Selama perjalanan menuju rumah Azham, mereka hanya diam tanpa ada yang mau mengalah untuk memecah keheningan. Mereka berdua sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Azham yang fokus dengan kemudinya. Sedangkan Melisa menatap jauh keluar jendela memperhatikan jalanan yang cukup ramai oleh kendaraan.
“Masih jauh lagi nggak ini?” Tiba-tiba Melisa bertanya menghilangkan kesunyian di antara mereka.
Azham melirik sebentar, lalu kembali fokus ke depan. “Dikit lagi,” jawabnya singkat.
Melisa menghela nafas kasar. “Kenapa nggak menginap saja, sih, di rumah Ibu buat malam ini saja?” tanya Melisa melirik Azham yang masih fokus pada kemudinya.
“Saya ada urusan mendadak hari ini, terus pulangnya malam. Nggak bisa jemput kamu,” jelas Azham.
“Ya sudah, nggak usah dijemput. Biarin saja saya di rumah Ibu,” usul Melisa.
Azham mendengus sebal sembari lirik Melisa melemparkan tatapan tajam. “Itu juga saya mau. Tapi, mama bakalan bikin telinga saya sakit karena diceramahin,” ketus Azham.
“Bodo amat,” gumam Melisa pelan, tapi masih bisa didengar oleh Azham.
Azham mendelik. Kesal juga lama-lama harus dekat-dekat dengan Melisa seperti ini. Lalu, akan bagaimana nanti kalau harus setiap saat bersamanya. Azham mungkin akan mati seketika. Pikir Azham.
Lama mereka dalam perjalanan, akhirnya sampai juga di rumah milik Azham. Sederhana, tapi sangat terasa nyaman untuk ukuran Azham. Bukan cuman, Azham, tapi Melisa juga merasakan hal yang sama saat melihat rumah suaminya itu.
“Ayo turun,” ajak Azham. “Kita sudah sampai.”
Melisa mengangguk mengiyakan, lalu keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah Azham. Namun, belum juga sampai di depan pintu, Azham memanggilnya membuat gadis itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.
“Kamu mau kemana?” tanya Azham.
“Masuk,” jawab Melisa. “Ini rumah Bapak, kan?”
“Iya, ini rumah saya,” sahut Azham.
“Lalu, kenapa saya dilarang masuk?” tanya Melisa heran.
“Ini koper kamu dibawa!” perintah Azham ketus. “Jangan main masuk aja.”
Melisa menghela nafas kasar. Punya suami modelan Azham membuat Melisa harus super sabar. Melisa mengira, setelah menikah dengannya, Azham akan sedikit merubah sikapnya terhadap dirinya, tapi prediksi Melisa salah. Malah, Azham semakin menjadi.
“Kirain bakalan dibantuin bawa,” kata Melisa sembari berjalan menghampiri Azham yang mengeluarkan koper Melisa dari bagasi.
“Memang kamu siapa?” tanya Azham dengan ketus.
“Istrimu lah,” jawab Melisa enteng. Azham memutar bola matanya, lalu masuk begitu saja ke dalam rumahnya tanpa menghiraukan Melisa.
“Ish, menyebalkan sekali manusia es batu itu.” Melisa kemudian dengan susah payah membawa kopernya masuk ke dalam rumah.
Ia kagum dengan rumah Azham yang terlihat sederhana di luar, tapi mewah di dalam. Pria itu memiliki selera tinggi juga. Pikir Melisa. Azham berdiri di ruang tamu menoleh ke arah Melisa yang baru saja datang dengan koper besar di tangannya membuat gadis itu kesusahan. Namun Azham tidak memedulikannya.
“Kamar kita di sana,” tunjuk Azham pada sebuah pintu berwarna putih. “Silahkan kalau mau istirahat.”
Kening Melisa mengerut, ia tidak bergeming membuat Azham heran. “Ada apa? Masih kurang jelas?”
“Kita akan sekamar?” tanya Melisa gugup.
