Share

Terkunci

Author: Ciety Ameyzha
last update Last Updated: 2023-05-23 11:59:43

Anisa mengalami sesak napas ketika selesai kelas. Saat orang lain sudah beranjak pergi. "To-tolong bawakan alat di tas saya, Pak."

Azman yang memutuskan menolong Anisa dan melupakan perihal pintu itu pun akhirnya melirik tas pundak berwarna hitam yang berada di atas meja. "Sebentar." Azman mencari alat yang dimaksud. "Akhirnya." Setelah menemukan, ia segera memberikan pada Anisa dan wanita itu memakai di hidung.

Azman mendampingi Anisa dengan duduk di samping perempuan itu. Menjaga jarak pula agar mereka tak terlalu dekat. "Apa napasmu sudah enakan?"

Anisa bernapas lebih baik. Rasa sesak yang menyerang beberapa menit ke belakang mulai berkurang. "Alhamdulillah, Pak." Anisa melirik Azman. "Terima kasih sudah membantu saya." Anisa berdiri. Mengambil napas dengan baik setelah melepaskan alat tersebut. "Saya permisi."

Baru Anisa menyambar tasnya, Azman sadar satu hal. "Sepertinya kita tidak bisa keluar dari sini."

Kalimat Azman menghentikan tangan Anisa. "Maksudnya, Pak?" Perempuan itu tidak paham.

Azman tidak enak mengatakan itu, tetapi sepertinya memang benar. "Ada yang mengunci kita dari luar."

Sontak Anisa membulatkan kedua mata sambil berjalan cepat ke depan. Memastikan sendiri perkataan lelaki yang pernah mengajaknya menikah kemarin. Begitu mencoba membuka pintu, Anisa tak bisa melakukannya. "Tolong, apa ada orang di luar? Kami terkunci." Berharap ada orang lain yang bisa mengeluarkan mereka.

Azman berdiri. Merogoh saku. Ponsel itu tertinggal di staf dosen. "Kamu membawa ponsel?" Menatap punggung Anisa.

Anisa sadar, segera merogoh tas sedang dan mencari alat komunikasi pintar tersebut. "Ini dia." Kecewa langsung menghampiri ketika melihat benda itu mati. "Astagfirullah, aku lupa mengisi dayanya." Anisa memijat kening. Satu masalah teratasi, ia perlu menghadapi masalah yang cukup besar juga. Anisa berbalik badan, menemukan Azman sudah ada di dekat jendela. Berdiam diri dengan sangat terang. "Bapak, yakin tidak mau melakukan apa pun? Kita terkurung, Pak!" Saking gemasnya sampai Anisa menaikkan satu oktaf nada bicaranya.

Azman menyibakkan gorden berwarna putih yang biasanya dipakai untuk menghalangi sinar mentari di siang hari ketika mengajar. "Di malam hari kampus ini sepi. Apalagi kita ada di lantai dua. Jarang sekali satpam datang." Azman diam sejenak. Menatap keluar jendela. Keadaan lapangan kampus yang biasanya ramai mendadak sedikit menyeramkan. "Jadi, sebaiknya kita menunggu saja sampai pagi."

Anisa menggelengkan kepala. Tak sangka Azman akan menyerah begitu saja. Dengan tekad kuat, Anisa pun kembali berteriak sambil menggedor-gedor pintu. Semua hasil harus dilakukan dengan kerja keras. "Siapa pun di luar, tolong aku!" Anisa berteriak sampai suaranya serak.

Azman membiarkan begitu saja. Lelaki itu melirik arloji di tangan kanan, sudah pukul delapan. Kelas malamnya memang dimulai sedikit telat, sehabis Isya karena satu hal. "Diamlah. Kamu hanya akan menghabiskan energimu sendiri." Azman mencoba menghentikan Anisa.

"Bapak tau tidak kondisi kita sekarang?" Anisa marah. Kembali menghadap ke arah Azman. Kali ini tatapannya penuh kekesalan. "Atau Bapak memang sudah merencanakan ini semua karena saya menolak lamaran Bapak waktu itu?" Entah mengapa Anisa bisa berasumsi demikian.

Azman tertawa kecil mendengarnya. Pikiran macam apa itu.

