“Saya terima nikah dan kawinnya, Melisa Aderani binti Jaka Arwanto dengan mas kawin emas tiga puluh gram dan seperangkat alat shalat dibayar, tunai.”
“Bagaimana para saksi, Sah?” .
“Sah!”
“Alhamdulillah.”
Air mata Melisa tidak bisa tertahankan lagi setelah ijab qobul selesai diucapkan Azham. Pernikahan ini bagaikan mimpi buruk bagi Melisa. Bukan pernikahan seperti ini yang ia impikan. Menikah dengan bukan pilihannya jauh dari list hidupnya.
Azham, dosen kiler yang paling Melisa benci. Kini, sudah menjadi suaminya. Melisa dengan terpaksa mencium tangan Azham atas paksaan ibunya. Tangan Azham begitu dingin saat Melisa menyentuhnya. Apakah, Azham juga secanggung itu?
Berat sekali rasanya Melisa menerima pernikahan hari ini. Dengan pria yang sama sekali tidak dicintainya, meski kata orang. Cinta akan datang dengan sendirinya. Seiring berjalannya waktu. Namun, tetap saja, Melisa merasa ini terlalu cepat dan mendadak untuknya.
“Bu, bisa saya izin ke kamar duluan?” ujar Melisa meminta izin untuk ke kamarnya lebih dulu.
Berhubung, pernikahan hari ini dilangsungkan di rumah Melisa dengan suasana yang sederhana, tapi khidmat. Semua itu permintaan dari Azham dan Melisa. Mereka tidak ingin ada resepsi atau acara mewah. Mereka juga ingin hanya keluarga inti saja yang hadir dan pernikahan mereka untuk beberapa waktu dirahasiakan dulu. Semua itu adalah syarat yang Azham ajukan kepada kedua orang tuanya, guna untuk menyetujui pernikahannya dengan Melisa. Maka dari itu, Melisa bisa dengan segera meminta untuk masuk ke kamar untuk menenangkan pikirannya.
“Tapi acaranya belum selesai, Nak,” ucap Fitri pada Melisa.
“Acara apa lagi, Bu? Bukannya sudah selesai ya?” tanya Melisa bingung.
“Kalian, kan belum....”
“Sudahlah, Fit. Biarkan Melisa istirahat. Mungkin dia kelelahan, kan nanti malam dia akan berolahraga. Jadi, biarkan saja ia mengumpulkan tenaga,” potong Riana membuat Fitri tersenyum juga Damar.
Namun, tidak dengan Azham dan Melisa. Azham memutar bola mata jengah. Sedangkan Melisa tidak paham dengan apa yang mama mertuanya katakan. Ia hanya diam tak berkomentar apa-apa.
“Oh iya ya, ya sudah. Ke kamar gih. Istirahat yang banyak ya,” perintah ibunya. Melisa mengangguk dan berlalu begitu saja setelah selesai berpamitan dengan kedua mertuanya dan hanya melewati Azham suaminya.
Azham hanya mendengus, juga tidak peduli. Lagian, ia juga malas kalau terus berada di dekat Melisa. Kedua orang tuanya dan mertuanya akan terus menggoda mereka berdua. Maka dari itu, Azham senang Melisa memilih bersembunyi di dalam kamar.
Sedangkan di tempat lain, Melisa terbengong-bengong melihat kondisi kamarnya sekarang. Ia bertanya-tanya siapa yang sudah menghias kamarnya sedemikian rupa? Kamar ini sudah persis seperti kamar pengantin baru.
Melisa mendengus sebal, duduk di pinggiran ranjang menatap seluruh sudut ruangannya yang tidak lepas dari hiasan. Kamarnya terlihat sangat romantis, tetapi membuat hati Melisa semakin memanas. Andai saja, ia menikah dengan pria pilihan dan pria yang dicintainya. Mungkin, Melisa akan senang melihat kamarnya ini.
Melisa beranjak dan bergegas ke dalam kamar mandi untuk berganti pakaian dan bersiap-siap untuk tidur. Walau ini masih pagi, tapi Melisa sudah sangat mengantuk. Karena semalam Melisa tidak bisa tidur karena memikirkan soal pernikahannya hari ini.
“Bapak kenapa ada di sini?” tanya Melisa kaget saat melihat Azham berada di dalam kamarnya.