Azham memutar bola mata jengah. “Lalu, menurutmu kita akan tidur di kamar terpisah?” Melisa mengangguk. Membuat Azham menghela nafas kasar.
“Ini bukan novel yang sering kau baca, Melisa. Yang di mana mereka akan memilih tidur di kamar berbeda. Ini kehidupan nyata. Jadi, sadarlah,” ledek Azham.
“Berhenti berpikiran yang aneh-aneh. Kita suami istri, jadi nggak akan ada yang melarang kita tidur sekamar,” lanjut Azham.
Melisa menghela nafas kasar. Melisa kira, Azham akan menolak untuk tidur sekamar, ternyata prediksinya pun kali ini salah. Sekarang Melisa harus melatih dirinya untuk terbiasa tidur dengan orang asing yang berstatus suaminya.
“Kenapa lagi?” tanya Azham saat melihat Melisa masih diam berdiri di sampingnya.
“Berat, Pak. Boleh minta tolong di angk—“ Belum selesai kalimat Melisa, Azham sudah lebih dulu membantunya membawa kopernya masuk ke dalam kamar. Meski dalam hati Azham kesal.
“Nih, sudah, kan. Baru beberapa menit di sini sudah bikin repot,” gerutu Azham yang dibalas dengan Melisa mencebik.
“Baru juga dimintai tolong. Udah marah-marah nggak jelas,” gumam Melisa pelan.
Azham mengabaikan Melisa. Ia menatap jam tangannya, ternyata ia harus segera pergi. Selain menjadi dosen, Azham juga memiliki perusahaan sendiri yang ia bangun dengan jerih payahnya sendiri. Menjadi dosen bukalah keinginannya, tapi karena atas dasar paksaan papanya.
Maka dari itu, tanpa sepengetahuan Damar, Azham membangun bisnisnya sendiri. Dan sekarang sudah berjalan dengan sukses. Namun, pada akhirnya, Damar mengetahuinya juga, tap tidak lagi mempersulit Azham. Asalkan, Azham tetap mau menjadi dosen. Jadilah, Azham memilih mengelola bisnisnya dibantu Deon sahabatnya.
“Saya harus pergi,” ujar Azham pada Melisa.
Melisa mengangguk tanpa menoleh pada Azham, ia sibuk dengan kopernya. Melisa menyusun baju-bajunya ke dalam lemari milik Azham. Pria itu mendesah panjang.
“Kamu jangan membiarkan orang asing masuk ke dalam rumah,” peringat Azham. Melisa mengangguk. “Jangan lupa matikan kompor saat masak dan jan—“
“Astaga, Pak. Saya belum pikun harus didikte begitu. Tenang saja, saya akan menjaga rumah Bapak dengan baik dan akan menjaminnya tetap aman,” ujar Melisa memotong ucapan Azham.
Pria itu mendelik sebal. “Hhmm... Baik kalau begitu saya pergi dulu,” pamit Azham. Tanpa menunggu balasannya Melisa, pria itu pergi begitu saja meninggalkan gadis itu di dalam kamarnya.
“Ish, ternyata Pak Azham cerewet juga jadi orang ya. Aku baru tahu sekarang,” gerutunya kembali menyusun baju-bajunya masuk ke dalam lemari.
***
Setelah Melisa selesai memasukkan baju-bajunya di dalam lemari, Azham. Dan juga merapikan barang-barangnya yang lain, Melisa beristirahat sebentar. Tidur siang dan bangun jam empat sore. Melisa berniat untuk memasak makanan untuk menu makan malamnya sebentar bersama Azham.
Berhubung, Azham tidak memiliki pembantu. Jadi, Melisa harus melakukan semuanya sendiri. Melisa tidak masalah dengan itu. Karena di rumah ibunya, Melisa juga sudah terbiasa melakukan semua sendiri, meski ada Mbok Ina yang bisa dimintai tolong untuk membantunya.
Namun, Melisa lebih senang melakukannya sendiri. Saat ini, Melisa sudah ada di dalam dapur. Memilah bahan-bahan masakan yang ada di dalam kulkas milik Azham, dan ternyata hanya ada sayuran seadanya dan ayam.
