Pak Azham menempelkan bibirnya di bibirku, ya. Dia menciumku. Ciuman pertamaku yang tanpa sengaja dia ambil. Aku tidak bergeming karena terkejut. Sementara dia menutup matanya seolah sedang menikmati bibirnya yang berdiam di bibirku.Tidak tahu kenapa, tapi rasanya sangat sakit. Apalagi membayangkan wajah Kevin yang cemburu karena melihat kami berciuman dengan posisi yang sangat intim ini. Mataku berkaca-kaca, dengan segala kekuatanku. Aku mendorong Pak Azham saat dia hendak menggerakkan bibirnya untuk melumat bibirku, dia terjatuh ke samping dengan wajah terkejut. Aku membuang muka tidak berani menatapnya. Mataku sudah memanas dan bersiap untuk mengeluarkan bulir bening. Pak Azham masih pada posisinya, berbaring di sampingku. “Maaf,” ujarnya pelan dan bangkit saat mungkin mendengar suaraku terisak. Ya, aku menangis. Menangis karena Pak Azham—suamiku berhasil merebut first kissku. meskipun dia suamiku, tetapi aku tidak rela dia merebutnya dariku tanpa persetujuanku.”"Aku tidak seng
“Aku ingin kau meninggalkannya sekarang juga.” “Tidak bisa! Bukankah kau tahu sendiri bagaimana hubungan itu terjadi?”Pertengkaran di dalam ruangan kamar hotel yang terlihat sudah sangat berantakan. Dua insan saling berdebat mengungkapkan pendapat masing-masing. Tidak ada yang mau mengalah, dan mereka terus saja memaksa kehendak tanpa mau membicarakannya dengan kepala dingin. “Ya, aku tahu, tapi aku tidak bisa melihatmu terus-terus bersamanya. Aku cemburu!” Suara seorang gadis terdengar begitu nyaring dengan sedikit bergetar menahan tangis yang sebentar lagi akan pecah. “Aku tidak sudi ada perempuan lain yang mendekatimu selain aku, Kev!” teriaknya sekali lagi sedikit lantang. “Tenanglah, Melisa! Ingat! Ini tidak akan lama,” balas pemuda itu mencoba menenangkan gadisnya yang sudah mulai terisak. Gadis itu menepis tangan pemuda itu yang mencoba untuk memeluknya.Gadis yang dipanggil Melisa itu menangis seraya menatap tajam ke arah pria di depannya. “Sudah aku katakan berkali-kali
Sudah seminggu aku dan Pak Azham di Bali, dan kini kami memutuskan untuk kembali ke Makassar. Jenuh juga berada di tempat indah, tapi tidak tahu harus melakukan apa. Jalan-jalan menikmati pemandangan juga tidak membuat suasana hatiku berubah. Malah akan semakin membuatku jenuh saja dengan tempat ini, apalagi setiap sudut pulau Bali ini. Aku malah teringat akan masa lalu yang membuatku trauma. Sehingga aku pun memutuskan untuk segera menyudahi bulan madu yang sama sekali tidak berarti apa-apa. “Mbak, maaf. Boleh saya duduk di sini?” Aku tersentak dari lamunan, dan segera menoleh. Aku mendapati seorang perempuan berdiri di sampingku, dia tersenyum begitu ramah padaku. Aku pun membalas senyumnya. “Boleh. Silakan,” ucapku setuju. Aku menggeser dudukku agar perempuan itu bisa ikut duduk di kursi tunggu bandara. Aku sedang menunggu sendirian waktu penerbangan, karena Pak Azham sedang menelfon dengan seseorang yang entah siapa. “Mbak dari mana mau ke mana?” tanya perempuan yang masih b
POV Author Azham baru selesai menelfon sekretarisnya yang baru, karena Zera sudah tidak bekerja di perusahaannya. Saat Azham menolak gadis itu serta Zera mengetahui mengenai Azham yang telah menikah dengan gadis lain. Sehingga Zera memutuskan untuk berhenti bekerja. Ditambah Zera yang kecelakaan dan harus dirawat di rumah sakit. Maka dari itu, Azham pun mencari sekretaris baru. Azham mengerutkan keningnya saat dia tidak menemukan Melisa di tempatnya tadi dia meninggalkan gadis itu untuk menelfon. Di kursi tunggu hanya tersisa koper miliknya dan milik Melisa yang gadis itu tinggalkan. Azham memperhatikan kondisi bandara mencari istrinya, tapi tidak ada tanda-tanda Melisa ada di sekitaran sana. Azham mencoba menelfon Melisa, tapi tidak bisa. Ponsel gadis itu tidak aktif, yang membuat Azham semakin bingung ke mana perginya Melisa. “Apa dia ke toilet?” tanyanya pada diri sendiri. Azham kemudian memutuskan untuk duduk dan menunggu Melisa kembali, yang dia pikir sedang ke kamar kecil.