"Jangan tertawa, Pak!" Anisa semakin marah. Suara tawa itu mengganggu. Tak sepantasnya ada di situasi genting seperti ini.

Azman akhirnya berbalik badan. Menatap balik Anisa. Kedua mata itu bisa melihat jelas dua netra cantik milik mahasiswinya. "Kalau saya memang merencanakan ini semua, apa saya akan tau kalau kamu sedang berada di ujung ketidakberdayaan?" Dengan begitu tenang Azman bertanya.

Anisa mendadak diam. Suasana ruangan dan sekitarnya hening, lebih dominan menakutkan. Beberapa lampu ruangan sengaja dimatikan dan hanya samar-samar saja. Untung di ruangan mereka masih terang benderang.

"Kamu mengaitkan ini dengan penolakanmu kemarin?" Anisa terlihat mengangguk cepat. Membenarkan pertanyaan Azman. "Saya rasa itu salah besar karena saya sendiri tidak suka berbuat baik hanya karena menginginkan sesuatu."

"Bukannya setiap orang di muka bumi ini banyak yang seperti itu?" tanya Anisa. Terlihat jelas Azman mengambil empat langkah di depan sehingga mereka hanya berjarak sekitar dua meter saja. Kondisi ini menarik Anisa pada keadaan kemarin. Keduanya berbaur dalam derasnya hujan, tetapi kini harus bertemu di heningnya malam.

"Pikiranmu terlalu sempit untuk hal ini." Sekali lagi Azman menyunggingkan senyum kecil. "Banyak orang di luaran sana yang membantu tanpa pamrih, jadi jangan sama ratakan."

Anisa menghela napas kasar. Kembali sadar dengan keadaannya sekarang. "Ok, kita lupakan tentang itu, Pak." Rasanya percuma membahas hal lain. "Sekarang apa yang harus kita lakukan?"

Azman mengangkat kedua bahunya. "Saya tidak tau pasti, tapi sepertinya saya butuh istirahat dulu." Azman mendekati kursi di jajaran pertama. Duduk di sana dan berkata lagi, "Saya akan tidur karena berteriak pun, percuma. Menunggu pagi tidak perlu dengan begadang."

Anisa sama sekali tidak paham dengan jalan pikiran Azman. Tidak ada usaha untuk bisa keluar. Gadis itu menghentakkan kaki kanan sekali. "Dia pikir masalah bakal selesai dengan tidur!" Anisa mencoba kembali berteriak sampai Azman yang berusaha untuk tidur pun menutup telinga.

Malam semakin menuju puncak dan Anisa lelah. Perempuan itu menyerah dan duduk di kursi yang jaraknya terhalang empat bangku dari Azman. Menyimpan tas, kemudian menempelkan pipi kanan dan terlelap tidur. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi. Semua tak ada hasilnya.

Azman mengangkat kepala setelah suara Anisa hilang. Ia menoleh ke samping kanan, memperhatikan gadis manis itu yang kini menutup mata ke arahnya. "Kamu lelah, ya?" Suara Azman begitu pelan. Kemudian, kembali melakukan hal yang sama dengan Anisa. Mungkin sudah takdirnya mereka berada di sini. Menginap dalam kesunyian berdua.

***

Esok harinya Karisma cemas ketika mendapatkan kabar bahwa Anisa tidak pulang dari Fatur–kakaknya Anisa. Pagi-pagi buta, Karisma memilih pergi ke kampus. Barangkali terjadi sesuatu. "Duh, sebenarnya dia itu ke mana, sih?"

Gerbang kampus juga baru saja dibuka sekitar pukul enam pagi. Satpam yang mengetahui itu pun membawa Karisma mencari Anisa.

"Coba dicek satu-satu, Pak, ruangannya. Takut dia tidur di kesal," pinta Karisma. Rara tak bisa datang karena demam, sedangkan Kak Fahri sendiri sekarang berada di luar kota.

"Iya, Neng." Satpam lelaki itu pun ikut cemas dan membantu. Mereka menyisir setiap ruangan dan mengeceknya. Belum juga ketemu.

Keduanya sampai di ruangan ketiga terakhir. Karisma sudah lelah bercampur gelisah. Terlebih ponsel Anisa sama sekali tidak aktif. "Ya Allah, Nis. Kamu ini ke mana, sih?" Ngedumel sendiri di belakang pak satpam.