Melisa mengeluarkannya dari kulkas, dan mulai berpikir akan masak apa ia dengan bahan seadanya. Sepertinya, ayam goreng tumis kecap dan sayur sop-lah yang akan menjadi menu makan malamnya. Selain gampang, bahannya juga hanya ada itu. Maka dari itu, pilihannya jatuh pada menu tadi.
Melisa mulai mencuci ayam dan sayurannya, dan menggoreng ayamnya terlebih dahulu sembari memotong-motong sayuran yang sudah di cuci. Melisa mengerjakannya dengan sangat telaten. Hingga tidak hampir satu jam, Melisa sudah menyelesaikan semuanya. Masakannya sudah matang. Tinggal dipindahkan di wadah untuk menyajikannya di atas meja makan.
“Akhirnya selesai juga,” seru Melisa bernafas lega saat semua masakannya sudah disajikan di atas meja makan.
“Sudah hampir magrib,” ujarnya menatap jam dinding yang menunjukkan waktu magrib akan tiba.
“Gua mandi dulu aja, deh. Pak Azham juga belum datang,” dialognya.
Kemudian, ia pun meninggalkan meja makan berjalan menuju kamarnya untuk segera bersih-bersih dan mandi. Selesai mandi, Melisa berniat untuk salat magrib dulu, baru akan makan malam. Kayaknya, gadis itu tidak akan menunggu kepulangan Azham. Ia terlalu lapar kalau harus menunggu Azham.
Selesai mandi, Melisa segera memakai pakaian, dan bergegas mengambil whudu saat Azdan di magrib selesai dikumandangkan. Melisa melaksanakan salat magrib dengan begitu khusyuk. Azham yang baru saja pulang dari kantornya, berhenti di depan pintu saat melihat Melisa melaksanakan salat lima waktu.
Azham tidak pernah menyangka, gadis seperti Melisa taat dalam melaksanakan perintah Tuhannya. Ada setitik di hati Azham merasa di cubit melihat Melisa, entah kapan terakhir kali Azham melaksanakan salat lima waktu.
Selama ini, Azham sudah melupakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Azham terlalu terpaku pada urusan duniawi hingga melupakan urusan akhirat. Azham kembali menutup pintu kamar meninggalkan Melisa.
Di dalam kamar, Melisa baru saja selesai melaksanakan salat magrib. Ia melepas dan melipat mukena yang tadi dipakainya untuk salat dan menyimpannya ke tempat semula. Gadis itu, lalu berjalan keluar kamar.
Saat ia baru saja ingin masuk ke dapur, ia terkejut melihat Azham yang duduk bersandar pada sofa dengan keadaan melamun. Melisa menghampirinya, dan mengernyitkan keningnya bingung. Melisa melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Azham, tapi pria itu terlalu fokus dengan pikirannya yang melayang sekarang.
“Pak,” panggil Melisa pelan sembari menoel lengan Azham.
Sekali lagi, Melisa mencoba memanggil Azham dan tetap sama. Azham tetap tidak bergeming. Hingga Melisa kesal dan juga takut Azham kenapa-napa, Melisa berteriak memanggil nama Azham sehingga membuat pria itu memekik kaget.
“Astaga, Melisa!” teriak Azham kesal sembari melayangkan tatapan tajam pada gadis itu. “Kamu kenapa, sih, teriak-teriak?”
Melisa menyentuh dadanya, jantungnya berdebar kencang akibat ikut terkejut karena Azham. Melisa mendengus sebal melihat Azham seperti itu. Sedangkan Azham berdiri di depan Melisa masih menatapnya dengan kesal.
“Gimana nggak teriak. Di panggil-panggilin dari tadi, nggak nyahut-nyahut. Ya, terpaksa saya teriak. Kirain bapak kenapa-napa lagi,” jelas Melisa mencoba mencari pembelaan.
