Pagi ini Mei bangun lebih awal dari biasanya. Pukul 03.00 dini hari sementara beberapa hari lalu ia lebih sering membuka mata 30 menit setelah jam tiga. Entah mengapa, sejak Lila sempat hadir dalam kehidupan Amran, ia selalu lebih cepat terjaga. Seperti ada alarm yang menempel di tubuhnya lalu menggelitik tubuhnya hingga membuka mata. Mei menggeliat. Sebelum matanya benar-benar terbuka, ia telah mendengar dengkuran halus Amran menyelinap di antara detak jarum jam. Mei menoleh, melihat Amran masih terlelap di sampingnya dengan wajah sedikit memerah. Refleks, Mei meletakkan telapak tangan di dahi Amran. Demam. Mei membatin. Perlahan diangkatnya salah satu tangan Amran yang berada di atas pinggangnya kemudian beringsut dan turun dari ranjang. Kecapekan, Mei berpikir jika suaminya pasti kelelahan maraton mengurus Lila dan sepulang dari Jakarta ia pergi ke Bantul. Amran baru kembali tadi malam. Akhirnya tubuhnya berontak dan minta istirahat. Mei bukan tidak mengingatkan Amran agar isti
"Akira Hana." Mei bergumam pelan. Ia belum pernah mendengar nama itu disebut Amran. Selama ini, suaminya lebih sering menyebut kolega laki-laki. Sangat jarang ia berbagi cerita tentang teman dosen perempuan kecuali Bu Andriana yang memang memiliki proyek bersama. "Mungkin mahasiswanya." Mei kembali bergumam. Ah, bukankah sejak dulu ia sudah tahu kalau Amran memang magnet bagi kaum hawa? Bukan tidak mungkin ada yang nekad mendekatinya meski status Amran sekarang telah berubah. Mei menghela napas. Dipukulkannya kepalan tangan ke tengah kemudi sementara parfum itu ia geletakkan begitu saja di kursi samping. Tiba-tiba saja seperti ada yang terbakar di dadanya. Mei masih tertegun dengan mata menatap lurus ke depan. Bayang masa lalu dengan Andra satu per satu mampir di kepala. Apakah ia harus menghadapi teror orang ketiga lagi? Kenapa hidupnya begitu sial dan pernikahannya selalu diganggu? Mei menggigit-gigit bibir. Gelisah. "Nanti aku cek hape Mas Amran. Jangan sampai ada penyusup dala
Amran tidak tahu sejak kapan Mei berubah sikap padanya. Apakah sejak ia sakit dan karenanya Amran tidak menyadari perubahan raut muka dan gerstur tubuh Mei, atau baru-baru ini setelah ia sembuh. Amran baru merasakan perubahan Mei ketika tadi malam Mei lebih memilih memeluk guling ketimbang menggodanya. Namun, semalam ia terlalu lelah untuk mengobrol. Ia ingin cepat tidur karena hari ini harus mengajar jam pertama. Kebekuan Mei berlanjut pagi ini. Tidak ada senyum manis juga kecup mesra Mei yang biasanya ia dapat setiap kali akan pergi. "Apa aku tidak dapat bekal?" Amran yang baru saja selesai berpakaian dan siap berangkat tersenyum melihat Mei masuk ke kamar. Mei melihat Amran sekilas, tidak berminat menjawab pertanyaan sang suami. "Ini bekalnya, Prof." Ia hanya berujar singkat tanpa menatap Amran, meletakkan tas bekal di meja. Diambilnya jas dari gantungan baju kemudian diberikan pada Amran. Masih tanpa senyum dan raut muka datar. "Bukan bekal itu, Meine Schatzi." Amran meraih j
Amran menatap Bastian. "Kenapa dengan nama itu? Kamu kenal?" Jiwa kepo Amran meronta. Tiba-tiba ia khawatir kalau tingkah salah satu mahasiswanya itu ternyata tercium orang lain, termasuk Bastian. "Tidak, Prof." Bastian tersenyum samar. Otaknya bekerja cepat dan pertanyaan Mei kembali terlintas di kepala. Kini ia mengerti kenapa Mei tadi bertanya tentang Akira Hana. "Tapi dari wajah kamu, kayaknya kamu kenal dia." Amran yang sudah berdiri kembali duduk. Bastian meringis. "Kimbabnya enak, Prof." "Bas!" Bastian yang masih mengunyah dengan mulut penuh memberi isyarat dengan gerakan tangan pada Amran agar diam dan menunggu. Ya, ampun. Makhluk satu ini kenapa tiba-tiba bikin kesel? Amran menghela napas seraya menatap jengkel Bastian. Kalau ada asisten sedikit ngelunjak, Bastian orangnya. Namun, Amran terlanjur cocok bekerja dengan Bastian. Jadi, dia masih bisa menahan urat sabarnya agar tidak putus saat penyakit Bastian kambuh. "Cepetan ngomong," ujar Amran seraya menyodorkan air mi
