"Insya Allah." Anisa tidak bisa terlalu berjanji.
Karisma melepaskan tangan Anisa. "Nanti pas ada jadwal setor tugas lagi. Aku ikut, ya!" Karisma memutuskan sendiri.Anisa mengangguk pelan.Percakapan mereka diteruskan dengan topik lain sambil menunggu waktu Dzuhur datang. Begitu azan berkumandang, ketiga sekawan itu pun segera ke masjid kampus.***Azman baru saja salat Dzuhur ketika melihat Anisa dengan teman-temannya. Ia berdiri di pelataran masjid bagian kanan, sedangkan Anisa dan teman-temannya berada di bagian kiri. Ketika Anisa tak sengaja menemukan keberadaannya. Namun, perempuan itu langsung memalingkan wajah. "Dia membenciku." Azman berasumsi sendiri.Terlihat Karisma yang sekarang menatap Azman. Wanita itu berbeda, Karisma mengangguk pelan sambil melebarkan senyum. Setelah itu, Azman bergegas meninggalkan masjid karena kelasnya akan dimulai beberapa menit lagi.Sebagai seorang dosen muda yang bergelut di bidang desain grafis. Ia dituntut untuk lebih kreatif dalam memberikan pelajaran agar mahasiswanya bisa mencerna dengan baik dan menghasilkan karya-karya terbaik.Sepanjang jalan menuju kantor, Azman sering mendapatkan pujian dari para mahasiswi. Tak jarang dari mereka mengutarakan isi hatinya. Tidak aneh. Namun, bagi Azman itu bukan sesuatu yang harus dibanggakan. Semua yang dimilikinya hanya sekedar titipan saja."Pak Azman, selamat siang.""Cakep banget, Pak Azman.""Duh, jadi ngayal bisa bersanding sama Pak Azman."Suara-suara manis penuh pujian sering didengar Azman. Layaknya seorang manusia biasa, Azman terkadang terlena juga. Akan tetapi, lelaki itu bergegas menutup kuping agar bisa sadar diri.Azman sampai di ruangan dosen dan menuju meja kerja. Duduk di kursi sambil terdiam."Dia tidak menatapku sama sekali. Dia pasti menghindar," tutur Azman pelan.Tiba-tiba Ciko datang. Memperhatikan Azman sambil berdiri di depannya. "Kamu sedang bergumam?"Azman tersentak seraya mengangkat kepala. "Kamu datang dari mana?"Ciko terkekeh kecil. "Aku datang dari luar angkasa." Menjawab dengan candaan. Mengamati Azman sekali lagi. "Tidak biasanya kamu bergumam. Lagi ada masalah?"Azman menggelengkan kepala. "Tidak." Azman menampik. Meraih maps biru di depan dan berdiri. "Aku mengajar dulu." Berjalan ke depan dan melewati Ciko."Hei, kamu selalu seperti itu. Aku bertanya serius!" Ciko sedikit berteriak. Untung di ruangan staf hanya ada mereka berdua saja.Azman keluar ruangan. Ada dua kelas yang harus dihadiri hari ini dan salah satunya adalah kelas Anisa. "Aku harus fokus karena untuk bisa masuk ini, lumayan sulit. Apalagi menemukannya."Azman berjalan ke gedung sebelah. Di mana ruangan itu berada di lantai dua dari gedung tersebut. Ketika Azman masuk, keadaan ruangan gaduh. Lalu, hening dan semua mahasiswa menatap padanya."Selamat siang," sapa Azman sambil berdiri di meja biasa."Siang, Pak." Serentak mereka menjawab."Kita mulai pelajaran hari ini dan bagi yang belum mengumpulkan tugas kemarin. Saya harap, Anda paham kalau saya tidak menerima susulan!" Azman membuka maps.Anisa, Karisma dan Caca berada di bangku paling belakang. Mereka saling melempar pandangan. Setiap kali pelajaran Azman, semua orang seperti sedang sidang saja. Tegang."Baik, kita mulai. Tapi, sebelum itu alangkah baiknya kita berdoa sesuai keyakinan masing-masing." Ekor mata Azman mendapati sosok Anisa. Pandangan mereka bertemu lagi. "Doa dimulai."Semua orang menunduk. Memanjatkan doa sesuai keyakinan. "Doa selesai." Seketika semuanya pun mengangkat kepala