Sementara di Makassar, Leon begitu khawatir dan cemas mencari di mana keberadaan kakaknya itu. Baru saja keluar dari rumah sakit, tetapi kakaknya sudah menghilang entah ke mana. “Astaga, ke mana anak itu?!” Leon melemparkan ponselnya ke arah ranjang oversize miliknya saat nomor Zera kembali tidak bisa dihubungi. Leon menarik rambutnya frustasi, dia tahu ke mana perginya kakaknya itu. “Kak Zera benar-benar nekat,” ucapnya penuh emosi. “Cinta benar-benar telah membutakan mata hatinya,” lanjutnya dengan kesal. Leon mengambil kembali ponselnya yang tergeletak tak berdaya di atas ranjang. Saat ini, dia sudah tahu harus berbuat apa dan meminta bantuan kepada siapa. Leon segera menelefon seseorang untuk meminta tolong agar bisa menemukan kakaknya itu. “Halo, Kak. Boleh kita ketemu?” tanya Leon saat sambungan telefon tersambung. “Baiklah, kita ke temu di Kafe dekat kantor Kakak saja,” ucap Leon. Setelah berbincang sebentar, Leon kemudian mematikan sambungan telfonnya, lalu menyambar domp
Leon dan Rian sudah berada di bandara Sultan Hasanuddin Makassar akan segera terbang ke Bali menyusul Azham, Zera dan Melisa. Membantu Azham menemukan istrinya disekap oleh kakak Leon. Sampai sekarang Leon masih belum habis pikir dengan kelakuan kakaknya itu. Dia sekarang baru tahu betapa hebatnya cinta yang ditolak. Namun, apakah harus bertindak demikian? Membahayakan orang lain guna mendapatkan cinta? Sepertinya tidak perlu juga. Sebab, bukannya mendapatkan cinta seperti yang kakaknya harapkan dan impikan itu. Malah sebaliknya. Dia tidak akan mendapat apa-apa serta akan dibenci oleh orang yang dia cintai kalau sampai melakukan hal berbahaya kepada Melisa. “Harusnya Kak Zera lebih bisa mengontrol diri dan perasaannya. Serta bisa berpikiran dewasa layaknya usianya saat ini,” gumam Leon yang masih bisa didengar oleh Rian. Rian kemudian menepuk pelan pundak Leon, lalu tersenyum dan berkata, “Usia tidak menjamin kedewasaan, Leon. Juga apa yang dilakukan Kakakmu tidak sepenuhnya salah
Seorang gadis cantik dengan bulu mata lentik yang di wajah dan hampir seluruh tubuhnya dipenuhi luka terbaring tak berdaya di atas brankar rumah sakit. Di samping brankar itu seorang pria duduk di sana sambil menggenggam tangan sang gadis. Menunggu kesadaran gadis itu segera didapatinya. Sudah beberapa jam gadis itu menutup mata rapat tanpa tahu kapan akan membukanya. Padahal dokter sudah mengatakan kepada pria itu kalau sebentar lagi dia akan tersadar. Namun, karena begitu khawatir pada sang gadis. Pria itu merasa waktu beberapa menit sangatlah lama. Tangan gadis itu terpasang selang infus, hidungnya terpasang selang bantu pernapasan. Juga beberapa bagian tubuhnya terpasang alat yang entah fungsinya untuk apa. Pria itu tidak tahu. Yang dia tahu kondisi gadis itu sedikit memburuk akibat di sekap, lalu disiksa. “Melisa, tolong buka matamu. Jangan buat aku khawatir seperti ini,” ucap Azham dengan suara bergetar masih menggenggam tangan Melisa. Ya, gadis di atas ranjang rumah sakit i
“Di mana ruangan Melisa, Di? Aku sudah tidak sabar bertemu dengannya.” Fitri mencecar Diana untuk segera membawanya ke ruangan Melisa berada. “Kata Rian, Melisa berada di ruangan yang ada di lantai dua. Nomor kamarnya kalau nggak salah 201.” Diana dan Fitri yang mengetahui keadaan Melisa lantas bergegas ke Bali. Mereka tidak lagi ingin menunggu berita burung. Sehingga mereka pun segera memesan tiket penerbangan hari itu juga.Kedua wanita paruh baya itu bergegas ke resepsionis untuk bertanya ruangan Melisa. Setelah mereka sudah mengetahuinya. Lantas segera menuju ruangan gadis itu berada. Di saat keduanya hampir menemukan ruangan Melisa. Tidak sengaja mereka bertemu Rian dan Zera yang hendak kembali ke Makassar untuk pemakaman Leon. Fitri dan Diana yang sedang geram kepada Zera, karena telah menyeka dan menyiksa Melisa hingga membuat gadis itu kini terbaring tak berdaya di rumah sakit. Membuat emosi kedua wanita itu tersulut ketika melihat gadis itu. Keduanya bersama-sama menghamp
