Azman melamar Anisa, tetapi ditolak. Tak disangka Karisma--teman Anisa-- menyukai Azman yang notabennya adalah dosen di kampus mereka. Suatu hari Anisa dan Azman terjebak di ruangan yang sama semalaman dan ditemukan esok pagi oleh Karisma yang khawatir. Kejadian ini menimbulkan fitnah yang mengakibatkan Azman bisa dikeluarkan dari instusti kampus. Namun, keringanan diberikan oleh pihak kampus. Asalkan, Azman dan Anisa menikah agar nama baik kampus tetap terjaga. Apakah mereka akan tetap menikah? Bagaimana hubungan keduanya? Bagaimana pula hubungan pertemanan Anisa dengan Karisma?
View More"Menikahlah dengan saya." Azman berdiri di depan Anisa yang jaraknya hanya sekitar satu meter.
Hujan turun dengan deras di pelataran kampus menjadi saksi lamaran mendadak tersebut. Anisa bahkan bisa melihat jelas jas hitam yang basah terkena percikan air hujan karena posisi Azman membelakangi air."Saya serius. Kamu boleh memikirkannya lebih dulu," imbuh Azman.Anisa diam. Suasana mendadak berubah. Keberadaannya di sini karena terjebak hujan, bukan untuk mendengarkan lamaran. "Maaf, Pak, ini terlalu bercanda untuk ukuran lamaran." Anisa berasumsi demikian.Azman diam. Memperhatikan Anisa yang memakai setelan tunik rok berwarna biru muda dengan jilbab pasmina hitam menutup dada. Beberapa mahasiswa yang sama terjebak bersama mereka memang ada, tetapi jaraknya cukup jauh. "Kalau begitu, bisakah kamu memberikan alamat rumahmu?""Untuk apa, Pak?" Anisa menyambar seketika."Saya akan langsung datang melamar ke sana," jawab Azman.Kedua bola mata Anisa membulat sempurna. Hujan mulia mengecil. Tidak sederas awal-awal. "Maaf, Pak, saya belum mau menikah. Masih banyak mimpi yang belum tercapai."Penolakan Anisa cukup menyakitkan. Namun, Azman harus lapang dada. "Baiklah."Rintik hujan menemani kepergian Anisa. Wanita itu berlarian menerobos hujan sendiri meninggalkan Azman. Pertemuan mereka kali ini ternyata bukan sekadar saling sapa, melainkan membicarakan topik terlalu serius.***"Duh, Ra, aku kok jadi deg-degan gini, ya." Karisma menyembunyikan wajah di meja. Keadaan kantin saat siang hari memang ramai. Bahkan bisa dikatakan hampir setara dengan pasar.Rara melirik Karisma. "Kenapa?" Bertanya seolah pura-pura.Karisma mengangkat kepala, menatap lekat Rara. "Ih, kamu kayak yang nggak tau aja, Ra!" Wanita itu mendengus kesal.Rara mengangkat kedua bahu. "Loh, aku memang nggak tau, kan." Masih terus berpura-pura."Habis Dzuhur itu pelajaran siapa?" Karisma memberikan clue. "Coba diingat-ingat."Rara diam. Kemudian teringat. "Ah, Pak Azman. Memangnya kenapa?" Masih saja bersikap tidak tahu."Ya Allah, Ra!" Hampir saja Karisma ingin berteriak. Benar-benar perlu extra sabar untuk menghadapi satu temannya itu. Ekor mata Karisma mencari ke seluruh penjuru kampus. "Lagian Anisa lama banget, sih! Aku lebih baik cerita sama dia, nyambung!"Bibir Rara maju dua sentimeter ke depan. "Jadi aku ini nggak nyambung?" Rara langsung peka.Karisma tertegun.Rara melipat kedua tangan di dada. Meraih gelas jus alpukat yang baru saja habis setengah. Menyedotnya perlahan-lahan. Sedikit kesal. "Anisa itu lagi ke ruangannya Pak Azman. Kan, lagi setor tugas yang kemarin."Karisma langsung menegakkan badan. "Kamu benar." Wanita itu bergeming lama, lalu berkata lagi, "Kalau nggak salah, Anisa itu sedikit dekat sama Pak Azman karena sering dimintai tolong."Rara mengangguk dengan kondisi masih menyedot jus alpukat."Kenapa aku nggak minta tolong aja sama dia." Karisma