Jadi, kalian udah kenal, dong?"

Melisa mengangguk sembari tersenyum kecut. "Iya, Om," jawab Melisa singkat.

"Berarti kita nggak usah kasih sesi perkenalan dong dengan mereka. Kan mereka sudah saling kenal." Riana menganggukkan kepala mengiyakan ucapan Suaminya. Sedangkan Fitri masih diam tak mengatakan apa-apa.

"Iya, Pa. Mending langsung ke sesi intinya aja, kan nggak baik juga lama-lama. Entar keduluan sama yang lain," sahut Riana memberi usul.

Melisa mengernyitkan kening tidak paham dengan apa yang kedua orang tua Azham bicarakan. Melisa melirik ibunya yang ternyata juga tengah meliriknya dengan tatapan yang sulit Melisa artikan.

"Iya, kamu benar, Ma. Jadi, bagaimana, Fitri? Apa kamu setuju kalau kita langsung nikahkan saja mereka?"

Bagai disambar petir, Melisa melongo mendengar penuturan Damar barusan. Menikah? Melisa baru sadar kalau yang dimaksud ibunya semalam itu, Azham.

"Maksudnya ini apa ya, Bu?" tanya Melisa pada ibunya.

Fitri Melirik Melisa yang menatapnya dengan tatapan meminta penjelasan. Fitri gelisah dan tidak tahu harus bagaimana caranya untuk menjelaskan kepada anak perawannya ini. Fitri gugup membuat Melisa menunggu dengan gusar.

"Fit, kamu belum ngomong sama Melisa y?" tanya Riani.

"Udah, kok," jawab Fitri singkat.

"Bilang apa, Bu?" tanya Melisa menuntut penjelasan ibunya.

"Semalam Ibu sudah menjelaskannya padamu, Mel. Jadi, mungkin sekarang, Ibu tidak perlu kembali menjelaskannya lagi," jelas Fitri.

Melisa menghela nafas kasar. Jadi, benar, Azham adalah pria yang dimaksud ibu dan Ayahnya. Melisa melirik Azham yang juga meliriknya dengan sorot mata tajam. Melisa dibuat bergidik ngeri. Gadis itu sudah membayangkan akan jadi apa dia setelah menikah dengan Gunung Es seperti Azham.

"Bagaimana, Melisa. Kamu setuju, kan kalau langsung saja dinikahkan dengan Azham?" tanya Damar.

Melisa terdiam sebentar, dan melirik sekali lagi pada Fitri ibunya. Sepertinya, Melisa sudah tidak punya pilihan lain selain menerima perjodohan ini, apalagi Fitri sudah mengatakan semalam. Agar Melisa mau untuk menuruti keinginan terakhir ayahnya. Melisa menarik nafas panjang, lalu.

"Saya ikut, Ibu saja," sahut Melisa setelah lama terdiam.

Fitri tersenyum senang mendengar jawaban Melisa. Itu artinya, Melisa akan menurut apa pun yang Fitri inginkan. Termaksud kalau Fitri setuju Melisa menikah dengan Azham dosen menyebalkan yang Melisa sangat benci.

"Jadi, bagaimana, Fitri? Apa kamu setuju, mereka langsung saja dinikahkan?" tanya Damar lagi.

Fitri tersenyum sembari mengangguk, "Saya setuju."

Damar dan Riana ikut tersenyum senang bersama dengan Fitri, tapi tidak dengan Melisa dan Azham. Kedua orang itu merasa tertekan dan gelisah. Mereka akan disatukan dalam satu hubungan sakral, namun tidak saling mencintai. Bukan hubungan yang terpaksa begini yang mereka inginkan. Akan tetapi, mereka sudah tidak tahu harus berbuat apa. Mereka hanya akan menjalaninya saja.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status