Suara ketukan terdengar di luar pintu kamar Melisa memaksanya membuka mata. Susah payah ia berusaha untuk terlelap, tapi kini ia harus kembali harus terjaga karena suara ketukan tersebut.
Sedikit malas Melisa menyingkap selimut dan bangkit dari ranjangnya. Wajah Fitri sang ibu adalah yang pertama tertangkap pandangan saat Melisa membuka pintu.
"Ibu, ada apa?" tanya Melisa pada Fitri Ibunya.
Wanita paruh baya itu tersenyum sebelum berkata, "Ibu bisa bicara sebentar, Mel?"
Melisa mengernyitkan kening heran. "Bicara di dalam saja, Bu," ajak Melisa.
Kedua perempuan beda generasi itu duduk di pinggiran ranjang. Melisa menatap ibunya yang terlihat sedang gelisah. Kerutan di dahi perempuan yang paling Melisa sayang, menjelaskan kegelisahan wanita itu.
"katanya ada yang ingin Ibu bicarakan?" tanya Melisa saat melihat ibunya hanya diam. "Kenapa sekarang hanya diam?"
Fitri menghela nafas kasar. Seperti ia merasa berat untuk memberitahukan pada Melisa perihal kegelisahannya saat ini. Walau begitu, ia tetap harus menjelaskan pada Melisa.
"Ibu ingin menyampaikan amanat ayahmu. Yang sudah lama Ibu sembunyikan dari kamu," kata Fitri memulai.
Kening Melisa kembali mengekrut. "Amanat apa, Bu?"
Fitri terdiam sebentar sembari menatap Melisa dalam. Cepat atau lambat, semua akan terbongkar. Fitri berpikir kalau saat ini adalah waktu yang tepat menyampaikan pada Melisa.
"Ayahmu mengamanatkan pada Ibu. Bahwa, kamu tidak boleh menikahi pria lain selain pria yang sudah ayahmu pilihkan sebelumnya untukmu, Nak," jelas Fitri dengan hati-hati.
Fitri was-was dengan jantung yang sudah berdebar kencang, apalagi melihat Melisa yang tidak bereaksi apa-apa setelah mendengarnya. Gadis itu hanya diam tak mengatakan apa-apa.
"Ibu tahu kalau sekarang sudah bukan jamannya yang seperti itu, tetapi ini amanat dari ayahmu. Dan Ibu tidak mungkin melalaikannya, Mel."
Fitri semakin dibuat kacau dengan kediaman Melisa, apalagi saat gadis itu mendesah pelan. Seperti ada sesuatu yang ingin dijelaskan gadis itu, tapi takut menyakiti ibunya.
"Mel, kamu jangan diam saja. Kamu membuat Ibu resah," ujar Fitri lirih.
"Lalu, aku harus mengatakan apa, Bu?"
Fitri menghela nafas kasar. Ia juga tidak tahu harus berbuat apa. Fitri tahu, sekarang sudah bukan jamannya hal semacan itu. Akan tetapi, ia hanya ingin menyampaikan sesuatu yang diamanatkan padanya.
"Ibu tahu ini terdengar egois, tapi... Bisakah, kamu menuruti apa yang ayahmu inginkan untuk yang pertama dan terkahir, Melisa?"
Melisa menatap Ibunya. Ia melihat ada raut kesedihan di sana, tapi Melisa juga sedang berada di dalam situasi di lema. Ia bingung harus mengatakan apa, dan memutuskan apa tentang hal ini. Melisa bimbang.
"Bu, bisakah kita bicarakan ini besok saja?" pinta Melisa. "Melisa ngantuk."
Sekali lagi, Fitri menghela nafas kasar. Ia tidak bisa memaksa Melisa, ia tahu apa yang saat ini dirasakan Melisa sama seperti yang dirasakannya dulu. Fitri dan Jaka Almarhum suaminya dulu menikah karena perjodohan.
Fitri juga merasa bimbang dan di lema. Tidak tahu harus memutuskan apa, padahal waktu itu. Dia memiliki kekasih, tetapi tidak dapat menolak keinginan ayahnya yang keras. Maka dari itu, Fitri terpaksa meninggalkan kekasihnya dan menikah dengan Jaka.