Sementara di Makassar, Leon begitu khawatir dan cemas mencari di mana keberadaan kakaknya itu. Baru saja keluar dari rumah sakit, tetapi kakaknya sudah menghilang entah ke mana. “Astaga, ke mana anak itu?!” Leon melemparkan ponselnya ke arah ranjang oversize miliknya saat nomor Zera kembali tidak bisa dihubungi. Leon menarik rambutnya frustasi, dia tahu ke mana perginya kakaknya itu. “Kak Zera benar-benar nekat,” ucapnya penuh emosi. “Cinta benar-benar telah membutakan mata hatinya,” lanjutnya dengan kesal. Leon mengambil kembali ponselnya yang tergeletak tak berdaya di atas ranjang. Saat ini, dia sudah tahu harus berbuat apa dan meminta bantuan kepada siapa. Leon segera menelefon seseorang untuk meminta tolong agar bisa menemukan kakaknya itu. “Halo, Kak. Boleh kita ketemu?” tanya Leon saat sambungan telefon tersambung. “Baiklah, kita ke temu di Kafe dekat kantor Kakak saja,” ucap Leon. Setelah berbincang sebentar, Leon kemudian mematikan sambungan telfonnya, lalu menyambar domp
Leon dan Rian sudah berada di bandara Sultan Hasanuddin Makassar akan segera terbang ke Bali menyusul Azham, Zera dan Melisa. Membantu Azham menemukan istrinya disekap oleh kakak Leon. Sampai sekarang Leon masih belum habis pikir dengan kelakuan kakaknya itu. Dia sekarang baru tahu betapa hebatnya cinta yang ditolak. Namun, apakah harus bertindak demikian? Membahayakan orang lain guna mendapatkan cinta? Sepertinya tidak perlu juga. Sebab, bukannya mendapatkan cinta seperti yang kakaknya harapkan dan impikan itu. Malah sebaliknya. Dia tidak akan mendapat apa-apa serta akan dibenci oleh orang yang dia cintai kalau sampai melakukan hal berbahaya kepada Melisa. “Harusnya Kak Zera lebih bisa mengontrol diri dan perasaannya. Serta bisa berpikiran dewasa layaknya usianya saat ini,” gumam Leon yang masih bisa didengar oleh Rian. Rian kemudian menepuk pelan pundak Leon, lalu tersenyum dan berkata, “Usia tidak menjamin kedewasaan, Leon. Juga apa yang dilakukan Kakakmu tidak sepenuhnya salah
Seorang gadis cantik dengan bulu mata lentik yang di wajah dan hampir seluruh tubuhnya dipenuhi luka terbaring tak berdaya di atas brankar rumah sakit. Di samping brankar itu seorang pria duduk di sana sambil menggenggam tangan sang gadis. Menunggu kesadaran gadis itu segera didapatinya. Sudah beberapa jam gadis itu menutup mata rapat tanpa tahu kapan akan membukanya. Padahal dokter sudah mengatakan kepada pria itu kalau sebentar lagi dia akan tersadar. Namun, karena begitu khawatir pada sang gadis. Pria itu merasa waktu beberapa menit sangatlah lama. Tangan gadis itu terpasang selang infus, hidungnya terpasang selang bantu pernapasan. Juga beberapa bagian tubuhnya terpasang alat yang entah fungsinya untuk apa. Pria itu tidak tahu. Yang dia tahu kondisi gadis itu sedikit memburuk akibat di sekap, lalu disiksa. “Melisa, tolong buka matamu. Jangan buat aku khawatir seperti ini,” ucap Azham dengan suara bergetar masih menggenggam tangan Melisa. Ya, gadis di atas ranjang rumah sakit i
“Di mana ruangan Melisa, Di? Aku sudah tidak sabar bertemu dengannya.” Fitri mencecar Diana untuk segera membawanya ke ruangan Melisa berada. “Kata Rian, Melisa berada di ruangan yang ada di lantai dua. Nomor kamarnya kalau nggak salah 201.” Diana dan Fitri yang mengetahui keadaan Melisa lantas bergegas ke Bali. Mereka tidak lagi ingin menunggu berita burung. Sehingga mereka pun segera memesan tiket penerbangan hari itu juga.Kedua wanita paruh baya itu bergegas ke resepsionis untuk bertanya ruangan Melisa. Setelah mereka sudah mengetahuinya. Lantas segera menuju ruangan gadis itu berada. Di saat keduanya hampir menemukan ruangan Melisa. Tidak sengaja mereka bertemu Rian dan Zera yang hendak kembali ke Makassar untuk pemakaman Leon. Fitri dan Diana yang sedang geram kepada Zera, karena telah menyeka dan menyiksa Melisa hingga membuat gadis itu kini terbaring tak berdaya di rumah sakit. Membuat emosi kedua wanita itu tersulut ketika melihat gadis itu. Keduanya bersama-sama menghamp