“Jangan bangun dulu.” Azham dengan cepat membantu Melisa kembali berbaring, kala melihat gadis itu mengangkat kepala hendak duduk. “Kata dokter, kamu masih butuh banyak istirahat.” Melisa yang masih lemas terpaksa kembali membaringkan tubuhnya. Padahal, dia sudah merasa pegal kalau harus terus terbaring seperti saat ini. Dia tidak punya cukup tenaga untuk berdebat dengan Azham. “Apa kamu butuh sesuatu? Katakan saja,” pinta Azham. “Mau makan, minum atau apa?” tanyanya kepada Melisa yang hanya menatapnya. Hening. Tidak ada suara yang keluar dari mulut gadis itu. Hanya ada gelengan kepala begitu pelan. Azham mengerti Melisa saat ini pasti masih sangat lemas. Suara Melisa hanya terdengar saat pertama kali siuman. Setelahnya, tidak ada lagi. Azham kemudian diam, dia duduk di kursi yang ada di samping ranjang Melisa. Membiarkan Melisa untuk beristirahat. Tidak lagi memberondong istrinya itu dengan pertanyaan-pertanyaan. Di saat mereka sedang berada di situasi hening, tiba-tiba pintu ru
Azham masuk kembali ke ruangan Melisa setelah mengantar mama dan ibu mertuanya ke parkiran. Melisa menoleh kala mendengar suara derit pintu. Tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat sebelum Melisa memutus kontak mata dengan Azham. Pria itu melangkah perlahan mendekati brankar Melisa. Mereka terlihat masih sangat asing. Meskipun, beberapa waktu yang lalu saat kejadian penculikan dan ditemukannya Melisa. Azham sempat mengungkapkan ketakutannya terhadap keadaan sang istri. Namun, sekarang situasi kembali semula. “Mama sama Ibu sudah ke hotel?” tanya Melisa tanpa menatap Azham yang duduk di sampingnya. “Nggak Bapak antar?” Azham menghela napas kasar, dia tidak tahu apakah Melisa hanya berbasa-basi atau memang tidak tahu. Padahal, saat Diana mengatakan sudah memesan tiket pesawat sekaligus hotel Melisa tidak sedang tertidur. Juga tidak sedang dalam keadaan tidak sadar. Gadis itu bahkan memperhatikan wajah Diana saat berbicara. Akan tetapi, kenapa sekarang malah bertanya pikir Azham.
“Ada apa?” tanya Azham kala melihat Melisa sering curi-curi pandang ke arahnya, yang tengah duduk di kursi dengan laptop di atas pangkuannya. “Sejak tadi kuperhatikan kamu sering melirikku. Apa kamu butuh sesuatu?” Melisa sontak salah tingkah kala Azham mengetahui dirinya sering mencuri pandang ke arah pria itu. Melisa tidak mengerti bagaimana bisa Azham tahu kalau Melisa melakukan itu, padahal sejak tadi gadis itu perhatikan Azham sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari laptop di pangkuannya itu. Aneh, pikir Melisa. “Enggak,” jawab Melisa menggelengkan kepalanya dengan kuat. Berusaha meyakinkan Azham kalau yang pria itu pikirkan itu salah. Dirinya tidak melakukan hal seperti yang dituduhkan Azham. “Siapa bilang saya curi-curi pandang ke Bapak? Ngacoh,” elak Melisa dengan raut salah tingkah. Azham yang masih belum mengalihkan pandangannya ke arah laptop tersenyum mendengar jawaban Melisa, yang terdengar sedang berusaha mengelak apa yang Azham katakan. “Benarkah? Padahal seja
POV Melisa Aku, Mama, Ibu dan Pak Azham berjalan bersama-sama menuju parkiran rumah sakit. Setelah hampir seminggu aku dirawat di rumah sakit ini, akhirnya bisa terbebas juga. Aroma obat khas rumah sakit yang selalu mampu menghilangkan nafsu makanku. Kini tak akan lagi aku rasakan setelah kembali ke Makassar. Pak Azham memasukkan tas dan beberapa barang-barang ke dalam bagasi mobil. Setelahnya, dia berpamitan kepada Mama dan Ibu. Begitupun denganku. Setelah dari rumah sakit, kami akan segera ke bandara. Hari ini juga kami akan kembali ke Makassar. Namun, hanya kami. Karena Mama dan Ibu masih akan menetap beberapa hari di Bali. Katanya, ingin berlibur sejenak mumpung masih berada di sini. Sehingga aku dan Pak Azham pun tidak keberatan membiarkannya tetap menetap. Lagian, Ibu juga sudah lama sekali tidak pergi berlibur. Jadi, biarlah. “Kalian yakin nggak apa-apa kalau kami tetap di sini?” tanya Ibu memastikan. “Ibu nggak enak,” ujarnya lagi dengan pelan. “Nggak enak kenapa, Bu?” ta