ketika aba-aba diberikan Azman.Pelajaran di mulai dengan Azman menerangkan materi hari ini. Di bangku belakang, Karisma tidak bisa diam. Tangannya bergetar seakan sedang melihat idol kesayangan. Anisa yang posisinya diapit oleh kedua temannya tersebut melirik Karisma."Kamu kenapa?" tanya Anisa.Karisma menelan ludah. "Ya Allah, Pak Azman cakep banget." Bukannya fokus pada pelajaran, Karisma lebih fokus pada wajah Azman.Rara cukup mendengarkan."Astagfirullah, Ma. Itu nggak baik, lho." Anisa menegur. Cinta bisa membutakan mata manusia, jangan sampai Karisma salah satunya. "Sadar, dia itu juga makhluk ciptaanNya juga. Jangan terlalu memuja."Karisma menoleh ke kanan. Sorot matanya menatap tajam Anisa. "Ih, kamu ini nggak bisa lihat teman lagi senang!" Mendengus kesal."Bukan seperti itu." Baru saja Anisa akan menjelaskan, tiba-tiba suara Azman menggelegarkan."Yang tidak berniat mengikuti kelas saya, sebaiknya keluar dari sini!" tegas Azman sambil melirik Anisa.Anisa menatap lurus ke depan, menelan ludah. Kalimat itu seakan mengarah padanya."Kamu sih, Ma. Tuh, Pak Azman jadi marah." Rara akhirnya angka bicara."Saya tidak suka ada yang main-main di sini. Paham semuanya?" Azman berbalik badan dan fokus ke papan tulis."Paham, Pak." Para mahasiswa dan mahasiswi saling melirik satu sama lain.Kelas Azman hanya berlangsung sekitar empat puluh menit, kemudian selesai. Azman sendiri langsung ke ruangan staf lagi untuk mengambil barang pribadi karena kelas berikutnya sekitar pukul setengah tujuh malam. Selain sebagai dosen, Azman pun mempunyai kesibukan lainnya.Sementara itu Anisa dan dua temannya keluar ruangan. Rara harus pulang, Karisma akan bekerja paruh waktu dan Anisa memilih pergi ke perpustakaan untuk membaca buku."Kamu yakin nggak mau pulang bareng kita?" tanya Rara yang sering membawa mobil ke kampus."Nggak. Aku mau cari buku menarik di perpus." Anisa memang hobi membaca.Karisma jalan lebih dulu."Ya sudah, aku sama Karisma duluan, ya." Rara berlarian mengejar temannya tersebut."Ok, hati-hati." Anisa melambaikan tangan kanan sebagai tanda perpisahan. Setelah itu, berjalan cepat ke gedung yang ada perpustakaan.Detik berganti menjadi menit dan berpindah pada pukul. Waktu tidak akan terasa ketika seseorang menghabiskannya untuk hal menarik. Seperti halnya Anisa, ia terlalu senang membaca buku novel sampai tidak terasa duduk di ruangan perpustakaan berjam-jam. Hanya keluar ketika waktunya salat Ashar dan Maghrib.Secepat mungkin Anisa mengakhiri kesenangannya membaca karena waktu kelas sudan akan dimulai. Jangan sampai terlambat.Di lain tempat pun, Azman sudah kembali ke kampus dengan pakaian yang sama. Mengajar mata kuliah di ruangan yang hanya terhalang dua ruangan dengan Anisa."Baik, saya akhiri kelas hari ini. Kalian boleh keluar lebih dulu," kata Azman saat mata kuliahnya selesai."Baik, Pak." Mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Azman bergegas membereskan buku dan keluar satu per-satu.Azman mengambil tumpukan tugas di meja. Membawanya keluar setelah kelas sepi. Begitu keluar ruangan, rasa sepi semakin kuat. Keadaan koridor yang biasanya ramai di siang hari, kini terasa sangat luas dan cukup memberikan.Azman berjalan tanpa takut. Suara derap langkah kaki yang terbalut sepatu hitam itu pun terdengar jelas. Sampai telinga kanannya mendengar suara gaduh dari ruangan sebelah. Azman berhenti. Diam dan mendengarkan lebih pasti. "Sepertinya ada orang di dalam." Azman memutuskan untuk berbelok dan