Share

Bab 03. Pernikahan

“Saya terima nikah dan kawinnya, Melisa Aderani binti Jaka Arwanto dengan mas kawin emas tiga puluh gram dan seperangkat alat shalat dibayar, tunai.”

“Bagaimana para saksi, Sah?” .

Sah!”

“Alhamdulillah.”

Air mata Melisa tidak bisa tertahankan lagi setelah ijab qobul selesai diucapkan Azham.  Pernikahan ini bagaikan mimpi buruk bagi Melisa. Bukan pernikahan seperti ini yang ia impikan. Menikah dengan bukan pilihannya jauh dari list hidupnya.

Azham, dosen kiler yang paling Melisa benci. Kini, sudah menjadi suaminya. Melisa dengan terpaksa mencium tangan Azham atas paksaan ibunya. Tangan Azham begitu dingin saat Melisa menyentuhnya. Apakah, Azham juga secanggung itu?

Berat sekali rasanya Melisa menerima pernikahan hari ini. Dengan pria yang sama sekali tidak dicintainya, meski kata orang. Cinta akan datang dengan sendirinya. Seiring berjalannya waktu. Namun, tetap saja, Melisa merasa ini terlalu cepat dan mendadak untuknya.

“Bu, bisa saya izin ke kamar duluan?” ujar Melisa meminta izin untuk ke kamarnya lebih dulu.

Berhubung, pernikahan hari ini dilangsungkan di rumah Melisa dengan suasana yang sederhana, tapi khidmat. Semua itu permintaan dari Azham dan Melisa. Mereka tidak ingin ada resepsi atau acara mewah. Mereka juga ingin hanya keluarga inti saja yang hadir dan pernikahan mereka untuk beberapa waktu dirahasiakan dulu. Semua itu adalah syarat yang Azham ajukan kepada kedua orang tuanya, guna untuk menyetujui pernikahannya dengan Melisa. Maka dari itu, Melisa bisa dengan segera meminta untuk masuk ke kamar untuk menenangkan pikirannya.

“Tapi acaranya belum selesai, Nak,” ucap Fitri pada Melisa.

“Acara apa lagi, Bu? Bukannya sudah selesai ya?” tanya Melisa bingung.

“Kalian, kan belum....”

“Sudahlah, Fit. Biarkan Melisa istirahat. Mungkin dia kelelahan, kan nanti malam dia akan berolahraga. Jadi, biarkan saja ia mengumpulkan tenaga,” potong Riana membuat Fitri tersenyum juga Damar.

Namun, tidak dengan Azham dan Melisa. Azham memutar bola mata jengah. Sedangkan Melisa tidak paham dengan apa yang mama mertuanya katakan. Ia hanya diam tak berkomentar apa-apa.

“Oh iya ya, ya sudah. Ke kamar gih. Istirahat yang banyak ya,” perintah ibunya. Melisa mengangguk dan berlalu begitu saja setelah selesai berpamitan dengan kedua mertuanya dan hanya melewati Azham suaminya.

Azham hanya mendengus, juga tidak peduli. Lagian, ia juga malas kalau terus berada di dekat Melisa. Kedua orang tuanya dan mertuanya akan terus menggoda mereka berdua. Maka dari itu, Azham senang Melisa memilih bersembunyi di dalam kamar.

Sedangkan di tempat lain, Melisa terbengong-bengong melihat kondisi kamarnya sekarang. Ia bertanya-tanya siapa yang sudah menghias kamarnya sedemikian rupa? Kamar ini sudah persis seperti kamar pengantin baru.

Melisa mendengus sebal, duduk di pinggiran ranjang menatap seluruh sudut ruangannya yang tidak lepas dari hiasan. Kamarnya terlihat sangat romantis, tetapi membuat hati Melisa semakin memanas. Andai saja, ia menikah dengan pria pilihan dan pria yang dicintainya. Mungkin, Melisa akan senang melihat kamarnya ini.