Melisa baru saja keluar dari kamar mandi, baru selesai mengganti pakaiannya. Dan betapa terkejutnya, Azham ada di dalam kamarnya. Duduk di sisi ranjangnya sembari memainkan ponselnya.
Azham mengernyitkan kening. “Ck, kita baru saja menikah kalau kamu lupa,” ujar Azham kesal.
Melisa menghela nafas kasar. Ia merutuki dirinya melupakan kejadian barusan. Melisa kini terdiam dan berpikir, kalau Azham dan Melisa sudah menikah. Itu artinya, mulai sekarang, ia dan Azham akan tidur sekamar?
Melisa langsung bergidik ngeri membayangkan sesuatu yang akan terjadi padanya. Kalau ia dan Azham berada di dalam kamar yang sama. Melisa tidak bisa membayangkan itu. Kepalanya tiba-tiba sakit.
“Astaga!” seru Melisa membuat Azham meliriknya dengan bingung.
“Ada apa?” tanya Azham.
“Ah, ti-tidak ada,” sahut Melisa gugup. Azham mengangkat sebelah alisnya bingung.
Melisa berjalan dengan cepat ke arah sofa dan duduk di sana untuk menenangkan jantungnya. Sedangkan, Azham masih memainkan ponselnya. Lalu, tak lama Azham beranjak dari duduknya. Berjalan ke arah kamar mandi.
“Mau kemana?” tanya Melisa heran.
“ke kamar mandi,” jawab Azham singkat. “Kenapa, mau ikut?”
Melisa mendengus sebal. “Enak saja. Nggak lah.”
“Lalu, kenapa bertanya?” tanya Azham kesal.
“Kan cuman nanya,” sahutnya tak kala kesalnya. Azham memutar bola mata jengah. Ia kembali melanjutkan langkahnya masuk ke dalam kamar mandi, tapi sebelumnya ia kembali melirik Melisa.
“Kamu siap-siap. Kita akan berangkat sekarang!” perintah Azham.
Melisa mengernyit. “Berangkat ke mana?” tanya Melisa heran.
“Ck, ke rumahku lah. Ke mana lagi?” jawab Azham kesal.
Azham tidak pernah bisa membayangkan hidup bersama dengan Melisa yang memiliki kadar kecerdasan yang amat minim. Mungkin, setiap harinya, Azham akan kesal melihat tingkah Melisa. Dan juga mungkin, ia akan cepat terkena darah tinggi dan lebih para stroke karena menghadapi Misa yang menyebalkan.
“Untuk apa coba?” Bukannya melakukan apa yang Azha perintahkan. Melisa malah kembali bertanya membuat Azham memutar bola mata malas.
“Bisa tidak, nggak perlu bertanya dan kerjakan saja, Melisa?” pinta Azham ketus.
Melisa mendengus sebal. “Kan saya juga perlu tahu kali, Pak.”
Azham tidak memedulikan Melisa lagi, dan masuk begitu saja ke dalam kamar mandi. Melisa kesal sekali melihat tingkah Azham yang mampu membuat Melisa terbakar emosi.
“Nggak di kampus nggak di sini, Pak Azham memang menyebalkan,” gerutu Melisa pelan.
"Saya mendengarnya, Melisa," teriak Azham dari dalam kamar mandi.
Melisa segera membungkam mulutnya dengan kedua tangannya. Sebelum ia terkenan masalah baru dengan prai itu, Melisa memilih untuk diam.
***Azham baru saja keluar mandi setelah mandi dan ganti baju. Ia menghela nafas kasar saat melihat Melisa yang tertidur begitu pulas di atas sofa. Azham menghampiri Melisa dan memandang kesal kearah gadis itu.
“Dasar kebo’” gerutu Azham. “Disuruh siap-siap malah tidur.”
Azham geleng-geleng kepala. Meraih ponselnya yang tadi di letakkan di atas ranjang Melisa, dan berjalan keluar kamar. Di luar ternyata tinggal papa, mama dan ibu mertuanya. Yang sedang duduk bertiga sembari berbincang-bincang.
“Eh, Nak Azham. Baru selesai mandi ya?” tanya Fitri ramah.