Walau menikah tanpa cinta, tetapi Fitri dapat hidup bahagia bersama Jaka. Pria yang dulunya menjadi alasan dirinya dan kekasihnya terpisah. Namun, seiring berjalannya waktu. Cinta di antara mereka tumbuh bermekaraan. Sehingga, menghadirkan seorang gadis, yaitu Melisa di tengah-tengah kehidupan mereka.
Meskipun begitu, ia tidak akan memaksa Melisa untuk mengikuti jejaknya. Karena ia tahu, berbeda orang akan berbeda kisah. Jadi, Fitri akan memberikan Melisa waktu untuk memikirkannya.
"Ya sudah, kamu istirahat. Maaf kalau Ibu menganggu," kata Fitri beranjak berdiri.
"Nggak, kok, Bu. Melisa nggak merasa diganggu," sahut Melisa.
Fitri membelai rambut anaknya sembari tersenyum. Lalu, mencium kening Melisa lembut dan beranjak pergi dari kamar anak gadisnya.
Kini, tinggal Melisa saja. Ia menatap tempat ibunya berjalan meninggalkan kamarnya. Ibunya sudah pergi beberapa detik yang lalu, tapi rasa gelisah yang Fitri bawa masih tertinggal di sana. Membaginya kepada Melisa, sehingga gadis itu merasa ia akan terjaga hingga besok pagi.
***Melisa berlari kecil menuruni anak tangga. Ia merutuki dirinya sejak tadi karena terbangun kesiangan. Alhasil, kali ini ia akan mendapat ceramah panjang dari dosen kiler bernama Azham.
Dosen muda, tampan, tapi dingin, cuek dan sangat galak. Siapa pun yang berurusan dengannya akan memilih pindah kampus dari pada harus bertemu dengan dosen menyebakkan sepertinya.
"Melisah!" seru Fitri dari dapur saat melihat Melisa berlari menuju pintu utama.
"Ada apa, Bu?" Melisa berhenti berlari kecil mendengar suara ibunya.
"Nggak sarapan dulu?" tanya Fitri menghampiri Melisa. Di tangannya setangku roti yang sudah diolesi slai cokelat kesukaan Melisa.
"Ini Ibu buatkan roti kesukaan kamu," ucap Fitri sembari menyodorkan roti tawar di tangannya.
"Maaf, Bu. Tapi lain kali saja. Melisa lagi nggak mood," tolak Melisa membuat Fitri merasa sedih.
"Melisa berangkat sekarang," pamitnya langsung berlari keluar tanpa mencium tangan ibunya seperti biasa.
Apakah, Melisa marah padaku? Ah, sepertinya, bahkan rotinya pun tidak ia lirik sama sekali. batin Fitri.
Fitri merasa sedih akan sikap Melisa saat ini. Melisa tidak salah. Mungkin gadis itu hanya merasa kecewa, dan tidak adil. Hidup di jaman sekarang ini, dan hidupnya yang harus diatur sedemikian rupa. Pastilah, akan membuat Melisa merasa tidak adil dengan hidup yang ia jalani.
Fitri tidak menyalahkan Melisa, hanya saja menyayangkan sikap putrinya itu. Karena semua ini bukan kehendaknya. Ia hanya menyampaikan saja amanat suaminya.
Matanya mulai berkaca-kaca. Sehingga tatapannya mulai terlihat mengabur. Fitri menghela nafas kasar, dan kembali berjalan masuk ke dapur.
Sedangkan di tempat lain, Melisa sedang menggerutu tidak jelas saat dirinya harus di skors satu minggu dari kelas Azham. Ia tidak diizinkan untuk masuk akibat keterlambatannya beberapa menit saja.
"Sial!" umpat Melisa kesal.
"Kamu mengumpatiku, Melisa?" Tiba-tiba suara baraton milik Azham menggema menghantam pendengaran Melisa.
Gadis itu menoleh dan melihat ke arah Azham berdiri tepat di belakangnya. Saat ini, Melisa sedang berada di taman. Karena dirinya tidak bisa masuk ke dalam kelas dan mengikuti mata kuliah hari ini, maka ia memutuskan untuk duduk di bangku taman seperti ini.
"Eh, enggak, kok, Pak. Siapa bilang?" kilah Melisa gugup.
"Benarkah?" tanya Azham tidak percaya.
"Benar, kok, Pak." Sekali lagi Melisa mencoba meyakinkan dosennya itu.