Melisa beranjak dan bergegas ke dalam kamar mandi untuk berganti pakaian dan bersiap-siap untuk tidur. Walau ini masih pagi, tapi Melisa sudah sangat mengantuk. Karena semalam Melisa tidak bisa tidur karena memikirkan soal pernikahannya hari ini.

“Bapak kenapa ada di sini?” tanya Melisa kaget saat melihat Azham berada di dalam kamarnya.

Melisa baru saja keluar dari kamar mandi, baru selesai mengganti pakaiannya. Dan betapa terkejutnya, Azham ada di dalam kamarnya. Duduk di sisi ranjangnya sembari memainkan ponselnya.

Azham mengernyitkan kening. “Ck, kita baru saja menikah kalau kamu lupa,” ujar Azham kesal.

Melisa menghela nafas kasar. Ia merutuki dirinya melupakan kejadian barusan. Melisa kini terdiam dan berpikir, kalau Azham dan Melisa sudah menikah. Itu artinya, mulai sekarang, ia dan Azham akan tidur sekamar?

Melisa langsung bergidik ngeri  membayangkan sesuatu yang akan terjadi padanya. Kalau ia dan Azham berada di dalam kamar yang sama. Melisa tidak bisa membayangkan itu. Kepalanya tiba-tiba sakit.

“Astaga!” seru Melisa membuat Azham meliriknya dengan bingung.

“Ada apa?” tanya Azham.

“Ah, ti-tidak ada,” sahut Melisa gugup. Azham mengangkat sebelah alisnya bingung.

Melisa berjalan dengan cepat ke arah sofa dan duduk di sana untuk menenangkan jantungnya. Sedangkan, Azham masih memainkan ponselnya. Lalu, tak lama Azham beranjak dari duduknya. Berjalan ke arah kamar mandi.

“Mau kemana?” tanya Melisa heran.

“ke kamar mandi,” jawab Azham singkat. “Kenapa, mau ikut?”

Melisa mendengus sebal. “Enak saja. Nggak lah.”

“Lalu, kenapa bertanya?” tanya Azham kesal.

“Kan cuman nanya,” sahutnya tak kala kesalnya. Azham memutar bola mata jengah. Ia kembali melanjutkan langkahnya masuk ke dalam kamar mandi, tapi sebelumnya ia kembali melirik Melisa.

“Kamu siap-siap. Kita akan berangkat sekarang!” perintah Azham.

Melisa mengernyit. “Berangkat ke mana?” tanya Melisa heran.

“Ck, ke rumahku lah. Ke mana lagi?” jawab Azham kesal.

Azham tidak pernah bisa membayangkan hidup bersama dengan Melisa yang memiliki kadar kecerdasan yang amat minim. Mungkin, setiap harinya, Azham akan kesal melihat tingkah Melisa. Dan juga mungkin, ia akan cepat terkena darah tinggi dan lebih para stroke karena menghadapi Misa yang menyebalkan.

“Untuk apa coba?” Bukannya melakukan apa yang Azha perintahkan. Melisa malah kembali bertanya membuat Azham memutar bola mata malas.

“Bisa tidak, nggak perlu bertanya dan kerjakan saja, Melisa?” pinta Azham ketus.

Melisa mendengus sebal. “Kan saya juga perlu tahu kali, Pak.”

Azham tidak memedulikan Melisa lagi, dan masuk begitu saja ke dalam kamar mandi. Melisa kesal sekali melihat tingkah Azham yang mampu membuat Melisa terbakar emosi.

“Nggak di kampus nggak di sini, Pak Azham memang menyebalkan,” gerutu Melisa pelan.

"Saya mendengarnya, Melisa," teriak Azham dari dalam kamar mandi.

Melisa segera membungkam mulutnya dengan kedua tangannya. Sebelum ia terkenan masalah baru dengan prai itu, Melisa memilih untuk diam.