Azham tersenyum membalas senyuman mertuanya sembari ikut duduk di samping kedua orang tuanya. “Iya, Bu.”
“Melisa mana, Zham?” tanya Riani pada Azham.
“Molor,” jawab Azham singkat nan ketus.
Riana tersenyum kecut kearah Fitri sembari mencubit lengan Azham membuat pria itu mengaduh. “Sakit, Ma.” Riana mendelik kearah Azham.
“Diam,” pinta Riana pada Azham.
“Hehe... Tenang saja, Melisa memang orangnya gitu,” kata Fitri beranjak berdiri. “Tunggu di sini, saya akan bangunkan.”
Riana dan Damar mengangguk. Riana kembali mencubit lengan Azham saat Fitri sudah pergi berlalu menuju kamar Melisa. Azham kembali mengaduh dengan suara kecil karena cubitan mamanya yang terasa sangat sakit.
“Mama, ihh.. sakit ini,” keluh Azham mengelus lengannya yang sudah dua kali mendapat cubitan maut dari Riana.
“Biarin saja. Siapa suruh itu mulut nggak bisa direm,” ujar Riana kesal.
Azham hanya menghela nafas kasar. Berurusan dengan istri bapaknya, akan membuat Azham menjadi serba salah. Jadi, ia akan memilih untuk diam saja. Sedangkan, Damar hanya tersenyum melihat tingkah keduanya.
Sedangkan di dalam kamar, Melisa sudah menampilkan wajah yang sangat kacau. Bagaimana tidak. Fitri sang ibu yang mengganggu tidur nyenyaknya. Fitri memaksa Melisa bangun dan bersiap-siap.
“Ini memangnya ada apa, sih, Bu?” tanya Melisa kesal sembari mengusap wajahnya kasar.
“Astaga, malah nanya lagi, nih, Anak," gerutu Fitri kesal. "Itu suami kamu udah mau berangkat pulang," ucap Fitri memberi tahu.
Melisa kembali memejamkan matanya berniat melanjutkan tidurnya. "Ya sudah, sih, Bu. Biarin saja," ucap Melisa santai.
Fitri dengan pelan menyentil kening Melisa. "Aduh, Bu. Sakit ini. Kok, di sentil, sih?" protes Melisa seketika bangun dan duduk sembari mengelus jidatnya.
"Lagian kamu menyebalkan," kata Fitri tidak peduli.
"Kamu ini sudah menikah. Jadi, kamu harus ikut ke rumah suamimu. Sudah sana, siap-siap. Jangan kebiasaan membuat orang menunggu, apalagi suami sendiri," titah Fitri.
Melisa menghela nafas kasar. "Memang nggak tinggal di sini ya?" tanya Melisa sok polos, hanya untuk menghindari kemarahan ibunya.
"Nggak! Berhentilah banyak bicara Melisa dan segeralah bergerak. Mertua dan suamimu sudah sejak tadi menunggu," kata Fitri sudah hampir kehilangan kesabaran menghadapi Melisa.
“Ya Allah, kan bisa besok, Bu. Melisa masih ngatuk, dan capek juga.” Melisa kembali mencoba membaringkan tubuhnya, tapi dicegah oleh Fitri.
“Ibu juga maunya begitu kamu bermalam untuk terakhir kalinya di sini. Tapi, suami kamu ada urusan mendadak yang nggak bisa ditunda. Jadi, Ibu nggak bisa apa-apa selain ngikut aja.”
Melisa mendengus. “Alasan dia saja itu, Bu.”
“Udah nggak usah banyak cincong kamu. Mending sekarang beresin barang-barang kamu. Terus, ikut suami kamu ke rumahnya,” perintah Fitri.
“Ibu ngusir Melisa?” tanya Melisa dengan sedih.
Fitri menghembuskan nafas kasar. Fitri menepuk jidatnya. Dan berkata dalam hati. ‘Mulai lagi lebay-nya'
“Nggak usah banyak drama, Mel. Ibu nggak ada ngusir kamu, kok, sayang. Cuman, Azham buru-buru ada urusan katanya.”
“Au Ah, Bu.”
Melisa beranjak dari duduknya dan menghampiri lemarinya. Dengan wajah kesal dan suasana hati yang campur aduk, ia pun mengemasi barang-barang yang perlu saja untuk di bawa ke rumah Azham.