memastikan. Membuka pintu ruangan dan berdiri sejenak.Tak ada orang. Azman hampir akan menutup pintu lagi jika suara minta tolong dari seseorang tidak terdengar. "Tolong, ada yang bisa bantu?" katanya begitu kencang dengan suara sedikit pelu. Sepertinya sudah terlalu lama berteriak."Siapa di sana?" Kaki kanan Azman bergerak ke depan dan diikuti kaki kiri. Pintu terbuka lebar. "Di mana kamu?" Azman yakin ini bukan hantu, tetapi manusia biasa."Tolong saya, Pak." Suara orang itu semakin kencang. Azman akhirnya berjalan ke belakang dan menemukan orang yang dicari terduduk lesu di lantai. "Tolong, saya, Pak." Sekali lagi perempuan itu meminta tolong dengan kedua tangan memegang dada kiri seperti kesakitan.Azman tersentak. Wanita itu ternyata Anisa. Kaki kiri Azman berniat mengayun ke depan. Akan tetapi, bersamaan dengan itu, suara pintu terkunci mengalihkan pandangan Azman.Azman Menoleh ke arah pintu. "Tidak mungkin itu angin."Suasana kamar hening layaknya malam yang sunyi saat berada di puncaknya. Dua pasang mata menatap satu sama lain seolah sedang mencari sebuah kebenaran lewat pandangan.“Aku istrimu, Anisa,” imbuh Anisa. Perempuan itu hampir setengah gila karena Azman tak bereaksi apa pun. Tubuh Azman masih lemas, belum sanggup bangun.Satu, dua, sampai pada tiga menit selanjutnya mulut Azman masih diam. Anisa kian ketakutan. Perkataan dokter tadi terngiang-ngiang di telinga. Jangan sampai! Perlahan tangan kanan Anisa memegang tangan kiri Azman, mengelusnya halus tanpa sadar air mata itu jatuh kembali. “Mas Azman kenal aku kan?” Sekali lagi bertanya untuk memastikan.Azman bergeming, hanya tatapannya saja yang lekat. “Mas, jangan diam saja! Aku takut.” Barulah suara sedikit keras keluar dari mulut Anisa. Perempuan itu menunduk, tangisnya pecah lagi. “Tolong bicara, Mas. Aku takut.” Suaranya mulai lirih, kehilangan tenaga.Tak berselang lama tangan kiri Azman bergerak memegang balik tangan kanan Anisa.
Sebuah rumah sakit besar di kota mendapatkan pasien kecelakaan beruntun. Ada sekitar empat pasien dengan berjenis kelamin dua lelaki dewasa, satu perempuan dewasa, dan satu balita laki-laki. Keempat pasien itu memiliki luka cukup parah, terutama untuk salah satu pasien laki-laki dewasa yang mengalami luka sangat serius sampai tidak sadarkan diri.“Cepat tangani pasien ini dengan serius!” Dokter laki-laki memerintahkan dua suster perempuan.Bangkar rumah sakit didorong dengan tergesa-gesa. Pasien lelaki itu banyak kehilangan darah dari kepala. Dokter menyarankan operasi secepat mungkin. Keadaan ruangan operasi cukup hening, semua yang berada di dalamnya berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan pasien yang ditangani. Sesekali dokter mengerutkan kening seraya menajamkan mata. Setiap gerakannya diatur dan penuh perhitungan. Melakukan kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal sebab yang di taruhkan nyawa seorang manusia. Operasi berjalan lumayan memakan waktu sampai akhirnya kata be
Pak Dirga tertegun. Kalimat Anisa cukup mengobrak-abrik setengah sanubari."Ayah, terima kasih sudah membiarkanku tumbuh tanpamu. Aku harap Allah tidak murka karena Ayah lalai menjaga titipannya." Anisa tersenyum paksa. "Aku permisi, Assalamualaikum." Perempuan itu melangkah ke kembali ke depan dengan perasaan semakin tidak karuan."Wa'alaikum salam." Pak Dirga cukup memandangi punggung Anisa yang kian menjauhi pandangannya.***Dua minggu sudah hubungan Azman dan Anisa renggang. Anisa menolak bertemu pria itu sekalipun Azman mengunjunginya. Fatur masih membukakan pintu hanya untuk menunjukan etika. Namun, Fatur sendiri tidak bisa ikut campur terlalu jauh pula."Kembalilah ke rumah Anda. Saya yakin Anisa menginginkan itu." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Fatur.Azman tak memaksakan kehendak selama keadaan Anisa baik-baik saja dan aman. Setidaknya perasaan gelisah tidak menghantui pikiran.Azman kembali ke rumah. Kembali melakukan aktivitas seperti biasa yang mulai membosankan