baru ingat. Ide yang bagus. "Seenggaknya aku bisa ikut pas Anisa setor tugas."Rara tersedak. Mengerjapkan mata beberapa kali. "Kamu serius?" Rara sama sekali tidak memahami jalan pikiran satu temannya itu. "Pak Azman itu galak, lho. Lebih tepatnya, tegas banget. Aku masih ingat pas Bima ikut Anisa ke ruangannya. Bima kena omel."Karisma diam. Perkataan Rada memang benar. Kejadian itu pun sudah tersebar luas, tetapi Pak Azman seolah berpura-pura tidak tahu."Sebenarnya, apa sih yang buat kamu suka sama dosen setegas Pak Azman?" Rara menyimpan gelas di meja. Ingin tahu lebih detail. "Pak Azman memang tampan, tapi kalau terlalu tegas. Takut juga."Karisma mencubit pipi kanan Rara. "Pak Azman itu sempurna." Rara menepis tangan Karisma. "Selain muda, Pak Azman juga mapan, tampan dan berwibawa, pokoknya idaman para kaum hawa.""Aku nggak tuh!" Rara protes.Sekali lagi Karisma mencubit pipi Rara. "Itu karena seleramu berondong, Ra!" Karisma gemas.Rara terkekeh geli. "Tapi brondong itu enak, lho.""Astagfirullah, Ra. Ingat, istighfar." Karisma merinding. Tangannya memegang pundak. "Kamu kebanyakan nonton film brondong, jadi seperti itu."Rara menepuk jidat Karisma. "Bukan itu maksudnya!" Kesal juga dikatakan demikian. "Mereka itu enak kalau diajak bercanda. Itu aja.""Ah, gitu, ya." Karisma paham.Mereka melanjutkan pembicaraan sekitar beberapa menit sampai akhirnya Anisa datang. Terlihat sekali wajah Anisa ditekuk. Pasti terjadi sesuatu."Astagfirullah." Anisa menghela napas kasar ketika menarik kursi di samping Rara. Menyimpan tote bag di meja. Karisma dan Rara saling melempar pandangan. "Aku lelah kalau gini terus." Anisa mengeluh lagi. Dari sekian banyak mahasiswa di kelas, Pak Azman memang lebih sering meminta tolong pada Anisa. Untuk ukuran perempuan, Anisa cukup kuat menghadapi sifat tegas dan disiplinnya dosen paling muda di kampus ini."Sekarang apalagi?" Rara bertanya lebih dulu. Karisma menyimak.Anisa mengeluarkan botol minum dari tas. Meneguk air itu setelah mengucapkan kalimat basmallah. Selesai itu, barulah menjawab, "Ada satu orang yang nggak mengumpulkan tugas. Aku nggak tau kalau dia itu lupa. Nah, yang jadi sasarannya justru aku." Anisa menempelkan pipi kanan di meja. Sama seperti yang dilakukan Karisma beberapa waktu lalu."Kenapa kamu nggak protes aja sama Pak Azman? Minta diganti sama orang gitu." Rara memberikan saran.Anisa cukup diam. Sepertinya sudah pernah melakukan itu, tetapi tidak berhasil sama sekali. "Dia sepertinya mau menyiksaku terus. Astagfirullah, rasanya pengen aku dorong ke sungai. Aku ceburin." Puncak kekesalan Anisa keluar."Aduh, jangan dong!" Karisma protes.Anisa mengangkat kepala. "Memangnya kenapa? Kamu juga pasti kesel kalau jadi aku?" Anisa sama sekali tidak tahu apa-apa.Rara melirik Karisma. Memberikan isyarat dengan kedipan mata untuk menjelaskan."Begini .." Karisma bersikap serius. Anisa sampai memperhatikannya dalam. "Sebenarnya, aku suka sama Pak Azman." Pengakuan itu akhirnya terungkap.Anisa diam. Satu, dua, tiga detik kemudian, barulah perempuan itu terkejut. "Kamu suka Pak Azman?" Anisa menaikkan satu oktaf nada bicaranya. Tentu saja hal ini menjadi perhatian yang lain.Karisma malu. Ia menempelkan telunjuk kanan di bibir, isyarat agar Anisa menutup mulut. "Jangan berisik! Aku malu." Ekor mata kanan memperhatikan sekitar, beberapa pandangan mahasiswi ke arahnya.Rara diam.Anisa mengatur napas. Melirik Rara, kemudian bertanya, "Kamu santai? Berarti kamu tau soal