"Loh, dikunci." Satpam itu heran. Sebab, semua ruangan memang jarang dikunci.

Karisma melirik. "Ada apa, Pak?" Takutnya ada hambatan pula.

"Sebentar, Neng. Ini dikunci." Lelaki itu pun merogoh saku dan mencoba satu per-satu kunci. Untuk duplikatnya memang sering ada di pos satpam.

Pintu terbuka dan mereka masuk. Begitu kedua kaki Karisma menginjak di bagian dalam ruangan, mata perempuan itu membulat sempurna. Melihat pemandangan yang di luar nalar. "Anisa!" Berteriak seketika saat melihat Anisa tertidur di bangku saling berhadapan dengan lelaki idamannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dosen Tampan Itu, Suamiku.   Terimakasih sudah kembali(tamat)

    Suasana kamar hening layaknya malam yang sunyi saat berada di puncaknya. Dua pasang mata menatap satu sama lain seolah sedang mencari sebuah kebenaran lewat pandangan.“Aku istrimu, Anisa,” imbuh Anisa. Perempuan itu hampir setengah gila karena Azman tak bereaksi apa pun. Tubuh Azman masih lemas, belum sanggup bangun.Satu, dua, sampai pada tiga menit selanjutnya mulut Azman masih diam. Anisa kian ketakutan. Perkataan dokter tadi terngiang-ngiang di telinga. Jangan sampai! Perlahan tangan kanan Anisa memegang tangan kiri Azman, mengelusnya halus tanpa sadar air mata itu jatuh kembali. “Mas Azman kenal aku kan?” Sekali lagi bertanya untuk memastikan.Azman bergeming, hanya tatapannya saja yang lekat. “Mas, jangan diam saja! Aku takut.” Barulah suara sedikit keras keluar dari mulut Anisa. Perempuan itu menunduk, tangisnya pecah lagi. “Tolong bicara, Mas. Aku takut.” Suaranya mulai lirih, kehilangan tenaga.Tak berselang lama tangan kiri Azman bergerak memegang balik tangan kanan Anisa.

  • Dosen Tampan Itu, Suamiku.   Menjadi orang asing

    Sebuah rumah sakit besar di kota mendapatkan pasien kecelakaan beruntun. Ada sekitar empat pasien dengan berjenis kelamin dua lelaki dewasa, satu perempuan dewasa, dan satu balita laki-laki. Keempat pasien itu memiliki luka cukup parah, terutama untuk salah satu pasien laki-laki dewasa yang mengalami luka sangat serius sampai tidak sadarkan diri.“Cepat tangani pasien ini dengan serius!” Dokter laki-laki memerintahkan dua suster perempuan.Bangkar rumah sakit didorong dengan tergesa-gesa. Pasien lelaki itu banyak kehilangan darah dari kepala. Dokter menyarankan operasi secepat mungkin. Keadaan ruangan operasi cukup hening, semua yang berada di dalamnya berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan pasien yang ditangani. Sesekali dokter mengerutkan kening seraya menajamkan mata. Setiap gerakannya diatur dan penuh perhitungan. Melakukan kesalahan kecil saja bisa berakibat fatal sebab yang di taruhkan nyawa seorang manusia. Operasi berjalan lumayan memakan waktu sampai akhirnya kata be

  • Dosen Tampan Itu, Suamiku.   Berpura-puralah

    Pak Dirga tertegun. Kalimat Anisa cukup mengobrak-abrik setengah sanubari."Ayah, terima kasih sudah membiarkanku tumbuh tanpamu. Aku harap Allah tidak murka karena Ayah lalai menjaga titipannya." Anisa tersenyum paksa. "Aku permisi, Assalamualaikum." Perempuan itu melangkah ke kembali ke depan dengan perasaan semakin tidak karuan."Wa'alaikum salam." Pak Dirga cukup memandangi punggung Anisa yang kian menjauhi pandangannya.***Dua minggu sudah hubungan Azman dan Anisa renggang. Anisa menolak bertemu pria itu sekalipun Azman mengunjunginya. Fatur masih membukakan pintu hanya untuk menunjukan etika. Namun, Fatur sendiri tidak bisa ikut campur terlalu jauh pula."Kembalilah ke rumah Anda. Saya yakin Anisa menginginkan itu." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Fatur.Azman tak memaksakan kehendak selama keadaan Anisa baik-baik saja dan aman. Setidaknya perasaan gelisah tidak menghantui pikiran.Azman kembali ke rumah. Kembali melakukan aktivitas seperti biasa yang mulai membosankan