***

Azham baru saja keluar mandi setelah mandi dan ganti baju. Ia menghela nafas kasar saat melihat Melisa yang tertidur begitu pulas di atas sofa. Azham menghampiri Melisa dan memandang kesal kearah gadis itu.

“Dasar kebo’” gerutu Azham. “Disuruh siap-siap malah tidur.”

Azham geleng-geleng kepala. Meraih ponselnya yang tadi di letakkan di atas ranjang Melisa, dan berjalan keluar kamar. Di luar ternyata tinggal papa, mama dan ibu mertuanya. Yang sedang duduk bertiga sembari berbincang-bincang.

“Eh, Nak Azham. Baru selesai mandi ya?” tanya Fitri ramah.

Azham tersenyum membalas senyuman mertuanya sembari ikut duduk di samping kedua orang tuanya. “Iya, Bu.”

“Melisa mana, Zham?” tanya Riani pada Azham.

“Molor,” jawab Azham singkat nan ketus.

Riana tersenyum kecut kearah Fitri sembari mencubit lengan Azham membuat pria itu mengaduh. “Sakit, Ma.” Riana mendelik kearah Azham.

“Diam,” pinta Riana pada Azham.

“Hehe... Tenang saja, Melisa memang orangnya gitu,” kata Fitri beranjak berdiri. “Tunggu di sini, saya akan bangunkan.”

Riana dan Damar mengangguk. Riana kembali mencubit lengan Azham saat Fitri sudah pergi berlalu menuju kamar Melisa. Azham kembali mengaduh dengan suara kecil karena cubitan mamanya yang terasa sangat sakit.

“Mama, ihh.. sakit ini,” keluh Azham mengelus lengannya yang sudah dua kali mendapat cubitan maut dari Riana.

“Biarin saja. Siapa suruh itu mulut nggak bisa direm,” ujar Riana kesal.

Azham hanya menghela nafas kasar. Berurusan dengan istri bapaknya, akan membuat Azham menjadi serba salah. Jadi, ia akan memilih untuk diam saja. Sedangkan, Damar hanya tersenyum melihat tingkah keduanya.

Sedangkan di dalam kamar, Melisa sudah menampilkan wajah yang sangat kacau. Bagaimana tidak. Fitri sang ibu yang mengganggu tidur nyenyaknya. Fitri memaksa Melisa bangun dan bersiap-siap.

“Ini memangnya ada apa, sih, Bu?” tanya Melisa kesal sembari mengusap wajahnya kasar.

“Astaga, malah nanya lagi, nih, Anak," gerutu Fitri kesal. "Itu suami kamu udah mau berangkat pulang," ucap Fitri memberi tahu.

Melisa kembali memejamkan matanya berniat melanjutkan tidurnya. "Ya sudah, sih, Bu. Biarin saja," ucap Melisa santai.

Fitri dengan pelan menyentil kening Melisa. "Aduh, Bu. Sakit ini. Kok, di sentil, sih?" protes Melisa seketika bangun dan duduk sembari mengelus jidatnya.

"Lagian kamu menyebalkan," kata Fitri tidak peduli.

"Kamu ini sudah menikah. Jadi, kamu harus ikut ke rumah suamimu. Sudah sana, siap-siap. Jangan kebiasaan membuat orang menunggu, apalagi suami sendiri," titah Fitri.

Melisa menghela nafas kasar. "Memang nggak tinggal di sini ya?" tanya Melisa sok polos, hanya untuk menghindari kemarahan ibunya.

"Nggak! Berhentilah banyak bicara Melisa dan segeralah bergerak. Mertua dan suamimu sudah sejak tadi menunggu," kata Fitri sudah hampir kehilangan kesabaran menghadapi Melisa.

“Ya Allah, kan bisa besok, Bu. Melisa masih ngatuk, dan capek juga.” Melisa kembali mencoba membaringkan tubuhnya, tapi dicegah oleh Fitri.