Setelah selesai memasukkan pakaian dan barang-barang pentingnya ke dalam Koper. Melisa meminta izin pada ibunya untuk mengganti pakaiannya. Fitri mengizinkan dan berjalan keluar membawa koper Melisa terlebih dahulu. Setelah gadis itu masuk ke dalam kamar mandi.
“Melisa mana, Fit?” tanya Riana saat Melihat Fitri datang dengan koper di tangannya.
“Oh, lagi ganti baju,” jawab Fitri sembari meletakkan koper Melisa di samping sofa tempatnya duduk. “Bentar lagi datang, kok.”
Riana mengangguk sembari tersenyum. Mereka kembali mengobrol dengan Azham yang menjadi pendengarnya. Tak lama, Melisa datang dengan pakaian rapi dan make up tipis yang membuat wajahnya semakin cantik. Tanpa make up pun gadis itu sudah sangat cantik, apalagi kalau memakai make up.
“Nah, tuh, Melisa sudah datang!” seru Damar melihat Melisa yang baru saja datang. Semua menoleh ke arah Melisa.
Tidak seperti Riana dan Damar yang senang menyambut kedatangan menantu barunya. Azham malah sebaliknya, ia berpikir kalau masalah datang menghampirinya saat melihat kedatangan Melisa.
“Wah, Melisa memang cantik ya. Saking cantiknya, Azham sampai nggak kedip lihatnya,” goda Riana pada Azham yang sejak tadi menatap datar ke arah Melisa.
Melisa menunduk merasa canggung dipuji oleh mertuanya. Sedangkan Azham memutar bola mata jengah melihat Melisa. Apalagi, ia kesal dengan mamanya yang sengaja menggoda dirinya. Padahal, ia menatap Melisa bukan karena terpesona, tapi karena ia sangat kesal dengan gadis itu.
“Hehe... Jangan digodain gitu, Nak Azham-nya. Entar dia malu lagi,” tegur Fitri pada Riana sembari tersenyum.
Damar dan Riana hanya terkekeh. Setelah itu, Azham dan keluarganya pamit pulang pada Fitri beserta meminta izin membawa serta Melisa dengan mereka. Fitri awalnya merasa sedih, tapi ketika merasa amanat yang diberikan Jaka sudah terpenuh, ia merasa lega.
“Tolong jagain Melisa ya, Nak Azham,” pesan Fitri pada Azham. Dengan wajah datar tanpa ekspresi, Azham mengangguk mengiyakan.
Melisa memeluk ibunya erat. Setelahnya, ia masuk ke dalam mobil Azham dan mereka pun menuju ke rumah Azham. Damar dan Riana berada di dalam mobil yang berbeda. Karena Azham sudah memiliki rumah pribadi sejak dulu. Maka dari itu, Azham dan Melisa akan ke rumah Azham yang tidak jauh dari kampus Melisa.
***
Selama perjalanan menuju rumah Azham, mereka hanya diam tanpa ada yang mau mengalah untuk memecah keheningan. Mereka berdua sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Azham yang fokus dengan kemudinya. Sedangkan Melisa menatap jauh keluar jendela memperhatikan jalanan yang cukup ramai oleh kendaraan.“Masih jauh lagi nggak ini?” Tiba-tiba Melisa bertanya menghilangkan kesunyian di antara mereka.Azham melirik sebentar, lalu kembali fokus ke depan. “Dikit lagi,” jawabnya singkat.Melisa menghela nafas kasar. “Kenapa nggak menginap saja, sih, di rumah Ibu buat malam ini saja?” tanya Melisa melirik Azham yang masih fokus pada kemudinya.“Saya ada urusan mendadak hari ini, terus pulangnya malam. Nggak bisa jemput kamu,” jelas Azham.“Ya sudah, nggak usah dijemput. Biarin saja saya di rumah Ibu,” usul Melisa.Azham mendengus sebal sembari lirik Melisa melemparkan tatapan tajam. “Itu juga saya mau. Tapi, mama bakalan bikin telinga saya sakit karena diceramahin,” ketus Azham.“Bodo amat,” gu