Azham mendengus kesal. “Nggak harus teriak juga!” ketus Azham.
“Ya maaf, Pak,” sesal Melisa. “Kan, niat saya baik.”
Azham menghela nafas kasar. Melisa kemudian berjalan meninggalkan Azham. Ia kesal karena Azham terus saja berkata ketus dan membentaknya. Azham mengernyitkan keningnya bingung.
“Hei, kamu mau kemana?” seru Azham.
“Makan,” jawab Melisa singkat tanpa menoleh kearah Azham. "Saya lapar!"
“Saya juga lapar kali,” ujar Azham sambil menghampiri Melisa ikut masuk ke ruang makan. Melisa tidak peduli dengan Azham yang menggerutu berjalan di sampingnya.
***
Tidak sedikit orang yang sedang merasakan risau di hatinya lari ke pantai, pasti pantai adalah opsi pelarian paling tepat menurut mereka. Di sana mereka bisa menikmati deru ombak yang sesekali akan menabrakkan diri ke kaki, dan hal itu sangat menyenangkan. Bermain dengan ombak membuat gelisah sedikit berkurang. Begitulah yang saat ini terjadi pada Melisa, dia terlihat begitu nyaman berada di tempat ini. Azham tersenyum melihat keceriaan kembali terpancar di wajah sang istri. Setelah sempat murung beberapa hari, dan terlihat terus ketakutan serta cemas berlebihan atas apa yang menimpanya beberapa hari yang lalu. “Pak!!” seru Melisa membuat Azham tersentak dari lamunan. “Ayo, sini. Ini sangat menyenangkan,” ajak Melisa. Azham tersenyum lalu mengangguk sembari berjalan ke arah Melisa yang tengah memperhatikannya. “Kau menyukainya?” tanya Azham saat sudah berada di dekat Melisa. Dia membiarkan kaki dan celananya basah. “Hmm ...,” jawab Melisa dengan mengangguk sembari kembali menatap
POV Author “Kenapa bisa begini, Rian?” tanya Azham sambil matanya tidak lepas dari seorang gadis dengan menggunakan pakaian serba putih.Gadis itu duduk di sebuah brankar rumah sakit. Tangannya diikat di masing-masing sudut ranjang tersebut. Dia terus saja meronta ingin melepaskan ikatan di tangannya, berteriak tidak jelas. “Entahlah, Zham.” Rian mendesah seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. Tidak sanggup dengan pemandangan di depannya. “Zera sepertinya depresi atas kepergian Leon.” Azham berbalik menghadap Rian mengalihkan pandangannya dari Zera. Ya, gadis yang ada di dalam ruangan yang cukup sempit itu, adalah Zera—sahabat Azham—juga Rian. Kedua pria itu sedih melihat kondisi Zera yang begitu menyedihkan. Memang kehilangan adalah salah satu penyebab luka yang paling dalam. Saking dalam luka yang dialami Zera, gadis itu sampai kehilangan akal sehatnya. Hingga terpaksa dirinya berada di tempat ini, yaitu rumah sakit jiwa. Rian dan kerabat dekat Zera memutuskan untuk memasukk
POV Melisa “Saya sudah siap, kota ketemu di sana saja.” Samar-samar dapat aku dengar suara Pak Azham dari dalam kamar. Dia sedang berbicara dengan seseorang di telfon. “...”“Tidak, saya berangkat sendiri.” Kulihat dari sela pintu yang sedikit terbuka, Pak Azham berjalan ke arah meja rias. Membetulkan dasinya dengan satu tangan, satunya lagi dipakai memegang ponsel yang menempel di telinganya. “Melisa masih masa pemulihan. Lukanya memang sudah mengering, dan bahkan sudah hampir sembuh. Hanya saja ....” Pak Azham terdiam sejenak dengan gerakan tangannya, pun ikut berhenti. Tatapannya lurus pada cermin di depannya. Aku tidak tahu, apa yang sedang dipikirkan olehnya. Yang aku tahu, dia membuang napas kasar. “Traumanya pasti belum sembuh. Apa yang dilakukan Zera kepadanya, dan apa yang dia saksikan hari itu ... pasti akan sangat membekas di ingatannya.” Pak Azham menarik napas dalam. Kepalanya tertunduk sebentar, lalu kemudian mendongak menatap wajahnya di cermin. “Saya masih ragu mem