Waktu berlalu begitu cepat. Tiga hari sudah Anisa berada di rumah ibunya bersama Fatur. Selama itu, Anisa masih mendapatkan perhatian Azman lewat pesan singkat. Entah hanya sekadar menanyakan kabar Anisa ataupun mengingatkan Anisa untuk tetap menjaga kesehatan. Berapa pun pesan yang diterima, Anisa sama sekali tidak berniat membalas. Membacanya, lalu membiarkan begitu saja. Sampai pada pagi itu Anisa mendapatkan pesan yang cukup berbeda dari biasanya.[Saya tidak sengaja bertemu ayahmu di pemakaman.]Tangan Anisa kanan Anisa memegang ponsel begitu erat. Ayah, rasanya nama itu sudah hilang di ingatan. Bahkan Anisa tidak pernah ingin tahu keberadaan pria tersebut."Dek, kamu kenapa?" Fatur menarik kursi. Keduanya hendak sarapan. Anisa terkejut, seketika menyimpan ponsel di meja. Fatur menatapnya lekat. "Apa terjadi sesuatu lagi? Dia masih mengganggumu?"Anisa menggelengkan kepala. "Tidak, Kak. Aku cuma terkejut melihat pesan Rara."Fatur mengambil sehelai roti yang sudah dilapisi selai
Azman diam sejenak dengan kedua mata masih menatap lurus ke depan. Sudah berapa tahun tidak bertemu? Ya, bertemu dalam artian saling berhadapan satu sama lain, bukan sekadar mengamati dari kejauhan."Saya hampir tidak mengenalimu. Ternyata kamu tumbuh dengan baik," ujar sosok tersebut yang ternyata adalah Pak Dirga.Azman masih diam dalam beberapa detik, kemudian bersuara, "Jelas Anda tidak mengenali saya karena sudah lama juga tidak bertemu."Pak Dirga tersenyum tipis. "Bagaimana kabarmu sekarang?" "Sepertinya Anda tidak perlu bertanya lagi tentang itu. Bukankah Anda sudah tau bagaimana saya? Termasuk hubungan saya dengan kedua anak Anda." Azman tak suka berbasa-basi.Sekali lagi Pak Dirga tersenyum kecil. Seperti halnya Fatur, anak lelaki dari wanita simpanannya pun sudah tumbuh baik menjadi orang dewasa yang pintar berbicara. Dengan begitu, cara menghadapinya harus jauh berbeda ketika usia anak itu belasan tahun. Cukup merepotkan."Benar. Saya mendengar kamu menikah dengan Anisa.
Dalam hitungan dua menit Azman cukup terkejut, sekali pun pria itu sudah menyiapkan hati untuk hal-hal di luar kendali.Dengan berpegangan erat pada koper, Anisa meneruskan kalimatnya. "Sepertinya kita memang tidak cocok dari awal. Pernikahan yang terpaksa karena keadaan, lalu sifat kita yang saling bertolak belakang. Kemudian disusul dengan fakta paling menyakitkan. Hal itu saja sudah sangat jelas sebagai tanda kita memang seharusnya tidak saling mengenal dan bersama."Demi menegaskan maksudnya, Anisa sampai menjelaskan begitu detail. Menghindari Azman bertanya perihal alasan atas keputusan yang perempuan itu buat."Apa kamu yakin?" Azman bertanya setelah merasa Aruna lebih tenang. "Ini bukan mainan, tapi keputusan yang bisa membuat hidupmu berubah. Statusmu pun sama akan berubah.""Apa Mas melihat kilatan ragu di mataku?" Anisa bertanya balik. Azman diam. "Aku rasa tidak karena aku sendiri sudah memikirkannya ratusan kali.""Ratusan kali dalam kurun waktu seminggu?" tanya Azman lagi