Waktu cuti Amran memang belum habis, tetapi semesta sepertinya tidak membiarkan pria itu memiliki waktu luang. Seperti pagi itu, ponselnya berdering kala Amran baru saja sarapan. Bukan sarapan yang sebenarnya karena ia menghabiskan waktu bersama Mei di kamar sejak matahari baru saja muncul di celah langit dan cahayanya belum terlalu terang. Kini, sinar matahari nyaris sempurna menyiram bumi dan sebagiannya menerobos masuk lewat lubang ventilasi di atas jendela yang masih tertutup lalu menimpa bagian atas rak buku setinggi satu meter, tepat pada batang bunga sedap malam dan kelopak mawar. Amran merasa tidak perlu tergesa karena nada dering yang menyala menandakan si penelpon bukan orang yang dikenal. Diambilnya kaus dan celana kemudian memakainya dengan santai. Lantas, ia turun dari ranjang dan mengambil ponsel di atas rak. Panggilan kedua tengah berlangsung ketika matanya menatap layar. Deret angka yang tidak ada dalam phonebook tertera di layar. Dengan dahi sedikit mengernyit, telu
“Rahasia.”“Kasih bocoran, dong. Biar nggak penasaran.” “Pokoknya rahasia.” Mei tertawa. Ia senang memberi kejutan dan membuat Amran penasaran. Ia bisa membayangkan wajah Amran saat penasaran, antara ingin tahu dan pasrah karena selalu gagal menebak. “Kasih clue. Huruf depan atau bahan-bahannya mungkin.” Amran masih mencoba mencari celah. Gelar profesornya mendadak tidak artinya setiap kali berhadapan dengan Mei. Otaknya seolah tidak mampu bekerja dengan baik. Sungguh meresahkan. “Rahasia, Prof." Lagi, Mei terkekeh. Ia makin di atas angin."Come on, Meine Schatzi. Please, kasih tahu.""Dah, ya, Prof. Met lembur.” Pesan terakhir Mei diikuti emoticon love. Setelah pertemuan dengan Nana, Amran memang memberitahu Mei kalau ia akan pulang terlambat hari ini. Mungkin karena itu Mei mengirim makanan untuknya. Setibanya di depan tangga lantai dua, Amran menyimpan ponsel di saku kemudian menaiki tangga menuju lantai tiga dengan cepat hingga suara ketukan sepatunya memenuhi udara. Sesuai
"Aku sudah deket kosan kamu, La. Please be patient." Amran berseru gusar. Untuk kesekian kali Lila menghubunginya dan memintanya datang lebih cepat. Sempat terjebak macet di dua trafic light, akhirnya Amran tiba di depan rumah bergaya Victoria di ujung kompleks perumahan mewah di daerah Seturan. Amran berdiri sesaat di samping mobil, memastikan jika ia tdak salah tempat. Ditatapnya bangunan bercat putih dan berjendela lebar dan tinggi dengan teras sedikit menjorok ke depan. Teras itu memiliki atap berbentuk lengkung dan disangga empat tiang besar. Dua lampu dalam kap klasik tergantung di dua tiang penyangga paling depan. Amran mengedarkan pandangan ke sekeliling lalu kembali melihat ke arah kosan Lila. Kesiur anging meriapkan bagian atas rambutnya, menyisakan hawa dingin di tangan yang tidak tertutup jas. Rumah di hadapan Amran terlihat mencolok karena arsitekturnya yang berbeda. Rumah-rumah lain bergaya Eropa atau Amerika modern dan cenderung minimalis. Sementara kosan Lila, sanga
Amran menatap jalan dengan gelisah. Bibirnya terkatup rapat sementara tangannya mencengkeram kemudi kuat-kuat. Permintaan Lila jelas sangat tidak masuk akal. Amran menggeleng keras. “Aku memang tidak akan membiarkanmu jadi gelandangan," ujarnya kemudian. Seketika bibir Lila melengkung, membayangkan ia akan diboyong Amran ke rumahnya sehingga rencananya akan semakin mudah terlaksana. “Tapi juga tidak akan membawamu ke rumahku,” tegas Amran. Ekor matanya melirik Lila sekilas lalu kembali melihat ke depan, tepat ketika lampu hijau menyala sehingga Amran segera menginjak pedal gas. Senyum Lila menguap dan bahunya melorot. Embusan napas kasar terlepas dari mulutnya. “Terus? Aku harus tinggal di mana, Ran, kalau tidak di rumahmu. Ini sudah malam. Aku juga nggak tahu harus cari kos di mana?” "Kamu diam dulu. Biar kupikirkan tempat yang tepat untukmu malam ini." "Kamu tega banget sama aku, Ran." Lila mengubah posisi duduk. Ia tak lagi menghadap Amran. Sekian detik berikutnya, perempuan i