“Ibu juga maunya begitu kamu bermalam untuk terakhir kalinya di sini. Tapi, suami kamu ada urusan mendadak yang nggak bisa ditunda. Jadi, Ibu nggak bisa apa-apa selain ngikut aja.”

Melisa mendengus. “Alasan dia saja itu, Bu.”

“Udah nggak usah banyak cincong kamu. Mending sekarang beresin barang-barang kamu. Terus, ikut suami kamu ke rumahnya,” perintah Fitri.

“Ibu ngusir Melisa?” tanya Melisa dengan sedih.

Fitri menghembuskan nafas kasar. Fitri menepuk jidatnya. Dan berkata dalam hati. ‘Mulai lagi lebay-nya'

“Nggak usah banyak drama, Mel. Ibu nggak ada ngusir kamu, kok, sayang. Cuman, Azham buru-buru ada urusan katanya.”

“Au Ah, Bu.”

Melisa beranjak dari duduknya dan menghampiri lemarinya. Dengan wajah kesal dan suasana hati yang campur aduk, ia pun mengemasi barang-barang yang perlu saja untuk di bawa ke rumah Azham.

Setelah selesai memasukkan pakaian dan barang-barang pentingnya ke dalam Koper. Melisa meminta izin pada ibunya untuk mengganti pakaiannya. Fitri mengizinkan dan berjalan keluar membawa koper Melisa terlebih dahulu. Setelah gadis itu masuk ke dalam kamar mandi.

“Melisa mana, Fit?” tanya Riana saat Melihat Fitri datang dengan koper di tangannya.

“Oh, lagi ganti baju,” jawab Fitri sembari meletakkan koper Melisa di samping sofa tempatnya duduk. “Bentar lagi datang, kok.”

Riana mengangguk sembari tersenyum. Mereka kembali mengobrol dengan Azham yang menjadi pendengarnya. Tak lama, Melisa datang dengan pakaian rapi dan make up tipis yang membuat wajahnya semakin cantik. Tanpa make up pun gadis itu sudah sangat cantik, apalagi kalau memakai make up.

“Nah, tuh, Melisa sudah datang!” seru Damar melihat Melisa yang baru saja datang. Semua menoleh ke arah Melisa.

Tidak seperti Riana dan Damar yang senang menyambut kedatangan menantu barunya. Azham malah sebaliknya, ia berpikir kalau masalah datang menghampirinya saat melihat kedatangan Melisa.

“Wah, Melisa memang cantik ya. Saking cantiknya, Azham sampai nggak kedip lihatnya,” goda Riana pada Azham yang sejak tadi menatap datar ke arah Melisa.

Melisa menunduk merasa canggung dipuji oleh mertuanya. Sedangkan Azham memutar bola mata jengah melihat Melisa. Apalagi, ia kesal dengan mamanya yang sengaja menggoda dirinya. Padahal, ia menatap Melisa bukan karena terpesona, tapi karena ia sangat kesal dengan gadis itu.

“Hehe... Jangan digodain gitu, Nak Azham-nya. Entar dia malu lagi,” tegur Fitri pada Riana sembari tersenyum.

Damar dan Riana hanya terkekeh. Setelah itu, Azham dan keluarganya pamit pulang pada Fitri beserta meminta izin membawa serta Melisa dengan mereka. Fitri awalnya merasa sedih, tapi ketika merasa amanat yang diberikan Jaka sudah terpenuh, ia merasa lega.

“Tolong jagain Melisa ya, Nak Azham,” pesan Fitri pada Azham. Dengan wajah datar tanpa ekspresi, Azham mengangguk mengiyakan.

Melisa memeluk ibunya erat. Setelahnya, ia masuk ke dalam mobil Azham dan mereka pun menuju ke rumah Azham. Damar dan Riana berada di dalam mobil yang berbeda. Karena Azham sudah memiliki rumah pribadi sejak dulu. Maka dari itu, Azham dan Melisa akan ke rumah Azham yang tidak jauh dari kampus Melisa.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status