ini, Ra?" Dengan mudahnya Rara mengangguk cepat. Anisa semakin terkejut. Ia sendiri yang tak tahu.Karisma meraih kedua tangan Anisa. "Sa, kamu mau nggak bantuin aku?" Wajah Karisma kembali serius. Sorot matanya pun menambah jelas.Kening Anisa berkerut kencang. "Bantuin apa?" Jantungnya mendadak bekerja lebih keras seolah akan segera mendapatkan kabar mengejutkan lagi.Karisma menarik napas panjang. Menghembuskannya perlahan-lahan. "Bantuin aku biar bisa dekat sama Pak Azman. Kamu mau, kan?"Anisa menelan ludah. Apa ini permainan takdir? Bagaimana jika Karisma tahu jika Pak Azman pernah melamarnya? Apakah hubungan pertemanan ini akan tetap berlangsung atau bahkan berakhir? Entahlah. Yang jelas, Anisa sama sekali tidak ingin menceritakan itu pada siapa pun. Cukup disimpan untuk dirinya sendiri."Kamu mau, kan, Anisa?" Sekali lagi Karisma bertanya.Suasana kamar hening layaknya malam yang sunyi saat berada di puncaknya. Dua pasang mata menatap satu sama lain seolah sedang mencari sebuah kebenaran lewat pandangan.“Aku istrimu, Anisa,” imbuh Anisa. Perempuan itu hampir setengah gila karena Azman tak bereaksi apa pun. Tubuh Azman masih lemas, belum sanggup bangun.Satu, dua, sampai pada tiga menit selanjutnya mulut Azman masih diam. Anisa kian ketakutan. Perkataan dokter tadi terngiang-ngiang di telinga. Jangan sampai! Perlahan tangan kanan Anisa memegang tangan kiri Azman, mengelusnya halus tanpa sadar air mata itu jatuh kembali. “Mas Azman kenal aku kan?” Sekali lagi bertanya untuk memastikan.Azman bergeming, hanya tatapannya saja yang lekat. “Mas, jangan diam saja! Aku takut.” Barulah suara sedikit keras keluar dari mulut Anisa. Perempuan itu menunduk, tangisnya pecah lagi. “Tolong bicara, Mas. Aku takut.” Suaranya mulai lirih, kehilangan tenaga.Tak berselang lama tangan kiri Azman bergerak memegang balik tangan kanan Anisa.
Sebuah rumah sakit besar di kota mendapatkan pasien kecelakaan beruntun. Ada sekitar empat pasien dengan berjenis kelamin dua lelaki dewasa, satu perempuan dewasa, dan satu balita laki-laki. Keempat pasien itu memiliki luka cukup parah, terutama untuk salah satu pasien laki-laki dewasa yang mengalami luka sangat serius sampai tidak sadarkan diri.“Cepat tangani pasien ini dengan serius!” Dokter laki-laki memerintahkan dua suster perempuan.Bangkar rumah sakit didorong dengan tergesa-gesa. Pasien lelaki itu banyak kehilangan darah dari kepala. Dokter menyarankan operasi secepat mungkin. Keadaan ruangan operasi cukup hening, semua yang berada di dalamnya berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan pasien yang ditangani. Sesekali dokter mengerutkan kening seraya menajamkan mata. Setiap gerakannya diatur dan penuh perhitungan. Melakukan kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal sebab yang di taruhkan nyawa seorang manusia. Operasi berjalan lumayan memakan waktu sampai akhirnya kata be
Pak Dirga tertegun. Kalimat Anisa cukup mengobrak-abrik setengah sanubari."Ayah, terima kasih sudah membiarkanku tumbuh tanpamu. Aku harap Allah tidak murka karena Ayah lalai menjaga titipannya." Anisa tersenyum paksa. "Aku permisi, Assalamualaikum." Perempuan itu melangkah ke kembali ke depan dengan perasaan semakin tidak karuan."Wa'alaikum salam." Pak Dirga cukup memandangi punggung Anisa yang kian menjauhi pandangannya.***Dua minggu sudah hubungan Azman dan Anisa renggang. Anisa menolak bertemu pria itu sekalipun Azman mengunjunginya. Fatur masih membukakan pintu hanya untuk menunjukan etika. Namun, Fatur sendiri tidak bisa ikut campur terlalu jauh pula."Kembalilah ke rumah Anda. Saya yakin Anisa menginginkan itu." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Fatur.Azman tak memaksakan kehendak selama keadaan Anisa baik-baik saja dan aman. Setidaknya perasaan gelisah tidak menghantui pikiran.Azman kembali ke rumah. Kembali melakukan aktivitas seperti biasa yang mulai membosankan