Amran menghela napas. Ia bisa membaca maksud Lila. Perempuan itu tentu ingin menahannya lebih lama, tetapi Amran tidak ingin mengikuti keinginan Lila. Ada nama baiknya, nama baik keluarga, dan tentu saja hati Mei yang harus dijaga. Apa jadinya laki-laki dan perempuan hanya berdua di dalam kamar? Amran ngeri. Meski lama tinggal di Jerman, ia tidak pernah sekali pun mengikuti gaya hidup bebas orang barat. Ia masih orang timur. “Bukannya di kos kamu biasa makan sendiri?” tanya Amran kemudian. “Nggaklah. Seringnya makan bareng sama temen-temen.” Lila memasang senyum paling manis. “Ada televisi di dalam. Kamu bisa makan sambil nonton.” Amran membalas senyum Lila lalu pamit. Ia pergi tanpa menunggu respons Lila. Kali ini Lila tidak punya cara untuk menahan Amran. Jadi, ia hanya mematung, menatap tubuh mantan calon suaminya itu menjauh hingga lenyap dibalik pintu lift. Keesokan harinya, ponsel Amran berdering ketika ia tengah bersiap pergi dengan Mei. Ia mengajak Mei ke Banyu Langit hot
Astagfirullah. Amran menghela napas melihat ulah Lila. Untung cuma gelas kertas. "Kamu sudah sarapan belum? Kalau belum, ayo makan dulu. Setelah itu kita cari jalan keluar bareng-bareng." Amran memegang lengan Lila. "Aku yakin, pasti ada jalan keluar."Lila menoleh, menatap Amran dengan pandangan putus asa. Bibirnya bergerak-gerak seperti ingin mengucapkan sesuatu, tetapi tidak ada suara yang terdengar. "Aku tahu masalah kamu berat, tapi ini bukan Lila yang kukenal. Kamu orang yang kuat, percaya diri, dan selalu optimis. Come on, La, don't give up." Lila memalingkan pandangan dari wajah Amran seraya tersenyum sinis. Disentaknya tangan Amran yang masih memegang lengannya kemudian berdiri. Lalu, dengan gerakan cepat, diambilnya vas keramik di tengah meja dan melemparkannya ke tembok hingga menimbulkan bunyi berderak cukup keras disusul suara berdenting saat serpihan-serpihan keramik berhamburan di lantai. Sesaat mulut Amran terbuka dan matanya membelalak memandang Lila berdiri denga
“Ada keluarganya di Kotagede, tapi saya tidak tahu nomor teleponnya. Besok kalau sudah luang, saya akan ke sana.” “Suami? Anak-anak?” Dokter itu bertanya hati-hati. “Lila bilang kalau sudah bercerai. Sampai saat ini saya belum tahu siapa mantan suaminya. Keluarga besarnya ada di Jakarta dan saya tidak punya nomor mereka. Sudah lama sekali saya tidak terhubung dengan Lila dan keluarganya." "Baik, Prof." Dokter itu tersenyum iba. “Semoga Anda bisa segera terhubung dengan keluarganya.” Sekali lagi Amran mengucapkan terima kasih kemudian berpamitan. Ia masih sempat memandang Lila dan melangitkan doa. Amran berharap keadaan Lila tidak memburuk sehingga bisa keluar secepatnya dari rumah sakit. Bukan tentang biaya yang Amran pikirkan, melainkan karena ia khawatir tidak dapat mengurus Lila dengan baik di tengah timbunan pekerjaan. Langkah-langkah lebar Amran membawa pria itu tiba di tempat parkir lebih cepat. Setelah melewati portal rumah sakit, Amran memacu motor secepat mungkin. Masi
"Kayaknya Prof makin hari makin genit." Mei tertawa."Jadi apa aku harus datar seperti papan penggilesan?" Keduanya tergelak. Amran berdiri sembari menarik tangan Mei. "Yuk." "Tunggu, Prof." Mei bergeming. Dimintanya Amran untuk duduk kembali. "Anda belum selesai menjelaskan, Prof. Jadi apa yang harus aku lakukan besok saat bertemu Lila?" lanjutnya setelah Amran ada di sampingnya lagi. "Ah, sorry." Kedua sudut bibir Amran terangkat. "Kamu selalu membuatku lupa banyak hal." "Tuh, kan, saya jadi kambing hitam lagi." Mei pura-pura cemberut. "Memang begitu kenyataannya, Meine Schatzi." Amran menepuk kedua pipi Mei. Hampir saja ia mengecup bibir Mei kalau tangan Mei tidak bergerak cepat menahan dadanya. "Lanjutkan dulu penjelasannya, Mas." Mei mencium pipi Amran. "Hmm, oke-oke." Amran tersenyum sembari membetulkan letak kacamatanya. "Kamu ke wisma dan ambil barang-barang Lila. Setelah itu bawa ke Sardjito. Dokter belum bisa memastikan berapa lama dia diisolasi. Jadi biar kopernya a