POV Melisa Aku, Mama, Ibu dan Pak Azham berjalan bersama-sama menuju parkiran rumah sakit. Setelah hampir seminggu aku dirawat di rumah sakit ini, akhirnya bisa terbebas juga. Aroma obat khas rumah sakit yang selalu mampu menghilangkan nafsu makanku. Kini tak akan lagi aku rasakan setelah kembali ke Makassar. Pak Azham memasukkan tas dan beberapa barang-barang ke dalam bagasi mobil. Setelahnya, dia berpamitan kepada Mama dan Ibu. Begitupun denganku. Setelah dari rumah sakit, kami akan segera ke bandara. Hari ini juga kami akan kembali ke Makassar. Namun, hanya kami. Karena Mama dan Ibu masih akan menetap beberapa hari di Bali. Katanya, ingin berlibur sejenak mumpung masih berada di sini. Sehingga aku dan Pak Azham pun tidak keberatan membiarkannya tetap menetap. Lagian, Ibu juga sudah lama sekali tidak pergi berlibur. Jadi, biarlah. “Kalian yakin nggak apa-apa kalau kami tetap di sini?” tanya Ibu memastikan. “Ibu nggak enak,” ujarnya lagi dengan pelan. “Nggak enak kenapa, Bu?” ta
“Ada apa?” tanya Azham kala melihat Melisa sering curi-curi pandang ke arahnya, yang tengah duduk di kursi dengan laptop di atas pangkuannya. “Sejak tadi kuperhatikan kamu sering melirikku. Apa kamu butuh sesuatu?” Melisa sontak salah tingkah kala Azham mengetahui dirinya sering mencuri pandang ke arah pria itu. Melisa tidak mengerti bagaimana bisa Azham tahu kalau Melisa melakukan itu, padahal sejak tadi gadis itu perhatikan Azham sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari laptop di pangkuannya itu. Aneh, pikir Melisa. “Enggak,” jawab Melisa menggelengkan kepalanya dengan kuat. Berusaha meyakinkan Azham kalau yang pria itu pikirkan itu salah. Dirinya tidak melakukan hal seperti yang dituduhkan Azham. “Siapa bilang saya curi-curi pandang ke Bapak? Ngacoh,” elak Melisa dengan raut salah tingkah. Azham yang masih belum mengalihkan pandangannya ke arah laptop tersenyum mendengar jawaban Melisa, yang terdengar sedang berusaha mengelak apa yang Azham katakan. “Benarkah? Padahal seja
Azham masuk kembali ke ruangan Melisa setelah mengantar mama dan ibu mertuanya ke parkiran. Melisa menoleh kala mendengar suara derit pintu. Tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat sebelum Melisa memutus kontak mata dengan Azham. Pria itu melangkah perlahan mendekati brankar Melisa. Mereka terlihat masih sangat asing. Meskipun, beberapa waktu yang lalu saat kejadian penculikan dan ditemukannya Melisa. Azham sempat mengungkapkan ketakutannya terhadap keadaan sang istri. Namun, sekarang situasi kembali semula. “Mama sama Ibu sudah ke hotel?” tanya Melisa tanpa menatap Azham yang duduk di sampingnya. “Nggak Bapak antar?” Azham menghela napas kasar, dia tidak tahu apakah Melisa hanya berbasa-basi atau memang tidak tahu. Padahal, saat Diana mengatakan sudah memesan tiket pesawat sekaligus hotel Melisa tidak sedang tertidur. Juga tidak sedang dalam keadaan tidak sadar. Gadis itu bahkan memperhatikan wajah Diana saat berbicara. Akan tetapi, kenapa sekarang malah bertanya pikir Azham.