Sejak tadi, Melisa tidak bisa tertidur. Ia terus mengubah posisi berbaringnya agar bisa terlelap, tapi tetap saja tidak bisa. Entah apa alasan pastinya, tapi mungkin salah satunya karena ada Azham di sampingnya yang tidur dengan pulas.Untuk pertama kalinya, Melisa tertidur di ranjang yang sama dengan lawan jenisnya. Membuat dirinya merasa canggung. Meskipun, Azham tidak meminta yang macam-macam, dan langsung tidur begitu saja di samping Melisa setelah makan malam. Namun tetap saja, Melisa merasa canggung dan gelisah. Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya tidur bersama laki-laki. Untuk kesekian kalinya, Melisa mengubah posisi tidurnya yang tadinya tertidur miring sekarang telentang menghadap langit-langit kamar. "Berhenti bergerak, Melisa. Kamu membuatku tidak bisa tidur kalau terus saja bergerak tidak bisa diam," ujar Azham tiba-tiba membuat Melisa terkejut. Ia melirik ke samping melihat Azham yang juga sedang menatapnya. Netra mereka berdua saling beradu satu sama lain. Mem
“Pak?” tanya Melisa kembali. Tak lama, Azha pun menggeleng, lalu menyahut singkat, “Tidak.” Gadis itu seketika bernafas lega karenanya. Padahal, sedari tadi jantung Melisa sudah berdegup kencang karena takut.“Ouh.. kirain,” kata Melisa lega. “Kalau begitu, Bapak tidur lagi saja. Saya mau salat dulu,” kata Melisa pada Azham sembari bergerak turun melanjutkan niatnya salat lima subuh.“Melisa,” panggil Azham.Baru juga Melisa turun, Azham sudah memanggilnya menghentikan gerak Melisa. Melisa menatap kaget pada Azham yang memanggilnya tiba-tiba.“Ada apa, Pak?” tanya Melisa bingung.Azham bangkut dari berbaringnya dan memilih posisi duduk di atas ranjang menghadap Melisa yang menatapnya dengan alis terangkat sebelah menunggu apa yang akan dikatakan Azham padanya.Azham merasa malu dan gugup untuk mengatakan pada Melisa kalau ia ingin ikut Salat dengan gadis itu, apalagi mengatakan kalau dirinya ingin menjadi imam Melisa.“Kenapa diam, Pak?” tanya Melisa lagi saat lama menunggu Azham b
“Jadi, apa Ma?” potong Azham.“Ish, Mama sama Papa mau kamu datang ke rumah. Jangan lupa ajak Melisa. Entar malam,” kata Raina memberitahu.Azham menghela nafas kasar. “Tapi Ma. Az—““Nggak ada alasan, Zham. Mama tunggu nanti malam ya. Ya sudah Mama tutup dulu,” kata Raina mematikan sambungan telfon sepihak.Azham yang baru saja membuka mulutnya ingin menyela, tapi belum selesai Mamanya sudah mematikan sambungan telfonnya. Azham mengusap wajahnya kasar sembari melempar ponselnya ke atas ranjang.“Mama memang menyebalkan.”***Melisa baru saja selesai mandi, ia membuka pintu kamar mandi hendak keluar dan berhias tipis di meja rias yang ada di dalam kamarnya. Melisa melirik ke arah Azham yang duduk di tepi ranjang sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya.Melisa mengernyitkan kening heran. “Ada apa, Pak?” tanya Melisa. “Bapak sakit kepala?” Azham yang tidak menyadari kehadiran Melisa sontak terkejut.“Kamu mengagetkan saja, Melisa.,” protes Azham sebal. Melisa hanya nyengir kuda
“Lupakan saja! Sepertinya, saya sudah telat.” Kegugupan jelas tercetak di raut wajah Azham.Azham menggaruk ceruk lehernya yang bisa dipastikan tidak gatal sama sekali. Wajahnya memanas menahan malu.Melisa menatap Azham dengan mata yang mengerjap lucu. Jujur saja, Azham sangat gemas dengan tatapan itu. Namun karena sangat malu, ia pun pergi begitu saja.Melisa masih terdiam, belum bisa mengontrol kondisi saat ini. Benarkah, Azham mengatakan itu barusan? Ah, entahlah, Melisa tidak ingin memikirkan itu.Melisa bangkit dan membereskan meja makan, serta mengutip piring bekas makannya dan Azham.Melisa baru saja ingin mengunci pintu untuk berangkat ke kampus, tetapi geraknya terhenti kala dering di ponselnya.Melisa lantas merogoh tas dan memeriksa siapa yang sedang menghubunginya. Nama ibunya yang tertera di layar ponselnya. Melisa mendesah, tapi tetap mengangkatnya.“Ada apa, Bu?” tanya Melisa saat sambungan telepon tersambung.“Ck, sekalinya sudah menikah. Ibunya dilupakan,” ujar Fitri