Azham berjalan meninggalkan Melisa, membuat gadis itu mengernyitkan kening bingung.
'Tumben'. batin Melisa heran.
"Saya tambah masa skros kamu," ujar Azham sebelum benar-benar pergi. "Sebulan."
Mata dengan manik mata hazel milik Melisa membulat sempurna. Ia bertanya-tanya, apakah yang tadi di dengarnya itu benar?
Melisa beranjak berdiri dan menyusul Azham menuju ruangan pria dingin itu. Melisa berusaha menghentikan langkah panjang Azham.
"Astaga, Pak. Saya sebenarnya salah apa, sih? Cuman telat beberapa menit doang udah di skors satu bulan," protes Melisa berhasil menghentikan langkah pria di depannya. Sehingga tanpa sengaja ia menabrak tubuh kekar milik Azham.
"Aduh... Jangan suka berhenti mendadak, Pak. Kan jadi sakit ini hidung saya," protes Melisa sembari mengelus hidungnga yang tadi tidak sengaja menabrak punggung Azham.
Azham hanya menatap Melisa tanpa ekspresi, bahkan ia memutar bola mata malas melihat tingkah Melisa. Yang ia anggap terbilang lebay.
"Berhenti mengoceh, Melisa. Suaramu cemprengmu itu mengganggu kesehatan telingaku," ledek Azham membuat Melisa mendengus sebal.
"Enak saja. Seperti suara Pak Azham bagus saja," balas Melisa tidak terima.
Azham mengabaikan Melisa, dan kembali melanjutkan langkahnya pergi meninggalkan Melisa. Gadis itu kembali menghentikan Azham. Kali ini, Melisa berlari dan memotong jalan Azham. Ia berdiri di depan pria itu sembari merentangkan kedua tangannya tidak memberi jalan Azham.
Azham mengernyitkan kening. "Masih mau menambah skros kamu?" tanya Azham penuh dengan ancaman.
Melisa mendengus sebal. Ia menurunkan kedua tangannya sembari masih menatap Azham kesal.
"Ish, siapa yang mau?" ujarnya kesal. "Kenapa skors saya ditambah sebulan, Pak?"
"Menurut kamu?" Bukannya menjawab, Azham malah mengajukan pertanyaan membuat Melisa mengangkat sebelah alisnya.
"Lah, mana saya tahu, Pak. Yang saya tahu, saya cuma telat lima menit doang. Ini kenapa di skors sampai sebulan, sih?" jelas Melisa dengan raut wajah bingung.
"Cuma lima menit katamu? Seandainya kamu nggak telat lima menit, mungkin kamu akan tahu pentingnya disiplin waktu," jelas Azham sengaja meledek Melisa.
"Lain kali, jangan pernah menyepelekan sesuatu," lanjutnya setelah itu pergi meninggalkan Melisa yang terbengong-bengong tidak paham.
Melisa sangat susah mencerna kalimat Azham. Ia tidak paham tentang apa yang pria dingin itu sampaikan. Karena Melisa baru sadar kalau dia belum sarapan, dan sekarang perutnya sudab berteriak minta di isi. Maka dari itu, Melisa bergegas mencari Dea untuk di ajak makan di kantin kampus.