“Kalau suatu hari Mbak Mei terperangkap di sebuah pulau bersama lima dosen cowok Departemen Agribisnis, siapa yang Mbak pilih jadi suami?” Najma melontarkan pertanyaan absurd saat ia dan Mei berbaring di kamarnya setelah menonton episode terakhir drama It’s Okay Not To Be Okay. Kemudian, ia menyebut lima nama. Mei menoleh, menatap gadis berusia 26 tahun yang sedang menatap langit-langit kamar. ‘Kenapa menikah? Bukannya terperangkap di pulau itu harusnya cari jalan keluar, bukan malah nyari suami?” Mei protes, tidak terima mendapat pertanyaan tak masuk akal itu. ‘Jadi pulau itu dikuasai roh jahat. Kekuatannya akan hilang kalau tawanannya menikah lalu dia kecipratan darah dua manusia yang sudah menyatu itu. Nggak hilang permanen, tapi cukup buat para tawanan untuk lari sementara dia lemas.” Duh, makin ngadi-adi. Mei diam. Ia memilih memejamkan mata, mencoba tidur. Najma hanya sedang mengigau. ‘Jadi, Mbak Mei harus rela menikah dengan salah satu dosen itu supaya bisa keluar.” “Coba
“Sidang perceraian kita sudah diurus pengacaraku.” Andra berujar dingin ketika ia mengantar Mei pulang ke rumah orangtuanya. Enam tahun bersama, renjana di hati Andra telah padam. Pria itu memilih mengakhiri pernikahan. Meski Mei tahu, semua karena sekretaris Andra yang diam-diam menyelinap ke dalam kehidupan mereka lalu mencuri Andra.“Beneran nggak ada jalan lain selain pisah, Mas?” Hati Mei seperti balon meletus. Ia menyesal terlalu percaya pada sekretaris Andra sampai tidak sadar jika perempuan itu diam-diam menyimpan bom yang setiap saat bisa meledak. Bom itu meledak setahun lalu. Hanya ledakan kecil dan Mei masih berusaha bersabar dan mencari bukti. Lantas, enam bulan lalu ledakan besar terjadi. Mei harus tercabik-cabik mendapati foto, video, juga bukti transfer uang dengan jumlah tidak sedikit ke rekening perempuan itu. “Kukira hanya itu jalan satu-satunya. Tidak ada gunanya menjalani pernikahan tanpa cinta.” Mei menatap ranting pohon mangga yang bergoyang dipeluk angin. P
"Ros, kamu bisa ke ruang kerja saya sekarang? Penting." Suara Amran terdengar di seberang. Mei baru selesai kuliah. Hari menjelang petang dan di luar mendung tebal. Turunnya hujan deras hanya tinggal menunggu waktu. "Maaf, Prof, saya Mei, bukan Ros." Perempuan berkulit putih itu meralat nama. Kebiasaan Amran sering salah memanggil nama orang. Anehnya, kesalahan itu hanya berlaku saat memanggil perempuan. Sementara pada laki-laki bisa dipastikan tidak pernah salah panggil. "Oh, iya, sorry. Kamu bisa ke ruangan saya sekarang?""Bisa, Prof. Kebetulan ini baru beres kuliah.""Oke, saya tunggu." Mei mengiyakan perintah Amran. Sejak ia menjadi asistennya semester ini, Amran memang sering memberi tugas dadakan. Awalnya Mei merasa berat karena khawatir mengganggu kuliah. Namun, lebat laun ia mulai terbiasa. Karena itu, teman-temannya menjulukinya wanita panggilan. "Untung yang bolak-balik manggil ganteng, ya, Mbak,' goda teman-teman sekelasnya. "Nggak ganteng asal dompet tebal juga baka
“Sudah saya katakan, saya yang pesen. Kamu tinggal makan. Saya nggak mau asisten saya sakit karena kelaparan saat lembur.” Prof. Amran tertawa. “Sudah, ya. Selamat makan. Semoga kamu suka.” Ketika pintu perpustakaan didorong dari luar dan abang ojol masuk, refleks Mei mendongak dan ia menepuk jidat karena lupa untuk menunggu pesanan makanan itu di luar ruangan. Sebelum pria berjaket hijau itu bertanya pada penjaga perpustakaan, Mei sudah bangkit dan bergerak menyongsongnya. “Dengan Mbak Mei?” Abang gojek itu menyapa lebih dulu ketika Mei sudah berada di depannya.“Iya, Mas. Mau anter pesenan, ya?” Mei membalas senyum abang ojol. Abang ojol mengiyakan pertanyaan Mei. “Tadi ada pesanan ayam geprek dan jus mangga dari Pak Amran. Katanya buat Mbak.” Ia mengulurkan kantung kresek di tangan. Wangi ayam goreng menyelip di antara aroma woody dari pengharum ruangan di perpustakaan. "Makasih banyak, Mas.” Kantung kresek berpindah tempat dalam hitungan detik. Mei memberi tip yang disambut se