“Jadi, bagaimana Pak. Anda setuju dengan kontrak kerja sama kita?” tanya Azham pada kliennya. “Tidak ada alasan untuk menolak, Pak Azham,” ujar pria paruh baya yang menjadi patner kerja sama Azham kali ini. Pria itu tersenyum, tapi seperti biasa Azham hanya akan membalasnya dengan anggukan pelan tanpa adanya senyum ramah di sudut bibirnya. Memang apa yang akan kalian harapkan dengan seorang Azham si gunung salju itu? Senyum ramah? Atau sapaan yang ramah serta kata yang hangat? Ah, sudahlah! Jangan terlalu berharap. Zera sebagai sekretaris yang mendampingi Azham meeting hanya menghela nafas kasar. “Baik kalau begitu. Itu artinya kita deal Tuan Deon?” tanya Azham. Pria paruh baya yang bernama Deon itu mengangguk seraya mengulas senyum manis sekali lagi. “Deal, Pak Azham.” Pria paruh baya itu berdiri dan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan tanda mereka sudah sepakat. Spontan Azham ikut berdiri dan menyambut jabat tangan dari kliennya. Deon sepertinya senang sekali mendapat kese
Zera masih diam dan manik matanya sudah dipenuhi bulir bening yang sekali saja Zera berkedip. Bulir bening itu akan jatuh membasahi pipinya.“Dengarkan aku, Zer. Kamu harus tahu ini. Kenapa aku memilih menjadikanmu sebagai sahabatku selamanya. Karena, aku tidak mau menjadikan hubungan yang sudah lama kita jalani hancur hanya karena cinta yang mungkin tidak akan pernah abadi,” lanjut Azham. “Tidak ada yang tahu, Zer. Perasaan cinta kita akan abadi sampai kapan? Jadi, tolong terima keputusanku ini. Tetaplah menjadi Zera sahabatku yang aku sayangi dan jangan berubah hanya soal cintamu yang tak terbalas. Sebab, hubungan persahabatan lebih murni dibanding kau harus memaksa cinta tumbuh di hati yang memang bukan untukmu,” sambung Azham panjang lebar.“Aku akan tetap berada di sampingmu kapan dan di mana kau mau. Bahkan, dalam keadaan apa pun. Aku janji,” tambah Zera. Zera mengangguk mengiyakan. Meski sakit tapi Zera tidak dapat berbuat apa-apa. Ini keputusan Azham, dan dia tidak bisa mema
Selama perjalanan, Azham dan Melisa sama-sama terdiam dengan pikiran mereka masing-masing. Azham dengan kemudinya dan segala hal yang terjadi di kantor tadi memenuhi isi kepalanya. Sementara, Melisa menatap keluar jendela dengan pikirannya yang kesal dengan Azham. Mereka hanya dengan pemikiran mereka. “Ini ... Kita mau ke mana?” tanya Melisa saat tahu jalan yang ditempuh Azham bukan jalan ke rumah mereka. “Ck, tadi pagi saya sudah bilang, bukan!? Kita akan ke rumah Mama. Mama meminta kita ke sana,” jelas Azham tanpa menoleh ke arah Melisa. Melisa hanya mangut-mangut seolah mengerti. Azham yang melihatnya mendengus sebal. “Kenapa memangnya?” “Ke rumah Mama, untuk apa?” “Kau bisa tanyakan itu nanti, pada mertuamu. Setelah sampia,” ucap Azham ketus. Melisa mendecak. Lalu mereka kembali terdiam. Azham kembali memikirkan perihal Zera yang sekarang sudah berani mengungkap perihal perasannya secara terang-terangan. Azham tidak menyangka Zera akan melakukan itu. Juga, Azham tidak tahu