***"Gua kesal banget," ujar Melisa sembari mengunyah bakso pesanannya.Saat ini, Ia sudah berada di kantin bersama dengan Dea sahabatnya. Mereka berdua tengah menikmati pesanan mereka masing-masing."Kesal kenapa, lo?" tanya Dea pada Melisa."Gua kesal sama si gunung es itu," jawab Melisa memanggil Azham dengan sebutan gunung Es."Lah, kenapa memangnya?" tanya Dea penasaran."Ish, gua di skors sama dia, Dea. Emang lo nggak tahu apa?""Hah, di skors? Kok, bisa?"Dea dan Melisa satu universita, tetapi beda jurusan. Dea mengambil jurusan Tataboga Sedangkan, Melisa mengambil jurusan Sastra.Melisa menghela nafas kasar. "Gua telat lima menit doang, dan gua udah diskors satu bulan sama dia nggak boleh masuk di kelas dia, nggak masuk akal banget, kan?!"Dea membulatkan matanya tak percaya. "Buset, sampai segitunya. Benar-benar, dah, tuh, orang. Cuman lima menit di skors satu bulan?!" Melisa mengangguk lemah."Maka dari itu, gua kesal banget sama dia." Melisa terus menyuapi mulutnya dengan bakso
“Saya terima nikah dan kawinnya, Melisa Aderani binti Jaka Arwanto dengan mas kawin emas tiga puluh gram dan seperangkat alat shalat dibayar, tunai.”“Bagaimana para saksi, Sah?” .“Sah!”“Alhamdulillah.”Air mata Melisa tidak bisa tertahankan lagi setelah ijab qobul selesai diucapkan Azham. Pernikahan ini bagaikan mimpi buruk bagi Melisa. Bukan pernikahan seperti ini yang ia impikan. Menikah dengan bukan pilihannya jauh dari list hidupnya.Azham, dosen kiler yang paling Melisa benci. Kini, sudah menjadi suaminya. Melisa dengan terpaksa mencium tangan Azham atas paksaan ibunya. Tangan Azham begitu dingin saat Melisa menyentuhnya. Apakah, Azham juga secanggung itu?Berat sekali rasanya Melisa menerima pernikahan hari ini. Dengan pria yang sama sekali tidak dicintainya, meski kata orang. Cinta akan datang dengan sendirinya. Seiring berjalannya waktu. Namun, tetap saja, Melisa merasa ini terlalu cepat dan mendadak untuknya.“Bu, bisa saya izin ke kamar duluan?” ujar Melisa meminta izin
Selama perjalanan menuju rumah Azham, mereka hanya diam tanpa ada yang mau mengalah untuk memecah keheningan. Mereka berdua sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Azham yang fokus dengan kemudinya. Sedangkan Melisa menatap jauh keluar jendela memperhatikan jalanan yang cukup ramai oleh kendaraan.“Masih jauh lagi nggak ini?” Tiba-tiba Melisa bertanya menghilangkan kesunyian di antara mereka.Azham melirik sebentar, lalu kembali fokus ke depan. “Dikit lagi,” jawabnya singkat.Melisa menghela nafas kasar. “Kenapa nggak menginap saja, sih, di rumah Ibu buat malam ini saja?” tanya Melisa melirik Azham yang masih fokus pada kemudinya.“Saya ada urusan mendadak hari ini, terus pulangnya malam. Nggak bisa jemput kamu,” jelas Azham.“Ya sudah, nggak usah dijemput. Biarin saja saya di rumah Ibu,” usul Melisa.Azham mendengus sebal sembari lirik Melisa melemparkan tatapan tajam. “Itu juga saya mau. Tapi, mama bakalan bikin telinga saya sakit karena diceramahin,” ketus Azham.“Bodo amat,” gu
Sejak tadi, Melisa tidak bisa tertidur. Ia terus mengubah posisi berbaringnya agar bisa terlelap, tapi tetap saja tidak bisa. Entah apa alasan pastinya, tapi mungkin salah satunya karena ada Azham di sampingnya yang tidur dengan pulas.Untuk pertama kalinya, Melisa tertidur di ranjang yang sama dengan lawan jenisnya. Membuat dirinya merasa canggung. Meskipun, Azham tidak meminta yang macam-macam, dan langsung tidur begitu saja di samping Melisa setelah makan malam. Namun tetap saja, Melisa merasa canggung dan gelisah. Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya tidur bersama laki-laki. Untuk kesekian kalinya, Melisa mengubah posisi tidurnya yang tadinya tertidur miring sekarang telentang menghadap langit-langit kamar. "Berhenti bergerak, Melisa. Kamu membuatku tidak bisa tidur kalau terus saja bergerak tidak bisa diam," ujar Azham tiba-tiba membuat Melisa terkejut. Ia melirik ke samping melihat Azham yang juga sedang menatapnya. Netra mereka berdua saling beradu satu sama lain. Mem