Waktu berlalu begitu cepat. Tiga hari sudah Anisa berada di rumah ibunya bersama Fatur. Selama itu, Anisa masih mendapatkan perhatian Azman lewat pesan singkat. Entah hanya sekadar menanyakan kabar Anisa ataupun mengingatkan Anisa untuk tetap menjaga kesehatan. Berapa pun pesan yang diterima, Anisa sama sekali tidak berniat membalas. Membacanya, lalu membiarkan begitu saja. Sampai pada pagi itu Anisa mendapatkan pesan yang cukup berbeda dari biasanya.[Saya tidak sengaja bertemu ayahmu di pemakaman.]Tangan Anisa kanan Anisa memegang ponsel begitu erat. Ayah, rasanya nama itu sudah hilang di ingatan. Bahkan Anisa tidak pernah ingin tahu keberadaan pria tersebut."Dek, kamu kenapa?" Fatur menarik kursi. Keduanya hendak sarapan. Anisa terkejut, seketika menyimpan ponsel di meja. Fatur menatapnya lekat. "Apa terjadi sesuatu lagi? Dia masih mengganggumu?"Anisa menggelengkan kepala. "Tidak, Kak. Aku cuma terkejut melihat pesan Rara."Fatur mengambil sehelai roti yang sudah dilapisi selai
Azman diam sejenak dengan kedua mata masih menatap lurus ke depan. Sudah berapa tahun tidak bertemu? Ya, bertemu dalam artian saling berhadapan satu sama lain, bukan sekadar mengamati dari kejauhan."Saya hampir tidak mengenalimu. Ternyata kamu tumbuh dengan baik," ujar sosok tersebut yang ternyata adalah Pak Dirga.Azman masih diam dalam beberapa detik, kemudian bersuara, "Jelas Anda tidak mengenali saya karena sudah lama juga tidak bertemu."Pak Dirga tersenyum tipis. "Bagaimana kabarmu sekarang?" "Sepertinya Anda tidak perlu bertanya lagi tentang itu. Bukankah Anda sudah tau bagaimana saya? Termasuk hubungan saya dengan kedua anak Anda." Azman tak suka berbasa-basi.Sekali lagi Pak Dirga tersenyum kecil. Seperti halnya Fatur, anak lelaki dari wanita simpanannya pun sudah tumbuh baik menjadi orang dewasa yang pintar berbicara. Dengan begitu, cara menghadapinya harus jauh berbeda ketika usia anak itu belasan tahun. Cukup merepotkan."Benar. Saya mendengar kamu menikah dengan Anisa.
Dalam hitungan dua menit Azman cukup terkejut, sekali pun pria itu sudah menyiapkan hati untuk hal-hal di luar kendali.Dengan berpegangan erat pada koper, Anisa meneruskan kalimatnya. "Sepertinya kita memang tidak cocok dari awal. Pernikahan yang terpaksa karena keadaan, lalu sifat kita yang saling bertolak belakang. Kemudian disusul dengan fakta paling menyakitkan. Hal itu saja sudah sangat jelas sebagai tanda kita memang seharusnya tidak saling mengenal dan bersama."Demi menegaskan maksudnya, Anisa sampai menjelaskan begitu detail. Menghindari Azman bertanya perihal alasan atas keputusan yang perempuan itu buat."Apa kamu yakin?" Azman bertanya setelah merasa Aruna lebih tenang. "Ini bukan mainan, tapi keputusan yang bisa membuat hidupmu berubah. Statusmu pun sama akan berubah.""Apa Mas melihat kilatan ragu di mataku?" Anisa bertanya balik. Azman diam. "Aku rasa tidak karena aku sendiri sudah memikirkannya ratusan kali.""Ratusan kali dalam kurun waktu seminggu?" tanya Azman lagi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments