Share

Terkunci

Anisa mengalami sesak napas ketika selesai kelas. Saat orang lain sudah beranjak pergi. "To-tolong bawakan alat di tas saya, Pak."

Azman yang memutuskan menolong Anisa dan melupakan perihal pintu itu pun akhirnya melirik tas pundak berwarna hitam yang berada di atas meja. "Sebentar." Azman mencari alat yang dimaksud. "Akhirnya." Setelah menemukan, ia segera memberikan pada Anisa dan wanita itu memakai di hidung.

Azman mendampingi Anisa dengan duduk di samping perempuan itu. Menjaga jarak pula agar mereka tak terlalu dekat. "Apa napasmu sudah enakan?"

Anisa bernapas lebih baik. Rasa sesak yang menyerang beberapa menit ke belakang mulai berkurang. "Alhamdulillah, Pak." Anisa melirik Azman. "Terima kasih sudah membantu saya." Anisa berdiri. Mengambil napas dengan baik setelah melepaskan alat tersebut. "Saya permisi."

Baru Anisa menyambar tasnya, Azman sadar satu hal. "Sepertinya kita tidak bisa keluar dari sini."

Kalimat Azman menghentikan tangan Anisa. "Maksudnya, Pak?" Perempuan itu tidak paham.

Azman tidak enak mengatakan itu, tetapi sepertinya memang benar. "Ada yang mengunci kita dari luar."

Sontak Anisa membulatkan kedua mata sambil berjalan cepat ke depan. Memastikan sendiri perkataan lelaki yang pernah mengajaknya menikah kemarin. Begitu mencoba membuka pintu, Anisa tak bisa melakukannya. "Tolong, apa ada orang di luar? Kami terkunci." Berharap ada orang lain yang bisa mengeluarkan mereka.

Azman berdiri. Merogoh saku. Ponsel itu tertinggal di staf dosen. "Kamu membawa ponsel?" Menatap punggung Anisa.

Anisa sadar, segera merogoh tas sedang dan mencari alat komunikasi pintar tersebut. "Ini dia." Kecewa langsung menghampiri ketika melihat benda itu mati. "Astagfirullah, aku lupa mengisi dayanya." Anisa memijat kening. Satu masalah teratasi, ia perlu menghadapi masalah yang cukup besar juga. Anisa berbalik badan, menemukan Azman sudah ada di dekat jendela. Berdiam diri dengan sangat terang. "Bapak, yakin tidak mau melakukan apa pun? Kita terkurung, Pak!" Saking gemasnya sampai Anisa menaikkan satu oktaf nada bicaranya.

Azman menyibakkan gorden berwarna putih yang biasanya dipakai untuk menghalangi sinar mentari di siang hari ketika mengajar. "Di malam hari kampus ini sepi. Apalagi kita ada di lantai dua. Jarang sekali satpam datang." Azman diam sejenak. Menatap keluar jendela. Keadaan lapangan kampus yang biasanya ramai mendadak sedikit menyeramkan. "Jadi, sebaiknya kita menunggu saja sampai pagi."

Anisa menggelengkan kepala. Tak sangka Azman akan menyerah begitu saja. Dengan tekad kuat, Anisa pun kembali berteriak sambil menggedor-gedor pintu. Semua hasil harus dilakukan dengan kerja keras. "Siapa pun di luar, tolong aku!" Anisa berteriak sampai suaranya serak.

Azman membiarkan begitu saja. Lelaki itu melirik arloji di tangan kanan, sudah pukul delapan. Kelas malamnya memang dimulai sedikit telat, sehabis Isya karena satu hal. "Diamlah. Kamu hanya akan menghabiskan energimu sendiri." Azman mencoba menghentikan Anisa.

"Bapak tau tidak kondisi kita sekarang?" Anisa marah. Kembali menghadap ke arah Azman. Kali ini tatapannya penuh kekesalan. "Atau Bapak memang sudah merencanakan ini semua karena saya menolak lamaran Bapak waktu itu?" Entah mengapa Anisa bisa berasumsi demikian.

Azman tertawa kecil mendengarnya. Pikiran macam apa itu.

"Jangan tertawa, Pak!" Anisa semakin marah. Suara tawa itu mengganggu. Tak sepantasnya ada di situasi genting seperti ini.

Azman akhirnya berbalik badan. Menatap balik Anisa. Kedua mata itu bisa melihat jelas dua netra cantik milik mahasiswinya. "Kalau saya memang merencanakan ini semua, apa saya akan tau kalau kamu sedang berada di ujung ketidakberdayaan?" Dengan begitu tenang Azman bertanya.

Anisa mendadak diam. Suasana ruangan dan sekitarnya hening, lebih dominan menakutkan. Beberapa lampu ruangan sengaja dimatikan dan hanya samar-samar saja. Untung di ruangan mereka masih terang benderang.

"Kamu mengaitkan ini dengan penolakanmu kemarin?" Anisa terlihat mengangguk cepat. Membenarkan pertanyaan Azman. "Saya rasa itu salah besar karena saya sendiri tidak suka berbuat baik hanya karena menginginkan sesuatu."

"Bukannya setiap orang di muka bumi ini banyak yang seperti itu?" tanya Anisa. Terlihat jelas Azman mengambil empat langkah di depan sehingga mereka hanya berjarak sekitar dua meter saja. Kondisi ini menarik Anisa pada keadaan kemarin. Keduanya berbaur dalam derasnya hujan, tetapi kini harus bertemu di heningnya malam.

"Pikiranmu terlalu sempit untuk hal ini." Sekali lagi Azman menyunggingkan senyum kecil. "Banyak orang di luaran sana yang membantu tanpa pamrih, jadi jangan sama ratakan."

Anisa menghela napas kasar. Kembali sadar dengan keadaannya sekarang. "Ok, kita lupakan tentang itu, Pak." Rasanya percuma membahas hal lain. "Sekarang apa yang harus kita lakukan?"

Azman mengangkat kedua bahunya. "Saya tidak tau pasti, tapi sepertinya saya butuh istirahat dulu." Azman mendekati kursi di jajaran pertama. Duduk di sana dan berkata lagi, "Saya akan tidur karena berteriak pun, percuma. Menunggu pagi tidak perlu dengan begadang."

Anisa sama sekali tidak paham dengan jalan pikiran Azman. Tidak ada usaha untuk bisa keluar. Gadis itu menghentakkan kaki kanan sekali. "Dia pikir masalah bakal selesai dengan tidur!" Anisa mencoba kembali berteriak sampai Azman yang berusaha untuk tidur pun menutup telinga.

Malam semakin menuju puncak dan Anisa lelah. Perempuan itu menyerah dan duduk di kursi yang jaraknya terhalang empat bangku dari Azman. Menyimpan tas, kemudian menempelkan pipi kanan dan terlelap tidur. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi. Semua tak ada hasilnya.

Azman mengangkat kepala setelah suara Anisa hilang. Ia menoleh ke samping kanan, memperhatikan gadis manis itu yang kini menutup mata ke arahnya. "Kamu lelah, ya?" Suara Azman begitu pelan. Kemudian, kembali melakukan hal yang sama dengan Anisa. Mungkin sudah takdirnya mereka berada di sini. Menginap dalam kesunyian berdua.

***

Esok harinya Karisma cemas ketika mendapatkan kabar bahwa Anisa tidak pulang dari Fatur–kakaknya Anisa. Pagi-pagi buta, Karisma memilih pergi ke kampus. Barangkali terjadi sesuatu. "Duh, sebenarnya dia itu ke mana, sih?"

Gerbang kampus juga baru saja dibuka sekitar pukul enam pagi. Satpam yang mengetahui itu pun membawa Karisma mencari Anisa.

"Coba dicek satu-satu, Pak, ruangannya. Takut dia tidur di kesal," pinta Karisma. Rara tak bisa datang karena demam, sedangkan Kak Fahri sendiri sekarang berada di luar kota.

"Iya, Neng." Satpam lelaki itu pun ikut cemas dan membantu. Mereka menyisir setiap ruangan dan mengeceknya. Belum juga ketemu.

Keduanya sampai di ruangan ketiga terakhir. Karisma sudah lelah bercampur gelisah. Terlebih ponsel Anisa sama sekali tidak aktif. "Ya Allah, Nis. Kamu ini ke mana, sih?" Ngedumel sendiri di belakang pak satpam.

"Loh, dikunci." Satpam itu heran. Sebab, semua ruangan memang jarang dikunci.

Karisma melirik. "Ada apa, Pak?" Takutnya ada hambatan pula.

"Sebentar, Neng. Ini dikunci." Lelaki itu pun merogoh saku dan mencoba satu per-satu kunci. Untuk duplikatnya memang sering ada di pos satpam.

Pintu terbuka dan mereka masuk. Begitu kedua kaki Karisma menginjak di bagian dalam ruangan, mata perempuan itu membulat sempurna. Melihat pemandangan yang di luar nalar. "Anisa!" Berteriak seketika saat melihat Anisa tertidur di bangku saling berhadapan dengan lelaki idamannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status