  • Dosen Tampan Itu, Suamiku.   Bertemu Kembali

    Waktu berlalu begitu cepat. Tiga hari sudah Anisa berada di rumah ibunya bersama Fatur. Selama itu, Anisa masih mendapatkan perhatian Azman lewat pesan singkat. Entah hanya sekadar menanyakan kabar Anisa ataupun mengingatkan Anisa untuk tetap menjaga kesehatan. Berapa pun pesan yang diterima, Anisa sama sekali tidak berniat membalas. Membacanya, lalu membiarkan begitu saja. Sampai pada pagi itu Anisa mendapatkan pesan yang cukup berbeda dari biasanya.[Saya tidak sengaja bertemu ayahmu di pemakaman.]Tangan Anisa kanan Anisa memegang ponsel begitu erat. Ayah, rasanya nama itu sudah hilang di ingatan. Bahkan Anisa tidak pernah ingin tahu keberadaan pria tersebut."Dek, kamu kenapa?" Fatur menarik kursi. Keduanya hendak sarapan. Anisa terkejut, seketika menyimpan ponsel di meja. Fatur menatapnya lekat. "Apa terjadi sesuatu lagi? Dia masih mengganggumu?"Anisa menggelengkan kepala. "Tidak, Kak. Aku cuma terkejut melihat pesan Rara."Fatur mengambil sehelai roti yang sudah dilapisi selai

  • Dosen Tampan Itu, Suamiku.   Warisan buruk

    Azman diam sejenak dengan kedua mata masih menatap lurus ke depan. Sudah berapa tahun tidak bertemu? Ya, bertemu dalam artian saling berhadapan satu sama lain, bukan sekadar mengamati dari kejauhan."Saya hampir tidak mengenalimu. Ternyata kamu tumbuh dengan baik," ujar sosok tersebut yang ternyata adalah Pak Dirga.Azman masih diam dalam beberapa detik, kemudian bersuara, "Jelas Anda tidak mengenali saya karena sudah lama juga tidak bertemu."Pak Dirga tersenyum tipis. "Bagaimana kabarmu sekarang?" "Sepertinya Anda tidak perlu bertanya lagi tentang itu. Bukankah Anda sudah tau bagaimana saya? Termasuk hubungan saya dengan kedua anak Anda." Azman tak suka berbasa-basi.Sekali lagi Pak Dirga tersenyum kecil. Seperti halnya Fatur, anak lelaki dari wanita simpanannya pun sudah tumbuh baik menjadi orang dewasa yang pintar berbicara. Dengan begitu, cara menghadapinya harus jauh berbeda ketika usia anak itu belasan tahun. Cukup merepotkan."Benar. Saya mendengar kamu menikah dengan Anisa.

  • Dosen Tampan Itu, Suamiku.   Dia ingin berpisah

    Dalam hitungan dua menit Azman cukup terkejut, sekali pun pria itu sudah menyiapkan hati untuk hal-hal di luar kendali.Dengan berpegangan erat pada koper, Anisa meneruskan kalimatnya. "Sepertinya kita memang tidak cocok dari awal. Pernikahan yang terpaksa karena keadaan, lalu sifat kita yang saling bertolak belakang. Kemudian disusul dengan fakta paling menyakitkan. Hal itu saja sudah sangat jelas sebagai tanda kita memang seharusnya tidak saling mengenal dan bersama."Demi menegaskan maksudnya, Anisa sampai menjelaskan begitu detail. Menghindari Azman bertanya perihal alasan atas keputusan yang perempuan itu buat."Apa kamu yakin?" Azman bertanya setelah merasa Aruna lebih tenang. "Ini bukan mainan, tapi keputusan yang bisa membuat hidupmu berubah. Statusmu pun sama akan berubah.""Apa Mas melihat kilatan ragu di mataku?" Anisa bertanya balik. Azman diam. "Aku rasa tidak karena aku sendiri sudah memikirkannya ratusan kali.""Ratusan kali dalam kurun waktu seminggu?" tanya Azman lagi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status