Raina tidak pernah terpikir satu detik pun untuk berkenalan dengan Irham Nusahakam. Anes tahu betul bagaimana wanita itu mengomel tiap kali melihat mahasiswi-mahasiswi terpaku melihat sosok dosen tersebut melintasi mereka.
Celetukan-celetukan pedas keluar dari bibir tipisnya. Tatapan mupeng teman-teman dianggap norak. Lucu, nggak, sih, bila akhirnya dia yang berakhir menikah dengan ... you know who?
Anes dan Raina duduk berhadapan di Kafe Kedap-kedip yang berada tak jauh dari gerbang kampus. Dengan usil, Anes menyodorkan kentang goreng ke mulut sahabatnya. "Makan, biar berpikir jernih!"
"Apaan, sih? Pikiran gue udah bening begini," jawab Raina sambil tetap mengunyah kentang tadi, meski jelas-jelas merasa diganggu.
"Kita reka ulang adegan," kata Anes sambil menyeringai penuh ide.
"Apaan?" Raina bertanya sambil menyedot jus buah naga yang kalah merah dari warna kemeja Anes hari ini.
"Pak Irham. Nggak mungkin tiba-tiba ngajak lo nikah gitu aja. Pasti, dia udah mantau lo dari lama."
Raina mengernyitkan dahi. "Mantau? Serius, Nes? Gue nggak merasa dia mantau gue sama sekali. Semua ini datang tiba-tiba. Absurd."
Anes tertawa kecil, sambil merapikan poni yang mulai berantakan karena keringat akibat saus sambal yang pedas. "Yaelah, lo beneran nggak nyadar, ya? Coba ingat-ingat lagi. Kelas pertama lo nggak masuk, kan? Terus lo dipanggil ke ruangannya. Lo dateng?"
Raina mendesah. "Oh, yang itu? Enggak, gue kan izin sakit."
"Lah, 'kan gue udah kasih info kalau lo dipanggil sama Pak Irham!" Anes memiringkan kepala, memelototi Raina dengan sorot mata menuduh.
"Males, Nes," ucap Raina santai. Dia menandaskan minumannya dan kembali menatap Anes yang tak kunjung puas.
"Ya ampun! Pertemuan kedua, lo malah asyik sendiri di kelas. Lo ngegambar waktu jam dia, kan? Terus dia notice lo, nggak? Eh, dia pasti notice lo berkali-kali, ya nggak sih?" Anes tertawa geli, kembali menyodorkan kentang goreng ke mulut Raina yang pasrah menerima.
"Apaan, sih? Cuma dua kali doang. Itu juga kebetulan kali," ujar Raina, wajahnya mulai memerah sedikit karena intensitas Anes yang makin menjadi.
"Dua kali doang? Lo pikir dosen kayak dia bakal perhatiin mahasiswa yang cuma absen dua kali? Nggak, dong. Lo ini spesial. Pasti ada alasan kenapa dia sampai berani ngajak lo nikah!" Anes berkata dengan dramatis, menekankan kata 'spesial' dengan suara yang dibuat seolah misterius.
Raina memutar matanya malas. "Lo bercanda, Nes. Nggak mungkin dia mikir kayak gitu. Lagian, ngapain gue mau nikah sama dia? Gila kali lo!"
Anes tidak menyerah. "Eh, jangan salah! Lo aja yang nggak sadar. Lo tuh udah diincer, Rai! Pak Irham tuh tipe cowok yang nggak bakal asal ngomong. Lo pikir dia bakal ngajak lo nikah kalau nggak ada niat? Ya kali lo dianggap sepele!"
Raina mendengus, mulai kesal tapi juga sedikit terpojok. "Lo kebanyakan baca novel roman, Nes. Udah deh, berhenti halu."
Anes tertawa lebih keras, menikmati ekspresi frustrasi di wajah sahabatnya. "Ah, lo denial. Coba aja liat! Dia udah notice lo sejak lama. Lo absen, dipanggil, terus dia ngeliatin lo gambar. Pasti ada something yang bikin dia penasaran sama lo!"
Raina menggoyang-goyangkan sedotan jusnya dengan tidak sabar. "Lo ngarang cerita, Nes. Dia cuma dosen biasa. Gue cuma mahasiswa biasa. Nggak ada 'something'."
Anes menatap Raina dengan tatapan penuh arti, lalu berkata dengan nada rendah, "Yakin lo nggak mau tau alasan dia ngajak lo nikah, Rai? Lo nggak penasaran?"
Raina terdiam. Meski berusaha keras menahan ekspresi, tatapan matanya menunjukkan sedikit kebingungan. "Enggak," jawabnya singkat, meski jelas ada keraguan dalam suaranya.
Anes tersenyum puas. "Ya udah deh, kalau lo nggak penasaran, gue yang bakal coba tanya langsung ke Pak Irham. Mungkin gue yang dia notice selanjutnya. Lo nggak keberatan kan kalau gue jadi next target?"
Raina segera mengangkat tangan, menghentikan Anes. "Jangan lo deket-deket sama dia! Udah cukup gue yang jadi korbannya."
"Tuh, akhirnya ngaku juga!" Anes tertawa terbahak-bahak, membuat beberapa pengunjung kafe melirik ke arah mereka.
Raina menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Lo bener-bener ngeselin, Nes. Udah ah, jangan bahas lagi. Gue mau fokus makan aja sekarang."
Anes hanya mengedikkan bahu, namun senyum jail di bibirnya tetap tidak hilang. Dia kembali menyodorkan kentang goreng kriuk ke mulut Raina. Namun, belum sempat Raina memakannya, kentang itu jatuh seiring ekspresi Anes yang terkesiap. Wanita itu seperti sedang melihat artis masuk kafe.
Segala tingkah aneh Anes sudah mendarah daging. Raina tidak peduli. Dia tetap fokus mencomot kentang di hadapan Anes dan memakannya. "Mingkem!" serunya kesal melihat Anes frozen.
Raina tiba-tiba sadar beberapa pengunjung kafe yang mayoritas mahasiswa di Universitas Indraprasta itu kompak menatap mejanya. "Gue salah apa? Kok kayak ada trouble gitu di meja kita?"
"Salahin calon jodoh lo yang ganteng!" bisik Anes dengan badan agak mendekat ke hadapan Raina.
Deg! Jantung Raina seperti berhenti berdetak sejenak. “Ada Adli di belakang gue?” tanyanya dengan setengah bercanda, mencoba menenangkan diri. Dia tersenyum kecil, berharap hanya lelucon murahan dari Anes.
“Woy, bukan Adli, tapi… you know who,” sahut Anes pelan, sambil melirik ke arah pintu masuk kafe dengan gerakan dramatis.
Menikah itu ibadah. Namun, jangan sampai Irham mendengar hal yang diyakini Raina ini. Dia bisa semakin ngebet untuk melaksanakan ibadah yang kelak akan menjadi kesukaannya.Raina bukan bergidik, tetapi pipinya malah bersemu merah.Malam semakin larut. Bahu dan punggung Raina rasanya rontok seperti baru selesai outbond atau bahkan mendaki gunung. Dia ingin segera membersihkan wajah dan tidur.Irham masuk kamar dengan wajah kelelahan, tetapi tetap terpancar kebahagiaan. Dia baru saja membantu Maira dan Collin membawakan hadiah-hadiah teman Raina ke mobil untuk disimpan di rumah Raina langsung.Kelopak mawar di atas kasur sudah berantakan di bawah. Irham menarik napas. Raina pasti sudah mengibasnya dengan membabi buta. Wanita itu sudah bilang tidak mau ada bed ala-ala pengantin baru.Irham membuka jas dan kemejanya dan duduk di pinggir kasur. Dia tahu Raina sedang mandi dan membersihkan wajah. Adegan membukakan baju pengantin yang Irham bayangkan ambyar sudah. Buktinya, Raina sudah buru-
"Saya terima nikah dan kawinnya Raina Atqiyya binti ..."Itu adalah kalimat paling romantis yang didengar seorang penulis. Dari ribuan kalimat dalam novel romansanya, dia tidak pernah menulis satu kalimat pun seindah itu.Raina tidak membayangkan akan menikah dengan Irham, si paling ngajak ribut setiap hari.Anes sibuk bersorak-sorai sejak orang-orang berkata sah, apalagi saat Irham memakaikan cincin di jari manis tangan kiri Raina. Dia tidak peduli dengan keanggunan gaun bridesmaid berwarna silver yang sedang dipakainya. Ada yang berbeda dari Anes. Wanita itu memakai hijab. Tentu saja setelah perdebatan panjang dengan Raina.Anes semakin gregetan dengan sikap malu-malu ala perawan Raina saat dokumentasi foto-foto buku nikah. Dia asyik tertawa dan menjepret dari berbagai sudut tanpa peduli sosok yang sejak tadi terpesona dengan penampilan barunya.Ya, itu adalah Vino, yang ikut tersenyum saat Anes tertawa.Irham terlihat sangat bahagia seolah matanya mengeluarkan binar cinta saat mena
Percuma pesona Irham Nusahakam kalau tidak bisa membuat Raina menginginkannya.~ Irham yang sedang memikirkan cara untuk melakukan hal halal setelah akad==="Sekarang kita pikir dulu, Sayang." Irham mengulurkan tangan, menarik Raina untuk duduk di sebelahnya.Mereka sedang berada dalam kantor Irham.Raina ingat setahun lalu Irham pernah tidak membukakan pintu untuknya. Kalau diingat-ingat, Raina jadi sebal pangkat seribu terhadap pria di sebelahnya. Sok bersikap dingin padahal akhirnya tetap mengejar Raina. Siapa lagi kalau bukan Irham Nusahakam?"Pikir apa?" tanya Raina. Dia membuka box rujak jambu kristal yang tadi dibelinya di jalan menuju kantor Irham. Meskipun sudah sore, tetapi tidak mengurangi keinginan Raina untuk memakan buah tersebut."Tentang kita. Tentang akad." Irham menatap Raina penuh perhatian. Namun, as always, yang ditatap sibuk mengalihkan pandangan.Wanita itu mencicipi jambu kristalnya dengan khusyuk. Matanya seolah mengeluarkan cahaya bintang karena terlalu exci
Berada di antara kalian membuatku sakit. Namun, aku juga bahagia karena melihat Raina bahagia.~ Adli Winata galau tak berkesudahan.===Jadi, siapa sebenarnya yang orang ketiga? Adli atau Irham? Irham lebih dulu menyukai Raina bahkan sejak gadis itu masih bau keringat. Namun, Adli lebih dulu menapaki masa-masa kuliah bersama Raina. Dia lebih dulu memperkenalkan diri. Yang pasti, mereka memiliki ruang berbeda dalam hati Raina.Adli curiga pemilik akun fanbase itu adalah orang di sekitar lokasi syuting, tetapi siapa? Pria itu mengambil handphone dari saku. Setidaknya rumor bisa ditutup dengan postingan ini. Dia menarik lengan Raina untuk mendekat. Begitu juga dengan Irham. Jadi, posisi Adli sekarang berada di antara pasangan itu.Irham mengerutkan kening. "Kamu mau ngapain?" tanyanya waspada.Adli hanya berdecak sebal dengan mata melirik Irham penuh kekesalan.Sementara, Raina hanya tersenyum melihat interaksi di antara dua pria tersebut."Foto dulu buat kenangan." Adli mengangkat tang
Apa ada yang lebih bahagia daripada menikah dengan orang yang kamu cintai dan mencintaimu? - Irham Nusahakam Apa ada yang lebih ikhlas daripada melihat orang yang kamu cintai menikah dengan pilihannya? - Adli Winata Apa ada yang lebih galau daripada mencintai orang yang telanjur mencintai orang lain? - Aldian =========== Setelah chating ingin bicara pada waktu itu, Raina tiba-tiba sibuk bolak-balik kantor webtun untuk beberapa kali rapat dan ACC komiknya yang akan diadaptasi menjadi sebuah drama web series. Dia pun seketika lupa kalau memiliki seorang tunangan yang kesabarannya setinggi gunung Everest. Ya, ketinggian 8800 meter di atas permukaan laut. Meskipun kesabarannya setinggi gunung, akan tetapi terkadang berubah menjadi setipis tisu. Seperti hari ini, Raina terkejut melihat Irham sudah duduk di lobi kantor. Dia baru saja bertemu Kriss untuk rapat dan baru mendapat bocoran bahwa Irham memiliki saham di perusahaan tersebut sejak beberapa tahun lalu. Apa itu juga dilakukann
"Pak Irham sengaja ya nempelin aku terus supaya enggak mau ditinggal?"Raina and her bucin fiancee.--------Ini sudah beberapa jam sejak Raina hanya membalas pertanyaan Irham dengan senyum. Sungguh, dia malu kalau harus berkata tidak sanggup berjauhan dari Irham. Lagipula, tingkat kebucinan Raina belum setinggi itu. Kalau diukur pakai penggaris, kebucinan Raina mungkin hanya 5 cm, jauh berbeda dibanding kebucinan Irham yang menjulang tinggi.Sekarang, mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Awalnya, mama meminta Raina untuk tinggal di Bogor saja. Namun, Raina tidak betah tinggal di rumah mamanya sendiri. Dia lebih nyaman tinggal di rumahnya, meskipun kesepian.Sejak kehadiran Irham, kesepian hanya sebuah keadaan, buktinya hati Raina terus saja dipenuhi keramaian tentang pria itu.Irham melirik Raina yang pagi ini memakai sebuah dress berbahan crinkle airflow premium dengan jilbab lebih cerah dan bermotif. Dia secara natural menarik senyuman. Bagaimana ini? Irham sama