“Pak?” tanya Melisa kembali. Tak lama, Azha pun menggeleng, lalu menyahut singkat, “Tidak.” Gadis itu seketika bernafas lega karenanya. Padahal, sedari tadi jantung Melisa sudah berdegup kencang karena takut.“Ouh.. kirain,” kata Melisa lega. “Kalau begitu, Bapak tidur lagi saja. Saya mau salat dulu,” kata Melisa pada Azham sembari bergerak turun melanjutkan niatnya salat lima subuh.“Melisa,” panggil Azham.Baru juga Melisa turun, Azham sudah memanggilnya menghentikan gerak Melisa. Melisa menatap kaget pada Azham yang memanggilnya tiba-tiba.“Ada apa, Pak?” tanya Melisa bingung.Azham bangkut dari berbaringnya dan memilih posisi duduk di atas ranjang menghadap Melisa yang menatapnya dengan alis terangkat sebelah menunggu apa yang akan dikatakan Azham padanya.Azham merasa malu dan gugup untuk mengatakan pada Melisa kalau ia ingin ikut Salat dengan gadis itu, apalagi mengatakan kalau dirinya ingin menjadi imam Melisa.“Kenapa diam, Pak?” tanya Melisa lagi saat lama menunggu Azham b
“Jadi, apa Ma?” potong Azham.“Ish, Mama sama Papa mau kamu datang ke rumah. Jangan lupa ajak Melisa. Entar malam,” kata Raina memberitahu.Azham menghela nafas kasar. “Tapi Ma. Az—““Nggak ada alasan, Zham. Mama tunggu nanti malam ya. Ya sudah Mama tutup dulu,” kata Raina mematikan sambungan telfon sepihak.Azham yang baru saja membuka mulutnya ingin menyela, tapi belum selesai Mamanya sudah mematikan sambungan telfonnya. Azham mengusap wajahnya kasar sembari melempar ponselnya ke atas ranjang.“Mama memang menyebalkan.”***Melisa baru saja selesai mandi, ia membuka pintu kamar mandi hendak keluar dan berhias tipis di meja rias yang ada di dalam kamarnya. Melisa melirik ke arah Azham yang duduk di tepi ranjang sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya.Melisa mengernyitkan kening heran. “Ada apa, Pak?” tanya Melisa. “Bapak sakit kepala?” Azham yang tidak menyadari kehadiran Melisa sontak terkejut.“Kamu mengagetkan saja, Melisa.,” protes Azham sebal. Melisa hanya nyengir kuda
“Lupakan saja! Sepertinya, saya sudah telat.” Kegugupan jelas tercetak di raut wajah Azham.Azham menggaruk ceruk lehernya yang bisa dipastikan tidak gatal sama sekali. Wajahnya memanas menahan malu.Melisa menatap Azham dengan mata yang mengerjap lucu. Jujur saja, Azham sangat gemas dengan tatapan itu. Namun karena sangat malu, ia pun pergi begitu saja.Melisa masih terdiam, belum bisa mengontrol kondisi saat ini. Benarkah, Azham mengatakan itu barusan? Ah, entahlah, Melisa tidak ingin memikirkan itu.Melisa bangkit dan membereskan meja makan, serta mengutip piring bekas makannya dan Azham.Melisa baru saja ingin mengunci pintu untuk berangkat ke kampus, tetapi geraknya terhenti kala dering di ponselnya.Melisa lantas merogoh tas dan memeriksa siapa yang sedang menghubunginya. Nama ibunya yang tertera di layar ponselnya. Melisa mendesah, tapi tetap mengangkatnya.“Ada apa, Bu?” tanya Melisa saat sambungan telepon tersambung.“Ck, sekalinya sudah menikah. Ibunya dilupakan,” ujar Fitri
“Jadi, bagaimana Pak. Anda setuju dengan kontrak kerja sama kita?” tanya Azham pada kliennya. “Tidak ada alasan untuk menolak, Pak Azham,” ujar pria paruh baya yang menjadi patner kerja sama Azham kali ini. Pria itu tersenyum, tapi seperti biasa Azham hanya akan membalasnya dengan anggukan pelan tanpa adanya senyum ramah di sudut bibirnya. Memang apa yang akan kalian harapkan dengan seorang Azham si gunung salju itu? Senyum ramah? Atau sapaan yang ramah serta kata yang hangat? Ah, sudahlah! Jangan terlalu berharap. Zera sebagai sekretaris yang mendampingi Azham meeting hanya menghela nafas kasar. “Baik kalau begitu. Itu artinya kita deal Tuan Deon?” tanya Azham. Pria paruh baya yang bernama Deon itu mengangguk seraya mengulas senyum manis sekali lagi. “Deal, Pak Azham.” Pria paruh baya itu berdiri dan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan tanda mereka sudah sepakat. Spontan Azham ikut berdiri dan menyambut jabat tangan dari kliennya. Deon sepertinya senang sekali mendapat kese